Kisahku tidak sesempurna film fiksi atau tayangan drama
lainnya—berbuah manis di akhir cerita. Ketahuilah tidak ada yang sempurna di
dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang mencoba untuk menjadikan segala
sesuatunya sempurna; termasuk aku. Sekuat apapun, sekeras apapun usahaku untuk
menulis cerita yang sempurna, pada akhirnya cacat akan tetap ada. Kesedihan
mampu membuka celah meski sempit kesempatan, bahkan luka semakin memperlebar
jarak. Pedih, aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Dia memutuskan untuk
mengakhiri hubungan kami dengan alasan fokus pada masa depan. Aku masih tidak
mengerti kenapa semua terasa begitu cepat, untuk satu hal yang aku lewatkan,
untuk hal-hal yang sudah aku korbankan, sekarang semua terasa tidak ternilai. Dunia
begitu cepat mempermainkan nasib cucu adam, rasanya bahagia hanya sementara
sedangkan kepedihan akan berjalan begitu lama. Hingga aku mengerti pelangi akan
ada setelah badai hujan.
Seperti diremukkan, hatiku kering—penuh luka dan bercak.
Sesak sepertinya dicekik, kepalaku terasa kosong. Berjam-jam
bergulat dengan tangis, amarah, dan kecewa, akhirnya aku memberanikan diri ke
sekolah untuk bertemu mereka. Setelah usahaku menemui pacar yang sudah berganti
label menjadi mantan gagal, aku segera ke sekolah. Kupikir bertemu mereka lebih
baik. Begitu sampai ke kelas, aku melihat dia duduk di meja guru. Dengan gaya
yang khas, aku segera memanggilnya.
“Sini deh… temenin gue…”
Isyarat meminta untuk ditenangkan, kemudian dia
menghampiriku dan duduk di sebelahku. Kemudian aku berbisik padanya dengan
suara bergetar menahan isak yang mulai mendesak, “gue putus… diputusin tadi
pagi… sakit…”
Tanpa aba-aba, aku segera memeluknya, menangis di pundaknya.
Herannya ia membiarkanku untuk meluapkan semuanya. Tangis, amarah, kesal
menjadi satu, seolah mengiba, sayangnya aku tidak peduli dengan rasa kasihan,
yang ada hanya sakit yang merajam. Kehilangan seseorang yang telah kau beri
begitu banyak perngorbanan adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan. Aku merasakan ada tangan yang mengusap
punggungku dengan penuh perhatian, dan ketika semua menghampiri aku tidak
berani memalingkan wajah dari pundaknya, atau memang aku sudah merasa nyaman
dengan posisi demikian? Bersandar di pundaknya, tanpa malu-malu mengeluarkan
airmata? Dia tidak memberi sinyal untuk melepaskanku begitu saja, membiarkan
pundaknya menjadi tumpuan tumpahnya emosiku yang meluap. Segalanya menjadi satu
ketika teman-temanku datang mengerubungiku dengan rasa khawatir mereka
menanyakan keadaanku dan dia menceritakannya dengan penuh pengertian tanpa aku
harus menjawab langsung.
Sampai isak reda, kubiarkan kepalaku masih bersandar di
pundaknya. Berkali-kali aku merintih sakit, tidak ada luka di tubuhku kecuali
goresan nadi yang kubuat beberapa menit sebelum berangkat ke sekolah. Berulang kali
aku meringis di telinganya, mengatakan bahwa ini pedih. Aku tidak bisa menerima
keputusan sepihak seperti ini. Ia memaklumi dan terus menepuk pundakku.
“Sakit… Perih banget, nyesek…” aku terus menerus meraung.
Sekitar 30 menit aku terus-terusan menangis, tanpa berniat
lepas dari pundaknya.
Bagaimana bisa pundak itu menjadi tempat paling nyaman yang
pernah aku temukan?
Setelah dipastikan aku sudah bisa menceritakan kronologis
kandasnya kisah cintaku, aku mulai menggeser kepala dan bercerita pada
teman-temanku. Tidak pernah ada kesan canggung diantara kami semua,
bagaimanapun 3 tahun bersama membuat kami dekat seperti keluarga. Keluh kesah,
kebiasaan, dan banyak cerita termasuk aib masing-masing sudah diketahui satu
kelas. Tetap saja kami akan selalu menjaga rahasia, tidak ada yang pernah
membocorkan aib masing-masing, semuanya menjaga komitmen yang dibuat. Akhirnya aku
mulai bercerita, bagaimana bisa aku diputuskan. Sesekali aku masih menangis
menahan sesak yang menghujam, demikian teman-temanku sesekali memelukku erat,
mereka menghiburku agar aku tidak menangis lagi.
Mereka meyakinkan aku bahwa ini mungkin jalan terbaik untuk
diriku dan mantan pacarku, jadi aku tidak boleh bersedih sebab masih ada mereka
yang menemani.
Beberapa membantuku menghapus airmata, beberapa menghujat mantan pacarku, dan sisanya menatap prihatin, tapi dia? Dia hanya
memasang wajah yang biasa saja, cengiran khasnya selalu terpampang. Wajahnya tidak
seperti yang lainnya, “Masih banyak Vi cowok di luar sana…” aku tertegun—bukan karena
omonganya karena melihat ekspresinya yang begitu santai berbeda dengan yang
lainnya. Dalam kurun waktu 15 menit aku sudah kembali ceria seperti semula, aku
menikmati saat-saat kebersamaan bersama mereka. Tidak lagi memikirkan kandasnya
hubunganku. Setidaknya selama aku di sekolah dan berada di sisi mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar