“Love don’t cost a thing” except a lot of tears, a broken heart, and wasted years.
Aku tidak ingat kapan tepatnya rasa ini mulai ada, aku tidak
ingat kapan aku menyisipkan cerita cinta tak layak dalam buku kehidupan, aku
tidak ingat bagaimana aku bisa menyukainya secara sepihak, aku tidak ingat apa
yang membuatku memujanya. Yang aku tahu, aku selalu memujanya, selalu senang
berada di dekatnya, meski pada saat-saat tertentu aku tidak bisa menembus
kisahnya. Aku hanya mengingat, banyak wanita yang menginginkannya, aku hanya
mengingat pada bagian yang aku tahu itu luka tapi aku tidak pernah merasa
terluka sedikitpun. Aku bahkan tidak mengenal dirinya secara utuh, aku tidak
paham bagaimana sifat aslinya, walau 3 tahun bersama.
3 tahun bersama, dalam jenjang yang sama, dalam tempat yang
sama, tetap saja akan memberikan efek yang berbeda—berbeda.
Garis bawai kata berbeda maka kita akan memulai cerita ini
seutuhnya…
Pertama kali aku mengenalnya pada saat pintu gerbang
terbuka, dia berandal, tidak pernah fokus akan satu hal, selalu membuat
kesalahan, tapi dia tetap kalem dan selalu mempetakan senyum di wajahnya. Aku
tidak pernah bosan melihat senyumnya, sama sekali tidak pernah terpikir muak
dengan segala tingkah lakunya. Pada awalnya dia memang bersamaku, melakukan
hal-hal gila yang dititahkan dengan semena-mena, menurutku pada awalnya dia
tidak satu jenjang denganku, tapi ternyata setelah aku tahu, oh well dia satu
bidang studi, dan itu artinya kami akan bersama selama 3 tahun berturut-turut
kan?
Bahagia itu sederhana, benar?
Hanya karena seseorang yang kita sukai, segala kesederhanaan
kita sebut bahagia yang luar biasa, pertemuan demi pertemuan, mengenal secara
singkat saja sudah membuat hati nggak karuan. Pada masa yang sesungguhnya, kami
belajar bersama, aku tahu dia anak yang cukup cerdas, terutama dalam studi
berhitung, logikanya terhitung cepat. Dan bukankah adam memang diciptakan
memimpin dengan logika? Hingga akhirnya ia bisa menguasai wanita yang dipimpin
dengan hatinya? Karena jarak tempat duduk kami berjauhan, aku hanya sesekali
memerhatikannya. Pasca hal-hal konyol yang kami lakukan setelah masa orientasi,
aku tidak lagi dekat dengannya. Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan
teman masing-masing, meski jika tiba saatnya studi bersama sudah pasti kami
akan berdekatan. Entahlah, aku menganggapnya hanya formalitas dan ya aku
menyukai saat-saat itu.
Sepenuhnya aku belum paham, pada saat itu aku tidak peka
dengan hati—
Aku tahu dia menyukai orang lain….
Kau akan merasa lumrah, ketika kau menyukai seseorang dan
kau membaca gerakan orang yang kau suka itu sebaik mungkin, kemudian tanpa
pernah aku memintanya untuk bercerita, akhirnya ia bercerita, dia memang suka
dengan temanku, satu studi dengan kami. Yeah, aku sudah menebaknya. Pada saat
mendengar ceritanya, terselip rasa kecewa, seperti bisikan yang mengatakan, “kenapa
sukanya sama dia, bukan sama gue?” but the fact, he likes other girl and I just
accept the reality. Cukup menyedihkan, tapi kukatakan sekali lagi, aku tidak
merasa terluka, meski kecewa begitu menggores telinga. Anehnya aku malah
mencoba membantunya untuk dekat dengan perempuan yang menyukainya, setelah
beberapa lama aku mencoba mengorek informasi keduanya, ternyata mereka memang saling
suka. Aku menelan kekecewaan lagi, tapi kulupakan. Bagiku kecewa itu hanyalah
pahit sementara, tidak akan terasa efeknya.
Ada jerit saat mengatakan, “Dia juga suka sama lo, kemaren
gue udah ngomong.”
Jelas ada pancaran bahagia di matanya, seraya mengucapkan
terima kasih dengan nada bahagia.
Tapi tahukah kau?
Bahwa Tuhan selalu membawa hadiah yang menarik, selalu
menulis kisah yang paling ingin dibaca khalayak. Yeah, dalam hitungan menit
semuanya berubah.
Pada hari dimana, dia akan menyatakan pada temanku bahwa dia
menyukainya, satu jam sebelum pulang sekolah dan hari itu juga, Tuhan
menunjukkan padaku parade leluconnya. Membuatku tidak mengerti kenapa waktu
bisa mengubah segalanya lebih cepat. Sore itu, anak laki-laki lain, yang sama
berandalnya dengan dia, penggila music, dan over act, menggandeng tangan
perempuan yang dia suka. Aku melihatnya jelas, laki-laki itu membawa hawa ke
tengah ruangan, aku yakin dia juga melihatnya dengan jelas. Namun takjub senyum
masih mengembang di wajahnya, aku sendiri sudah berharap-harap cemas. Aku tahu
saat itu juga hatinya menjerit kesakitan, dia pasti tidak akan menduga hal ini
akan terjadi.
“Teman-teman, ada yang mau gue omongin nih…”
Semuanya menyimak, sepasang anak adam dan hawa yang tengah
berdiri bergandengan di depan ruangan.
“Hari ini gue mau nyatain perasaan gue sama dia. Teman-teman
tolong ya jadi saksi buat gue sama dia.”
Oh well, seperangkat kalimat barusan seperti pisau yang
menghujam tepat sasaran. Diam-diam ekor mataku mengarah padanya. Aku merasa
heran, sama sekali tidak ada gurat kecewa atau marah, ia hanya tersenyum
memandang ke depan, meski aku tidak bisa melihat hatinya yang paling dalam.
“Mmm, gue suka sama lo, Ra… Mau nggak jadi pacar gue?”
Seketika keadaan hening, menunggu detik-detik perempuan itu
menjawab. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungku sendiri. Aku terus
mengawasinya dari kejauhan, aku memerhatikan bagaimana mimic wajah itu terlalu
datar dan tidak ada perubahan dari sejak aku melihatnya tadi. Mungkin dari
sekian banyak yang tahu kisah mereka, akulah yang paling khawatir tentang
dirinya, aku tidak bisa memikirkan bagaimana reaksiny nanti. Setengahnya aku
berharap bahwa perempuan itu menerima saja permintaan dari laki-laki yang
menyatakan barusan, jadi aku tidak punya saingan kan untuk mendekatinya? Tapi
di satu sisi, aku menjerit, tidak boleh egois. Ini menyangkut hati orang, no?
Oh well, selalu apapun mengalahkan batin yang ingin menang.
“Iya, gue mau…”
Dunia….
Runtuh…
Dunianya—bukan duniaku. Duniaku bahkan baik-baik saja, tidak
ada yang bergetar, atau mau hancur. Semuanya masih seperti awal, masih sama.
Malah seharusnya aku bahagia kan? Mengetahui bahwa anak perempuan itu menerima
perasaan laki-laki yang menembaknya meski dia tahu ada yang menyukainya. Seisi
ruangan bertepuk tangan, riuh seperti pesta pora. Yang tidak pernah kusangka
adalah dia juga bertepuk tangan, seakan ikut bahagia di atas tangis dirinya
sendiri. Takjub—saat hati terluka, ia masih bisa terlihat bahagia bahkan pada
saat orang yang dia sukai menjadi milik orang lain. Oh god, dunia mulai
sinting. Dan tak lama bel bunyi semua berhamburan, begitu aku ingin keluar
kelas ia menahanku, “besok gue mau cerita.” Aku menatapnya janggal, tentu saja
aku mengerti bagaimana ketika dekat jurang luka itu semakin terlihat dan dalam.
Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya. Dia butuh hiburan untuk hatinya yang
terlewat lapang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar