Selasa, 27 Agustus 2013

If You Ever Leave Me Baby; Everyday It Will Rain


PROLOG


“Aku pulang, ya…”

“Hmm, hati-hati.” Tangannya terulur mengacak-acak surai merah bak darah penuh kasih sayang. Disambutnya sebuah pelukan erat dari gadis kecilnya, sangat erat sampai tidak ingin lepas. Belum tentu dia kembali, begitu pikirnya.

“I’ll miss you.” Dalam sebuah dekapan yang ia sebut sebagai rumah, kelak ia akan berada disana selamanya. Didengarnya ucap balas yang sama dengan nada mantap sekaligus didaratkannya sebuah kecupan ringan. Gadis itu menyukainya saat egonya meluruh, memutar balik seperti ia tak pernah tumbuh dewasa, tempatnya bersandar kini mengerti, paling tidak apa yang dibutuhkannya selama setengah tahun ini. Lalu ia berjanji akan kembali setelah ada spasi diantara keduanya, merenggut sejenak di sisi pemudanya. Ia terlalu berat melepaskan bahkan untuk kepergian dirinya sendiri. Nyx Odessa membiarkan obsidiannya merekam Dixon muda, tangannya tergantung disana sampai jemputan miliknya tiba dan memaksa Odessa tunggal bergegas meninggalkan pemudanya.

Ketika beberapa lelaki berpakaian hitam dilengkapi jubah besar menjuntai membungkuk di depannya, membawakan semua tas dan koper milik Nyx, ia terpaksa melambaikan tangan dengan berat hati. Memasuki kendaraan beroda empat dengan enggan dan menempelkan tangannya disana sembari mengerjap, begitu terus posisinya hingga jemputannya menghilang di sudut jalan. Kembali terdiam memainkan terusan rendanya. Nyx tidak pernah suka kembali ke rumah, ia lebih suka kembali ke Calix Lumina seperti sebelumnya, tapi dua minggu yang lalu Louis memberikannya kabar dengan datang ke Sallowsville mengatakan padanya kalau Nyx harus pulang tanpa alasan yang jelas. Tidak ada kasus penolakan yang terjadi di keluarga Napoleon, harga diri Fergusson terlalu mahal bila dicoreng kata penolakan sekalipun alasannya tidak jelas. Lagipula sudah hal biasa Nyx menuruti ego ayahnya. Ia sudah tidak merasa heran lagi kalau dirinya hanya menjadi pesuruh pribadi ayahnya demi sebuah kebanggaan semu dan jabatan raja dalam impiannya. 

I'm Trying To Tell You Just How; I Find It Hard To Let Go And Give Up On You




“Nyx!”

Dihampirinya satu-satunya pintu yang dikenali oleh seorang Louis. Diketuknya secara brutal dibantu ekspresi panik, semi pucat, sekaligus ketakutan yang menerkam. Tetapi bukan Louis namanya bila ia tidak bisa menyembunyikan emosinya terhadap orang lain kalau bukan pada orang yang ditujunya. Pintu berderit, terbuka, memperlihatkan seorang anak lelaki bersurai pirang, tidak lebih tinggi darinya. Wajahnya menampilkan emosi tak senang, barangkali laki-laki memang punya dendam pribadi dengannya di saat ia tidak tahu kesalahannya apa dan muncul berbagai pertanyaan yang ingin diucapkan. Louis menggeleng, bukan saatnya. Maka ia merapikan diri di depan sang pemuda.

“Nyx ada?”

“Sedang tidur. Kau? Louis?”

“Err, ya. Boleh aku masuk? Ada berita penting yang harus aku sampaikan.” Mendesak, semakin tidak menyenangkan. Ah kau pikir ia suka dengan keadaan darurat begini? Sayangnya si pemuda malah diam di tempat tidak bergeming barang sedikit pun malah menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, alisnya menukik sebelah dan nampak sewot. Oh ayolah, Louis bukan seorang kriminil jalanan, reputasinya di Salem sangat baik, tolong jangan dinodai.

“Besok saja kembali lagi.” Benar ‘kan kehadirannya tidak diterima.

“Tidak bisa, aku harus cepat-cepat memberitahu Nyx.”

Nampaknya pemuda ini bebal, kelewat sebal dengan Louis. Setengah pintunya tertutup namun tangannya terulur, berusaha membuat celah.

“Tidak ada yang pernah menolak Fergusson sekalipun anaknya sendiri dan kalau ini terjadi, aku bisa pastikan Nyx tidak akan pernah kembali lagi.”

Pada dasarnya Louis tidak pernah suka mengancam, dia lebih suka memakai cara halus, lebih suka dengan kekeluargaan, selagi suatu masalah bisa dibicarakan secara baik-baik, selagi solusi bisa didapatkan dengan kepala dingin untuk apa menyiapkan air mendidih dan menyiramkannya? Louis menunggu beberapa detik sampai pemuda itu menyerah dan melebarkan jarak daun pintunya memperlihatkan kembali bentuk wajah sebalnya pada Louis dan kali ini membiarkan pemuda itu melepas mantel dan menggantungkannya di samping pintu kemudian duduk di ruangan kecil tak jauh dari pintu masuk.

“Ada apa?”

Masih dengan nada yang sama, tekanan yang sama dan ekspresi yang sama. Louis tidak bergerak, ia tetap diam. Pemuda keturunan Napoleon ini tidak perlu bertanya siapa pemuda ini, darimana asalnya, Odessa tunggal sudah cerita padanya, semuanya tanpa terkecuali. Biar ia rinci, nama pemuda ini Andrew Dixon dari asrama Nadirs, lahir di Boston sehari sebelum Valentine, keturunan muggle, anak bungsu dari tiga bersaudara, ayahnya seorang pembuat roti, ibunya menekuni bidang yang sama hanya beda jalur; catering. Memiliki dua kakak perempuan, selama sekolah di Salem ia tinggal di Sallowsville bersama keluarganya yang lain namanya Merry Joanne. Merry Joanne, tidak bisa disebut keluarga paling tidak perempuan setengah tua itu cukup akrab dengan Andrew. Na’ah selesai ‘kan? Jangan tanya Louis darimana ia mendapat semua informasi itu. Untuk seukuran keluarga Napoleon, terlalu mudah baginya untuk mencari tahu asal-usul seseorang tanpa harus ikut campur atau bertanya langsung, semuanya dilakukan secara instan, yes.

Louis duduk menyilangkan kakinya, menengadah pada langit-langit rumah sambil berpikir, ia ini tamu. Biasanya Nyx yang menyambutnya dan akan menghidangkannya lemon tea, yeah Odessa tahu apa yang ia suka. Kali ini agaknya sedikit berbeda penyambutannya, hanya seorang laki-laki, lebih muda darinya, masih berstatus siswa dan tidak lebih baik darinya, menurutnya. Karena menurut Louis tidak ada laki-laki dan perempuan tinggal satu atap meskipun status mereka berpacaran meskipun di Barat itu adalah hal yang biasa, tapi masalahnya bukan itu, ia tidak mempermasalahkan siapa yang tinggal satu atap bersama Nyx, ia tidak begitu peduli selama Nyx mencintai pemuda itu dan bisa seutuhnya lepas dari Louis. Yang ia harus garis bawahi adalah Dixon ini anak yang cukup nekat, kenapa? Kau tahu Nyx Odessa Napoleon adalah seorang putrid tunggal yang lahir di keluarga Napoleon, keluarga berada, kasta brahmana, kelas atas, pureblood, segala yang diinginkannya ada, pebisnis kelas kakap, mafia nomor dua yang ditakuti seantero dunia, memiliki standar tinggi dan sangat protektif serta posesif dengan keluarganya, satu sama lain. Bahkan Napoleon tidak segan-segan menggelontorkan orang-orang kepercayaannya hanya untuk mengawasi binatang peliharaan mereka sekalipun anjing Chihuahua. Mereka tidak akan sudi salah satu diantaranya disentuh oleh orang-orang dari kasta rendah, awam, kampungan dan errr dari kelas bawah. Tidak akan pernah, tapi laki-laki ini menempuh resiko yang berbahaya. Dia tahu pasti, kalau bukan karena rasa sayangnya atau orang ini memang gila.

Obsidiannya bergulir turun naik mengamati berkali-kali pemuda bermarga Dixon, ia tidak mencibir, tidak ingin merendahkan hanya saja Louis kagum, betapa pemuda ini memiliki tekad yang kuat. Nyx selalu cerita padanya Dixon tidak takut dengan keluarga Napoleon, seriously. Yes, ia pikir itu bercanda dan pada kenyataannya yang bersangkutan hadir disini, bisakah ia menganggap cerita Nyx adalah lelucon kalau faktanya apa yang ingin ia buktikan sudah tersaji di depannya. Dixon laki-laki yang nekat, entah dia tidak tahu atau memang sudah tahu kalau Calix Lumina tepatnya disebuah rumah kecil di sudut jalan berwarna putih bercorak minimalis sudah dijaga ketat bagik pagi, siang, sore bahkan malam oleh sekumpulan manusia tak kasat mata, penyihir kelas atas tertutup kabut dan merupakan orang-orang kepercayaan dari keluarga Napoleon, kaki tangan Fergusson—untuk putrinya. Louis tahu benar bila Fergusson menyayangi putrinya lebih dari apapun, harta yang paling berharga meski sikapnya jauh di luar dari kata sayang. Ia mengasingkan putrinya ke Amerika sementara yang bersangkutan sedang ongkang-ongkang kaki menikmati suguhan uang panas di kamarnya, ia juga selalu memerintah putrinya, mengekangnya, membatasinya, hanya demi satu tujuan, menjaga agar Nyx tidak dipegang sembarang orang. Sayang sekali ‘kan? Ayah yang baik, terlalu baik. Nyx tak pernah tahu apa yang ayahnya lakukan, yang ia tahu Fergusson hanyalah seorang yang menyebalkan otoriter, tidak menyukai pertentangan, perdebatan bahkan penolakan, egois, harga dirinya tinggi sekali dan hanya bisa dibeli oleh uang, Fergusson bukan ayah yang baik menurut Nyx, karena siapapun tidak ada yang boleh menyentuh perintahnya dengan kata tidak sekalipun putrinya sendiri atau malah istrinya.

Sayangnya dibalik itu semua, apa yang ada dalam pengertian Nyx jelas berbeda ketika Louis berhadapan langsung dengan entitas yang paling ditakuti oleh putrinya. Laki-laki itu tidak lebih dari seonggok daging menyedihkan, dengan paras pias akibat ditinggal harapan. Louis ingin tertawa keras-keras saat Fergusson mengemis padanya, meminta agar dirinya menikahi Nyx hanya agar anak gadisnya lepas dari tuntutan piala bergilir. Louis membungkuk, menyatukan kesepuluh jarinya, menikmati aroma kekhawatiran dari pemuda di depannya.

“Aku tidak dibuatkan minum?” Sebuah seringai tanpa maksud melecehkan pemuda Dixon. Laki-laki itu mendecak sebal, tidak bergerak hanya memutar bola matanya. Louis ingin tertawa, dia senang membuat orang lain jengkel padanya kecuali Genevieve.

“Mau minum apa?”

“Biasanya Nyx menyuguhkanku lemon tea..” Belum selesai ia bicara, pemuda itu sudah meletakkan segelas air putih diatas meja. Louis melirik sebentar, menikmati paras asam bagai limun di depannya. Lalu kembali bersandar tanpa selera untuk menyeruput air putih di depannya.

“Ada apa kesini?”

Louis mengulur waktunya, menoleh ke seluruh ruangan, benar-benar hanya ada pemuda ini dan mungkin benar Nyx sedang tidur. Ia tengah menimang-nimang bagaimana cara ia mengatakan kabar ini. Bukan suatu hal yang menyenangkan pula baik, ini berita yang sudah biasa di telinganya tapi akan luar biasa bagi dua insan manusia yang tengah jatuh cinta. Then, ia menarik sudut bibirnya, khas Louis.

“Nyx harus kembali ke Australia selepas tahun ajaran ini.” Tanpa melukis wajahnya dengan berbagai emosi, segalanya terasa datar dan omongannya seperti bualan, seperti pengantar koran di London yang tengah menagih janji pembayaran kepada pembelinya. Ekspresi yang sulit diterka oleh Louis hanya kernyitan dahi dan hening tanpa sebuah kalimat penyangkalan. Seharusnya ini akan menjadi awal yang bagus karena ia tidak perlu menjelaskan lebih, ia sendiri jengah dengan konsekuensi berita ini, serius.

“Dalam rangka apa? Berapa lama?”

Pada akhirnya buka suara juga ‘kan? Louis menarik nafas dalam-dalam, bahunya mengedik dan ia melemparkan tubuhnya lagi ke bantalan sofa marun.

“Tidak tahu, ayahnya hanya menyuruhku mengatakan ini, dia hanya harus pulang,” Menerawang dan mengembalikan obsidiannya pada sasaran, “untuk waktu yang tidak ditentukan.”

“Kenapa?”

That’s sounds great! Ini pertanyaan yang dinantikan oleh Louis sejak ia mengatakan berita ini pada pemuda lugu di depannya.

“Karena kalian…” Sebuah alasan terpenggal, menimbulkan riak kekhawatiran bagi keduanya, sebuah kata yang tidak nyaman di telinganya, “Fergusson sudah tahu tentang kalian, lebih tepatnya kau, Dixon. Fergusson tahu siapa kau, dimana kau tinggal, tanggal berapa kau lahir, siapa keluargamu, apa latar belakang mereka, pekerjaan mereka dan yang lebih penting…”

Oh betapa Louis bicara seperti seorang pemimpin mafia saja.

“Dari kasta mana kau berasal.”

Penuh penekanan dalam kata kasta, ini selalu digarisbawahi oleh Fergusson, laki-laki congkak dengan segala kecurangannya itu tidak akan pernah berteman dengan kasta sudra, coba saja.

“Lantas?”

Louis benar-benar dibuat tertawa, tanpa dosa, tanpa perasaan bersalah, hanya sedikit menyesal kenapa Dixon harus membencinya, menganggapnya menyebalkan padahal kalau ia bisa sedikit lebih baik, Louis akan membantunya, memperjuangkan keduanya sampai akhir karena dia punya masalah yang sama.

“Kalian harus berpisah.” Tidak ada opsi lain selain itu, catat.

Louis menunggu sampai amarah terkumpul, sampai gejolak emosi timbul dan meretas, mulai memercik dan membakar. Louis bersedekap, sebenarnya tidak ada lagi yang ditunggunya, lagipula tadinya ia hanya ingin bicara berdua dengan Nyx tentang masalah ini namun dilihat dari kondisinya nampaknya bicara dengan kekasihnya lebih baik. Nyx, pribadi yang mudah terguncang bagaimanapun ia tidak bisa mendengar kabar seperti ini, baginya masalah besar. Dan Louis mengambil gelas berisi air putih dan meneguknya, ia tidak mengharapkan balasan atas pembicaraan ini karena sudah jelas, titah sang raja sudah diagungkan, digaungkan untuk ditaati bukan untuk dilanggar.

“Kau pasti sudah tahu kalau rumah ini dijaga ketat oleh lusinan orang-orang tak kasatmata, ‘kan? Mustahil kau tidak tahu, Nyx pasti cerita padamu.” Ia hanya menerka, padahal belum tentu benar, “beberapa minggu yang lalu mereka—orang-orang ini melaporkanmu pada ayahnya, mereka bilang ada laki-laki selain aku yang sering datang kesini. Awalnya Fergusson tidak percaya, tapi kau harus tahu laki-laki tua nan terhormat itu selalu punya cara agar laporannya tidak meleset dan yeah, seminggu yang lalu aku menerima laporan darinya.”

“Kalau laki-laki itu aku?”

Exactly! Genius sekali! Dan kau harus menebak bagaimana reaksinya?”

Seperti bermain hangman omong-omong.

“Dia marah besar, mengamuk dan langsung merajuk padaku.” Mudah sekali ‘kan membuat Fergusson terlihat lemah? Sentuh saja putri semata wayangnya. Louis menghela nafas perlahan, bukan itu yang membuatnya senang. Amarah Fergusson tak pernah membuatnya senang kecuali rasa puas karena bisa membuat laki-laki itu murka akan nasib anaknya dan bahwa ia bisa memperlihatkan sisi kemunafikannya, sisi kelemahan dari seorang laki-laki. Bahwa sekeras apapun seorang lelaki terhadap perempuan, ia akan tetap lemah bila perempuan kesayangannya disentuh orang lain tanpa seizinnya. Diam-diam Louis mengamati raut wajah Dixon, nampak tenang ah tapi dia tahu kalau itu bukanlah ketenangan sesungguhnya. Jauh di dalam pasti ia bimbang. Jangan lupa Louis juga laki-laki, dia tahu benar sifat laki-laki itu bagaimana terutama terhadap wanita terkasihnya.

“Kau bicara apa pada Fergusson?”

Kiamat sudah dekat, pada akhirnya mengundang keingintahuan mereka yang tak punya busana, lisensi untuk dianggap keluarga. Louis memutar matanya.

“Aku tidak mengatakan apapun selain berjanji akan membereskan masalah ini. Omong-omong, aku tidak akan lama disini, Nyx harus tahu hal ini, biar aku bicara dengannya, bisa kau bangunkan?”

Dan kenapa juga dia harus minta tolong kepada anak bocah?

Louis menunjuk dengan dagunya, menyuruh tanpa bersuara sekaligus mengatakan lewat matanya ‘atau aku sendiri yang akan membangunkannya’ karena bukan hal yang sulit membangunkan Nyx. Dia sudah lebih lama mengenal Nyx, jauh sebelum Dixon mengenal Nyx. Bibirnya menukik, menandakan kemenangan saat Dixon beranjak tetapi suara pintu berderit terdengar dan Odessa tunggal sudah berdiri di depan pintunya dengan wajah tidur yang membekas. Louis kontan berdiri, menyambut sepupu terdekatnya sekaligus orang yang harus ia perjuangkan demi keegoisan seseorang.

“Puas tidurnya?”

“Louis? Kapan kau datang?”

“Beberapa menit yang lalu.”

“Ayah?”

Nyx menelengkan kepalanya, merapatkan piyama merah marunnya. Enggan mendekat, parasnya menandakan waspada tingkat akhir. Nyx sudah tahu bila Louis datang tidak sesuai jadwalnya ada hal penting yang harus disampaikan, baik atau buruknya itu bukan masalah karena setiap kedatangannya selalu membuat jantung Nyx berdebar. Louis mengulurkan tangannya, berusaha memberikan sepucuk surat dengan lambang organisasi gelap milik ayahnya. Sembari berdiri kasual, mengulum senyumnya, sesekali melirik Dixon.

“Ah Nyx, Dixon… Aku harus pergi sekarang, waktuku terbatas ada urusan lagi. Jaga diri kalian baik-baik dan… jangan menyerah, I think…”

***
Jangan menyerah, katanya.

Kalimat terakhir menggantung menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, meramalkan apa yang harus ia capai dengan batin dan airmata terkuras. Sampai Andrew pulang, Nyx tidak pernah membuka amplopnya, namun ketika dirinya tidak ada di rumah kecil itu ia tidak tahu. Tetapi sejak hari itu Nyx selalu kelihatan baik-baik saja, tidak ada perubahan yang terjadi pada Nyx. Gadis bersurai merah darah itu bersikap seperti biasa, selalu tersenyum, selalu tertawa, tetap memeluknya, tetap bercanda bersamanya seolah tidak ada yang salah diantara keduanya. Andrew juga tidak mau bertanya, tidak ingin mengungkit apa isi dari amplop yang diberikan Louis tempo hari lalu. Bukannya ia tidak ingin membahas atau dia takut, dia hanya tidak ingin tahu apapun yang tertulis disana sekalipun itu akan merenggut satu-satunya harapan hidupnya—sekalipun itu akan membawa Nyx pergi jauh darinya. Andrew tidak peduli.

Keras kepala, ya. Dia berusaha tidak ingin tahu meskipun pembicaraan dengan Louis memakan batinnya, memberikan tekanan batin sebesar perasana gelisahnya saat ia mendengar nama Fergusson. Nyx mungkin terlihat baik-baik saja, namun disanalah pertanyaannya. Seolah tidak pernah ada yang salah, seolah Louis tidak pernah datang dan berita itu tidak pernah ada. Tetapi Andrew tahu bila sekali waktu parasnya mengguratkan rasa sedih, ketika ia lengah, ekspresi Nyx berbeda dari biasanya. Tatapannya seringkali kosong dan terkadang tidak fokus di saat-saat melankolis. Euforia kesedihannya mendadak lenyap, tertimbun tekanan, saat itulah Andrew tahu lebih baik tidak menanyakan apapun pada Nyx karena setelahnya akan menimbulkan luka menganga dan gadis itu akan menangis. Meski ia lebih menyukai debat dengan Nyx, adu mulut sampai gadis itu marah besar, tidak mau bicara, ia lebih suka Nyx marah padanya, teriak di depan wajahnya, menyumpah serapah akan dirinya daripada gadis itu diam dan kemudian menangis.

Disinilah ia berdiri, mengantarkan seorang gadis pergi—untuk waktu yang tidak ditentukan.

Pelukan, kecupan, setiap kata ia renungkan. Bukan keinginannya untuk berpisah, ia juga tidak ingin melepaskan, namun satu-satunya jalan agar Nyx tidak bersedih adalah mengikuti permainan gadis itu. Mengikutinya seolah ini tidak pernah terjadi, seolah tidak pernah ada perpisahan, seolah dirinya tidak pernah diminta pergi. Maka Andrew berusaha untuk biasa saja ketika mengantar Nyx sampai Australia, ia tidak begitu peduli sejauh apa perjalanannya. Walaupun seharusnya ia berada di Boston menemani ayah dan ibunya mengelola bisnis mereka. Sebentar saja meluangkan waktunya untuk hati yang akan tinggal, untuk perasaan yang akan tetap pergi meski ia meminta untuk tetap berada disini. Pemuda bersurai pirang itu menatap hampa jemputan yang melaju sampai hilang di tikungan jalan. Menghela nafas, meyakinkan dirinya bila semua baik-baik saja.

“Ia akan kembali, tenang saja. Aku akan usahakan ini untuk kalian. Bukan hanya kau yang punya hati untuk diperjuangkan, aku juga.”

Itu yang Louis katakan. Lelaki itu menyelinap ke tempat dimana Nyx mendarat dan menahannya saat Dixon tengah keluar dari toilet. Nyaris tertawa hampa, membiarkan asanya meluap secara langsung. Bukannya ia tidak peduli, bukannya ia tidak ingin berterima kasih pada Louis, tetapi ia tidak pernah suka berhutang budi pada siapapun. Keras kepala, bebal, itulah sifatnya. Tidak mudah menyerah dan ingin puas dengan hasil kerjanya sendiri. Andrew menggeleng, kemudian melangkah pergi kembali ke tanah kelahirannya.


Senin, 19 Agustus 2013

When everything was going right; I know just why you could not


________OO_________

Pernikahan.

Sulit baginya untuk percaya kalau saat ini—saat matahari mengintip dari tirai di kamarnya dan ketika ia menoleh di sisinya ada seorang perempuan yang begitu didambakannya, seorang perempuan yang terlalu sempurna untuk mengatakan janji hidup bersamanya. Seorang perempuan yang menjadi tempat bersandarnya sejak ia kehilangan arah sejak ia putus asa dengan berbagai komitmen di masa keemasannya. Ia tak meragukan barangkali Tuhan tahu apa yang dibutuhkannya pun ia menginginkannya dalam waktu yang lama. Ya, takdir angkat bicara dengan senang hati memeluk keduanya dalam ikrar dan sumpah, pernikahan.

Lucu 'kan?

Perjalanan Jacques Kant mencari cintanya bisa dibilang sedikit lucu. Ia dikenal sebagai petualang, seorang yang tak bisa tidak memiliki kehidupan dan travelling. Hobinya adalah melakukan perjalanan dan memerhatikan kebiasaan-kebiasaan kecil orang lain. Seringkali ia mengorbankan banyak waktunya hanya untuk melakukan perjalanan; perjalanan ke negeri-negeri seberang demi memenuhi egonya seorang diri meninggalkan profesinya sebagai seorang guru dan meninggalkan anak-anak didiknya hanya agar ia memperkaya dirinya sendiri. Kant termasuk egois.

Tidak hanya sekali dua kali pada perjalanannya ia merasa tertarik dengan beberapa perempuan. Di setiap belahan dunia, setiap negara selalu ada wanita-wanita yang menggodanya. Paras yang cantik, setipe dengan barbie, lekuk tubuh yang sempurna dan kulit seputih porselen serta sehalus kain satin. Ia sudah terbiasa dengan lusinan wanita sempurna seperti itu. Maka ia tidak merasa gugup sama sekali ketika melihat beberapa perempuan mendekatinya menyatakan kalau dirinya tertarik karena dalam satu malam ia bisa menghabiskan tiga jenis perempuan berbeda hanya untuk menemaninya bicara tentang apa yang mereka lakukan seharian, dua hari yang lalu sampai sebelum mereka menjadi dewasa. Apapun bisa ia bicarakan tanpa mengatakan barisan mana hal tabu dan mana hal yang pantas. Kant bukan seorang playboy kelas kakap ia hanya menyambangi wanita-wanita untuk penelitian, singkatnya hidupnya dipenuhi penelitian.

Sendiri—klise—kebiasaan kuno. Dari sekian banyak perempuan paling hanya satu atau dua saja yang hinggap. Selebihnya dibiarkan begitu saja dan mereka yang sudah tahu seluk beluk Kant seperti apa atau paling tidak tahu tabiat kecil pemuda ini (termasuk yang buruk) pasti akan memilih pergi dan beberapa tidak hanya bertahan lama hanya satu atau dua bulan, setelahnya entah lari kemana. Kant merasa dalam situasi ini dirinya cenderung dipersalahkan secara total. Ia cenderung mengeruk keegoisan bagi dirinya sendiri. Satu yang paling ia ingat adalah ketika ia jatuh cinta pada muridnya sendiri.

Ini bukan mimpi, kenyataannya memang seperti itu.

Dulu, ia lupa nama desanya. Ketika ia tengah berkunjung ke salah satu desa untuk menghabiskan masa liburannya sampai Salem membuka gerbangnya kembali ia memutuskan untuk pergi ke salah satu desa dan melakukan penelitian disana sekaligus melakukan kunjungan kepada kakaknya yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Sore hari ia duduk-duduk di bangku halaman kuil membaca kisah klasik tentang pelaut dan romansa ombak yang memabukkan. Kala itu seseorang mendatanginya, ia kenal betul perempuan itu. Perempuan cerdas, terhormat dan garis keturunannya tidak diragukan. Ia kenal baik akan dedikasinya yang tinggi dan rasa disiplin serta percaya diri yang melampaui batas, gadis itu Agatha Thompson. Kant tidak munafik, lelaki kelahiran musim semi ini sama sekali tidak menampik kalau pertemuan itu mengundang hal yang tak biasa, menciptakan benih-benih konyol yang ia sebut rasa cinta. Mereka hanya bicara singkat dengan pertemuan intens setiap sore selama dua minggu dan berlanjut hingga berkirim surat sampai rentang waktu 2 bulan.

2 bulan, pada umurnya yang tidak lagi muda. Ia mulai mencari kebenaran akan keduanya, Kant mencoba menanyakan hal yang biasa ia tanya kepada gadis lain setelah perkenalannya dirasa cukup. Namun sekiranya seminggu sebelum pertanyaannya sampai tiba-tiba saja keturunan Thompson tidak lagi mengirimkannya surat, berhenti memberi kabar padanya. Kant menunggu, ia memberi waktu pada dirinya sendiri selama 3 hari, kemudian seminggu, kemudian sebulan dan ia mulai lelah dengan permainan hati yang tak sampai. Sejak itulah ia memutuskan untuk tidak lagi membuka hatinya agar tidak merasakan kecewa yang kesekian kalinya.

Meski terlihat baik-baik saja tetapi Lee tahu kalau sahabatnya tidak akan pernah baik-baik saja. Maka sewaktu malam berakhirnya keputusan bahwa ia dan Agatha menyudahi segala hubungan mereka, ia mendapat wejangan istimewa kalau mungkin saja orang yang selama ini dicarinya ternyata berada di sekitarnya, mungkin saja Tuhan sedang menyiapkan seseorang yang terbaik untuk Kant dan sebentar lagi pasti akan menemukannya. Ini lucu baginya wejangan itu hanyalah sebuah dakwah tanpa pembuktian, irrasional. Ia bisa gila secara sepihak, kau tahu. Menyebalkan ketika menerima sebuah kabar langsung dari pemiliknya kalau ia kini benar-benar menyedihkan. Membujang sendirian, menderita. Lee telah melamar pujaan hatinya Hyun Na yang selalu ia puja setiap detik, setiap mau makan, mau mandi bahkan mau buang air kecil. Menjijikan, tahu. Lee bisa mendadak puitis seperti orang tolol kalau sudah bicara tentang Hyun Na, dia sering nyanyi-nyanyi sendiri, sering tertawa sendiri bahkan nyengir sendiri sampai giginya kering. Kant sering bergidik ngeri kalau ketika ia tiba di ruang guru melihat Lee sedang mengelus-elus kaktus dan menatap durinya penuh cinta seakan duri-durinya adalah bulu mata Hyun Na atau lebih anggunnya bulu kaki Hyun Na.

Cinta itu segalanya, kata Lee.

Tahu apa si idiot yang satu itu?

Cinta itu buta, ya memang.

Cinta itu...... Penderitaan.

Yang berbuah manis pada waktunya.

God, damn!

Kau tahu karma? Dia mendapatkannya. Ya ya ya, Kant tahu kalau dirinya baru saja mendapatkan hukuman akibat ulahnya sendiri. Menyepelekan perasaannya. Hah, tak ada untungnya mendapatkan hati yang telah tiada. Masih untung ia diberikan karir yang gemilang. Sejak keputusan terakhir menutup kehidupan hatinya ia jadi lebih berhati-hati dengan perempuan manapun dan itu membuat gerah sahabat karibnya sendiri. Barangkali ia akan mendapat hidayah dari Tuhan.

Lucu sekali.

Pada kenyataannya, tak selamanya manusia sendiri dan tak selamanya ia merasa sakit 'kan?

Pada akhirnya Tuhan akan memberikan ia kebahagiaan sama seperti yang Lee rasakan. Bukan berarti ia tidak merasa iri ketika Lee menceritakan kehidupan pernikahannya, bagaimana malam-malam yang ia lalui bersama Hyun Na, bagaimana setiap pagi selalu ada yang membuatkannya kopi dan menyapanya ketika usai bertugas. Sial, itu semakin membuatnya pusing. Racauan Lee seperti dosa yang tidak akan pernah diampuni. Kant mati-matian menahan agar ia tidak meratapi setiap dongeng selamat tidur dari Lee dan berharap keesokannya ia masih bisa melihat Lee karena ia bisa saja berbuat brutal dengan mencekik sahabatnya yang satu itu.

Ah tapi itu cerita lalu toh sekarang saat ini seseorang tengah terbaring manis di sebelahnya, seseorang yang telah melewatkan satu malam paling manis bersamanya dan bersedia menerima kehidupannya dari awal hingga detik hari ini. Ariabelle Kant, namanya resmi berubah sejak upacara sakral keduanya kemarin. Gadis itu meringkuk dalam pelukannya, Kant sudah sejak lima belas menit yang lalu hanya diam menatap berlian paginya. Mengusap epidermis pipi pasangan hidupnya dan tidak membiarkan gadis itu terbangun hingga ia memutuskan untuk membuatkan sarapan.

Ia memiliki kebiasaan yang berbeda, Belle selalu mengantarkan makan malamnya dulu sewaktu mereka belum menjadi pasangan seperti ini, kali ini biar ia yang melakukan hal manis itu pada pasangan barunya. Memasak adalah salah satu keahliannya, ia cukup lama tinggal menyendiri di belahan dunia manapun. Jadi tidak diragukan lagi kalau ia pandai memasak untuk dirinya sendiri meski hanya membuatkan pancake saja dan menghidangkannya di atas meja. Merasa kurang maka ia menaruhnya pada meja kecil dan menatanya semanis mungkin. Ia ingin memperlakukan Belle seperti gadis normal lainnya tanpa menggunakan embel-embel penyihir. Tidak lupa 'kan kalau ia seorang Profesor yang mengajar Telaah Muggle. Maka ia menyusuri lorong rumahnya yang tidak jauh dari ruang tidurnya di desa Sallowsville, membuka pintunya dan membangunkan Ratunya dengan kecupan ringan di kening.

"Selamat pagi..."

Mata itu terbuka perlahan, tangan kecil itu teraih untuk mengucek mata. Kantuk masih tersisa tetapi Kant menaruh meja kecil itu di atas kaki Belle yang terbalut selimut dan wanita yang paling disayanginya setelah sang ibu memekik terkejut. Ia meraih Kant dalam pelukannya dan mencium pelipis lelakinya.

"Manis sekali, terima kasih." Belle menyiapkan alat makannya, memotong pancakenya menjadi potongan kecil-kecil dan mulai melahapnya.

"Enak?"

"Enak, kau yang membuatnya sendiri?"

"Ya, baguslah. Makan yang banyak, aku harus bersiap-siap dulu."

Belle mengerutkan keningnya, "Mau kemana?"

"Bekerja. Aku mendapat panggilan lagi untuk menyelesaikan satu laporan dari Kementrian." Ia mencoba tersenyum sebagai hiburan.

Mungkin, Belle ingin Kant tetap disini, sayangnya ia bukan tipikal pemaksa.

"Hng, ya sudah tidak apa-apa." Ia kembali melanjutkan makan tanpa melupakan langkah Kant yang menjauh dan mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.

***

Kembali membagi waktu untuk pekerjaan yang menumpuk. Kementrian seringkali tidak mau tahu apa yang dilakukan oleh pegawainya, padahal ia termasuk orang sipil. Seorang guru dengan gaji tak seberapa tapi Kementrian sering menjadikannya sebagai aset berharga. Tidak percaya? Memang selama ini ia bisa melakukan perjalanan darimana uangnya? Mengemis? Kant selalu mendapat asupan dana dari tempatnya bekerja, penelitian lelaki keturunan Jepang ini sangat berharga. Meneliti tingkah laku manusia, tata cara mereka hidup dan rahasia apa yang membuat muggle bertahan hidup tanpa sihir dan bagaimana cara penyihir berinteraksi dengan muggle. Banyak penelitian yang dikeluarkan Kant dan mendapat apresiasi berharga dari Kementrian. Terkadang ia harus rela dua puluh empat jam penuh bekerja tanpa peduli hal-hal kecil lain, makan misalnya atau ke gereja pun ketika dirinya berada di Salem. Kementrian tetap memintanya meneliti kehidupan muggle.

"Pagi, Tuan Kant."

"Ya, pagi."

"Selamat atas pernikahannya."

"Terima kasih."

Boleh ia menyebut ini sebuah kejutan kecil? Setiap orang yang ditemuinya sepanjang lorong Kementrian mengucapkan selamat padanya. Kant geleng-geleng kepala pun yang membuatnya benar-benar tidak habis pikir, ada sekitar empat karangan bunga yang mampir di dalam ruang kerjanya berikut dengan ucapan selamat atas hari pernikahan. Tanpa basa-basi dan beramah-tamah akan kehidupan pribadinya, Kant memposisikan untuk menaruh bokongnya dan segera berkutat dengan berkas-berkas yang menunggu untuk dibaca. Di ruang yang besarnya mencapai 8meter x 8meter ia duduk seorang diri dengan tumpukan berkas-berkas. Terlalu larut hingga tidak menyadari kedatangan seseorang yang membawa tumpukan berkas lain dengan senyum sumringah.

Kant mendongak, kejutan kecil. Pemuda Sullivan sudah berdiri di depannya.

"Oh kau, ada apa?"

"Lima puluh laporan dalam satu hari. Aku tidak mengerti kenapa penyihir begitu posesif akan dunia muggle." Lelaki itu menaruh dirinya tanpa perlu dipersilahkan untuk duduk.

Kant mengulum senyumnya, meraih tumpukan berkas lain dengan map tertera lambang resmi Kementrian pada sampul depannya.

"Mereka hanya belum terbiasa, Sullivan. Lagipula masih banyak hal-hal di dunia muggle yang harus dipelajari supaya penyihir dapat berbaur tanpa terlihat berbeda." Kant membuka salah satu laporan dan terkekeh geli kemudian menggeleng.

"Dan oh aku membawa ini." Sullivan menunjukkan padanya sebuah amplop cokelat dengan benang di depannya. Membuat Kant mengernyitkan kening. Bergegas mengambil amplop cokelatnya, membuka dan membaca isinya.

***

Penugasan lagi, Kant harus keluar kota lagi bulan Desember itu berarti 4 bulan lagi.

Lama-lama kehidupannya menyedihkan. Ia akan meninggalkan Belle untuk waktu yang lama. Ah, betapa pekerjaan ini membuatnya muak. Sejak membaca lembar penugasan yang diberikan kepadanya, ia menjadi jengkel setengah mati. Kementrian tidak memiliki hati nurani, seenaknya menugaskan orang yang baru saja menikah dan tanpa persetujuan ke daerah mana. Sial, Kant membanting dirinya ke kursi. Pukul delapan malam dan ia belum pulang juga. Rela meninggalkan Salem dengan mood yang tidak begitu bagus, pembicaraan dengan Sullivan pun nampak tak menarik. Jauh ia ingin menghubungi Lee dan tak ingin pulang kerumah terlebih dulu.

'Kutunggu kau di tempat biasa.'

Itu tulisan yang ia baca di selembar surat balasan milik Lee. Kant melipatnya dan memasukkan ke dalam saku mantel kulitnya, bergegas menuju tempat favorit keduanya. Apparate satu-satunya jalan paling praktis karena tidak perlu lelah meski penampilan menjadi berantakan.

Ia tiba, tidak sampai lima menit. Menyeret kakinya ke ruang guru Salem. Belle pasti sudah pulang, kelas juga sudah usai. Tidak ada yang tersisa kecuali guru-guru dan murid yang hobi berpatroli malam. Mengandalkan situasi yang menguntungkan ia segera menemui karibnya dan menceritakan apa yang mengganggu pikirannya.

***

"Aku pulang."

Kant menggeser pintu rumahnya. Rumah miliknya di desa Sallowsville sengaja didesain seperti rumah-rumah di Jepang agar ia tidak mengabaikan kultur tanah kelahirannya. Kalau biasanya di desa Sallowsville banyak rumah dengan gaya klasik atau minimalis ia lebih memilih ke arah Jepang. Dominasi cokelat dan putih menghiasi tembok rumahnya. Kant menaruh sepatunya di rak kecil di belakang pintu masuk dan menggantinya dengan sendal. Kemudian menyusuri lorong untuk menemukan dapur dan mengambil minum. Tenggorokannya mendadak kering. Tidak jauh dari dapurnya agak menyerong ke sebelah kiri ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga. Rumah Kant tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil paling tidak cukup ditempati oleh 5 sampai 6 orang atau lebih. Keluar dari dapur ia menuju lantai atas namun di pertengahan jalan ia berhenti mendapati televisi di ruang tamu menyala. Kant berhenti dan menyambangi ruang itu, mengernyitkan kening.

Seketika hatinya mendadak menciut melihat Belle tertidur di atas kursi.

Pasti dia menungguku pulang semalaman.

Dalam diam, Kant mematikan televisi dan menggendong Belle ke kamar. Ia sendiri merasa tidak enak untuk menceritakan kepada Belle kalau 4 bulan lagi ia harus meninggalkan Belle. Padahal pernikahan mereka baru berusia beberapa hari. Kant menghela nafas, setelah memposisikan Belle di kasur tepat di sebelahnya ia berbaring. Memikirkan bagaimana harus memberitahu Belle. Di satu sisi ia sebenarnya ingin mengajak Belle pergi menghabiskan masa-masa pernikahannya, berlibur ke pulau misalnya. Sayang kesibukan ini menyitanya di luar dugaan. Ia sendiri bingung harus melakukan apa, dia takut Belle menyesal atau marah karena Kant tidak bisa meluangkan waktu untuk keduanya. Tapi bukan perkara liburan, Kant tidak ingin meninggalkan Belle sendirian dirumah. Wanita terlalu rentan apabila ditinggal seorang diri dirumah, tetapi tidak mungkin mengajak Belle ikut pergi dengannya karena pekerjaan ini membahayakan.


Ketika ia menyuarakan masalah ini pada Lee, sahabatnya hanya menjawab kalau lebih baik membawa Belle ke Jepang. Sapporo salah satu tempat yang sangat cocok bagi keduanya, Belle bisa dititipkan dirumah orangtua Kant tanpa harus merasa bersalah karena di Sapporo Belle bisa menemani ibunya Kant. Saran Lee ada benarnya juga, cara itu lebih baik. Tapi bagaimana mengatakannya? Apa Belle akan marah padanya? Semakin dipikirkan semuanya terasa semakin memusingkan. Akhirnya Kant berusaha menutup matanya dan menghabiskan malam yang panjang dengan pikiran mumetnya. 

My words were cold and flat and you deserve more than that

======oo======

"Semalam pulang jam berapa?"

Kant mendongak, sekian menit menatap sarapan paginya tidak juga mengenyahkan pikiran rumit semalam.

"Jam satu. Aku bertemu dengan Lee dulu untuk mengambil berkas-berkas siswa." Kant mencoba tersenyum dan kembali menyuapkan sepotong sandwich ke mulutnya sementara Belle mengangguk mendengar dusta yang dikatakan Kant.

Maaf aku berbohong padamu.

"Jadi bagaimana pekerjaanmu?"

Sedikit tersedak dan ia batuk.

"Eh ya, begitu-begitu saja." Kant berusaha mengambil gelas berisi air putihnya.

"Begitu-begitu saja? Tidak ada yang memberi selamat atau kejutan?"

"Semua memberi selamat kecuali pekerjaanku." Susah payah ia mengatakannya. Tentu saja pikiran semalam masih menghantuinya dan akan terus menghantuinya sampai masa penugasannya tiba dan dia harus meninggalkan Belle seorang diri di Sallowsville.

Oh Tuhan, itu akan terjadi cepat atau lambat.

"Aku harus berangkat, maaf tidak bisa menemanimu lama-lama." Kant beranjak dari kursinya meraih mantel tebalnya dan menghampiri kursi Belle serta mengecup keningnya.

***

Kant menaruh kepalanya diatas meja sesampainya di Kementrian. Ia merasa pusing bukan main. Baru saja datang dan memasuki ruangan sudah ada 2 tumpuk berkas dan panggilan rapat pada jam 2 siang dan jam 3 sore. Belum lagi ia harus merampungkan materi untuk ujian FLEW dan HLEW. Oh tidak bisakan berhenti sebentar saja, ia ingin bernafas. Tidak bisakah pekerjaannya digantikan oleh orang lain?

Satu hal yang membuatnya kesal adalah ketika semua orang menjadi tidak sabaran. Mereka yang menunggu berkasnya untuk dianalisa dan disetujui oleh Kant mulai meneroronya menggunakan surat atau orang-orang suruhan yang menunggui Kant setiap tiga puluh menit sekali. Bagaimana kepalanya tidak mau pecah, hei? Ditambah lagi ia memikirkan kalau beberapa bulan lagi ia harus meninggalkan Belle sedangkan meninggalkan Belle sama sekali bukan hal yang dia inginkan. Kant memutuskan untuk mengambil pena dan menuliskan beberapa kalimat. Ia akan pulang cepat hari ini. Kalau perlu ia akan minta cuti untuk rehat sebentar dari pekerjaan di kementrian. Cukup, dia muak.

***

Pada akhirnya waktu akan menunjukkan betapa Kant merupakan lelaki dengan banyak dusta dan dia adalah laki-laki pengecut. 3 bulan sudah berlalu sejak surat panggilan dinasnya, dia bahkan tidak mengatakan apapun pada Belle. Padahal apa sulitnya mengatakan kalau dia akan pergi dinas? Apa sulitnya mengatakan kalau ia akan meninggalkan Belle sebentar saja untuk pekerjaannya? Baiklah, sebentar itu berapa lama? Hitungan bulan? Sayangnya Kant mendapat panggilan selama 3 tahun untuk memulai pekerjaannya. 3 tahun, sebentar katanya. Ini gila, orang waras macam apa yang menyuruh pengantin baru berpisah selama 3 tahun? Kementrian sudah pasti otaknya rusak. Kant berkali-kali memaki dirinya sendiri. Ia ingin melepas tanggung jawabnya sayang kontrak penelitian yang telah memanggilnya sudah ia tanda tangani sebelum pernikahan dan ia nampaknya setuju dengan waktu dinas selama 3 tahun.

Nyatanya jatuh cinta membuatnya lupa akan semua hal yang dilewatinya.

Kant menyeret langkah kakinya ketika malam sudah larut dan toko-toko di jalan Sallowsville sudah tutup. Musim dingin, tetap saja tidak ada libur dan ia baru saja kembali setelah menemui Lee di Salem. Minggu ke-enam musim dingin, malam memang dingin tapi ia tidak merasakan apa-apa dan mungkin mati rasa. Sesekali kakinya menendang tumpukan salju di jalan, memasukkan tangannya ke dalam mantel yang tebal dan ia berhenti di depan rumahnya. Sudah gelap, ia sudah memperingatkan Belle untuk tidak lagi menunggunya setelah kejadian pertama kali ia hidup bersama dengan Belle. Ia tidak mau membuat Belle sakit dengan terus-terusan membiarkan gadis itu tidur di ruang keluarga, di sofa, di depan televisi. Kant tidak ingin membuat Belle menunggunya, rasanya ada rasa bersalah yang terus menggerogotinya.

"Aku pulang..." Ujarnya dengan suara parau. Duduk di depan pintu masuk sembari membuka sepatunya. Menunduk diantara lututnya dan melepaskan tali sepatunya.

"Malam sekali?"

Kant tertegun, ia mengenali suara ini. Enggan menoleh seraya melepas sepatunya. Sudah dibilang jangan menunggunya malah sekarang belum tidur.

"Aku sibuk..." Kant bangkit, berjalan dengan sedikit menunduk dan mengambil sendal serta menaruh sepatunya di rak belakang pintu.

"Bertemu Lee lagi? Kapan punya waktu untukku?"

Kant menegapkan tubuhnya, di lihatnya Belle dengan piyama merah jambu lembut dan rambut yang tergerai. Matanya tidak menunjukkan tanda-tanda ia habis tidur dan kedua tangannya berada di belakang tubuh. Kant menaikkan alisnya, merasa aneh dengan Belle malam ini.

"Belum tidur?" Ia tetap tak melangkah maju dan menciptakan jarak dengan Belle. Seolah takut Belle menyembunyikan jebakan diantara keduanya.

Respon perempuan yang dinikahinya empat bulan lalu hanyalah menggeleng.

"Aku menunggumu..." Katanya merajuk dengan wajah memelas minta dipeluk. Kant mendengus, padahal sudah berkali-kali ia katakan kalau Belle tidak perlu menunggunya lagi sejak malam itu. Akhirnya ia mendekat, menatap seraut wajah yang dirindukannya siang dan malam meskipun setiap hari mereka bertemu.

"Aku 'kan sudah bilang jangan menungguku lagi."

"Iya, aku tahu..." Belle membawa satu tangannya dan menegakkan telunjukknya menyusuri dada Kant.

"Terus kenapa?"

Kenapa perempuan susah ditebak?

"Bukan keinginanku untuk menunggumu malam ini." Ujarnya manja. Belle menaruh kepalanya di dada Kant dan ia hanya menangkap gelagat aneh yang tak biasa ini. Sambil memutar matanya dan membiarkan Belle dengan tingkah anehnya.

"Lalu? Apa yang salah denganmu? Ini sudah sangat larut, ayo kita tidur." Kant merengkuh bahu Belle dan mengajaknya ke kamar. Namun Belle tidak bergerak, ia hanya diam dan menatap sebal. Kant mengernyit, meminta penjelasan tanpa mengucapkan apapun.

"Kalau ini keinginan dia, aku bisa apa? Dia ingin menunggu ayahnya pulang."

Kant mengernyit lagi, kebingungannya bertambah. Dia siapa yang dikatakan Belle? Sementara kedua matanya tertuju pada tangan Belle yang menunjuk perutnya dan matanya membelalak. Antara bingung dan terkejut.

"Dia? Siapa? Ayah? Maksudmu?"

Baiklah ini akan bertambah gila. Dia yakin besok harus dibawa ke psikiater.

Belle mendekat, merapatkan jarak keduanya. Tangannya yang mungil dan jarinya yang jenjang menyapu pipi Kant.

"Bisakah ucapkan selamat malam pada calon anak kita, ayah?"

Kant masih diam terpaku di tempatnya, kemudian tertawa kecil. Kini dia mengerti karena Belle mulai menatapnya dengan tatapan sebal. Kant membiarkan tangannya menghabiskan lingkaran keduanya, mengangkat tubuh Belle yang ringan ke udara dan mereka berputar-putar seperti berdansa. Kant tidak berhenti tertawa dan sesekali berteriak senang. Matanya berbinar, menyatu dengan senyum puas Belle yang memberikan kabar baik padanya. Akhirnya waktu membawanya pada babak baru kehidupan.

"Lihat, lihat! Positif! Tadi aku pergi ke St. Octavianus dan bertemu Sagitarius, katanya sudah 3 bulan." Belle berseru manja dalam gendongannya. Kant mengecup singkat Belle untuk menunjukkan betapa ia bahagia dengan keluarga kecilnya ini.

***

"Kita akan ke Sapporo?" Belle melebarkan matanya ketika Kant mengatakan kalau mereka akan bermukim sementara di Sapporo, "Itu artinya aku meninggalkan pekerjaanku? Kita akan ke rumah ibu?"

Kant mengangguk, sejak dinyatakan mengandung Belle jadi lebih cerewet dari biasanya. Untungnya Belle jarang mengalami morning sick selama masa kehamilannya sekarang, Belle juga lebih banyak makan terutama cokelat. Belle selalu meminta Kant membawakannya macam-macam cokelat setelah ia pulang kerja.

Berita tentang Belle sedang berbadan dua, sudah sampai di telinga Lee dan Hyun Na. Mereka turut senang dengan kabar baik yang satu itu, katanya Makabe akan punya teman. Kant hanya tertawa mendengar komentar teman-temannya. Ia juga sering berdiskusi dengan Lee dan Hyun Na, mengingat ia harus menjadi suami siaga untuk Belle. Katanya adalah hal yang wajar ketika wanita tengah mengandung dan meminta banyak hal aneh.

"Tapi kok mendadak sekali?" Belle menjilati permukaan sendok yang sudah diolesi selain cokelat dan menatap Kant penuh pertanyaan.

Pagi-pagi sudah harus berdusta.

"Minggu depan aku ada panggilan tugas..."

Tapi pada akhirnya ia sudah tak bisa berbohong lagi.

"Tugas?"

"Ya, penelitian yang kuajukan sebelum kita menikah sudah disetujui Kementrian dan Menteri Sihir sudah menandatanganinya. Ia memintaku untuk segera menyelesaikan penelitian itu."

"Sebentar, lalu kenapa kita harus ke Sapporo? Memangnya kau mau kemana? 'Kan hanya meneliti saja."

Kant meneguk ludahnya, membiarkan roti panggangnya nyangkut sebentar di tenggorokan.

"Aku akan melakukan penelitian di Afganistan dan Vietnam. Selama 3 tahun, Belle."

Suasana mendadak hening, hanya ada bunyi jarum jam yang berdetak. Masing-masing terpaku oleh sepasang bola mata. Baik Kant maupun Belle sama-sama menyimpan keterkejutan terutama Belle. Perempuan itu benar-benar terkejut dengan berita penugasan selama 3 tahun dan berada di luar Amerika.

"Jadi itu sebabnya kau ingin kita ke Sapporo?" Tanya Belle memecah keheningan sedangkan Kant hanya mengangguk dan mengelap sekitar mulutnya.

"Aku ingin ada yang menjagamu selama aku pergi, Bells. Aku tidak ingin kau kenapa-napa. Maaf aku tidak bisa menemanimu, aku tahu ini menyedihkan tapi aku... Aku tidak..."

Belle menunduk beberapa saat dan kembali mendongak dengan sebuah senyuman di wajahnya.

"Aku tahu, Kant. Kau bertanggung jawab atas pekerjaanmu. Aku mengerti kau tidak bisa seenaknya dengan pekerjaan ini. Jangan khawatir dengan keadaanku, aku akan baik-baik saja."

Tapi dia tahu Belle tidak baik-baik saja.

Sudut matanya, ada bening yang tertumpuk dan siap menetes dalam sekali kedip. Kant mendorong kursinya menjauh, meninggalkan tempatnya dan menghampiri Belle merengkuhnya dari belakang dengan harapan pelukan ini tak sekadar menenangkan Belle tapi menguatkannya. Erat sekali, seakan tidak ingin melepas barang sedetik saja.

"Maaf, aku tidak bermaksud meninggalkanmu sendiri dalam keadaan seperti ini. Maaf, aku tidak bisa menjadi suami yang baik, tidak bisa menemanimu di saat-saat sulit seperti ini, maaf."

Karena permintaan maaf tidak cukup untuk menggantikan waktu yang hilang. Ia beruntung Belle merupakan wanita dengan hati yang lapang. Senyumnya merekah bersamaan dengan tetes demi tetes airmatanya.

"Tidak apa-apa, Kant. Ada ibu yang akan menjagaku. Jangan khawatir, aku akan baik-baik saja."

Ia menekankan pada kalimat aku akan baik-baik saja. Rasanya asing begitu kata baik-baik saja terdengar. Ia seperti ditampar berulang kali dan Kant memeluk Belle semakin erat. Dia tahu Belle menangis dari cara bernafasnya yang tidak beraturan serta isak yang terdengar sesudahnya. Ia meminta maaf, ribuan bahkan jutaan kali meminta maaf untuk waktu yang hilang setelah ini.

***

Sepenuhnya perjalanan ini didukung penuh oleh para sahabatnya meskipun Lee dan Hyun Na bahkan Andrea ingin menolongnya menjaga Belle, memang sudah tabiatnya tidak ingin merepotkan orang lain. Terlalu ingin menjadi sosok yang mandiri. Dengan diantar para sahabatnya, Kant berangkat menuju Sapporo.

Perjalanan berjalan sangat cepat karena ia menggunakan portal menuju kediaman keluarganya. Tidak sampai 1 jam keduanya bahkan sudah sampai di depan sebuah rumah terbuat dari kayu berdominasi cokelat. Rumah yang sama persis dengan milik Kant di Sallowsville. Keduanya bergandengan tangan memasuki halaman rumah, melongok ke dalam sebentar. Rumah ini tidak terlalu luas, sederhana tapi indah. Ada tembok yang mengitari rumah ini dan ada halaman serta di tengah-tengah ada batuan setapak. Di sebelah kanan terdapat halaman yang lebih luas dan dipakai untuk menjemur pakaian, tidak jauh dari tempat menjemur pakaian ada taman kecil berbentuk kotak, tidak besar dan sepertinya ditanami apotek hidup. Belle mungkin pernah mendengar kalau ibu Kant adalah seorang penyembuh dan beliau kerap kali memakai tumbuh-tumbuhan dirumah sebagai bahan dasar pembuat ramuan.

"Ayo, masuk. Ibu pasti ada di dalam."

Kant melangkah, merangkul bahu Belle untuk segera memasuki rumahnya. Di bukanya pintu, yang membedakan rumah ini dengan rumah Kant adalah pintunya. Kalau model pintu di rumahnya dibuka dengan cara menggeser kalau rumah ibunya dengan cara biasa, terdapat kenop pintunya. Pintu terbuka dan Kant mengucap salam seraya melongok ke dalam rumah.

"Ibu? Aku pulang!" Serunya setengah berteriak. Di sampingnya ada Belle yang masih diam mengamati seisi rumah. Rumah ini tidak tingkat, sederhana tapi unik. Ia berdiri mengarah pada lorong yang di setiap sisinya terdapat ruangan. Kant melangkah lebih dulu melongok ke setiap ruangan dirumah ini mencari ibunya.

Belle hanya diam di tempatnya sampai kemudian ia mendongak dan histeris. Kant mendengar teriakan Belle dan langsung lari menghampiri istrinya.

"Ada apa? Ah ibu!! Darimana saja?" Sesosok wanita tua yang bungkuk dan ringkih berdiri di depan Belle. Surainya sudah tidak lagi hitam, tubuhnya kurus dan kulitnya sudah keriput. Matanya cekung dengan hidung yang tajam dan bibir pecah-pecah. Kulitnya cenderung kering dan jalannya tertatih. Kant menghampiri ibunya dan merangkul tubuh ringkih orang yang melahirkannya.

"Ibu, aku pulang dengan Belle tentunya." Ia langsung mendapat pelukan dari wanita yang mengandungnya.

"Sudah lama ibu menunggumu, Kant. Ah Belle, maaf tadi aku mengagetkanmu. Seharusnya aku tidak melakukannya ya." Ibunya terkekeh membuat matanya menyipit dan ia tidak mengerikan lagi. Diam-diam Belle menghela nafas lega.

Kemudian ibunya menyuruh Belle dan Kant untuk duduk di ruang keluarga. Di sana terdapat meja pemanas dan televisi. Ketiganya mulai berbincang-bincang, Kant memberitahu ibunya kalau Belle sedang mengandung buah cintanya dan tujuannya datang ke Sapporo adalah untuk menitipkan Belle karena Kant harus meninggalkan Belle untuk sebuah tugas. Ibunya menggeleng dan berkali-kali mengutuk Kementrian, wanita tua renta itu tentu saja marah karena waktu Kant akan tersita namun di sisi lain ia merasa bangga memiliki menantu yang pengertian. Belle tertawa mengatakan pada keduanya kalau ia tidak khawatir ditinggal karena ada ibu yang akan menjaganya. Kant lega karena lusa dia sudah berangkat menuju Afganistan.

***

"Jangan lupa makan yang teratur, kalau sakit minum obat, jangan begadang, jangan melakukan hal yang aneh, kalau sudah sampai secepatnya kirim surat, kabari aku."

Belle mulai berkhotbah sembari memasukkan barang-barang Kant ke dalam tas. Kant mengulum senyumnya, memerhatikan gerakan Belle yang cekatan dan repot. Ibu muda ini menggemaskan rupanya.

"Nah sudah! Tidak ada yang ketinggalan, ingat ya jangan—" Kant mengambil langkah cepat untuk menyumpal Belle dengan bibirnya agar perempuan itu tidak lagi menceramahinya selama beberapa menit.

"Jangan begadang, harus makan teratur dan harus kabari dirimu secepatnya." Membentuk lengkungan sabit di sudut bibirnya. Belle mengangguk, jelas sekali ada rona merah disana. Kant mengulurkan tangannya, mengacak-acak rambut Belle dan meraih tasnya. Jam 2 siang, ia sudah harus tiba di Kementrian karena ia dan timnya harus segera berangkat. Belle tidak diperbolehkan mengantarnya sehubungan dengan keadaannya yang tengah hamil di usia rentan. Setelah pamit pada ibunya dan mengecup Belle, Kant langsung melakukan apparate ke Kementrian.

Jujur saja, ini hal yang paling berat baginya. Padahal seharusnya ia berada di samping Belle selama wanita itu mengandung anaknya.



I’m just too far from where you are; Let me go home


----------------***-----------------

Afganistan, Timur Tengah. Ia sudah berada disini kurang lebih 2 bulan. Membosankan, penelitian tentang muggle, karakteristik mereka, pada akhirnya ia terseret sebagai mata-mata. Agen ganda istilahnya, tapi sayang Kant tidak menyadari. Terlalu kalut, setiap hari kepalanya hanya penuh dengan Belle, Belle dan Belle. Puluhan surat sudah mendekam di kamarnya terlalu lama, semakin hari hanya sedikit surat yang dapat dibalas Kant. Keadaan semakin keruh setiap harinya, belum lagi pengaruh politik. Bias dari Soviet mendadak masuk dan bertentangan dengan Amerika. Ia benci politik, serius. Dirinya dilibatkan, suasana semakin keruh ketika terjadi kudeta dan Kant merasa kondisi semakin tidak nyaman. Benda-benda asing di angkasa diawasi secara ketat sehingga ia tidak bisa mengirim surat kepada Belle. Selama berbulan-bulan sampai perang dingin tiba. Afganistan mendadak kacau, ia dan timnya sulit bergerak untuk penelitian. Mereka dikawal ketat, disangka sebagai mata-mata Amerika padahal identitasnya sudah disamarkan. Diam-diam Kant kecewa, ia jadi sulit komunikasi dengan Belle. Surat terakhir yang datang adalah ini.

Hai, Kant.

Usia kandunganku sudah menjelang kelahiran. Sebentar lagi kita akan menjadi orangtua yang nyata. Kata dokter, bayi kita sehat. Mereka akan menjadi anak-anak yang kuat. Terima telah membawaku ke Jepang, ibumu senang sekali karena ia akan menjadi seorang nenek. Hmm, aku harap kau baik-baik saja. Aku lihat berita di televisi, katanya suasana disana sedang kacau? Kau tidak apa-apa ‘kan? Jangan lupa makan teratur, cepatlah pulang. Aku merindukanmu dan juga bayi kita.

Salam rindu,
Istrimu.

Tangannya gemetar saat lembaran itu datang, kabar terakhir yang dibacanya dari Belle setelahnya tidak pernah ada lagi surat yang datang. Kant selalu berada di luar jauh dari mess-nya di Afganistan. Tenaganya diforsir keras untuk penelitian, Kementrian tidak mau tahu kendala apapun yang terjadi di Afganistan. Mereka yang kemana-mana dikawal menggunakan senjata api, ditodong sana-sini, bahkan setiap saat bisa mendengar bunyi ledakan granat tanpa jeda. Tapi penelitian masih berjalan, ia lelah. Lelah mengamati semuanya, ia ingin kembali—ingin melihat bayinya. Surat yang datang terakhir sekitar dua minggu, lalu Belle apa kabarnya? Dia tidak bisa mengirim surat, well benda-benda diangkasa dikawal sangat ketat. Ia tidak bisa sembarangan menerbangkan burung hantunya bahkan ketika malam.

Bersabarlah..

“Penugasan ulang! Hari ini kita berangkat ke Vietnam!” Josh, salah satu anggota timnya menatapnya bahagia. Ha, kau senang?

Kant meraih tasnya dengan malas, menggantungnya di bahu dan bergegas berjalan. Penelitian semacam antropologi di Afganistan sudah selesai, mereka kembali ditugaskan ke Vietnam. Di tengah perang yang berkecamuk, tahu apa rasanya? Menyedihkan. Waktunya seringkali terbatas, begitu menjejakkan kaki di Vietnam ia hening sejenak bersama tim-nya. Tidak ada mess, hanya barak-barak pengungsian. Banyak bangunan luluh lantak dan kebanyakan menjadi puing. Ia tiba di sebuah kota kosong, tidak tahu apa namanya. Hancur lebur seperti habis di bom, ia bersama lima orang lainnya berdiri terpaku di depan helicopter yang mengantar mereka. Saling berpandangan, apa yang akan mereka teliti disini kalau tidak ada manusianya?

Pada akhirnya kakinya tetap melangkah, menuju petak barak yang tersedia. Tidak jauh dari tempat mereka turun tadi. Disanalah banyak barak-barak yang ternyata dihuni oleh penduduk Vietnam. Mereka, kurus sekali, perut mereka buncit, kulit mereka pucat kumal, hanya memakai pakaian seadanya, benar-benar kondisi yang menyedihkan. Kant bersama timnya bergegas mengeluarkan bantuan seadanya, apapun yang berguna di saat kondisi darurat seperti ini. Mereka memang dibutuhkan pada dasarnya ia tahu kenapa Kementrian mengirim mereka kesini. Semuanya hanya permainan politik, yes. Dia sudah hapal, nasib durjana macam politikus mentah ala-ala koboi Amerika. Mereka itu pejantan tangguh, siap mencabik tapi juga siap mengulurkan tangan untuk mengobati, makanya tak heran.

Vietnam semakin kacau, ketika dua kekuatan besar menyatu, memberikan definisi peperangan dalam keadaan deterrence. First track second track, Amerika mulai menekan Soviet untuk mundur, sayang komunis tak ingin mengalah. Beberapa orang Amerika di Vietnam segera ditarik paksa, tetapi ia dan timnya terkungkung di wilayah musuh. Kant dan timnya berada di wilayah selatan, terjepit oleh komunisme. Sedangkan warga Amerika di Selatan sebagian sudah dipulangkan. Sadar akan nasibnya yang hanya tinggal menghitung waktu ia diam sejenak. Tidak ada yang bisa dilakukannya bahkan saat Amerika mulai menggempur wilayah Utara dengan bom mereka. Habis sudah granat ditebarkan, Kant dan timnya melarikan diri dengan susah payah, bersembunyi bersama pengungsi lain, mereka tiarap. Suara berdebam keras, ledakan tak berhenti, ia nyaris kehilangan anggota badannya kalau saja tidak punya kemampuan lari yang cepat.

***

Keadaan semakin parah, Vietnam kacau balau. Belle ingat, ini sudah detik-detik terakhir Kant menunaikan tugasnya. Ia dan kedua anaknya duduk di depan televise sembari berharap-harap cemas. Tidak pernah ada kabar sejak dua minggu sebelum kelahiran putra dan putri  keduanya. Kant seakan lenyap, Belle sempat meminta Lee mencari tahu melalui Kementrian namun informasi yang didapat hanya sekadarnya. Lee mencuri berita dari Sullivan, Kementrian hanya mengatakan Kant masih hidup dan sudah dipindahtugaskan ke Vietnam. Daerah perang yang tengah berkecamuk. Setiap hari televisi semakin membuatnya depresi, setiap hari yang ada hanya berita penyerangan, bom, granat atau apa saja yang meledak. Belle hanya bisa berharap Kant bukan salah satu korban peperangan. Ia ingin suaminya kembali dengan selamat.

“Ibu, boleh aku matikan tivinya?”

Belle menoleh, sulung dari kembarnya memergoki Belle tengah menggigiti bibir bawahnya. Menatap nelangsa tayangan di televisi.

“Tidak perlu, Judith…” Ia meraih tangan anak sulungnya. Melukiskan sebentuk sabit dengan cekungan bola mata penuh air mengembang di sudutnya.

“Kapan ayah pulang? Aku tidak pernah bertemu ayah, ibu. Ayah seperti apa? Kapan kita bisa bertemu ayah?” Kali ini si bungsu Kazumi yang mengatakannya.

Belle, sekali lagi hanya melemparkan senyuman, menahan sedih. Lantaran suara anak-anaknya lah yang membuatnya ingin menangis. Kant mengingkari janjinya, bukan 3 tahun melainkan selama 7 tahun ia berada jauh dari keluarga. Tidak pernah kembali, kepada anak-anaknya Belle hanya dapat menceritakan bagaimana ayah mereka, wujudnya, sifatnya, apa pekerjaannya, kebiasaannya dan semua hal tentang Kant hanya diketahui anak-anaknya melalui cerita Belle tanpa melihat langsung wajah ayahnya. Belle mulai lelah, surat-surat yang dikirimnya tak pernah mendapatkan balasan dari Kant, lumpuh total. Komunikasi terputus, ia sempat depresi dan putus asa, ia sempat tidak ingin bicara dengan siapapun termasuk Lee. Sayangnya sahabat karib Kant tidak menyerah, Lee membujuknya meyakinkan bahwa Kant masih hidup dan tidak akan melupakan Belle. Tetap saja, tujuh tahun bukan waktu yang sebentar ‘kan?


Lee yang mengurus Belle dan anak-anaknya, dibantu oleh Hyun Na. setiap kabar apapun, setiap detail sekecil apapun tentang Kant tak pernah ia lewatkan. Hidup atau mati, ia akan terus menunggu.

***

1973—Kant dan timnya ditangkap, ditahan sebagai tahanan perang. Ia dikurung dibalik jeruji besi dan menjadi topic hangat. Seharusnya ia bisa menggunakan sihirnya, tapi ketahuilah ini dunia muggle. Ia tidak bisa seenaknya menggunakan sihir atau mantra apapun karena akan fatal akibatnya. Berhari-hari berada di tengah medan perang tanpa perangkat militer sangatlah menyiksa, niatnya meneliti hanya sebatas 3 tahun hempas sudah. Ini sudah tahun ke 7 dan Kant beserta timnya sama sekali belum menyentuh rumah. Mereka terkurung dalam kondisi perang ini. Penderitaannya semakin bertambah ketika hidupnya berada di dalam sel, makan hanya seadanya, ia tidak terurus, yang paling penting, dia rindu keluarga kecilnya.

Apa kabar Belle?

Apakah dia sudah melahirkan?

Kalau sudah bagaimana anak mereka?

Seperti apa wujudnya?


***

 29 Maret 1973—dengung mesin terdengar begitu keras. Dengan tangan berada di belakang dalam keadaan terborgol, ia dilepas bersama lima rekannya. Pembebasan ini sudah ditunggu lama sekali oleh Kant. Perang sudah usai, ia diputuskan untuk dikirim kembali ke Amerika. Penderitaannya selesai sudah, ia memasuki transportasi yang disediakan, bersikap selayaknya manusia, melindungi diri tanpa menggunakan tameng sihir apapun, semua murni dirasakannya, siksa penderitaan saat perang.

“Ibu, rapi sekali? Kita mau kemana?”

“Kita akan bertemu ayah.” Belle menjepitkan surai Judit Isabell anak sulungnya dengan wajah sumringah.

Dia sudah mendengar kabar kalau hari ini Kant akan pulang bersama timnya. Beberapa bulan yang lalu, ia semakin terpuruk dengan berita Kant ditangkap dan ditahan sebagai tahanan perang. Ia tidak bisa membayangkan Kant hidup di dalam jeruji besi, pasti menderita sekali. Ia sendiri menangis ketika kabar itu mampir di telinganya hanya saja di depan anak-anaknya ia harus terlihat baik-baik saja.

“Ayah? Ayah pulang?” Judith nampak begitu senang.

Gadis bersurai hitam dengan mata pekat jelas merupakan pantulan Belle. Keduanya mirip sekali sedangkan bungsu dari kembar pengantin ini, Kazumi. Benar-benar mirip Kant, mata, hidung, dagu bahkan pipi. Kazumi lah kekuatannya selama Kant tidak ada, wajah yang serupa dengan Kant yang membuatnya rindu setiap hari. Ketika Judith selesai dengan penampilannya, Belle menghampiri Kazumi dan memeluknya erat-erat, menaruh dagunya di atas bahu sang bungsu dan menangis untuk melegakan perasaannya beberapa menit.

***

Kementrian begitu ramai, bersama dengan Lee dan Hyun Na, ia menunggu di sebuah lapangan luas di area kementrian. Dengan gaun biru laut tanpa lengan sebatas lutus dilapisi cardigan putih susu, ditemani kedua putra dan putrinya ia menunggu dengan tidak sabar kendaraan yang membawa suaminya selama tujuh tahun.

Di kedua sisinya Judith Isabel menunggu sang ayah dan adiknya Kazumi Lroy. Menatap lapangan terbang dimana ayahnya akan menunjukkan wujudnya. Ayahnya akan datang, memperlihatkan sosoknya di depan. Setiap hari selama tujuh tahun hanya mendengar cerita ibu tentang ayah, tentang ayah yang sibuk tetapi menyayangi keluarga kecilnya. Akhirnya ia akan dipertemukan dengan ayahnya.

“Ibu, kapan ayah sampai?”

Belle menoleh, mengembangkan senyumnya, “Sebentar lagi. Kita tunggu saja.” Ia semakin erat menggenggam tangan Kazumi. Semua yang berada di sini di lapangan belakangan kementrian, mereka adalah keluarga yang menunggu sanak saudara, suami, kakak, adiknya pulang dari medan pertempuran. Meskipun Kant bukanlah seorang tentara tapi kehadirannya sangat berharga.


***

Ia pulang, ke rumah. Hari yang ditunjuknya sejak bertahun-tahun lalu, dimana ia dipisahkan dari keluarganya oleh Kementrian. Setelah melewati banyak masa yang membuat perutnya mual, dari mulai ditempatkan di Afganistan kemudian Vietnam. Dari masa paling tenang sampai masa paling hancur, ia mengalaminya bersama para rekannya. Wajah yang mulai ditumbuhi rambut di sekitar rahang dan dagung, serta tubuh yang semakin kurus dengan pakaian lusuh. Barang yang dibawanya hanya sedikit saja selebihnya sudah ditahan oleh oknum tak bertanggung jawab. Sepanjang perjalanan menuju Amerika ia hanya terdiam, Kant memikirkan bagaimana nasib keluarganya, bagaimana Belle dan anak-anaknya. Sampai ketika deru semakin riuh dan turun perlahan, matanya menangkap di balik cahaya surya yang menyilaukan. Di antara setumpuk manusia di lapangan kementrian. Belle disana dengan Lee dan Hyun Na dan dua anak kecil yang digenggamnya. Kant tidak mengenali keduanya, ia menyipitkan mata berkali-kali, mengedipkannya berkali-kali juga.

Begitu kakinya menjejak, ia sedikit dipapah oleh beberapa orang yang memakai seragam. Jalannya tertatih hingg tiba di depan orang-orang yang dikenalinya. Rasa haru, bahagia bercampur menjadi satu.

“Tadaima…” Katanya dengan suara lemah. Belle nyaris melompat kearahnya, memeluknya seakan tak ingin melepaskannya barang sedetik pun. Kant merasa pundaknya basah, ia masih sedikit pusing akibat kejadian-kejadian yang menerpanya. Di sisi lain Lee menghampiri dan menepuk pundaknya. Kant mengangkat tangannya balas memeluk Belle erat-erat. Tujuh tahun yang hampa, sepi dan tidak berwarna. Setengah kehidupan hancur dan kandas, tidak ada kesempatan untuk pulang. Keadaan yang membuatnya menderita, untungnya Belle tidak menanyakan apapun yang terjadi padanya—hanya sebuah pelukan hangat sebagai sambutan selamat datang kembali yang sangat lama serta kecupan singkat penuh airmata membawanya kembali pada kehidupan yang sebenarnya.

“Jangan menangis…” Menghapus airmata Belle dengan kedua ibu jarinya. Disana tertera senyuman yang ingin dilihatnya—selalu selama tujuh tahun dan menghilang. Belle berbalik, meraih kedua anak kecil di belakangnya dengan senyum ceria.



“Judith, Kazumi, ini ayah.” Sebuah senyuman lebar diiring tetesan airmata yang tiada henti. Ia bisa melihat di mata keduanya ada rasa kelegaan dan rindu yang bercampur jadi satu. Belle mendongak, melihat bagaimana reaksi Kant setelah ini. Begitu kedua anaknya melompat dan Kant dilihatnya berlutut memeluk anak-anaknya menjadi harga yang tidak pernah terbayar apapun. Kebersamaan yang utuh milik keluarga kecilnya yang akan selalu ada meskipun jarak membentang ribuan bahkan jutaan kilometer. Di dekat Hyun Na, Belle bersedekap, menutup mulutnya, pundaknya naik turun tidak karuan. Ia menangis sejadi-jadinya; ia bersyukur Kant kembali meski dalam kondisi yang kurang baik. Hatinya terketuk hebat ketika Kazumi dan Judith memeluk Kant erat-erat, bertiga yang tidak akan dipisahkan kembali. Tujuh tahun tidak saling bertemu dengan rindu yang menggempur. Kant menghampiri Belle sembari menggendong Kazumi, di sebelahnya Judith berlari kecil kemudian meraih tangan Belle. Kant merengkuhnya membawanya dalam bingkai keluarga kecil yang bahagia sebab pada akhirnya menunggu tak akan sia-sia jika dilakukan dengan bersabar.