“Nyx!”
Dihampirinya
satu-satunya pintu yang dikenali oleh seorang Louis. Diketuknya secara brutal
dibantu ekspresi panik, semi pucat, sekaligus ketakutan yang menerkam. Tetapi
bukan Louis namanya bila ia tidak bisa menyembunyikan emosinya terhadap orang
lain kalau bukan pada orang yang ditujunya. Pintu berderit, terbuka,
memperlihatkan seorang anak lelaki bersurai pirang, tidak lebih tinggi darinya.
Wajahnya menampilkan emosi tak senang, barangkali laki-laki memang punya dendam
pribadi dengannya di saat ia tidak tahu kesalahannya apa dan muncul berbagai
pertanyaan yang ingin diucapkan. Louis menggeleng, bukan saatnya. Maka ia
merapikan diri di depan sang pemuda.
“Nyx
ada?”
“Sedang
tidur. Kau? Louis?”
“Err,
ya. Boleh aku masuk? Ada berita penting yang harus aku sampaikan.” Mendesak,
semakin tidak menyenangkan. Ah kau pikir ia suka dengan keadaan darurat begini?
Sayangnya si pemuda malah diam di tempat tidak bergeming barang sedikit pun
malah menatapnya dari ujung kaki sampai kepala, alisnya menukik sebelah dan
nampak sewot. Oh ayolah, Louis bukan seorang kriminil jalanan, reputasinya di
Salem sangat baik, tolong jangan dinodai.
“Besok
saja kembali lagi.” Benar ‘kan kehadirannya tidak diterima.
“Tidak
bisa, aku harus cepat-cepat memberitahu Nyx.”
Nampaknya
pemuda ini bebal, kelewat sebal dengan Louis. Setengah pintunya tertutup namun
tangannya terulur, berusaha membuat celah.
“Tidak
ada yang pernah menolak Fergusson sekalipun anaknya sendiri dan kalau ini
terjadi, aku bisa pastikan Nyx tidak akan pernah kembali lagi.”
Pada
dasarnya Louis tidak pernah suka mengancam, dia lebih suka memakai cara halus,
lebih suka dengan kekeluargaan, selagi suatu masalah bisa dibicarakan secara
baik-baik, selagi solusi bisa didapatkan dengan kepala dingin untuk apa
menyiapkan air mendidih dan menyiramkannya? Louis menunggu beberapa detik
sampai pemuda itu menyerah dan melebarkan jarak daun pintunya memperlihatkan
kembali bentuk wajah sebalnya pada Louis dan kali ini membiarkan pemuda itu
melepas mantel dan menggantungkannya di samping pintu kemudian duduk di ruangan
kecil tak jauh dari pintu masuk.
“Ada
apa?”
Masih
dengan nada yang sama, tekanan yang sama dan ekspresi yang sama. Louis tidak
bergerak, ia tetap diam. Pemuda keturunan Napoleon ini tidak perlu bertanya
siapa pemuda ini, darimana asalnya, Odessa tunggal sudah cerita padanya,
semuanya tanpa terkecuali. Biar ia rinci, nama pemuda ini Andrew Dixon dari
asrama Nadirs, lahir di Boston sehari sebelum Valentine, keturunan muggle, anak
bungsu dari tiga bersaudara, ayahnya seorang pembuat roti, ibunya menekuni
bidang yang sama hanya beda jalur; catering. Memiliki dua kakak perempuan,
selama sekolah di Salem ia tinggal di Sallowsville bersama keluarganya yang
lain namanya Merry Joanne. Merry Joanne, tidak bisa disebut keluarga paling
tidak perempuan setengah tua itu cukup akrab dengan Andrew. Na’ah selesai ‘kan?
Jangan tanya Louis darimana ia mendapat semua informasi itu. Untuk seukuran
keluarga Napoleon, terlalu mudah baginya untuk mencari tahu asal-usul seseorang
tanpa harus ikut campur atau bertanya langsung, semuanya dilakukan secara
instan, yes.
Louis
duduk menyilangkan kakinya, menengadah pada langit-langit rumah sambil
berpikir, ia ini tamu. Biasanya Nyx yang menyambutnya dan akan menghidangkannya
lemon tea, yeah Odessa tahu apa yang ia suka. Kali ini agaknya sedikit berbeda
penyambutannya, hanya seorang laki-laki, lebih muda darinya, masih berstatus
siswa dan tidak lebih baik darinya, menurutnya. Karena menurut Louis tidak ada
laki-laki dan perempuan tinggal satu atap meskipun status mereka berpacaran meskipun
di Barat itu adalah hal yang biasa, tapi masalahnya bukan itu, ia tidak
mempermasalahkan siapa yang tinggal satu atap bersama Nyx, ia tidak begitu
peduli selama Nyx mencintai pemuda itu dan bisa seutuhnya lepas dari Louis.
Yang ia harus garis bawahi adalah Dixon ini anak yang cukup nekat, kenapa? Kau
tahu Nyx Odessa Napoleon adalah seorang putrid tunggal yang lahir di keluarga
Napoleon, keluarga berada, kasta brahmana, kelas atas, pureblood, segala yang
diinginkannya ada, pebisnis kelas kakap, mafia nomor dua yang ditakuti seantero
dunia, memiliki standar tinggi dan sangat protektif serta posesif dengan
keluarganya, satu sama lain. Bahkan Napoleon tidak segan-segan menggelontorkan
orang-orang kepercayaannya hanya untuk mengawasi binatang peliharaan mereka
sekalipun anjing Chihuahua. Mereka tidak akan sudi salah satu diantaranya
disentuh oleh orang-orang dari kasta rendah, awam, kampungan dan errr dari
kelas bawah. Tidak akan pernah, tapi laki-laki ini menempuh resiko yang
berbahaya. Dia tahu pasti, kalau bukan karena rasa sayangnya atau orang ini
memang gila.
Obsidiannya
bergulir turun naik mengamati berkali-kali pemuda bermarga Dixon, ia tidak
mencibir, tidak ingin merendahkan hanya saja Louis kagum, betapa pemuda ini
memiliki tekad yang kuat. Nyx selalu cerita padanya Dixon tidak takut dengan
keluarga Napoleon, seriously. Yes, ia pikir itu bercanda dan pada kenyataannya
yang bersangkutan hadir disini, bisakah ia menganggap cerita Nyx adalah lelucon
kalau faktanya apa yang ingin ia buktikan sudah tersaji di depannya. Dixon
laki-laki yang nekat, entah dia tidak tahu atau memang sudah tahu kalau Calix
Lumina tepatnya disebuah rumah kecil di sudut jalan berwarna putih bercorak
minimalis sudah dijaga ketat bagik pagi, siang, sore bahkan malam oleh sekumpulan
manusia tak kasat mata, penyihir kelas atas tertutup kabut dan merupakan
orang-orang kepercayaan dari keluarga Napoleon, kaki tangan Fergusson—untuk
putrinya. Louis tahu benar bila Fergusson menyayangi putrinya lebih dari
apapun, harta yang paling berharga meski sikapnya jauh di luar dari kata
sayang. Ia mengasingkan putrinya ke Amerika sementara yang bersangkutan sedang
ongkang-ongkang kaki menikmati suguhan uang panas di kamarnya, ia juga selalu
memerintah putrinya, mengekangnya, membatasinya, hanya demi satu tujuan,
menjaga agar Nyx tidak dipegang sembarang orang. Sayang sekali ‘kan? Ayah yang
baik, terlalu baik. Nyx tak pernah tahu apa yang ayahnya lakukan, yang ia tahu
Fergusson hanyalah seorang yang menyebalkan otoriter, tidak menyukai pertentangan,
perdebatan bahkan penolakan, egois, harga dirinya tinggi sekali dan hanya bisa
dibeli oleh uang, Fergusson bukan ayah yang baik menurut Nyx, karena siapapun
tidak ada yang boleh menyentuh perintahnya dengan kata tidak sekalipun putrinya
sendiri atau malah istrinya.
Sayangnya
dibalik itu semua, apa yang ada dalam pengertian Nyx jelas berbeda ketika Louis
berhadapan langsung dengan entitas yang paling ditakuti oleh putrinya.
Laki-laki itu tidak lebih dari seonggok daging menyedihkan, dengan paras pias
akibat ditinggal harapan. Louis ingin tertawa keras-keras saat Fergusson
mengemis padanya, meminta agar dirinya menikahi Nyx hanya agar anak gadisnya
lepas dari tuntutan piala bergilir. Louis membungkuk, menyatukan kesepuluh
jarinya, menikmati aroma kekhawatiran dari pemuda di depannya.
“Aku
tidak dibuatkan minum?” Sebuah seringai tanpa maksud melecehkan pemuda Dixon.
Laki-laki itu mendecak sebal, tidak bergerak hanya memutar bola matanya. Louis
ingin tertawa, dia senang membuat orang lain jengkel padanya kecuali Genevieve.
“Mau
minum apa?”
“Biasanya
Nyx menyuguhkanku lemon tea..” Belum selesai ia bicara, pemuda itu sudah
meletakkan segelas air putih diatas meja. Louis melirik sebentar, menikmati
paras asam bagai limun di depannya. Lalu kembali bersandar tanpa selera untuk
menyeruput air putih di depannya.
“Ada
apa kesini?”
Louis
mengulur waktunya, menoleh ke seluruh ruangan, benar-benar hanya ada pemuda ini
dan mungkin benar Nyx sedang tidur. Ia tengah menimang-nimang bagaimana cara ia
mengatakan kabar ini. Bukan suatu hal yang menyenangkan pula baik, ini berita
yang sudah biasa di telinganya tapi akan luar biasa bagi dua insan manusia yang
tengah jatuh cinta. Then, ia menarik sudut bibirnya, khas Louis.
“Nyx
harus kembali ke Australia selepas tahun ajaran ini.” Tanpa melukis wajahnya
dengan berbagai emosi, segalanya terasa datar dan omongannya seperti bualan,
seperti pengantar koran di London yang tengah menagih janji pembayaran kepada
pembelinya. Ekspresi yang sulit diterka oleh Louis hanya kernyitan dahi dan
hening tanpa sebuah kalimat penyangkalan. Seharusnya ini akan menjadi awal yang
bagus karena ia tidak perlu menjelaskan lebih, ia sendiri jengah dengan
konsekuensi berita ini, serius.
“Dalam
rangka apa? Berapa lama?”
Pada
akhirnya buka suara juga ‘kan? Louis menarik nafas dalam-dalam, bahunya
mengedik dan ia melemparkan tubuhnya lagi ke bantalan sofa marun.
“Tidak
tahu, ayahnya hanya menyuruhku mengatakan ini, dia hanya harus pulang,”
Menerawang dan mengembalikan obsidiannya pada sasaran, “untuk waktu yang tidak
ditentukan.”
“Kenapa?”
That’s
sounds great! Ini pertanyaan yang dinantikan oleh Louis sejak ia mengatakan
berita ini pada pemuda lugu di depannya.
“Karena
kalian…” Sebuah alasan terpenggal, menimbulkan riak kekhawatiran bagi keduanya,
sebuah kata yang tidak nyaman di telinganya, “Fergusson sudah tahu tentang
kalian, lebih tepatnya kau, Dixon. Fergusson tahu siapa kau, dimana kau
tinggal, tanggal berapa kau lahir, siapa keluargamu, apa latar belakang mereka,
pekerjaan mereka dan yang lebih penting…”
Oh
betapa Louis bicara seperti seorang pemimpin mafia saja.
“Dari
kasta mana kau berasal.”
Penuh
penekanan dalam kata kasta, ini selalu digarisbawahi oleh Fergusson, laki-laki
congkak dengan segala kecurangannya itu tidak akan pernah berteman dengan kasta
sudra, coba saja.
“Lantas?”
Louis
benar-benar dibuat tertawa, tanpa dosa, tanpa perasaan bersalah, hanya sedikit
menyesal kenapa Dixon harus membencinya, menganggapnya menyebalkan padahal
kalau ia bisa sedikit lebih baik, Louis akan membantunya, memperjuangkan
keduanya sampai akhir karena dia punya masalah yang sama.
“Kalian
harus berpisah.” Tidak ada opsi lain selain itu, catat.
Louis
menunggu sampai amarah terkumpul, sampai gejolak emosi timbul dan meretas,
mulai memercik dan membakar. Louis bersedekap, sebenarnya tidak ada lagi yang
ditunggunya, lagipula tadinya ia hanya ingin bicara berdua dengan Nyx tentang
masalah ini namun dilihat dari kondisinya nampaknya bicara dengan kekasihnya
lebih baik. Nyx, pribadi yang mudah terguncang bagaimanapun ia tidak bisa
mendengar kabar seperti ini, baginya masalah besar. Dan Louis mengambil gelas
berisi air putih dan meneguknya, ia tidak mengharapkan balasan atas pembicaraan
ini karena sudah jelas, titah sang raja sudah diagungkan, digaungkan untuk
ditaati bukan untuk dilanggar.
“Kau
pasti sudah tahu kalau rumah ini dijaga ketat oleh lusinan orang-orang tak
kasatmata, ‘kan? Mustahil kau tidak tahu, Nyx pasti cerita padamu.” Ia hanya
menerka, padahal belum tentu benar, “beberapa minggu yang lalu
mereka—orang-orang ini melaporkanmu pada ayahnya, mereka bilang ada laki-laki
selain aku yang sering datang kesini. Awalnya Fergusson tidak percaya, tapi kau
harus tahu laki-laki tua nan terhormat itu selalu punya cara agar laporannya
tidak meleset dan yeah, seminggu yang lalu aku menerima laporan darinya.”
“Kalau
laki-laki itu aku?”
“Exactly!
Genius sekali! Dan kau harus menebak bagaimana reaksinya?”
Seperti
bermain hangman omong-omong.
“Dia
marah besar, mengamuk dan langsung merajuk padaku.” Mudah sekali ‘kan membuat
Fergusson terlihat lemah? Sentuh saja putri semata wayangnya. Louis menghela
nafas perlahan, bukan itu yang membuatnya senang. Amarah Fergusson tak pernah
membuatnya senang kecuali rasa puas karena bisa membuat laki-laki itu murka
akan nasib anaknya dan bahwa ia bisa memperlihatkan sisi kemunafikannya, sisi
kelemahan dari seorang laki-laki. Bahwa sekeras apapun seorang lelaki terhadap
perempuan, ia akan tetap lemah bila perempuan kesayangannya disentuh orang lain
tanpa seizinnya. Diam-diam Louis mengamati raut wajah Dixon, nampak tenang ah
tapi dia tahu kalau itu bukanlah ketenangan sesungguhnya. Jauh di dalam pasti
ia bimbang. Jangan lupa Louis juga laki-laki, dia tahu benar sifat laki-laki
itu bagaimana terutama terhadap wanita terkasihnya.
“Kau
bicara apa pada Fergusson?”
Kiamat
sudah dekat, pada akhirnya mengundang keingintahuan mereka yang tak punya
busana, lisensi untuk dianggap keluarga. Louis memutar matanya.
“Aku
tidak mengatakan apapun selain berjanji akan membereskan masalah ini.
Omong-omong, aku tidak akan lama disini, Nyx harus tahu hal ini, biar aku
bicara dengannya, bisa kau bangunkan?”
Dan
kenapa juga dia harus minta tolong kepada anak bocah?
Louis
menunjuk dengan dagunya, menyuruh tanpa bersuara sekaligus mengatakan lewat
matanya ‘atau aku sendiri yang akan membangunkannya’ karena bukan hal yang
sulit membangunkan Nyx. Dia sudah lebih lama mengenal Nyx, jauh sebelum Dixon
mengenal Nyx. Bibirnya menukik, menandakan kemenangan saat Dixon beranjak
tetapi suara pintu berderit terdengar dan Odessa tunggal sudah berdiri di depan
pintunya dengan wajah tidur yang membekas. Louis kontan berdiri, menyambut
sepupu terdekatnya sekaligus orang yang harus ia perjuangkan demi keegoisan
seseorang.
“Puas
tidurnya?”
“Louis?
Kapan kau datang?”
“Beberapa
menit yang lalu.”
“Ayah?”
Nyx
menelengkan kepalanya, merapatkan piyama merah marunnya. Enggan mendekat,
parasnya menandakan waspada tingkat akhir. Nyx sudah tahu bila Louis datang
tidak sesuai jadwalnya ada hal penting yang harus disampaikan, baik atau
buruknya itu bukan masalah karena setiap kedatangannya selalu membuat jantung
Nyx berdebar. Louis mengulurkan tangannya, berusaha memberikan sepucuk surat
dengan lambang organisasi gelap milik ayahnya. Sembari berdiri kasual, mengulum
senyumnya, sesekali melirik Dixon.
“Ah
Nyx, Dixon… Aku harus pergi sekarang, waktuku terbatas ada urusan lagi. Jaga
diri kalian baik-baik dan… jangan menyerah, I think…”
***
Jangan
menyerah, katanya.
Kalimat
terakhir menggantung menggambarkan keadaan yang sesungguhnya, meramalkan apa
yang harus ia capai dengan batin dan airmata terkuras. Sampai Andrew pulang,
Nyx tidak pernah membuka amplopnya, namun ketika dirinya tidak ada di rumah
kecil itu ia tidak tahu. Tetapi sejak hari itu Nyx selalu kelihatan baik-baik
saja, tidak ada perubahan yang terjadi pada Nyx. Gadis bersurai merah darah itu
bersikap seperti biasa, selalu tersenyum, selalu tertawa, tetap memeluknya,
tetap bercanda bersamanya seolah tidak ada yang salah diantara keduanya. Andrew
juga tidak mau bertanya, tidak ingin mengungkit apa isi dari amplop yang
diberikan Louis tempo hari lalu. Bukannya ia tidak ingin membahas atau dia
takut, dia hanya tidak ingin tahu apapun yang tertulis disana sekalipun itu
akan merenggut satu-satunya harapan hidupnya—sekalipun itu akan membawa Nyx
pergi jauh darinya. Andrew tidak peduli.
Keras
kepala, ya. Dia berusaha tidak ingin tahu meskipun pembicaraan dengan Louis
memakan batinnya, memberikan tekanan batin sebesar perasana gelisahnya saat ia
mendengar nama Fergusson. Nyx mungkin terlihat baik-baik saja, namun disanalah
pertanyaannya. Seolah tidak pernah ada yang salah, seolah Louis tidak pernah
datang dan berita itu tidak pernah ada. Tetapi Andrew tahu bila sekali waktu
parasnya mengguratkan rasa sedih, ketika ia lengah, ekspresi Nyx berbeda dari
biasanya. Tatapannya seringkali kosong dan terkadang tidak fokus di saat-saat
melankolis. Euforia kesedihannya mendadak lenyap, tertimbun tekanan, saat
itulah Andrew tahu lebih baik tidak menanyakan apapun pada Nyx karena
setelahnya akan menimbulkan luka menganga dan gadis itu akan menangis. Meski ia
lebih menyukai debat dengan Nyx, adu mulut sampai gadis itu marah besar, tidak
mau bicara, ia lebih suka Nyx marah padanya, teriak di depan wajahnya, menyumpah
serapah akan dirinya daripada gadis itu diam dan kemudian menangis.
Disinilah
ia berdiri, mengantarkan seorang gadis pergi—untuk waktu yang tidak ditentukan.
Pelukan,
kecupan, setiap kata ia renungkan. Bukan keinginannya untuk berpisah, ia juga
tidak ingin melepaskan, namun satu-satunya jalan agar Nyx tidak bersedih adalah
mengikuti permainan gadis itu. Mengikutinya seolah ini tidak pernah terjadi,
seolah tidak pernah ada perpisahan, seolah dirinya tidak pernah diminta pergi.
Maka Andrew berusaha untuk biasa saja ketika mengantar Nyx sampai Australia, ia
tidak begitu peduli sejauh apa perjalanannya. Walaupun seharusnya ia berada di
Boston menemani ayah dan ibunya mengelola bisnis mereka. Sebentar saja
meluangkan waktunya untuk hati yang akan tinggal, untuk perasaan yang akan
tetap pergi meski ia meminta untuk tetap berada disini. Pemuda bersurai pirang
itu menatap hampa jemputan yang melaju sampai hilang di tikungan jalan.
Menghela nafas, meyakinkan dirinya bila semua baik-baik saja.
“Ia
akan kembali, tenang saja. Aku akan usahakan ini untuk kalian. Bukan hanya kau
yang punya hati untuk diperjuangkan, aku juga.”
Itu
yang Louis katakan. Lelaki itu menyelinap ke tempat dimana Nyx mendarat dan
menahannya saat Dixon tengah keluar dari toilet. Nyaris tertawa hampa,
membiarkan asanya meluap secara langsung. Bukannya ia tidak peduli, bukannya ia
tidak ingin berterima kasih pada Louis, tetapi ia tidak pernah suka berhutang
budi pada siapapun. Keras kepala, bebal, itulah sifatnya. Tidak mudah menyerah
dan ingin puas dengan hasil kerjanya sendiri. Andrew menggeleng, kemudian
melangkah pergi kembali ke tanah kelahirannya.