Kamis, 31 Mei 2012

Rasa Itu Elegi


dikutip dari novel Jingga Dalam Elegi karya Esti Kinarsih

"Setiap detail adalah nyanyian. Namun setiap detailnya juga tangisan. Setiap detailnya juga seribu tanya dalam kepanikan dan keputusasaan."

"Setiap detail adalah tawa, canda, tangis dan pertengkaran. Setiap detail adalah peluk dan rangkulan. Setiap detail adalah bahagia & cinta."

"Setiap detail adalah usaha pencarian yang tak kenal lelah. Setiap detail sebenarnya adalah harapan yang tak kenal habis."

"Namun setiap detail adalah pertahanan yang jatuh bangun dan makin menipis."

"Sesak cekikan masa lalu yang tadi ditahannya mati-matian kini tumpah. Mewujud dalam bening air mata yang tak lagi sanggup ditahan."

"Bahasa bukanlah talentanya dan ia tidak pernah merasa harus memaksakan diri untuk bisa."

"Sesuatu yang telah terjadi dan mungkin itu memang tidak bisa dibagi. Hanya milik cowok itu sendiri."

"Padahal yg bikin keluarga jadi deket itu kan justru hal-hal yang kecil, yg sepele, yg nggak penting banget, yg nggak keliatan dari luar."

"Ada torehan yg tercipta saat itu juga. Terlalu tiba-tiba, hingga dirinya sendiri tak langsung menyadari."

"Tidak ada yang bisa dilakukannya dengan hatinya yg tengah berjalan ke kematian."

"Hanya yg tengah berjalan ke kehidupan, akan ia perjuangkan dengan segala cara. "

"Jikalau pada akhirnya nanti bagian hatinya ini juga akan berjalan ke arah kematian, dia sudah tidak bisa apa-apa lagi."

"Dia tahu, dengan menunduk dia telah menghilangkan visual dan itu justru akan semakin memerangkapnya dalam rasa sakit."

"Tapi dia kangen suara-suara ini, suara-suara yg telah lama hilang."

"Sesaat kedua matanya sempat terpejam. Jika saja bisa, jika saja memungkinkan, dia tidak ingin pergi."

"Dan seperti ada keinginan untuk memeluk sekaligus tidak ingin pelukan itu nantinya akan mendekatkan."

"Butir-butir kata yg masih tak kasatmata itu mengembara di udara. Entah kapan sampai di tujuan dan terbaca."

"Pada seribu perncarian yg dilakukannya dengan melibatkan seluruh emosi, yg sedikit dari begitu banyak barisan tanda tanya."

"Pada akhirnya gugur dan tumbang, dirinya mendapati justru sakitlah yg ada di baris terdepan. Darinya... dan untuk seseorang."

"Keduanya seperti menyatu. Timbul-tenggelam. Datang dan hilang."

"Kesadaran itu menampar. Kembali dirinya terguncang. Kali ini lebih hebat, karena setengah dari kesadarannya menghilang."

"Permohonan sungguh-sungguh dan harus, namun sayangnya tak ingin dia jelaskan."

"Karena realisasi dari permohonan itu nantinya akan teramat sarat dengan luka. Menjalaninya tanpa didahului kata mungkin jauh lebih baik."

"Lupain dia! Darinya dan hanya untuk seseorang yang saat ini dipeluknya.."

"Kalau mau jujur, meskipun dia selalu memperlakukannya dengan manis, selalu perhatian dan selalu ada di ujung telepon.."

"Meski selalu bisa hadir setiap kali dibutuhkan, ia merasa orang itu membentangkan pembatas. Tipis, tapi bisa dirasakan dengan jelas.."

"Gue akuin gue emang nggak siap, tapi gue nggak mau mundur lagi.."

"Karena dia bicara dengan seluruh sesal. Seluruh luka. Seluruh sakit. Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan."

"Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan. Pada akhirnya, dia melakukan semua itu juga dengan seluruh cinta."

"Untuk kedua orang yang hilang pada masa lalu dan untuk seseorang yang saat ini hadir dalam hidupnya."

"Keterdiaman dia itu--cara kedua matanya memandang--adalah teriak keberanian yg paling lantang dan tak lagi bisa disangkal."

"Kini dia meringkuk diam. Dalam pelukan seseorang yg telah memberinya sayatan dalam. Coba meredam tangisnya dengan satu tangan."

"Ini adalah senyap paling pekat yg pernah dirasakan keduanya. Berdua yg seperti sendirian."

"Tapi saat hadir bersamaan, keduanya adalah gelap yg meluluhlantakkan."

"Namun dalam ketiadaan jarak, ternyata justru terdapat ketidakterbatasan jarak."

"Salah satu memeluk kuat-kuat, namun seperti tidak ada siapa pun di dalam pelukannya."

"Dia adalah keduanya, tapi juga bukan salah satunya."

"Mati-matian ditahannya hati dan kedua lengannya untuk tidak meraih lalu menahannya dalam pelukan."

"Tempat kehilangan terbesar kedua dalam hidupnya telah terjadi."

"Jadi dua orang dengan pribadi yang benar-benar berbeda itu berat..."

"Keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu bertemu. Yang melukai dan yang dilukai."

"Namun masih dikenalinya rasa sakit ini. Karena rasa inilah yg telah memicunya untuk "mematikan" dirinya sendiri."

"Hidup sebagai dua orang yang berbeda demi satu harapan, entah bagaimana caranya, akan membawa 2 orang yg mendadak hilang dari hidupnya."

"Seketika ia menyulut lagi harapan itu. Membangkitkan kenangan. Menyalakan kerinduan. Sekaligus mematikan logika dari akal sehatnya."

"Tidak ada yg salah dengan harapan yang terus digenggamnya kuat-kuat itu."

"Yang salah adalah dirinya yang terlalu fokus dengan hatinya sendiri."

"Dia akui keegoisannya. Melukai dengan seluruh kesadarannya, lalu mengejar dengan seluruh cara agar bisa dimaafkan."

"Namun kini tidak lagi. Akan diterimanya seluruh caci maki dan semua hal yang memang pantas diterimanya."

"Dia biarkan seseorang melihat seluruh luka dan kesakitannya, seluruh kerapuhannya, juga setiap usaha yg kerap tertatih untuk bertahan."

"Telanjang. Transparan. Apa adanya. Tanpa topeng dan tanpa keinginan untuk menjelaskan lagi."

"Seringkali hening memang lebih mampu mengungkapkan banyak hal daripada ribuan kata."

"Dan sering kali pula mata lebih mampu menyampaikan apa yg hati ingin bicara, lebih dari bibir sanggup mengatakannya."

"Namun, maaf juga bukanlah satu tindakan yg bisa dilakukan tiba-tiba. Ada pengertian panjang sebelumnya. Ada pemahaman. Ada keikhlasan."

Remember When; Takdir


“Apa pun yang kau katakan, bagaimanapun kau menolaknya, cinta akan tetap berada di sana, menunggumu mengakui keberadaannya. Bagi kita, senja selalu sempurna; bukankah sia-sia jika menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan dia, juga kisahku, aku dan lelakiku. Tak ada bagian yang perlu kita ubah. Tak ada sela yang harus kita isi. Bukankah takdir kita sudah jelas?

Lalu, saat kau berkata, “Aku mencintaimu”, Aku merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katamu itu ambigu? Atau, aku saja yang menganggapnya terlalu saru? “Aku mencintaimu" , katamu. Mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kau kalau kita tak pernah bisa berada dalam cerita yang sama, dengan senja yang sewarna?

Takdir kita sudah jelas. Kau, aku, tahu itu.

by : Winna Efendi 

Remember When


"Kenangan yang akhirnya tersimpan rapi dalam kotak memori, saat-saat bermakna yang sesekali akan kita putar kembali untuk dikenang."

"Saat-saat seragam putih abu-abu mendominasi, hari-hari yang dimulai dengan kejamnya orientasi, lalu perkenalan, lalu persahabatan, lalu kenangan. Pikiranku kembali pada hari-hari pahit manis itu, beberapa tahun silam." 

"Itulah tidak enaknya bertemang dengan seseorang sejak kecil. Dia sudah hafal tingkah-lakumu luar dalam."

"Terus terang, tidak banyak murid yang sungguh-sungguh suka belajar. Kebanyakan dari mereka hanya belajar karena terpaksa, untuk mendapat nilai bagus, untuk lulus dan modal masa depan nanti."

"Bicara tentang kisah cintaku yang non-eksisten membuatku tak nyaman. Cara terbaik adalah mengalihkan pembicaraan."

"Senang melihat senyum dan tawanya, senang mendapat kesempatan untuk saling meledek walau hanya sebentar. Walau kami bisa dibilang cukup dekat, selama ini sepertinya dia hanya menganggapku teman, nggak lebih."

"Namun entah kenapa terkadang aku justru menangkap momen-momen saat dia tampak hangat. Momen ini adalah salah-satunya."

"Aku tidak suka segala sesuatu yang tidak pasti."

"Aku akui, aku tidak pandai merangkai pernyataan cinta. Mengungkapkan satu kalimat aku suka kamu saja terasa begitu sulit."

"Sejak hari itu, aku merasa itu adalah sebuah rahasia kecil di antara kami berdua."

"Kombinasi yang ironis, aneh sekaligus menyedihkan."

"Lo tuh butuh seseorang yang bikin lo ketawa, seseorang yang melengkapi lo."

"Biasanya, aku selalu menjawab, dia orang yang baik; sebagai satu-satunya pertahanan."

"Yang namanya kosakata gombal tidak pernah eksis dalam kamusnya, tapi bersamanya membuatku merasa aman. Dan rasa aman itu adalah segalanya bagiku."

"Dimana sisi tulusnya ketika yang gue lihat cuma mata keranjangnya?"

"Sementara dia selalu menganggap cinta yang sesungguhnya adalah cinta seperti permainan roller coaster, tetapi kenapa harus dikategorikan seperti itu? Bukankah cinta, apa pun jenisnya, memiliki berbagai bentuk?"

"Hanya ada satu syarat agar kau bisa populer di sekolah, dan syarat itu adalah : EKSIS"

"Tapi, setiap kali bertengkar, aku selalu kangen, dan kamu selalu kembali ke satu sama lain. Itu yang penting, bukan?"

"Dia diam. Gue bingung gimana caranya mengisi kekosongan itu."

"Menunggu nggak jauh lebih baik daripada bengong sendirian."

"Kadang orang sering mengaku menyukai sesuatu, tetapi nggak benar-benar menyukainya."

"Semua orang punya apresiasi musik yang berbeda. Bukan berarti genre itu jelek, atau sebaliknya. Namanya juga selera."

"Menurut gue, rokok adalah salah satu bentuk terapi untuk menghilangkan stres."

"Kata orang, hidup itu seperti roda. Kadang kita di atas, kadang kita di bawah."

"Kata Forrest Gump, hidup bagai kotak cokelat, entah rasa apa yang bakal kita dapetin."

"Menurut gue hidup itu kayak bola. Karena lo nggak akan tahu akan menang atau kalah. Waktu sebuah permainan sedang berjalan sangat baik, di detik terakhir bisa aja pihak lawan yang nyetak gol, dan kita kalah. Padahal udah yakin bakal menang."

"Hidup juga kaya cuaca. Hari ini bisa hujan, besok bisa cerah. Tapi, lo nggak akan punya hujan selamanya, atau kemarau selamanya. Kita butuh pahit dan manis secara bersamaan, sebuah bentuk keseimbangan."

"Menurut gue, nggak ada orang yang bisa seratus persen bahagia, nggak ada juga orang yang seratus persen sedih. Hidup itu kan penuh emosi, makanya dalam satu periode waktu kita bisa ngerasain berbagai emosi berbaur jadi satu. Karena itu, kita jadi seimbang."

"Dia terlalu sibuk dalam urusannya sendiri, sehingga kadang merasa tidak diacuhkan. Kasat mata. Tidak terlihat."

"Satu tahun lalu, hal-hal tersebut memang cukup manis. Sekarang hatiku rasanya menawar. Pengakuan : Aku bosan, aku jenuh. Karena baik suka mau pun tidak, harus kuakui, aku bosan hanya membaca cerita cinta di majalah dan novel."

"Tidak ada gunanya berharap terlalu banyak."

"Dan yang gue tau, dia sama sekali nggak freak kayak yang orang-orang bilang."

"Banyak orang yang menganggap aku aneh hanya karena aku sulit diajak bicara."

"Jangan merendahkan diri sendiri. Kamu bukan seperti apa yang orang lain bilang. Kamu adalah kamu."

"Justru bohong-bohong kecil yang muncul, dan ironisnya, bohong itu jadi seperti gulali yang menghilang di ujung lidah begitu diisap. Sekali sebut, lalu dilupakan. Dan bohong kecil lainnya mengikuti."

"Buat cowok, rokok adalah semacam doping yang bersatu dengan kopi panas, menguapkan setiap beban pikiran gue. Instan."

"Masalahnya, gue tahu kalau gue minta timeout itu, dia akan salah paham dan menganggap gue ninggalin dia. Dan sejujurnya, nggak ada yang salah sama sekali. Gue hanya ingin sendirian saat ini, itu saja."

"Kenapa sih harus bohong?"

"Gue sayang dia--sayang, sampai nggak mau melihat dia sedih.Sayang, sampai merasa harus berbohong, supaya nggak ada pihak yang terluka."

"Aku hanya seseorang biasa-biasa saja yang canggung dengan penampilannya sendiri."

"Kadang lo harus coba sesuatu yang baru. Apa lo nggak bosen dengan segala sesuatu yang begitu-begitu saja?"

"Apalah arti sedikit perubahan? Bukankah aku selalu mengeluh jenuh dengan segala hal yang berjalan konstan dan pasti?" 

Ketika Kau dan Aku Jatuh Cinta


"Sedikit perubahan, sedikit saja.. Tidak akan terlalu kentara, kan?"

"Aku terlihat seperti makhluk asing. Seseorang yang tak kukenali."

"Kadang aku kagum pada kekuatannya berkembang dalam segala sesuatu yang seharusnya memurukkannya. Hanya, dia sendiri nggak pernah sadar kalau dia memiliki sesuatu itu."

"Walau langkahnya tergesa, dia berusaha tersenyum untuk meyakinkan bahwa dia nggak apa-apa. Bahwa dia bisa sendiri."

"Untuk sesaat biarlah aku menjadi cantik. Biarlah aku seperti ini, sebentar saja."

"Terulang terus, sampai aku mulai gerah dan frustasi dengan diri sendiri."

"Lo nggak akan menyerah semudah itu, kan?"

"Jauh dalam diriku, aku tidak ingin menyerah kalah. Tapi, jujur-sejujurnya, aku malu."

"Nggak ada yang namanya menang atau kalah, selama kita berusaha. Dan itu yang bikin gue mencoba lagi."

"Entah apa yang dia rasakan sekarang. Tidak, aku tahu. Sedih, kecewa, marah, kalut. Kosong."

"Kenapa ya orang-orang yang kita sayang harus pergi begitu cepat?"

"Kenapa hidup nggak bisa adem ayem? Kenapa bahagia nggak bisa berlanjut lama?"

"Kita jadi takut merasakan bahagia karena kalau terlalu bahagia, suatu saat semua itu bisa hilang dan menjadikan kita hampa."

"Waktu hidup manusia itu nggak pasti. Kita nggak punya kemampuan untuk nentuin masa dan arah hidup kita. Kalau yang di atas bilang waktu kita selesai, kita harus lepas tangan. Itulah ironisnya kehidupan. Hidup ini milik kita, juga bukan milik kita sendiri."

"Ketenangan yang jarang kutemukan pada dirinya yang ceri; ketenangan yang sangat mengerikan. Tidak ada yang bisa menyelamatkan siapa pun dari rasa semacam itu."

"Aku hanya bisa balik menatap matanya, membiarkannya merasakan segala yang harus ia rasakan."

"Butuh waktu yang lama untuk berhenti menyalahkan, Tuhan. Untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan salah siapa-siapa. Butuh waktu buat kembali percaya lagi, kalau gue pantes bahagia."

"Sampai tangis mereda, dan kehilangan kemampuan untuk menangis. Aku mengerti."

"Tapi gue belajar bahwa pada saat-saat seperti ini, lo hanya harus menjadi diri sendiri. Lakukan apa yang lo mau, rasain apa yang harus lo rasain."

"Padahal, aku kangen suaranya. Kangen mengobrol sebelum tidur dan mengakhirinya dengan ucapan I Love You."

"Semua disimpannya rapat-rapat, seperti tameng, seperti rahasia. Apa yang dia rasakan, apa yang dia pikirkan, kami nggak tahu jelas. Akhirnya, aku memutuskan untuk nggak memaksa. Mungkin hal-hal semacam itu lebih baik tidak dibicarakan."

"Mendadak aku merasa takut, ingin menangis, ingin memberi tahunya kalau semuanya akan baik-baik saja. Ingin melihatnya tersenyum dan bukan menangis. Ingin segera sampai di sana."

"Mencoba menenangkanku dengan caranya sendiri, tanpa sepatah kata pun."

"Di situlah letak bahaya nya. Gue tau dia lebih  sakit dari itu. Dia lebih ringkih dari kelihatannya. Lebih ingin menangis dibandingkan kami semua bertindak seakan-akan dia baik-baik saja."

"Dia terus bilang ke gue, 'gue baik-baik aja kok', tpi dibalik itu, gue tahu semuanya. Gue tahu, tapi nggak bisa berbuat apa-apa."

"Kita semua berpura-pura mengikuti caranya, beranggapan semua udah lwat dan nggak perlu diungkit lagi."

"Namun sekali lagi gue tahu, dia sebenarnya lebih sakit hati dari itu. Dia diam saja, dan di antara kami seperti ada perjanjian tak tertulis untuk berpura-pura bahwa semua lancar apa adanya."

"Dan diam-diam, gue kecewa. karena mungkin  dulu gue terlalu pengecut untuk lebih menyelami hatinya atau mencoba menyembuhkan lukanya."

"Rasa kesepian yang dulu disimpannya rapat-rapat, yang nggak bisa diganggu-gugat orang lain dan nggak bisa dikorek oleh siapa pun, menguap sedikit demi sedikit. Dia terlihat lebih manusiawi, terbuka, lepas..." 

Ketika Senja Tak Lagi Berwarna


"Seakan nggak ada yang salah. Tetapi itu masalahnya, dia selalu bertindak seolah-olah nggak ada yang salah." 

"Aku gemas sekaligus serbasalah melihatnya. Dia tampak tenang, tetapi aku tahu dalam lubuk hatinya, dia pasti menyimpan seribu satu emosi yang enggan diluapkannya padaku, dan aku khawatir akan melukainya kalau bertanya."

"Aku ingin tahu apa yang dia rasakan; aku sungguh-sungguh ingin tahu. Hanya saja aku bingung bagaimana harus bertanya."

"Aku ada di sini, seandainya kamu butuh seseorang untuk berbagi."

"Itu pandangan penuh simpati dan khawatir dan KASIHAN yang semua orang berikan ke gue. Gue muak dengan pandangan itu."

"Satu orang yang gue harapin untuk paling ngerti gue justru malah bereaksi sama seperti orang lain."

"Hanya satu orang yang menatap gue dengan sorot biasa. Hampa. Seakan mengingatkan bahwa dia pernah ngerasain hal yang sama. Bahwa dia mengerti." 

"Ada sesuatu yang terasa janggal di antara mereka. Dan, hanya mereka yang tahu."

"Kalau udah begini, rasanya nggak pengin gue lepasin lagi."

"Aku ingat berbalik pergi dan meninggalkannya sendirian di sana, tanpa jawaban."

"Gue pengin teriak supaya suara itu bungkam, tapi yang ada gue malah ngerasa hilang. Hampa."

"Apa tiba-tiba menyukai seseorang karena dia mengerti itu salah? Apa menyimpan perasaan yang lain untuk seseorang yang selama ini nggak gue perhatikan itu mungkin?"

"Apa gue salah? Kalau gue ngomong yang sebenarnya... Apa gue salah?"

"Kejujuran yang entah terkuak sejak kapan, tapi nggak mau pergi lagi."

"Gue pengin bilang, 'sepertinya gue jatuh cinta sama lo'. Gue pengin bilang, 'sepertinya lo orang yang selama ini gue cari, secara nggak sadar'. Tapi gue juga takut akan perasaan yang sama-sekali baru ini. Gue takut ngerusak segalanya, nggak tahu gimana harus bertindak tanpa menyakiti semua orang. Gue ingin jujur."

"Buat pasangan yang selama ini hubungannya selancar jalan tol, saling sayang dan lebih dekat dari dua orang mana pun, pertanyaan ini nggak terdengar lazim di telingaku."

"Iseng. Hatiku perih mendengarnya walau yakin dia hanya sedang bercanda."

"Nggak ada segala sesuatu yang pasti di dunia ini."

"Padahal, buat dia segalanya bisa mengalir apa adanya. Take it easy, dia bilang, ke mana pun hidup membawa."

"Kalau kita punya cukup komunikasi, rasa percaya, dan keinginan untuk mempertahankan hubungan ini, semuanya pasti baik-baik saja. Semua tergantung diri kita sendiri."

"Mungkin dia hanyalah orang yang tepat yang datang pada waktu yang salah; saat gue masih bersama seseorang. Bukan salahnya, bukan salah siapa-siapa, cuma perasaan-perasaan ini yang berubah, itu saja."

"Jangan pergi..."

""Kedua matanya terpejam, tangannya menggenggam erat tangan gue, benar-benar enggan melepaskan tautannya."

"Jangan pergi, dia meminta. Jangan pergi."

"Lo buta atau nggak punya perasaan? Secara nggak langsung, itu kan bentuk pernyataan cinta paling penuh skandal yang terjadi tahun ini."

"Maksud gue, cinta beneran. Saat lo berdebar-debar kalau ketemu seseorang. Mau ngorbanin apa aja buat orang itu. Yang paling penting, orang itu bahagia.. walau lo nggak."

"Sudah cukup kami menganggap tidak ada yang terjadi hari itu, tapi sepertinya dia ingin memulai permainannya sendiri. Semakin lama permainan itu semakin tidak lucu."

"Namun mengapa dia yang sudah punya lebih dari cukup, justru masih mencari lebih?"

"Kami saling mengenal luar dalam, jadi terasa janggal saat dia menanyakan sesuatu yang tidak biasa, hari itu."

"Cewek suka diperlakukan lembut, tapi bukan berarti mesti ditinggal haus belaian begitu."

"Perasaan kita tahun lalu, bisa beda dengan perasaan kita yang sekarang. Tapi.. kita nggak bisa mengubah apa yang pernah terjadi dulu. Semua berubah begitu saja, sedangkan kita sebagai manusia hanya bisa mengikuti arus."

"Seakan ada sesuatu yang dirahasiakannya tapi sangat ingin dia ceritakan sampai tuntas."

"Tapi dalam hati ada sesuatu yang memberontak, sesuatu yang terus menerus membatin, bukan dia, bukan dia."

"Aku tidak bisa menjelaskan kata yang tepat untuk mendeskripsikan rasa yang berkecamuk di hati saat ini. Bukan dia..."

"Enak sekali ya punya perasaan kayak gitu. Nyaman sama seseorang. Saling mengerti cara mencintai dan dicintai."

"Seolah dia akan pergi kapan saja dia mau, tanpa aku ketahui."

"Sampai kapan pun, luka dari kehilangan seseorang mungkin nggak akan sembuh."

"Aku terdiam. Sudah lama tidak melihat wajahnya dari jarak sedekat ini. Tidak mendengar dia bicara dengan lembut. Aku kangen."

"Lo pikir ini permainan yang seru, mempermainkan perasaan semua orang? Lo tau nggak lo lagi ngapain?"

"Berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk hal-hal yang udah terjadi."

"Gue nggak tahan hidup dengan topeng... Gue nggak bisa jadi diri gue sendiri. Gue capek."

"Matanya sarat dengan kesepian, kesedihan yang aku sendiri kenali dengan begitu dalam. Kita berdua hidup dalam kepura-puraan karena takut melukai orang lain, terlebih dari diri sendiri."

"Aku terisak dalam pelukannya, merasa ingin melupakan semua. Ingin jujur, ingin melepaskan semua, menumpahkan galau yang selama ini tersimpan tapi dalam hati. Karena hanya dia yang tahu, hanya dia yang memegang kunci untuk melepaskan semuanya, dan menemukan diriku yang sesungguhnya di sana."

"Gue sayang lo, mungkin ini klise, tapi gue nggak main-main."

"Seharusnya aku mendorongnya menjauh. Seharusnya, aku tidak menumpahkan isi hatiku. Seharusnya aku tidak jatuh cinta padanya. Namun, kini semua sudah terlambat."

Resapi Hening


"Kini dia meringkuk dalam diam. Dalam pelukan seseorang yang telah memberinya sayatan dalam. Coba meredam tangisnya dengan satu tangan…"

"Keterdiaman itu—cara kedua matanya memandang—adalah teriak kebenaran yang paling lantang dan tidak bisa lagi disangkal"

"Ini adalah senyap paling pekat yang pernah dirasakan keduanya. Berdua yang seperti sendirian… "

"Tapi saat hadir bersamaan, keduanya adalah gelap yang melululantakkan.. "

"Namun dalam ketiadaan jarak, ternyata justru terdapat ketidakterbatasan jarak. Salah satu memeluk kuat-kuat, namun seperti tidak ada siapa pun dalam pelukannya. Dia adalah keduanya, tapi juga bukan salah satunya… "

"Mati-matian ditahannya hati dan kedua lengannya untuk tidak meraih lalu menahannya dalam pelukan… "

"Kalau mau jujur, meskipun dia selalu memperlakukannya dengan manis, selalu perhatian, selalu ada di ujung telepon, selalu bisa hadir setiap kali dibutuhkan, tetapi aku merasa dia membentangkan pembatas. Tipis, tapi bisa dia rasakan dengan jelas."

"Gue akuin gue emang nggak siap, tapi gue nggak mau mundur lagi…"

"Karena dia bicara dengan seluruh sesal. Seluruh luka. Seluruh sakit. Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan. Pada akhirnya, dia melakukan semua itu juga dengan seluruh cinta. Untuk kedua orang yang hilang pada masa lalu dan untuk seseorang yang hadir dalam hidupnya… "

Takdir Kita Sudah Jelas. Kau dan Aku Tahu Itu...


"Aku yang menghancurkan segalanya, tapi ironisnya aku juga masih menganggap diriku sendiri sebagai sahabatnya. Sungguh, aku tidak pantas."

"Lo masih mau melanjutkan kebohongan ini? Atau lo lebih suka menganggap semua ini nggak pernah terjadi?"

"Tapi segala sesuatu memiliki dua sisi. Gue bukan orang yang bisa terus berpura-pura."

"Rasa sakit di dada juga masih terasa walau aku berharap sakit itu cepat hilang dan nggak kembali lagi."

"Seharusnya aku sudah tahu, bahwa dia memang sudah berubah. Hanya saja, aku sulit merelakan. Sulit memberi tahu diri sendiri bahwa semua orang bisa berubah, dan aku harus menerimanya. Namun yang menyakitkan ternyata bukan kenyataan bahwa aku harus melepaskan dia, tapi mendengar dari mulutnya sendiri bahwa sebenarnya kami berdua bukan apa-apa."

"Kita semua bukan orang bego. Kita punya mata dan yang paling penting lagi, kita semua punya hati. Apa yang lo sembunyiin, mungkin dia udah tau duluan dari kapan-kapan."

"Gue nggak pernah merasa kebohongan ini salah. Karena saat gue menanyakan, 'lo ingin semua ini berakhir gimana?' dia sendiri sudah tahu jawabannya dengan sangat jelas."

"Ini cerita lo, lo pengarangnya, jadi tentuin sendiri endingnya dengan cara lo sendiri."

"Atau karena gue sayang dia, jadi gue nggak pengin ngeliat hatinya hancur?"

"Cewek yang sekarang disukai dia bukan aku, tetapi dia. Tapi aku ingin memastikan satu hal dan untuk itu aku membutuhkannya."

"Aku ingin menutup telinga rapat-rapat, tetapi suara itu terus bergema. Dugaan-dugaan rancu membuatku kian kalut."

"Aku ingin berhenti mendengarkan setiap kata yang menorehkan lebih banyak luka, lagi dan lagi."

"Kenapa dia harus simpati padaku sekarang? Mungkin bahkan bukan simpati yang dia rasakan lebih tepatnya, kasihan. Aku paling benci dikasihani."

"Sekarang hanya itu yang ingin kuketahui. Perasaan sepihak kah? Atau mereka berdua memang saling suka? Aku ingin tahu. Aku harus tahu."

"Lo nggak usah bohong. Gue udah capek dengerin semua orang bohong sama gue."

"Pertama-tama memang ada rasa ketertarikan, gue akui itu. Tapi hanya itu... Nggak lebih."

"Aku nggak tahu apa dia sedang berbohong padaku atau sedang berkata jujur. Bukannya aku nggak mau percaya... aku takut percaya."

"Benar apa yang kamu bilang? Gimana caranya supaya aku bisa percaya?"

"Aku nggak mampu menyembunyikan nada terluka dari pertanyaan itu. Jika sebuah hubungan berubah.. bukankah berarti ada sesuatu yang salah dalam hubungan itu? Salahku apa?"

"Tapi aku nggak bisa menganggap segalanya sama lagi."

"Dia nggak akan kemana-mana. Dia pasti kembali. Semua ini dari awal cuma salah paham. Maaf ya..."

"How much do you still want me to love you?"

"Seakan-akan, kapan saja dia akan mencoreng garis hitam besar di atas kanvas dan merusakkan semuanya."

"Gue salah menilai lo! Cowok tidak bertanggung jawab, pengecut, mementingkan diri sendiri."

"Semua ini sebuah kesalahan, dan gue akan anggap nggak pernah terjadi apa-apa di antara kita."

"Pertanyaan itu mengandung banyak arti. Kami berdua sama-sama tahu jawabannya, tetapi kali ini dia memberikanku kesempatan terakhir untuk menjawabnya, untuk mengambil keputusan, untuk memulai atau mengakhiri."

"Aku mengangguk. Menepati janji, ingin melindunginya, ingin setia, ingin menghargai diri sendiri, dan ingin memberikan kesempatan kedua pada dia untuk memperbaiki apa yang telah terjadi."

"Oke. Gue akan anggap.. Nggak ada apa-apa di antara kita berdua."

"Gue nggak tahu apa gue bisa, tapi gue akan coba."

"Tapi kurasa bahkan materi tidak bisa menjamin kebahagiaannya karena saat ini dia mulai kehilangan hal-hal yang penting."

"Tapi aku tetap berdiri di sana dengan perasaan tak enak, menunggu penjelasan. Aku yakin ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan."

"Klise, memang. Tapi itulah yang terjadi. Ketidaksengajaan menjadi kebetulan; mungkin itu takdir yang disengaja karena kami memang sudah tidak diperbolehkan berbohong lagi."

"Aku membencinya karena telah mengakui segalanya, yang berarti melukai perasaan kami semua. Aku membenci diriku sendiri karena tak sanggup berkata jujur, dan membiarkan dia yang selalu melakukannya untukku. Aku tidak suka rasa sakit ini, menusuk-nusuk hatiku dan tidak mau pergi."

"Aku tidak ingin hubungannya berantakan hanya karena kesalahan dia orang yang egois. Namun, jauh di dalam lubuk hatiku, aku tahu sebenarnya aku hanya takut dia membenciku. Aku takut dia mengetahui seperti apa aku sebenarnya."

"Gue nggak butuh sahabat macam lo."

"Gue harus melanjutkan hidup, kembali seperti sebelum gue merusaknya."

"Gue menyerah kalah. Dia benar, jalan ini yang terbaik untuk semua."

"Kita akhiri semuanya di sini, bahkan untuk hal yang belum dimulai sekali pun. Biarlah dia menganggap semuanya sudah selesai, bahwa sebenarnya memang tidak ada yang perlu dia risaukan."

"Hanya aku yang kurang peka. Aku yang tidak sadar, tidak menduga, dan tidak mau tahu."

"Aku tidak tahu apa yang dipkirkannya saat dia tersenyum padaku. Aku tidak tahu perasaannya saat dia menangis. Bahkan aku tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan."

"Hatinya bukan untukku karena itulah dia sering terlihat begitu asing. Jawaban itu yang paling tepat menjadi alasan sakit hati ini."

"Tidak ada kesempatan lagi untuk mengucapkan hal yang sama lain kali."