Hari-hari yang
aku lalui tidak ada yang istimewa tapi satu yang pasti, dari sekian hari itu
aku belajar untuk tetap berjalan tanpa Udin di sisiku, tanpa pria yang selama 7
bulan menemaniku setiap hari. Aku tidak pernah berpikir bahwa jarak yang dekat
sekalipun tidak bisa menyatukan dua hati untuk bertahan lebih lama. Pada
dasarnya jarak yang dekat bukanlah jaminan untuk sepasang kekasih bertahan
lebih lama dari hubungan mereka, kenyataannya sudah aku buktikan. Baik aku dan
Udin akhirnya menyerah atas hubungan yang susah payah kami bangun. Untuk semua
hal yang sudah aku lewati bersama perlahan luntur seiring berjalannya waktu.
Aku belajar memahami kesendirian bahwa tanpa kekasih pun aku bisa menata
kembali kehidupanku, meski harus terjatuh berkali-kali meski mengbati luka hati
dengan cara menyakiti diri sendiri.
Diam-diam
bercumbu dengan sebatang rokok tanpa diketahui pihak manapun, hanya untuk
menguatkan hati yang selalu berdenyut nyeri setiap mengingat kenangan. Jauh
sebenarnya aku tidak peduli Udin ada atau tidak disampingku, tapi kenangan
itulah yang membuatku peduli pada jalinan cinta yang telah berakhir. Benar kata
orang, orangnya tidak menyakitkan tapi kenangan itulah yang menyakitkan.
Kenangan seperti peran antagonis yang siap menindasmu kapan saja. Dia jahat,
dia melukai hatiku setiap saat di setiap sunyi yang menerjang sampai aku lelah
mengeluarkan airmata. Payah, sebelumnya
aku tidak pernah seperti ini. Aku terkekeh, mematikan sebatang rokok lagi. Kali
ini tempatku menghabiskan sendiri di belakang universitas dekat rumahku.
Berdiri,
menyalakan mesin motor, dan kembali ke rumah.
***
Sampai di rumah,
baru selesai menggosok gigi dan ingin masuk ke kamar, handphoneku bordering,
ada panggilan dari Tama. Aku tersenyum, memetakan sebuah lengkungan sabit di
wajahku. Aku mengangkatnya segera, terdengar sapaan riang di sana.
“Hai, baru sampe
rumah nih. Lo dimana?”
Tama baru pulang
kerja, dia bekerja sebagai sales di sebuah perusahaan toko music terkenal di
Jakarta. Penghasilannya memang tidak seberapa, tapi Tama sangat giat bekerja,
kata Tama kalau mau sukses kita harus kerja keras dulu. Seperti biasa Tama
menanyakan kabarku, apakah aku sudah makan dan bagaimana hari-hariku. Dia rutin
menanyakannya, aku bersyukur masih ada yang peduli padaku, setidaknya satu atau
dua orang yang bisa mengobati kekecewaanku. Tama dan aku memang akrab
akhir-akhir ini, dengan status “mantan” yang melekat tidak menjadikan kami
saling berselisih malah saling menguatkan. Tama baik, dia perhatian padaku. Dia
selalu mengajakku jalan kemana pun.
“Besok kita
jalan, yuk.”
“Kemana, Tam?”
“Kita makan aja,
gimana? Kebetulan besok gue off kerja.”
“Oke deh, jam
berapa?”
“Siang aja gimana?
Sekalian makan siang…”
Aku memutuskan
panggilan, membaringkan tubuh di kasur. Memikirkan Tama, betapa baiknya pemuda
tanggung itu. Tama memang selalu mengajakku jalan bila dia sedang dapat jadwal
off dari pekerjaannya, entah nontn atau makan, pokoknya kami menghabiskan waktu
bersama. Aku sudah menganggap Tama sebagai kakakku sendiri, menggantikan
almarhum kakakku. Aku menghela nafas, seandainya kakak ku tidak meninggal,
mungkin dia lah yang akan menggantikan posisi Tama untuk menghiburku.
Sudahlah, tidak
ada gunanya memikirkan sesuatu yang telah tiada. Cukup jalani hari-harimu. Aku
menarik selimut dan segera pergi ke pulau kapuk.
***
Jam 2 siang di
pusat perbelanjaan.
Dengan tubuh
dibalut sweater biru dan sura tergerai, aku berdiri di tempat biasa kami
janjian—aku dan Tama. Di depan sebuah toko makanan cepat saji, aku menunggunya.
Seharusnya dia sudah datang, dan benar saja. Dari kejauhan, aku sudah melihat
laki-laki dengan tinggi 180 cm sedang berjalan ke arahku memakai setelan jaket
hitam. Kulitnya yang cokelat terlihat lebih bersih, dan wajahnya sama sekali
tidak berubah masih tetap mirip dengan penyanyi solo, Sammy Simorangkir. Ia
melambaikan tangannya padaku, aku tersenyum dan mengangguk.
“Lama banget,
Tam?”
“Iya maaf tadi
macet. Udah laper ya?” Ia mengacak-acak surai pekatku, aku bersungut-sungut
dengan kebiasaannya itu.
“Lapernya banget
lho, Tam…”
Beberapa detik
kemudian, ia merangkulku dan mengajakku ke sebuah restoran paling enak di pusat
perbelanjaan ini. Aku dan Tama memang
sering makan di sini, makanannya enak dan pelayanannya bagus. Mereka semua
ramah pada pelanggan, dan menu mereka sangat lezat, restorannya pun higienis.
Kami duduk di pojok ruangan, restoran ini menyediakan menu Asia. Aku
menyukainya begitu juga Tama, dengan dekorasi Negara Jepang semakin
mempercantik restoran ini. Menu yang disajikan lebih kepada masakan China, menu
Jepangnya sendiri bisa dihitung jari. Pelayan itu memberikan kami uku menu dan
aku melihat isinya, memesan menu andalanku dan menunggu pesanan siap sambil
bicara.
“Kabarmu baik,
Vie?”
“Baik, jauh
lebih baik dari yang kemarin.” Aku mengangguk semangat.
“Baguslah, belum
merokok kan?”
“Belum, aku
belum ada niat sama sekali menjamah sebatang pun, kenapa?”
Aku menatap Tama
dengan tatapan menghangat, suasananya seketika hening. Aku menyadari ada aura
yang tidak beres. Kemudian pelayan itu memecah hening dengan membawa minuman
yang kami pesan, keduanya mengangguk, ia mengatakan sesuatu dan kami hanya
iya-iya saja sampai ia pergi. Kami melanjutkan obrolan yang tertunda, “Jadi
bagaimana hubunganmu dengan Udin?”
“Lost contact,
fix!”
“Sudah mulai
melepaskan dan membiarkan dia pergi?” Tama menaikkan alisnya. Kurang yakin
dengan ucapan aku barusan.
“Sudah, mungkin
hanya tinggal pemulihannya saja.” Ada senyum timpang di wajah Tama. Aku tidak
mengerti arti senyuman itu, yang aku tahu Tama senang kalau aku sudah bisa
pulih. Setidaknya aku tidak perlu menjamah lintingan racun itu kan? Itu akan
membuatku lebih baik. Setelah itu pesanan kami datang, baik aku dan Tama segera
menyantapnya.
Seharian bersama
Tama seolah menjadi agenda rutinku setiap minggu. Paling tidak 2 kali dalam
seminggu kami menghabiskan waktu bersama. Seperti hari ini, rasa lelahku
tergantikan dengan tawa satu hari bersama Tama, “Sebentar ya Vie…” Ia menatap
layar handphonenya cemas. Dari gelagatnya aku tahu ada yang tidak beres dari
Tama. Tama menjauh dan aku memilih mencari tempat duduk sementara di kejauhan
sana wajah Tama menahan emosi. Aku hanya menghela nafas, mungkin itu Ria, pacarnya
Tama. Beginilah resikonya jalan diam-diam. Maksudnya adalah jalan sama mantan
tanpa bilang sama pacarnya si mantan itu. Lagipula yang aku dengar Ria adalah
tipe pecemburu yang mudah gusar. Oh itu Tama, dia kembali dengan wajar menahan
emosi. Tama duduk di sampingku, dan menghela nafas panjang. Aku menatapnya
ingin tahu, kayaknya masalah kali ini lebih besar dari yang aku kira. Hanya
saja bukannya memang sering seperti ini? Seringkali kedekatan kami menjadi
pemicu di hubungan Tama dengan Ria?
“Why?”
“Ria…”
Benar kan
dugaanku yang barusan telfon itu sudah pasti Ria, “Kenapa lagi? Dia tau kita
jalan bareng?”
“Kayaknya sih
iya, dia marah banget sama gue…”
Mau bagaimana
lagi, siapa sih yang tidak marah kalau pacar jalan sama mantannya? Apalagi
sampai mau ngeluangin waktu dengan Cuma-Cuma. Ada secuil rasa menyesal dalam
hatiku, aku mengerti perasaan Ria saat ini, dia pasti kesal sekali kalau tahu
Tama jalan denganku. Bagaimanapun Tama pernah mengatakan pada beberapa
mantannya bahwa aku adalah mantan yang paling dia sayang. Aku mengangguk
mengerti, kalau aku ada di posisi Ria juga pasti aku akan marah pada Tama,
malah lebih parahnya aku akan menemui pacarku dan mantannya itu kemudian aku
akan memaki Tama dan memutuskannya di depan umum, “Maklum sih Tam, kalo Ria
malah sama lo…” Aku menepuk bahunya, berusaha menguatkan Tama yang terlihat
pundung, “yaudah daripada lo sedih gitu mendingan kita jalan lagi sebentar,
abis itu baru pulang. Gimana?”
Tama mengangguk
dan kami melanjutkan acara kami sampai jam menunjukkan pukul 5 sore. Kami duduk
di arena permainan Timezone, lelah juga main di sana lama-lama, melihat arloji
biruku yang jarum panjangnya sudah menunjukkan pukul 5 sore, “Sip! Udah sore,
gue harus balik.” Aku mengambil tas selempang dan berniat berdiri, tapi Tama
menahan tanganku. Aku menoleh dan menatapnya tidak mengerti.
“Makasih Vie,
udah mau ngehibur gue…” Aku menoleh menatap Tama ganjil. Harusnya aku yang
berterima kasih padanya karena Tama sudah mengorbankan apa saja hanya untuk
membuatku bisa move on. Terukir senyum di wajahku, membawa tanganku lagi-lagi
menepuk pundaknya.
“Harusnya gue
yang bilang terima kasih. Makasih banget lo mau ngeluangin waktu buat gue,
nemenin gue sampe bisa move on.”
Selalu saja
terjepit dalam situasi yang tidak menguntungkan, ketika keduanya sepakat untuk
diam dan melewati detik dengan bibir membungkam. Seolah tidak perlu ada yang
dikatakan atau sebaiknya disimpan sendiri saja. Baik aku ataupun Tama sibuk
dengan pikiran masing-masing. Tama seperti orang yang ingin mengatakan sesuatu
tapi tertahan, sedangkan aku malah menunggu Tama mengatakan apa yang ingin dia
katakan. Aku tahu masih banyak yang ingin dia ceritakan padaku. Tentang Ria dan
pekerjaannya, apalagi selain dua hal itu? Di luar dugaan, Tama memegang
tanganku dan menatap hampa orang-orang di dekatnya. Mencoba untuk berpikir
positif, dengan tidak menebak-nebak apa yang ingin dilanjutkan Tama. Semoga
saja Tama tidak salah mengartikan kebersamaan kami selama ini.
“Seandainya dulu
gue nggak nembak Ria, kalo tau bakalan balik kayak gini sama lo…”
Jantungku mulai
berdetak lebih cepat, “Maksudnya apa Tam?” Oh memang kejadian tolol ini sering
kali terjadi, apabila pemain utama langsung ditembak pada pokok permasalahan
yang sebenarnya tidak ingin dia jawab atau tidak ingin dia hadapi. Sendiri,
menunggu jawaban dari Tama.
“Gue udah nggak
betah sama Ria, gue capek sama dia. Emosinya suka meledak-ledak, dia beda sama
lo, Vie…” Tama memasang wajah pilu, aku semakin tidak mengerti kenapa laki-laki
selalu berkeluh kesah tentang perempuan yang menyayanginya walau dengan cara
yang salah, “Lo baik, jarang marah sama gue, jarang maki-maki gue.” Tama
menunduk, raut wajahnya mendadak kusut. Sepersekian detik, dia mendongakkan
wajahnya, “Kalo gue putus sama Ria, lo mau balikan sama gue?”
NAH KAN!
Yang begini ini
yang nggak Avie suka. Ujung-ujungnya memori terdahulu menguasai alam sadar dan
pada akhirnya akan membuat si pemilik memori terperangkap. Aku hanya bisa
mengulum senyum, kaget jelas. Tidak sangka kalau kebersamaan kami pada akhirnya
akan berujung seperti ini. Aku mulai berpikir tentang tawaran Tama barusan, apa
aku kembali saja bersama Tama? Toh Tama menyediakan segalanya untukku,
menyediakan apapun yang aku butuhkan, kebahagiaan, tawa, canda, sampai urusan
materi pun dia punya. Apapun yang aku inginkan, hanya tinggal tunjuk dan voila
semua terpenuhi dengan sendirinya. Apalagi yang kurang? Fisik? Wajahnya yang
tidak mapan? Kulitnya yang cokelat serta wajah yang mirip dengan Sammy bisa
direnovasi kalau nanti dia punya banyak uang. Apalagi?
Lalu bagaimana
Ria?
Perempuan yang
sudah 2 tahun lebih menghabiskan waktunya bersama Tama. Pasti perasaannya akan
lebih sakit ketimbang saat aku diputuskan Udin. Kenyataan kalau ia tidak sebaik
diriku dan Tama meninggalkannya begitu saja hanya karena Ria tidak bisa menjaga
emosinya. Ini konyol! Setidaknya hubungan mereka bisa diselamatkan, aku tahu
akulah pihak ketiga yang menghancurkan hubungan mereka. Aku yang membuat
hubungan mereka diwarnai pertengkaran setiap harinya. Asal tahu saja, Tama
sering berbohong pada Ria ketika dia sedang jalan denganku. Seringkali Tama
mengatakan bahwa ia sedang berada di tempat temannya, padahal jelas-jelas dia
sedang berada bersamaku. Bersamaan dengan itu aku mulai membandingkan
seandainya aku menjadi Ria. Au mulai menyusupi seolah aku adalah Ria, pasti
akan sangat menyakitkan. Aku menggeleng.
“Gue nggak mau
jadi orang jahat, Tam…” Sorot mataku penuh arti, berharap Tama bisa menyadari
sinyal yang aku berikan, bahwa aku hanya menganggapnya sebagai kakak dan tidak
lebih dari itu semua, “kalo gue yang ada di posisi Ria, gue pasti bakalan sakit
banget. Lebih baik lo omongin baik-baik sama dia, perbaiki hubungan kalian
selama masih ada kesempatan, jangan sampe berakhir kayak gue.” Menarik sudut
bibirku hingga bisa meyakinkan Tama, kalau semua keadaan bisa dijalani dengan
baik dan bijaksana. Tama sudah dewasa, dia bisa menyelesaikan permasalahan
dengan kepala dingin. Pelarian kepadaku, kembalinya dirinya pada pelukanku
belum tentu menjadikan keadaan akan baik-baik saja, justru akan melukai banyak
pihak. Aku sendiri belum siap untuk memulai hubungan yang baru. What? Aku
trauma dengan hubunganku yang sebelumnya. Aku pamit pulang, meninggalkan Tama
duduk sendirian di depan arena Timezone. Sebagai wanita aku hanya tidak ingin
menyakiti perasaan wanita lainnya, biar bagaimanapun rasanya tidak adil bagi
Ria yang harus ditinggalkan Tama. Menjalani 2 tahun hubungan itu bukan
semata-mata seperti main air di kolam berenang, butuh proses yang sangat
panjang hingga bisa menyatukan dua hati yang berbeda. Memang Tama adalah
tipikal pengalah, dia lebih suka mengalah kalau dengan kekasih, tak jarang dia
terlalu nurut dengan pacarnya.
Aku sebenarnya
tidak keberatan kalau Tama ingin kembali padaku, tapi keadaan menyadarkanku
untuk lebih bisa berdiri secara bijaksana, memikirkan beberapa factor yang
memungkinkan semua ini tidak berjalan semudah yang aku bayangkan. Karena sebuah
perkara tidak sama dengan menyelesaikan setiap level dalam video game, butuh
usaha keras dan benar-benar harus dipikir matang. Ada dua pertimbangan apabila
Tama kembali padaku, pertama adalah perasaan Ria. Dia pasti akan sangat
membenciku dan juga Tama, dia akan merasa kalau selama ini pengorbanannya
selama 2 tahun akan sia-sia. Kemudian Tama, ya lagi-lagi Tama, aku tidak bisa
menyakiti hatinya. Di satu sisi aku masih takut menjalin hubungan kembali
dengan pemuda manapun, masih ada bekas luka yang ingin aku sembuhkan dan butuh
waktu. Bagiku menerima pemuda dalam waktu dekat ini sama saja memberi sayatan
di atas luka yang berusaha aku sembuhkan. Seperti meneteskan alkohol di atas
luka, alih-alih menyembuhkan malah terasa perih di permukaan.
Lagipula aku
tidak bisa jamin kalau nanti aku kembali pada Tama, hidupku akan baik-baik
saja. Tidak bisa memberikan garansi apapun untuk hati Tama, lebih baik begini
saja cukup menjadi kakak dan adik. Terkadang sebuah kebersamaan tidak berarti
untuk dikategorikan sebagai hubungan khusus, sebabnya kalau memang hubungan
seperti ini lebih menguntungkan, lebih membebaskan perasaanmu ketimbang
memiliki ikatan kemudian putus di tengah jalan, kenapa harus memilih terikat?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar