Kau sebut itu
jiwa yang hidup? Bagaimana bisa kau merasakannya sedangkan selama ini kau mati
rasa? Aku memang hidup dan bernafas, tapi apa aku bisa merasakan dunia? Tawa
semu, senyum palsu, seharusnya aku menyadarinya sejak awal, kalau aku tidak
pernah hidup dalam dunia nyata. Kau tahu apa maksudku. Terdengar berlebihan,
tapi itulah yang aku rasakan. Seringkali aku merasa hening lebih menghimpit
nyeri di dalam hati ketimbang ramai dan diam-diam terisak jauh di dasar jurang
keterpurukan. Rasanya perih, seperti luka yang dibalut dengan garam, kemudian
kau akan menjerit tapi tak seorang pun mendengar jeritanmu, atau mereka sudah
terlalu tuli untuk peduli pada jerit kepayahan?
Melirik meja
makan malam, didampingi kedua orangtuaku akhirnya kami makan malam—
Lauk pauk dan
nasi sudah tersedia lengkap di atas meja makan, satu per atu kawanan Erlan
mengambil makanan. Mataku hanya tertuju pada satu orang, siapa lagi kalau bukan
dia. Selalu saja dia. Aneh aku tak bosan melihatnya meski sakit selalu
menarikku semakin dalam. Mengatupkan bibirku rapat-rapat, aneh aku tidak menghindar
bila mata kami saling tatap. Di saat bersamaan sedikit pilu menyerang dan aku
memilih melawan, sebisa mungkin. Meski airmata selalu menggantung di pelupuknya.
Yang lain makan dan aku malah diam, aku sama sekali tidak punya selera untuk
menyantap makan malam. Lenyap, dan hambar. Aku merasa kerongkongan sedikit
pahit dan tersedak. Lebih baik menunggu mereka selesai makan. Mama memang
bertanya padaku kenapa aku belum makan juga, tapi aku menjawabnya. Aku katakan
pada beliau, kalau aku masih kenyang. Aku tahu beliau mengetahui anak putrinya
sedang berbohong, hanya saja ia tidak perlu mengatakannya.
“Nggak makan,
Vie?” Tanya Hardi sambil menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Aku
menggeleng dan tersenyum, “lo diet?”
Lagi-lagi aku
menggeleng, “Nggak, gue nggak laper Di…”
Saat itu aku
merasa Udin memerhatikanku, dia tahu pasti ada yang tidak beres denganku.
Tidak, dia tidak perlu khawatir, aku baik-baik saja hanya tidak mala mini.
Mungkin setelah ini aku akan baik-baik saja, aku akan bisa melupakan semua
kenangan aku bersamanya, semua cerita kami dan segala hal yang sudah aku lewati
bersama Udin. Hanya butuh waktu, hanya butuh kekuatan agar ketakutan ini
lenyap. Diam-diam Erlan mengamatiku, sudut mataku menangkap gerak-geriknya, ya
aku tahu mereka semua masih dalam suasana kaku. Pasca aku putus dengan Udin.
Keadaan jadi bertambah garing, aku sendiri meminta maaf kepada mereka, ini
murni salahku. Aku yang sudah membuat keadaan menjadi sangat absurd, menjadi
sangat tidak terkendali. Inginnya memaki diri sendiri, tapi entah bagaimana
rasanya aku sudah muak memaki diri ini.
Dalam kurun
waktu 10 menit acara makan-makan sudah selesai, mama menyerahkan semua padaku.
Bagiku seperti acara biasa, sesudah makan paling mereka dan aku ngobrol
bersama, di teras rumah.
Aku mengajak
mereka ke depan rumah, Erlan, Hardi dan semuanya. Mereka aku biarkan
duduk-duduk sambil minum kopi di depan teras. Aku sendiri hanya diam di sudut
teras dengan kondisi memeluk lutut. Malam jadi semaking sengit, atau memang
sakit ini yang membuatku sengit. Sesak, aku tidak bisa seperti ini. Aku ingin
mereka pulang, aku ingin menangis sepuasnya, aku tidak bisa lagi menahan bebas
di dadaku yang sudah menghimpit sejak aku melihat matanya.
“Jangan nangis…”
Kaku—tubuhku
seketika diam di tempat. Mendengar suara yang aku yakin, sangat tidak asing di
dalam telingaku. Aku belum tuli, aku juga masih mengenali jenisnya. Menoleh,
dan gerakanku terlalu lama. Udin sudah duduk di sampingku dengan gaya khasnya.
Ia menyilangkan kaki dan menghisap rokok kesukaannya. Sial, wangi tubuhnya
membelitku saat itu juga!
“Mau?” Ia
menyodorkan satu batang padaku. Aku melotot, menatapnya seolah mengatakan, ‘kau
ini apa-apaan?’ Tapi dia malah menatap keluar rumah dengan wajah tidak
bersalah, “nih kalo mau, nggak usah pura-pura di depan gue…”
Suasana hening,
lintingan racun itu mengeluarkan asap dan terus berada di tangannya. Aku
mengingatnya, kami pernah ada dalam posisi demikian, dalam satu rentang tempat
duduk. Hanya bedanya kali ini kami tidak berpegang tangan seperti dulu, kami
tidak saling merangkul seperti dulu. Ada saat aku benar-benar merindukan memori
yang telah hilang, puncaknya adalah sekarang. Memutuskan perkara sederhana itu
tidak semudah mengunyah permen kemudian menelannya, ada beberapa hal yang harus
diperhatikan, aku menatapnya. Jauh menatap dalam sorot yang seolah menantangku
untuk menuruti keinginan, bukankah seharusnya ini menjadi hal yang mudah?
Karena aku sudah terbiasa menghisap batangan racun itu? Berdebat dengan diri
sendiri itu tidak pernah semudah yang kalian bayangkan, jauh lebih sulit
daripada adu mulut dengan orang lain.
“Nggak…” tolakku
dengan halus. Seketika wajah Udin bertanya-tanya.
“Kenapa nggak?”
“Gue mau
berhenti…. Udah cukup nyakitin diri sendiri, bener kata lo…”
Ada getar emosi
yang merayap seolah disusul perasaan menyakitkan, berimbas pada airmata yang
telah mengelompokkan di kedua sisi ujung kelopak mata. Berat, menahan
mati-matian laju sesak yang ingin keluar. Sekaligus aku tidak ingin Udin
melihatnya, kalau aku menangis Udin tak mungkin memelukku lagi, dia tidak akan
sama seperti dulu. Kami akan terhalang status yang melekat, padahal aku tidak
mau seperti ini. Rasanya menyakitkan, jauh lebih menyakitkan ketimbang
tertabrak mobil. Aku menghela nafas berkali-kali, sulit menjaga airmata di
saat-saat begini. Sisi diriku yang lain mengatakan kalau aku boleh menangis,
tapi aku menahannya. Tidak boleh, meski pada akhirnya aku runtuh juga. Aku
menundukkan kepala, dan sesekali menengadah, menahan laju airmata yang nampaknya
semakin deras. Aku tahu, Udin mengetahui aku menangis. Sayangnya dia tidak
mengatakan apa-apa, tidak juga berbuat apa-apa, dia hanya terdiam bersama
sebatang rokok terselip di bibirnya. Payah, harusnya aku tidak boleh seperti
ini. Tangis yang meraja, sakit yang terus mendendam, rindu yang sengit,
keinginan kembali, semuanya bercampur jadi satu. Tuhan, tolonglah kalau memang
harus aku habiskan rasa ini sekarang, aku rela. Aku rela membuang perasaan yang
sudah aku jaga selama berbulan-bulan ini hanya supaya aku menjadi lebih baik.
Tangis diam
ternyata lebih menyakitkan, tanpa suara. Emosi tertahan, isak yang tidak ingin
aku keluarkan. Agar yang lain tak mengetahuinya, cukup ruang dimensi milikku
dengan Udin saja yang mendengar. Pantulan nafsu emosi yang menggelegar seolah
aku kesetanan, dadaku semakin sesak, kepalaku berputar. Memutuskan untuk
beranjak.
***
“Lah, Avie kemana, Din?” Udin
mengedikkan bahunya, membuang puntung yang mulai habis. Kemudian kembali
menempatkan diri di tengah teman-temannya.
“Nangis?” Erlan menatap Udin dengan
penuh tanda tanya, dia pasti tahu apa yang sudah terjadi. Udin mengangguk, dan
Erlan mendesah. Dia mengerti, adalah hal yang wajar ketika Avie menangisi Udin.
Erlan menatap mantap Udin, tidak mungkin Erlan tidak mengerti. Karena kami
semua besar dari kecil, Erlan sudah pasti paham dengan watak masing-masing dari
kami, “dia butuh waktu supaya bisa nerima semuanya…”
“Kenapa perempuan selalu menangisi
hal-hal yang sudah berlalu? Bukannya itu pekerjaan yang sia-sia?” Kali ini Gagah
angkat bicara, dia yang paling muda diantara kami. Erlan mengerutkan keningnya,
kemudian tersenyum hambar.
“Karena dominan perempuan dikuasai
oleh perasaan bukan logika, seandainya otak mereka berjalan pasti akan
dilibatkan dalam perasaan. Hati yang mengontrol mereka, bukan ini…” Erlan
menunjuk pelipisnya dan tersenyum kecut, “itu sebabnya ibu-ibu sering merasa
tersinggung karena mereka mikirnya pake perasaan.”
“Nah lo Din, kenapa nggak mau
balikan?”
Selalu saja ada pertanyaan yang
tidak ingin dijawab olehnya, Udin menatap teman-temannya, haruskah dia menjawab
pertanyaan yang mungkin jawabannya akan sulit untuk diterima? Lelaki dengan
surai tinta itu mulai menghela nafasnya, tanda ia sudah mulai keluar dalam zona
aman dan seperti ingin menjelaskan. Yang lain menunggu jawaban, sementara
hening terlihat meragukan, masing-masing memiliki persepsi tersendiri.
“Karena emang nggak mungkin, Gah…
Ada saatnya sebuah hubungan itu memang harus berakhir, seindah apapun jalan
ceritanya, ada saatnya kita yang harus menghentikan perasaan sayang itu
sendiri. Ada hal-hal yang nggak bisa lo ngerti dalam sebuah hubungan, Gah…”
Dengan gaya santai Udin berdeham, tidak ada yang tahu apa yang ada di dalam
pikiran seorang remaja tanggung hitam manis seperti Udin, “Gue nggak mau
balikan bukan karena gue nggak sayang. Tapi gue nggak mau nyakitin dia lebih
jauh. Paham? Lebih baik begini, walaupun butuh proses buat nerima semuanya.”
“Gue itu benci liat dia nangis, gue
benci ngerasa bersalah. Setiap dia ketemu gue, gue tau dia luka, gue tau dia
mau nangis setiap ketemu gue, dan itu semakin membuat gue berpikir kalau gue
balik sama dia sama aja gue nyakitin dia. Lagian hubungan yang udah putus terus
disambung lagi, nggak jaminan kalau hubungan itu akan sama seperti saat pertama
kali lo jalanin. Pasti ada yang beda, atau malah terkadang ketidakcocokan akan
mulai muncul dan bisa jadi ada perpisahan yang kedua kali. Kalau memang belum
jodoh, sama aja kan endingnya bakalan berakhir juga? Mau dipertahankan sekuat
apapun, kalau Tuhan mengatakan tidak, ya pasti akan ada perpisahan. Suka atau
tidak suka, perpisahan itu pasti ada.”
Erlan melayangkan tepukan pada bahu
Udin, “Ngerti kan lo semua?”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar