Malam beranjak,
seringkali aku pulang hanya numpang mandi dan makan. Begitu makan malam selesai
aku mengunci diri di kamar. Mengingat pertemuanku tadi dengan si pedagang teh
dekat rumah. Aku bersyukur diriku menjadi orang baik, aku bisa dekat dengan
siapa saja sekalipun dengan kalangan yang di bawah, tapi aku senang. Mereka
lebih banyak membantuku di kala aku sedih dan kacau. Mereka yang menghiburku
dengan cara mereka sendiri. Aku berjalan menuju meja kecil di kamar, semacam
meja belajar untuk anak SD dan mulai menyalakan laptop. Menyibukkan diri dengan
browsing internet. Sebenarnya aku membenci internet, apalagi dengan forum
sosial facebook. Aku membencinya karena banyak kenangan pahit di dalamnya. Ada
banyak cerita yang tidak ingin aku jelaskan, dan tidak ingin aku ingat. Sakit
sendiri bila mengingatnya. Jari-jariku mengentak permukaan mouse, sudah puas
dengan internet aku berniat akan pergi lagi ke patung kuda. Mengambil sekotak
rokok di lemari bajuku dan kemudian mengantungi lalu berniat pergi. Namun
langkahku tertahan di ambang pintu. Sesuatu yang sama sekali tidak ingin aku
temui sampai aku mau mati. Dia lewat bersama teman-temannya, aku hanya
mendengus kesal. Sembari mengeluarkan motor dari dalam rumah. Aku harap Erlan
tidak sadar ketika aku keluar rumah, jadi dia tidak perlu repot-repot menyeret
si Udin ke depan wajahku.
Aku membuka
pintu pagar, berderit. Membuatku menahan ngilu, karena Erlan akhirnya menoleh
dan dia sudah bersiap menghampiriku. Damn it! Kau tahu apa artinya? Sial! Iya
ini sial, seharusnya nanti saja aku keluarkan motornya sampai mereka menghilang
di tikungan belakang rumah.
“Mau kemana
Vie?”
“Ah? Gue? Mau
jalan aja…” aku berusaha bersikap cuek, tapi gemuruh itu tidak kunjung hilang.
“Jalan kemana?
Sendirian?”
“Iya… Lo?” aku
segera menduduki jok motorku.
“Gue mau ke
belakang sama anak-anak…” Erlan memerhatikanku dari atas sampai bawah. Wajahnya
terlihat bahwa dia sedang mengamatiku lekat-lekat. Aku diam, berusaha tidak
tahu dengan apa yang dia lakukan, “lo… nggak apa-apa?”
Aku mendongak,
mengangkat alisku sebelah, “Gue? Emang gue kenapa? Hahaha…” tertawa hampa.
“Gue denger lo
putus sama Udin…” wajahnya nampak prihatin.
“Kalau iya, lalu
kenapa? Ada masalah?” Berusaha untuk tenang meski aku tidak bisa tenang.
Aku menyalakan
mesin motor, tapi dengan cepat Erlan menahan tanganku, ia memegang kunci
motorku dan mematikan mesinnya. Wajahnya meminta pengertian untuk didengarkan.
Aku menghela nafas, dan melunak. Aku tahu kawanannya sedang memerhatikan kami.
Aku mengisyaratkan agar bisa bicara berdua dengan Erlan, dan ia menerimanya. Ia
menyuruh kawanannya untuk pergi duluan. Aku duduk rileks di jok motorku. Erlan
masih menatapku hampa dan prihatin.
“Gue denger lo
ngehindar dari anak-anak, apalagi kalau Udin lagi nongkrong.” Aku tersenyum
getir mendengar Erlan bicara. Mengetahui bahwa aku menghindar ini bukan hal
yang bagus. Memang pada beberapa pertemuan aku selalu mengelak untuk berada
dalam satu pertemuan dengan Udin. Alasannya sudah jelas karena kami putus dan
pasca putus itu sendiri. Aku memang tidak bisa begitu saja menerima keputusan
secara sepihak. Berat rasanya.
“Gue cuma butuh
waktu, Lan… Butuh waktu buat nerima semuanya…”
Erlan menatapku
dengan tatapan aneh, dia benar-benar menatapku lekat.
“Tapi jangan
gitu Vie… Gue tau rasanya sakit, tapi…” belum sempat ia meneruskan aku sudah
memotongnya terlebih dulu.
“Kalau emang lo
tau rasanya, mengertilah. Nggak mudah Lan buat nerima keputusan secara sepihak.
Ditambah kenyataan kalau alasan putusnya itu sederhana, tapi bukan alasannya yg
sederhana, tapi dibalik alasan itulah yang nggak bisa gue terima.” Erlan
mengangguk, kemudian menepuk bahuku.
“Gue harap lo
bisa pulih dan kumpul bareng kita lagi… Kita mulai dari nol, Vie…” aku
mengangguk.
“Gue bisa
pastiin, kalau gue udah siap ngadepin dia lagi, gue akan dateng dengan
sendirinya Lan…” Senyum getir dan aku menyalakan mesin motor.
Lagi, malam aku
bercengkrama dengan hening dan bergelut dengan rokok—
***
Duduk di bawah
malam itu sudah seperti kebiasaanku. Aku memikirkan ulang perkataan Erlan.
Memikirkan semua reka ulang, seperti manis memori yang pernah kuteguk bersama
Udin. Tidak bisa aku pungkiri memang memori lah yang menahanku untuk tidak pernah
benar-benar meninggalkan Udin. Katakanlah aku bodoh, aku masih saja berharap
dengan Udin. Laki-laki yang jelas membuangku, aku tertawa getir. Hembusan asap
keluar berbaur dengan gelap malam. Aku menolehkan kepala, malam memang selalu
sepi di sini, terkadang aku sering takut untuk datang ke sini sendirian, tetapi
aku butuh waktu sendiri, aku butuh keadaan tenang. Aku butuh sesuatu yang bisa
membersihkan luka di dalam hati. Menyilangkan kaki di atas jok motor, tanganku
dengan lincah memencet tombol-tombol di handphone. Memutar lagu mellow, biar
saja. Biar menekan atmosfer yang sedang berlangsung. Pertanyaannya adalah
apakah aku akan menangis lagi? Apakah 3 hari 3 malam itu belum cukup menguras
batin yang begitu mendalam? Apakah semua ini belum cukup menyayat hati sampai
aku tidak bisa berpikir jernih?
Sesekali aku
menyisipkan pemikiran, apa ini sebuah karma?
Kebanyakan orang
yang mengatakan padaku adalah karma itu tidak ada, yang berlaku hanya hukum
alam. Mari kita telaah, apa yang dimaksud dengan karma dan apa yang dimaksud
dengan hukum alam? Menurut beberapa orang, karma adalah kasus dari daur ulang
sebuah kejadian, kejadian sebab akibat yang akan terus berkelanjutan seperti
siklus. Pemikiran ini didapat dari masyarakata India, karma dikatakan adalah sebagai
hasil dari sebuah perbuatan di masa lalu, sekarang dan yang akan datang.
Sedangkan hukum alam terbagi dalam beberapa bagian, ada hukum sebab akibat,
hukum daya tarik, hukum kreativitas, dan hukum tujuh. Sebenarnya masih banyak
lagi tentang hukum alam, kalau aku bahas satu-satu mungkin tidak cukup dalam
semalam. Hukum sebab akibat adalah hukum fundamental, segala sesuatu yang
terjadi di dalam diri kita berasal dari sebab yang khusus. Pemikiran adalah
sebab dan kondisi adalah akibatnya. Hukum sebab akibat berpatokan pada hukum
fisika newton yang berbunyi, “setiap aksi akan menimbulkan reaksi yang
sebanding atau berkebalikan.” Pada hukum sebab akibat, yang perlu diperhatikan
adalah kualitas dari sebuah hubungan yang dijalani, besar atau kecil masalahnya
atau apa yang kau lakukan itu akan sangat berpengaruh dalam hukum ini.
Dari keterangan
di atas keduanya memang berkaitan, hukum sebab akibat dan karma adalah sama.
Sama-sama berlaku di dalam kehidupan manusia. Siklus kehidupan yang akan terus
berjalan, bersamaan detik dan menit yang saling berkejaran, kemudian jam akan
memeluk mereka dalam dekapan bernama waktu. Waktu itulah yang membentuk proses
bagaimana terjadinya karma, kapan dan pada saat apa karma itu akan terjadi.
Mungkin sekaranglah karma yang aku rasakan, dan itulah konsekuensi yang harus
aku terima bagaimanapun juga. Sayangnya aku bukan tipikal orang yang mudah
menerima segala sesuatunya, karena segala sesuatunya membutuhkan proses yang
panjang. Aku tidak pernah memikirkan bagaimana hasil yang kudapat, aku
memikirkan bagaimana proses ini akan berjalan dan apa yang aku lakukan di dalam
proses itu. Apa aku bisa baik-baik saja? Atau aku memilih menyakiti diriku
sendiri? Semuanya hanya aku yang tahu. Menghela nafas, puntung rokok sudah
hampir habis. Aku melihat layar handphone. Sepatutnya aku meminta maaf pada
orang yang telah aku sakiti hatinya, dengan kerendahan hati aku meminta pada
Tuhan agar ini bisa berjalan dengan baik-baik, walaupun dengan waktu yang
relatif lama.
Membayangkan apa
yang terjadi hari esok membuatku sangat takut dan kalut. Aku tidak pernah tidur
nyenyak seperti beberapa bulan kemarin, aku selalu terngiang apa yang sudah aku
lewati bersama sang mantan. Aku membencinya, jujur saja. Aku memang
membencinya, aku membenci laki-laki yang sudah menginjak martabatku sebagai
perempuan. Susah untukku memaafkan orang yang telah melukai hati. Kau tahu,
sakit hati itu obatnya jarang, karea ketika sudah tergores dan lukanya sangat
dalam kau akan merasa akan nyeri yang sangat luar biasa, berdenyut keras hingga
kau selalu ingin menangis. Tidak ada yang benar-benar bisa melawan patah hati
dalam waktu yang singkat, apalagi seperti diriku ini. Aku menggeleng, aku
memang bodoh. Diam-diam aku masih mengharapkan bisa mengembalikan hubungan yang
sudah kandas. Sampah, mantanku itu sudah tidak menoleh padaku. Baginya sekali
mantan tetap mantan, oh ironi sedangkan aku masih mengharapkannya. Ini lucu,
ada berpuluh-puluh pasangan yang ingin memperbaiki hubungan mereka yang sudah
kandas, beberapa berhasil dan sisanya gagal dengan berbagai macam aksi yang
mereka lakukan, mulai dari mengiris nadi sampai gantung diri. Ya maaf-maaf
saja, aku tidak sampai seperti itu. Aku hanya merusak diriku sendiri dan itu
masih taraf wajar. Karena aku bingung mau berlari kemana.
Sudah puas duduk
di patung kuda dan bercumbu dengan lintingan tembakau, aku bergerak menembus
angin, melawan pekat malam menggantung di langit khatulistiwa. Menerjang
beberapa antrian mobil di jalan, menghabiskan begitu banyak waktu kesendirian
sampai rasa yang aku miliki pudar.
Bagaimana aku
mempertahankan seseorang yang tidak ingin dipertahankan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar