Tidak pernah ada
yang istimewa di hari yang aku jalani selama ini. Tanpa seorang kekasih di
sampingku. Aku tetap masuk sekolah seperti biasa, tetap menjalani hari-hariku
seperti biasa. Walau aku terus menghindar apabila kumpulan Erlan telah stand by
di depan rumahku. Untungnya Erlan memahami dalam keadaan yang sulit seperti
ini.
Oh matahari
sudah mulai menyapa dunia, harusnya aku bergegas mandi. Tapi rasanya malas
sekali, kebetulan sedang libur sekolah. Aku melihat jam di kamar, sudah jam 9
eh? Cepat sekali, pasti ini akibat aku begadang semalaman karena telfonan
dengan Tama. Mengucek mata dan mengulet sebentar. Surga itu kalau kita sudah
tidur di kasur dan ngulet sebebas merpati. Aku merayap mencari handphoneku yang
sepertinya sepanjang malam berdering, kulihat ada lebih dari 10 message yang
diterima. Keningku berkerut, bertanya dalam hati siapa saja yang mengiriman
pesan. Kubuka satu per satu pesan singkat yang kuterima, dan isinya semua
mengucapkan “Happy Birthday” disambangi dengan ucapan permohonan lainnya. Aku
mendongak, berusaha mengingat hari. Memang ini tanggal berapa? Aku mengecek
kalender di handphone. Astaga, ini kan tanggal 11? Hari ulang tahunku, 11 Juli!
Kenapa aku bisa lupa, ya tuhan? Jari-jariku menari-nari di atas keypad dengan
lincah, mengetik beberapa balasan untuk pesan singkat. Ucapan pertama sudah
pasti dari Tama, rupanya semalam aku ketiduran saat telfonan dengannya, dia
mengucapkan selamat ulang tahun ditelfon tapi aku tidak mendengarnya. Alah,
bodoh sekali aku?
Aku
senyum-senyum sendiri, mereka mengingat ulang tahunku. Lalu aku beranjak menuju
laptop dan membuka media sosial online, mendapati beranda facebook penuh dengan
ucapan selamat kepadaku rasanya senang sekali. Namun jauh dari semua itu, aku
berharap Udin tidak lupa dengan hari ini. Sekilas aku mengingat, diantara
tumpukan ucapan selamat di pesan singkat tidak ada satupun dari Udin. Mungkin
dia lupa ulang tahunku, mungkin. Aku menghela nafas, buat apa aku peduli
padanya lagi? Seperti dia akan peduli padaku saja.
Lagi,
handphoneku berdering.
“Ya, halo Lan?”
Kali ini Erlan menelfonku, aku mendengarkan dengan seksama apa yang dikatakan
Erlan,
“Oh oke, jam berapa? Oooh, oke! Sip!” aku menutup telfonnya. Nanti malam
mereka akan berkumpul di depan rumahku, memang adat sih kalau di komplek
rumahku itu yang ulang tahun wajib mentraktir teman-teman sejawat. Aku sih
tidak apa.
Sebentar….
Berarti nanti
malam ada…. Udin?
Ya tuhan, kenapa
aku bisa lupa?!
Bisakah kau
batalkan saja janji hari ini, Tuhan? Aku hanya tidak ingin bertemu dengan Udin.
Bodohnya aku, kenapa bisa lupa?! Aku harus bagaimana? Apa aku harus menelfon
Erlan lagi dan mengatakan padanya kalau malam ini aku tidak bisa mentraktir
anak-anak? Tapi tadi aku sudah mengatakan oke, aduh bagaimana ini? Seperti
orang kesurupan, aku gelisah tidak karuan. Bolak-balik dari depan laptop ke
atas tempat tidur, memeluk bantal kemudian kembali ke depan laptop.
Aku hanya belum
siap bertemu dengan Udin, bagaimanapun keadaannya…
Aku tahu ini
adalah bagian pengecut dari diriku, menghadapi ketakutan terbesarku. Bayangan
Udin yang selama beberapa bulan ini tidak pernah lenyap, bayangan Udin yang
selalu memenuhi ketakutanku akan menjadi nyata. Tuhan, kau berikan aku cobaan
macam apa? Aku menggigit bibir kuat-kuat. Sial, aku tidak bisa berbuat apa-apa
selain aku sudah terlanjur mengucapkan ya, dan Erlan bukanlah tipikal seseorang
yang seenaknya membatalkan janji. Ah, mati aku!
Sepanjang hari ini
aku lewati dengan tidak bersemangat, selalu saja wajah Udin yang ada di
kepalaku. Caranya tersenyum, caranya menggenggam tanganku, caranya merangkulku
setiap kami bertemu, caranya tertawa, dan semuanya. Mama bahkan sampai heran
melihat tingkah laku ku, aku hanya diam sepanjang hari dan menatap kosong apa
yang ada di depanku, termasuk makanan sore ini. Ulang tahunku, tidak ada yang
istimewa. Bagiku kalau keluargaku sudah mengucapkan dan mengingat saja itu
sudah cukup. Mama berkali-kali bertanya padaku, ada apa? Tapi aku hanya
membalasnya dengan tersenyum dan menggelengkan kepala. Tidak perlu ada yang
tahu aku kenapa, aku baik-baik saja.
Sampai langit
sudah memunculkan mega, pada bukit barisan aku bertanya. Harus bagaimana kalau
aku bertemu dengan Udin? Aku terus berpikir keras, tidak tahu apa yang harus
aku lakukan. Mental seperti menciut dengan sendirinya.
“Kak!
Handphonenya bunyi tuh!”
Aku beranjak
dari ruang tv, tempat aku sedari siang menonton tv. Sebenarnya aku tidak fokus
menonton sih, pikiranku masih berlarian entah kemana. Aku meraih handphone yang
tergeletak di meja telfon, ada nama Angie tertera di sana. Buru-buru aku masuk
kamar, bocah satu ini mau apa? Pasti dia akan menceramahiku sepanjang dosa.
Begitu sampai di kamar, aku segera duduk di depan meja belajar dan mengangkat
telfon dari Angie dengan wajah bosan setengah abad.
“Yeah…” sapaan
pertamaku.
“Kemana aja lo?
Gue telfonin nggak pernah diangkat!”
Aku menguap
sejenak, terkadang aku bosan dengan ocehan Angie, tapi biar bagaimanapun dia
tetap sahabatku yang mengerti jelek bagusnya diriku.
“Maaf, maaf… Gue
lagi menenangkan diri nih, sob.”
“Oke gue maafin,
khusus hari ini aja, soalnya lu lagi ulang tahun!” Suaranya terdengar bahagia,
“Happy Birthday ya mybest friend!”
“Makasih…. Ada apaan
nelfon gue?”
“Gimana kabar
lo? Udah baikan apa belom?”
Aku memutar
mata, bagaimana bisa aku merasakan sudah lebih baik atau malah semakin buruk
kalau keadaan hati saja masih gamang seperti ini? Berusaha untuk merasakan
denyut baik-baik saja ternyata sama susahnya dengan melupakan orang yang telah
memberi kita banyak kenangan selama bersamanya. Aku menghela nafas. Terdiam
sejenak, aku tidak ingin menjawabnya secara buru-buru, karena aku tahu aku
tidak baik-baik saja, masih ada sisa luka yang harus aku benahi dan aku obati
dengan kemampuanku sendiri. Senyum masam mulai menghiasi wajahku, betapa
melupakan adalah hal yang paling aku benci, karena tak satupun usahaku berhasil
melakukannya.
“Gue mati rasa,
nggak bisa bedain mana yang baik-baik aja mana yang nggak…”
Angie hening,
apa dia mengerti yang aku rasakan? Aku tidak meminta orang berusaha untuk
mengerti apa yang aku rasakan, setidaknya dengan perkataan mereka yang
menghiburku itu sudah cukup. Seperti pesakitan aku harus tergopoh-gopoh
membalutkan perban di sekujur luka yang sama sekali tak terlihat dengan mata
orang awam.
“Gue tau sob,
nggak gampang ada di posisi lo…” Nah kan, sesi galau sudah dimulai. Enyahlah
malaikat, tunda saja kebahagiaan yang akan kudapat sampai semester depan
kehidupan.
“Rasanya ini
tahun terburuk gue…” aku mendesah, kecewa pada keadaan. Terlalu banyak kejadian
biadab tak terduga yang menyiksaku pelan-pelan tanpa jeda. Setidaknya walau
masih diberi kesempatan untuk bernafas tapi aku sama sekali tak merasakan,
hanya nyeri di dalam denyut hati yang seringkali mencuat keberadaannya.
“Tahun terburuk
gimana?”
“Nggak pernah
gue ulang tahun ditemenin perasaan sakit begini, sob.”
“Lo kuat, Vie…”
“Sekarang sih
kuat, tapi nggak tau nanti malem kuat apa nggak.”
“Maksud lo?”
Aku menceritakan
janjiku pada Erlan dan kemungkinan Udin datang di antaranya. Angie cukup paham
dengan jalan ceritaku, dia memahami usahaku untuk menjauhi Udin beberapa bulan
ini. Di sela cerita aku sempat meneteskan airmata, setiap kali kata itu, nama
itu mampir di lidahku pasti aku selalu terdiam dan menjatuhkan airmata terlebih
dulu. Aku tahu menghindar bukan hal yang tepat, aku tahu aku hanya memperburuk
keadaanku sendiri, aku pengecut. Jauh di dalamnya aku lebih sakit dari ini
semua. Jauh di dalamnya keadaan lebih buruk dari yang terlihat, aku tidak
pernah benar-benar bisa lupa pada sosok Udin.
“Dengerin gue,
please untuk sekali ini aja!” Angie membentakku, baru pertama kali aku dibentak
olehnya, “cara lo menghindar selama ini, itu hal yang paling salah yang pernah
lo lakuin! Gimanapun caranya lo harus bisa ketemu Udin, gue tau mental lo belum
siap, tapi sampai kapan? Mau sampai kapan lo ngumpet? Mau sampai kapan lo
diteror rasa sakit kayak gitu? Sampai lo mati dan Udin hidup bahagia dunia
akhirat, hah?! Sob, denger ya… jalan satu-satunya untuk sembuh dari rasa sakit,
ya lo harus datang ke sumbernya!”
“Gue nggak
bisa…” kataku terbata-bata.
“Lo belom coba…
Jangan bilang nggak bisa. Percaya sob sama gue, lo takut karena lo belum
terbiasa tanpa Udin, lo takut ketemu dia karena lo takut ada gejolak yang sama.
Sob, denger ya… Semua ini, semua cerita lo sama Udin itu udah abis masanya…
Cobalah lo damai sama masa lalu, ini buat lo juga, buat diri lo…”
“Gue takut…”
erangku.
“Apa yang lo
takutin? Udin? Erlan? Siapa?”
“Ya gue takut
sama dia, lo tau lah…”
“Selama ini
waktu lo buat sembunyi, ngehindar, itu udah cukup! Waktu lo mempersiapkan diri juga
udah cukup, Tuhan udah kasih batas waktunya, dan sekarang lo harus berani
ngehadepin kenyataan sob… Kenyataan kalo lo sama Udin itu ya Cuma tinggal
cerita, udah nggak ada apa-apa lagi. Semakin lo sembunyi, semakin lo kayak
gini, ketakutan itu bakalan tinggal, tapi coba lu hadepin dia, lu liat dia
setiap hari, pasti lu bakalan terbiasa. Ayolah sob, nggak ada salahnya dicoba…”
Satu hal yang
paling tidak aku suka adalah meninggalkan zona aman.
Aku tidak
terbiasa beranjak dari zona aman, karena aku adalah tipikal orang yang kalau
sudah terbiasa dengan satu hal itu akan bergantung terus menerus dan aku tidak
berniat mengubah apapun selama itu menjadi hal yang paling nyaman untukku.
Mungkin mengumpat di balik layar cerita yang sudah selesai merupakan hal yang
paling nyaman dalam diriku, aku tidak berniat beranjak untuk menghadapi
kemungkinan yang bisa membuat keadaanku lebih parah. Memang aku pernah
mendengar, untuk menghilangkan rasa sakit itu ya memang kita harus datang pada
sumbernya, kita yang harus mengobatinya dengan cara kita sendiri, tidak peduli
pada keadaan kalut atau apapun, selama ada kemauan untuk sembuh. Aku mengepal
tanganku, omongan Angie ada benarnya. Seharusnya, rehat untuk pesakitan sudah
selesai, aku sudah tidak lagi di rawat dalam unit galau darurat, aku sudah
hampir sembuh. Hanya butuh selangkah agar bisa menghabiskan sisa-sisa luka
dalam sekejap atau secara bertahap.
“Jadi, gue harus
ketemu dia?”
“Betul!”
“Lo yakin nggak
akan apa-apa? Nanti kalo gue sakit lagi gimana?”
“Setiap apa yang
lo lakukan, selalu ada resiko yang harus lo ambil. Gimanapun sakitnya ngadepin
mantan, masih lebih sakit kalo lo nggak bisa ngadepin dia. Mantan itu bukan
untuk ditakutin, sob…”
“Makasih sob…”
Secepat kilat
aku menutup telepon dari Angie dan kudengar dari arah bawah, mama memanggilku.
Beliau mengatakan kalau di depan rumah sudah ada beberapa teman kecilku. Nah
kan? Apa kubilang? Mereka sudah sampai duluan, kemudian aku bersiap. Tidak, aku
tidak perlu berdandan mewah layaknya putri raja atau finalis Miss Universe, aku
juga tidak memakai gaun mahal dan sepatu hak tinggi seperti anak remaja
kebanyakan, aku hanya menggunakan setelan celana jeans dan kaos saja. Mengambil
jaket yang sudah tergantung dan berlari kecil menuju depan rumah. Kulihat
beberapa dari mereka sudah tersenyum ke arahku. Yang harus diketahui adalah
hati kecilku menginginkan kedua mata ini menangkap sesosok lelaki jangkung
hitam manis, dengan senyum piawai merayu para wanita. Dimana dia? Dimana
makhluk yang selama 4 bulan ini aku hindari? Dimana makhluk yang selama ini
sudah membuat luka di dalam hatiku?
“Happy birthday,
Vie!” Erlan mengulurkan tangannya, disusul rangkulan sebagai kakak. Jabat
tangan dengan teman-temanku yang lain pun aku laksanakan. Aku tetap berusaha
kalem, walaupun mata ini masih mencari celah dimana bisa kutemukan sesosok Udin
di antara mereka.
Aku tidak pernah
tahu kalau ikatan batin seorang sahabat yang sudah dekat selama belasan tahun
ternyata kuat. Baik, Erlan atau siapapun yang ada saat ini seharusnya tidak
mempunya kekuatan telepati kan?
“Cari Udin?”
Erlan menatapku lekat-lekat.
Tertembak
sasaran aku segera membuka mulut dan mengatakan tidak, sederet alasan sudah
kupakai sebagai tameng dari perasaanku yang sebenarnya. Betapa aku ingin
menemuinya, karena ini ulang tahunku, aku ingin tahu apakah dia mengingatnya?
“Happy
birthday….. Avie…”
Sepenggal
kalimat, dan sekelebat jabat tangan serta tatap mata lembut seketika membuatku
terpaku dalam hitungan menit. Wajahku menegang, tubuhku seolah tidak bisa
menahan beban diriku sendiri, kedua mataku jelas menangkap siapa yang berada di
hadapanku, jelas telingaku belum tuli, aku masih menghapal suaranya, bahkan
hidung kecilku masih mengenali wangi yang selalu menyapa lembut pernafasanku.
Dia berdiri di sana, mengenakan kaos merah dan celana pendek favoritnya.
Fisiknya masih sama seperti saat kami masih bersama. Antara percaya dan tidak,
aku sama sekali tidak tergerak untuk melakukan apapun, aku hanya menatapnya
dalam diam. Diam dan benar-benar mengunci mulut rapat-rapat. Menggigit bibirku
kuat-kuat, aku berharap semuanya memang terjadi demikian, dimana pada akhirnya
aku meleburkan sakit, kecewa, senang, bahagia, terharu dan semua menjadi satu
dalam desakan nafas beruntun.
“Ma—kasih…”
jawabku terbata sembari meraih tangan lembut itu. Tangan kosong yang beberapa
bulan lalu memilih melepaskanku.
Tuhan, aku tidak
bisa berbohong—aku masih menyayanginya.
Desahan kecewa,
hati menjerit tapi malam tidak pernah sadar bahwa keduanya tengah berperang
rasa. Satunya berpikir bahwa dirinya sudah ditarik lebih jauh untuk hilang dari
ingatan, tapi yang lainnya berharap semuanya bisa usai dengan cara mengumpulkan
damai. Sayangnya, aku tidak pernah bisa berdamai dengan rasa sakit. Selalu ada
celah menemukan sesak yang tersembunyi. Sialnya, terlalu lama memendam perasaan
itu merusak kinerja hati nurani. Untuk beberapa menit aku tidak melepaskan jabat
tangannya, aku memilih untuk merasakan kalau saat ini Udin yang ada di
hadapanku adalah dia yang jelas-jelas telah membuangku. Baru kali ini aku
merasakan benci dan sayang dalam waktu yang bersamaan, jelas ini gila dan hal
paling absurd yang pernah aku rasakan.
“Mau
masuk?” tanyaku menatap satu per satu
teman-temanku.
“Mau lah, si
tante masak apa, Vie?” Tanya Erlan melongok ke dalam rumah.
“Nasi kuning,
biasalah kan setiap keluarga gue ulang tahun, nasi kuning selalu bertengger di
rumah. Yaudah, masuk aja dulu.” Kataku sembari membuka pagar.
Aku menutup
pager dan berbalik untuk masuk ke dalam. Namun aku merasa ada yang menghalangi
jalanku, mendongakkan kepala, mendapati siapa yang ada di depanku. Tuhan, Udin
lagi. Mau apa orang ini? Aku mengernyitkan kening, bermaksud bertanya ada apa
dengan gerakanku.
“Jangan ngerusak
diri lo lagi, cukup!” nada tegas yang keluar dari bibirnya. Dalam hitungan
detik ia membalikkan badan dan masuk ke dalam rumahku.
Tanda tanya
besar segera hinggap di dalam kepalaku. Apa maksudnya? Apa yang Udin tahu
tentang aku? Apa yang cemaskan dari diriku? Toh aku merusak diriku sendiri,
tidak menyeret namanya. Atau karena aku merusak diri atas namanya? Tapi yang
aku rasakan malah sebaliknya, aku tidak benar-benar mengerti apa yang dimaksud
olehnya. Apa Erlan sudah menceritakan padanya? Tentang kebiasaan merokok yang
aku jalani sekarang ini? Kebiasaan aku menghabiskan waktu dengan membunuh
satu-satunya jiwa yang hidup?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar