Kalau kamu bahagia, aku
nggak punya alasan apapun untuk menghentikanmu—
“Aku juga tidak bisa memaksamu untuk tetap di sini…” Sepasang
iris gelap menatap, tertutup embun yang mengembang di sudut kelopak. Berusaha
mati-matian untuk menahan tangis yang mungkin bisa meledak kapanpun gadis ini
inginkan. Hanya di depan lelakinya tidak bisa ia biarkan hancur melebur sebagai
ego yang menahan sesak. Sedangkan umbul tangisannya semakin menyeruak tatkala
gadis ini membuang muka ke lain arah, seolah mematri sepasang kristal pada
alam. Mengerjap di dalam keheningan ketika tahu malam tidak akan mengubah
bulan, ia sendiri semakin merasa waktu mereka hanya tinggal hitungan detik,
bahkan untuk sekedar menoleh saja dibutuhkan waktu bermenit yang panjang. Gadis
pemilik surai pekat ini malah memainkan alur seperti menahan adam untuk tidak
beranjak dari sisinya.
Hatinya sesak dipenuhi perasaan yang campur aduk, antara sedih,
marah, kecewa dan semuanya bertumpuk. Ia tidak mau lelaki di sampingnya pergi
untuk yang kesekian kali, karena apa yang selama ini ia takutkan adalah
lelakinya terlalu angkuh begitu menginjakkan kaki kembali. Ia bahkan hampir
tidak pernah mengenal entitas adam pemilik mata besar di sampingnya. Tidak
pernah benar-benar mengenal dia saat kembali dari perantauan—sebutlah.
Ketika merasa ego semakin menghimpit dan ia tidak bisa
membiarkan dirinya dicap egois oleh khalayak, mungkin ada saat di mana dua
orang akan terpisah untuk sementara sedangkan janji sudah cepat diumbar, demi
menyenangi harapan yang tergantung di ujung kerongkongan. Detik terakhirnya
dalam malam ia biarkan mengalir dalam tempo yang lebih lambat. Demi sebuah
langkah yang ia meminta bumi untuk menahannya, agar tetap berada di sisinya—sebentar saja. kelam
kelopaknya tak berani menegaskan untuk menolak, mengakui bahwa ia tidak iangin
ditinggal pergi barang sehari saja.
“Aku minta maaf, aku tahu aku salah….”
Kalau
sudah tahu salah kenapa dilanjutkan?
Kenapa
tidak dihentikan?
Kenapa
harus terus membuatku terluka?
Aku mungkin hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat, ingin marah.
Ingin mengatakan apa yang ingin aku akhiri sekarang, tapi dia tidak bisa pun
terlalu takut untuk menyesal. Padahal mungkin lebih baik menurut dan mengalah,
hanya kau tahu wanita tidak bisa membiarkan egonya terjatuh di sembarang tempat.
Ia berikan kesempatan untuk satu pilihan yang bisa membuat pria ini berada di
sampingnya, untuk satu malam yang mungkin tidak akan pernah ada di malam-malam
selanjutnya. Gadis ini diam, sama sekali tidak ingin bicara, tak punya
kemampuan untuk memaparkan sesuatu yang menurutnya salah, atau mungkin
seharusnya lebih condong kepada apa yang dia rasakan. Gadis ini pengecut,
terlalu takut untuk melihat dua pasang mata yang bicara padanya, karena ketika
berhadapan, nyalinya akan semakin menciut.
“Ngeliatin apa di sana? Harusnya kamu ngeliat ke sini kan yang
ngomong ada di sini…”
Justru karena yang bicara ada di hadapan makanya aku tidak mau
melihat—karena begitu melihat, tetesan cair bening ini akan semakin merembes.
Akan semakin menyesakkan, dan aku tidak bisa untuk tidak menangis. Jangankan
nanti, untuk sekarang pun kurasa sulit menahan. Dua pilihan yang sama saja
sakitnya, menimang dan gadis ini sia-sia memberikan jalan keluar, karena hanya
buntu yang didapat. Mereka tidak pernah benar-benar ingin bersama, terutama
dia—meninggalkan gadisnya untuk sendirian dalam waktu yang lama—sementara. Tapi tetap saja rasanya lama.
Amarahnya semakin menjadi, ketika ia berpikir—
Harusnya kau mengerti rasanya sendirian, kesepian, hening dan
dia tidak suka—bahkan tidak bisa berontak setiap kali mencoba keramaian. Ingin
memecahkan gelas pun rasanya terlalu hening, ingin berjalan ke luar pun rasanya
terlalu sepi. Tapi rasanya terlalu egois kalau aku menahanmu di sini, untuk
diriku sendiri.
“Hng….” Kali lain ia beranikan diri menatap pemuda yang selama
setahun ini bersamanya, “Yasudah pergi saja, aku nggak apa-apa kok…”
Kernyitan halus di dahi pemudanya seolah mempertanyakan, apa
benar gadisnya tidak apa-apa bila ia tinggalkan? Kalaupun pemuda ini ingin
tetap tinggal, suara lain akan bersikeras merebutnya. Satu banding seratus,
jelas gadisnya akan kalah. Ketika seorang pemuda ingin mempertahankan apa yang
dimilikinya, apa yang menjadi keinginannya maka saat itu juga ia harus
menanggalkan semuanya, menuruti teriakan dan tarikan orang banyak, anggaplah
kalah suara dan pemuda itu tidak memiliki hak veto untuk satu kesempatan pun.
Jadi hanya bisa mengikuti dan pada akhirnya membiarkan salah satunya terluka,
meski dalam jangka waktu yang terbilang sebentar. Tatapan pemuda ini
mempengaruhinya seolah mengiba untuk melepaskan sementara batinnya berteriak
sekuat mungkin agar pemudanya tetap berada di sini, dengan tidak menggoreskan
satu garis luka pun. Kenyataannya sulit untuk membuat seseorang tinggal—di sisinya. Dia mencoba mengerti posisi sang pria
di mana bertaruh teman dan cinta itu tidak mudah, salah satunya memang harus
dikorbankan kalau mau. Dan sebagai pihak yang mengalah sudah barang tentu
membawa pulang luka, pada akhirnya sang gadislah yang harus kalah. Meski ia
tahu sabit menggantung itu menyembunyikan lubang yang dalam, tapi ia percaya
suatu saat akan ada kebalikan dari semua keadaan.
Mengalah
bukan berarti kalah—sebab ia diajarkan bersabar oleh jarak.
Dengan satu tarikan nafas, menghela dan berat gadis ini kembali
menggunakan topeng ‘aku baik-baik saja ketika kau pergi’ dan bibirnya membentuk
satu lekukan tipis membentuk sabit, diraihnya raga pemuda di sampingnya untuk
satu pelukan terakhir yang ia tidak tahu apa hari esok bisa memeluk pemuda ini
lagi atau tidak. Satu pelukan untuk meredam setumpuk amarah, seberkas rasa
kesal dan sesak, melebur ketika akhirnya mata itu mengeluarkan titik bening
berujung aliran cair di permukaan porselen gadisnya. Peluk dalam diam
menghadirkan sebuah tangisan hebat untuk melepaskan, sebab gadis ini belajar
ikhlas untuk sebuah kepergian lelakinya. Padahal waktu yang dihabiskan hanya
beberapa hari, tapi dirasanya sudah sangat lama. Ia terlalu terbiasa berada di
samping sang lelaki, yang begitu banyak meninggalkan janji. Seumpama gadis ini
yang akan menyalakan esok hari, mungkin ia akan lebih memilih memadamkan dan
tidak ingin mengingat apapun termasuk ketiadaan pemudanya. Ia lebih memilih
menjadi sendiri, bukan dengan orang lain.
Dihapusnya tangis itu dengan tangannya sendiri, mendiamkan
beberapa menit dan melenyapkan sesak amarah berisi kecewa dengan satu
cara—egois, keras. Seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, pemudanya
boleh pergi untuk waktu yang tidak sebentar atau mungkin tidak perlu kembali.
Padahal beberapa moment lalu ia masih berdoa, untuk satu hari
bersama pemuda, untuk menutup dan membuka tahun bersama lelakinya.
21.48
Jelas kristal pekat itu menatap perih angka digital yang
terpampang di layar handphone nya. Meneguk ludah dengan kental, sedangkan
airmata terus memaksa keluar. Tidak, dia tidak bisa mengantar lelakinya dengan
tangisan, harusnya dengan senyuman agar dia tidak pernah berpikir untuk
menyesal pada hari berikutnya.
“Sudah waktunya….” Pemudanya beranjak, sepasang mata cokelat
gelap itu akan segera lepas dari kristal pekatnya, “aku pergi…” dengan cepat
pemuda itu merangkulnya dalam satu tarikan, menghabiskan spasi di antara
keduanya, mengecup kening gadisnya dan membiarkan mereka dalam satu lingkaran
padat.
“Aku janji, aku akan kembali besok…”
Itu janjinya, bodohnya gadis ini mengiyakan, sedikit memupuk
harapan yang ia tahu ini akan menjadi harapan yang sia-sia, padahal tidak
pernah ada harapan yang sia-sia.
“Iya, baik-baik di sana, dan jangan nakal selagi aku tidak ada…”
Gadis itu menaruh kepercayaan penuh, dia yakin pemilik sepasang
kelereng cokelat, berhidung mancung dan berjidat lebar dengan surai cepak
sebagai mahkotanya tidak akan mengkhianati apa yang menjadi kepercayaannya.
Hanya berbeda sikap ketika gadis ini mengikat janji yang tidak bisa benar-benar
dipenuhi, kalaupun terpenuhi akan menimbulkan gurat tidak ikhlas pada wajah
pemudanya. Kendaraan hitam itu mulai meninggalkan sebuah garasi rumah, dan
bahkan sampai detik itu juga dara ini masih tidak rela lelakinya pergi, hanya
untuk satu kata—ia tidak ingin dicap sebagai orang yang egois. Hanya karena dia
ingin pemudanya senang, hanya karena dia ingin yang terbaik buat pemudanya.
Hanya karena dia tidak ingin pemudanya terlalu khawatir memikirkannya. Hanya
karena dia tidak mau pemudanya merenung di dalam keramaian. Maka ia biarkan
sendiri yang menemaninya, mungkin nanti ia akan mencari teman—hening. Deru
mesin mengoyakkan telinganya sekaligus membuat batin sang gadis ditahan
kuat-kuat, pemuda itu tidak pernah tahu bagaimana gadis ini ingin menjerit
sekuat tenaga, mencegahnya untuk tidak pergi—malam itu. Ia tidak ingin melihat pemudanya
berlalu lalang tengah malam, hilang dari pandangan dalam kabut malam, dan
ketika pagi menjelang ia akan mendapati dirinya sendiri terduduk di pembaringan
lapuk yang selalu menahannya pergi setiap kali ingin bangkit.
Pemudanya tidak pernah tahu bahwa ia selalu menangis ketika
sendiri itu menemani dan hening bermain, pemuda itu tidak pernah tahu rasa
kecewa diselingi marah ketika tangis mulai meledak tanpa pundak untuk
bersandar, pemuda itu tidak pernah tahu bahwa ia terus memikirkan untuk tidak
lagi bertemu dengan lelakinya karena ia takut ditinggal untuk kesekian kalinya,
terlalu konyol memang tapi itu fakta yang ia temukan. Pemuda itu tidak pernah
tahu bahwa sepi itu telah merenggut kesenangannya, pemuda itu tidak pernah tahu
apa yang dirasakan seorang gadis belasan tahun ditinggal janji, dibuai harapan,
diangkat dengan satu pelukan, dan dijatuhkan dengan sekali kepergian.
Tidak ada yang pemuda itu
ketahui saat ia pergi, apa yang gadis itu lakukan, apa yang gadis itu pikirkan,
pemuda itu tidak pernah tahu—ketika
gadisnya sendirian.