Kamis, 28 Juni 2012

Living On My Own Way 5


Kisahku tidak sesempurna film fiksi atau tayangan drama lainnya—berbuah manis di akhir cerita. Ketahuilah tidak ada yang sempurna di dunia ini, yang ada hanyalah orang-orang yang mencoba untuk menjadikan segala sesuatunya sempurna; termasuk aku. Sekuat apapun, sekeras apapun usahaku untuk menulis cerita yang sempurna, pada akhirnya cacat akan tetap ada. Kesedihan mampu membuka celah meski sempit kesempatan, bahkan luka semakin memperlebar jarak. Pedih, aku harus kehilangan orang yang aku sayang. Dia memutuskan untuk mengakhiri hubungan kami dengan alasan fokus pada masa depan. Aku masih tidak mengerti kenapa semua terasa begitu cepat, untuk satu hal yang aku lewatkan, untuk hal-hal yang sudah aku korbankan, sekarang semua terasa tidak ternilai. Dunia begitu cepat mempermainkan nasib cucu adam, rasanya bahagia hanya sementara sedangkan kepedihan akan berjalan begitu lama. Hingga aku mengerti pelangi akan ada setelah badai hujan.

Seperti diremukkan, hatiku kering—penuh luka dan bercak.

Sesak sepertinya dicekik, kepalaku terasa kosong. Berjam-jam bergulat dengan tangis, amarah, dan kecewa, akhirnya aku memberanikan diri ke sekolah untuk bertemu mereka. Setelah usahaku menemui pacar yang sudah berganti label menjadi mantan gagal, aku segera ke sekolah. Kupikir bertemu mereka lebih baik. Begitu sampai ke kelas, aku melihat dia duduk di meja guru. Dengan gaya yang khas, aku segera memanggilnya.

“Sini deh… temenin gue…”

Isyarat meminta untuk ditenangkan, kemudian dia menghampiriku dan duduk di sebelahku. Kemudian aku berbisik padanya dengan suara bergetar menahan isak yang mulai mendesak, “gue putus… diputusin tadi pagi… sakit…”

Tanpa aba-aba, aku segera memeluknya, menangis di pundaknya. Herannya ia membiarkanku untuk meluapkan semuanya. Tangis, amarah, kesal menjadi satu, seolah mengiba, sayangnya aku tidak peduli dengan rasa kasihan, yang ada hanya sakit yang merajam. Kehilangan seseorang yang telah kau beri begitu banyak perngorbanan adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan.  Aku merasakan ada tangan yang mengusap punggungku dengan penuh perhatian, dan ketika semua menghampiri aku tidak berani memalingkan wajah dari pundaknya, atau memang aku sudah merasa nyaman dengan posisi demikian? Bersandar di pundaknya, tanpa malu-malu mengeluarkan airmata? Dia tidak memberi sinyal untuk melepaskanku begitu saja, membiarkan pundaknya menjadi tumpuan tumpahnya emosiku yang meluap. Segalanya menjadi satu ketika teman-temanku datang mengerubungiku dengan rasa khawatir mereka menanyakan keadaanku dan dia menceritakannya dengan penuh pengertian tanpa aku harus menjawab langsung.

Sampai isak reda, kubiarkan kepalaku masih bersandar di pundaknya. Berkali-kali aku merintih sakit, tidak ada luka di tubuhku kecuali goresan nadi yang kubuat beberapa menit sebelum berangkat ke sekolah. Berulang kali aku meringis di telinganya, mengatakan bahwa ini pedih. Aku tidak bisa menerima keputusan sepihak seperti ini. Ia memaklumi dan terus menepuk pundakku.

“Sakit… Perih banget, nyesek…” aku terus menerus meraung.

Sekitar 30 menit aku terus-terusan menangis, tanpa berniat lepas dari pundaknya.

Bagaimana bisa pundak itu menjadi tempat paling nyaman yang pernah aku temukan?

Setelah dipastikan aku sudah bisa menceritakan kronologis kandasnya kisah cintaku, aku mulai menggeser kepala dan bercerita pada teman-temanku. Tidak pernah ada kesan canggung diantara kami semua, bagaimanapun 3 tahun bersama membuat kami dekat seperti keluarga. Keluh kesah, kebiasaan, dan banyak cerita termasuk aib masing-masing sudah diketahui satu kelas. Tetap saja kami akan selalu menjaga rahasia, tidak ada yang pernah membocorkan aib masing-masing, semuanya menjaga komitmen yang dibuat. Akhirnya aku mulai bercerita, bagaimana bisa aku diputuskan. Sesekali aku masih menangis menahan sesak yang menghujam, demikian teman-temanku sesekali memelukku erat, mereka menghiburku agar aku tidak menangis lagi.

Mereka meyakinkan aku bahwa ini mungkin jalan terbaik untuk diriku dan mantan pacarku, jadi aku tidak boleh bersedih sebab masih ada mereka yang menemani.

Beberapa membantuku menghapus airmata, beberapa menghujat mantan pacarku, dan sisanya menatap prihatin, tapi dia? Dia hanya memasang wajah yang biasa saja, cengiran khasnya selalu terpampang. Wajahnya tidak seperti yang lainnya, “Masih banyak Vi cowok di luar sana…” aku tertegun—bukan karena omonganya karena melihat ekspresinya yang begitu santai berbeda dengan yang lainnya. Dalam kurun waktu 15 menit aku sudah kembali ceria seperti semula, aku menikmati saat-saat kebersamaan bersama mereka. Tidak lagi memikirkan kandasnya hubunganku. Setidaknya selama aku di sekolah dan berada di sisi mereka. 

Selasa, 26 Juni 2012

Living On My Own Way 4


Sesi foto satu angkatan, pertemuan kesekian…

Pacarku janji akan menjemputku hari ini. Jadi atau tidaknya memang masih 50:50. Tidak berharap banyak, kenyataannya sore itu sekitar pukul 5 dia datang. Aku melihatnya di sudut sekolah, mengenakan jaket hitam dan celana jeans hitam favoritnya, surainya sudah memanjang, poninya hampir menyentuh mata. Berdiri kasual mengawasiku dari kejauhan, acara sesi foto ini memakan waktu banyak. Pacarku itu tidak suka menunggu, wajahnya masam. Apalagi berada di lingkungan seperti ini. Menghela nafas begitu selesai acaranya, hari ini banyak yang akan kami lakukan.

Serangkai aktifitas dan tujuan kami adalah ke atap sekolah, aku hanya menemani sahabatku saja. Nampaknya dia ada urusan dengan seseorang, aku hanya duduk bersama pacarku membelakangi sahabatku bersama seorang adam lainnya.

Pembicaraan yang melelahkan, dan kami mengakhirinya.

Pacarku bilang dia lapar, maka sebelum pulang aku memutuskan untuk makan di depan sekolahan, bersama sahabatku juga. Memilih duduk agak ke sudut, dan kami mulai bicara satu sama lain. Baik aku atau sahabatku, kami sama-sama nyambung kalau sudah bertiga, sambil menunggu pesanan datang terjadi hal yang diluar dugaan.

Dia datang—laki-laki yang aku suka datang.

Menghampiri kami dengan cengiran khasnya, meminta izin untuk bergabung bersama kami. Aku terhenyak sempat kaget tapi kututupi. Kupikir pacarku melihat reaksiku barusan, maka aku buru-buru mengubahnya. Aku tidak ingin mengundang curiga, nanti semua bisa berantakan. Memfokuskan diri di hadapan kekasihku sementara di lain sisi seseorang yang aku suka tengah bersamaku, sesekali dia meledek aku dengan pacarku, aku memang tipikal orang yang tidak gampang panas, namun gelagat pacarku yang sepertinya mengetahui sesuatu yang tidak beres menatapku curiga, sekuat mungkin aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Menunjukkan bahwa aku dan dia memang tidak ada apa-apa, hanya teman biasa. Sementara, pada pertengahan obrolan kami, dia memanggilku dan menutup wajahnya dengan sebelah tangan, memajukan bibirnya seperti orang yang meminta dicium, raut wajahku seketika berubah dan aku memalingkan wajah. Apa-apaan dia ini? Aku kan lagi bersama pacarku, nanti kalau dia tahu sesuatu hal yang janggal, aku tidak bisa melihat hatinya sakit.

Kuputuskan untuk mengabaikannya sementara.

Dan ternyata berbagi peran itu tidaklah mudah, pada saat bersamaan terlalu sulit untuk dilakukan. Memainkan dua peran sekaligus dengan lawan main yang berbeda cukup menguras tenaga. Pada saat perjalanan pulang, dan kami berada di atas motor, pacarku melontarkan pertanyaan yang sudah kuduga pasti dia akan menanyakannya.

“Dia satu kelas sama kamu, yang?”

“Iya, kenapa?”

“Aku nggak suka aja sama dia, sok akrab.” Aku berusaha tenang mendengar ocehan pacarku. Memang tabiatnya orang itu suka sok asyik tapi memang dia asyik.

“Iya emang begitu orangnya…”

“Kamu… Nggak ada apa-apa kan sama dia?”

Hening sejenak, sedetik kemudian aku menjawabnya dengan lugas, “nggak kok. Kita cuma temen aja nggak lebih.”

Setidaknya menjaga perasaan seseorang itu wajib. Lagipula aku tidak ingin melihat pacarku tersakiti, pengkhianatan di belakangnya mungkin lebih pedih. Katakanlah aku manusia paling berdosa, berkali-kali mengkhianati dia yang menyayangiku dan mengorbankan waktu serta tenaganya untukku. Sepatutnya aku meminta maaf padanya, tetapi lidah kelu dan hati tak kunjung mampu. Terlanjur menikmati, sebut saja seperti itu. Padahal aku tahu, aku berjalan pada jalur yang salah. Bagaimanapun aku memutar kesadaran, tetap saja semuanya salah. Meski seharusnya aku bisa menghindar dan aku bisa menutupi perasaan suka ku pada dia, demi pacarku yang saat ini bersamaku. Aku tidak keberatan meski harus mengubur dalam-dalam perasaan itu demi membuatnya bahagia.

Tapi apakah dia yang saat ini bersamaku menjadi kekasihku akan bersamaku untuk hari esok dan seterusnya?

Seolah aku mengingkari hati sendiri. Menguatkan diri, bertahan untuk bimbang yang menelusup seiring berjalannya waktu. Aku sadar, gelagatku terbaca olehnya. Lagipula pacarku tidak buta, setahun menjalani hubungan bersamaku mana mungkin dia tidak ingat kebiasaanku, raut wajahku akan hal-hal tertentu. Hanya saja dia tidak mengatakannya, mungkin takut mendengar kenyataannya. Biarlah semua berjalan bagaimana semestinya. Terkadang aku berpikir bahwa apa yang aku jalankan saat ini, sandiwara yang aku mainkan hanyalah semu yang sia-sia, tidak ada gunanya. Toh pada saatnya nanti, kisah cinta ini akan berakhir. Tidak pernah ada janji yang mengatakannya bahwa kami akan bersama untuk seterusnya, karena aku seorang pengkhianat.

Senyum kecut terpampang di wajahku—kalaupun aku akan menerima hukuman dari Tuhan, aku akan terima sebagaimana mestinya.

Aku tahu dia akan sakit kalau menerima kenyataan bahwa selama ini hatiku mendua, tanpa pernah ia sadari itu. Predikatku memang setia, tetapi dimensi lain menarikku pada perselingkuhan dalam diam. Sebagai pemain drama, aku cukup handal memainkan peran ini. Memposisikan diri di dua latar yang berbeda untuk dua orang yang memiliki status yang juga berbeda. Meski aku menyukai dia yang 3 tahun bersamaku, tapi aku juga menyayangi orang yang selama 1 tahun bersamaku. Hati yang terbagi dua itu selalu menuntut, dan ada saatnya dimana aku yang harus menyerah atau salah satunya dipaksa menyerah.

Living On My Own Way 3


Hari-hari berjalan seperti biasanya, belajar seperti biasa dan tidak pernah ada yang istimewa. Menjalani aktifitas masing-masing. Omong-omong sampai detik ini aku belum kenal dengan pacar barunya, katanya pacarnya yang kali ini berbeda. Entahlah aku tidak tahu.

Kemudian kebiasaan kelas studi kami adalah main kartu, kalau tidak ada guru. Berjam-jam di kelas tidak ada guru, cukup membuat kami mati kebosanan, akhirnya main kartu seharian. Lagi-lagi sore, yang lain ke kantin, sisa aku dan teman sebangku ku tengah duel main kartu, kemudian dia masuk. Berteriak seperti biasa dan menghampiriku, “darimana?” tanyaku ketika melihat dia membawa botol aqua.

“Dari kantin, dong…” Tubuhnya condong ke arahku, dan terjadi lagi. Bibirnya menyentuh bibirku dengan cepat dalam hitungan detik tanpa aku bisa menghindar. Damn it! Kali ini aku tidak bisa mencegah teman sebangku ku melihat. Itu terjadi persis di depannya, dan aku jadi gugup sendiri. Kubiarkan kedua mataku membelalak menatapnya dan buru-buru meminta tissue pada sahabatku, alih-alih upaya membersihkan bibir. Melakukan kesalahan, sahabatku itu kenal baik dengan pacarku, tadinya aku sempat berpikir bahwa dia akan mengadukan hal ini pada pacarku, tapi aku tahu dia bukan orang yang pengadu, mulutnya bisa menjaga rahasia. Reaksinya tidak bisa digambarkan, sahabatku marah, dan mengatakan pada dia.

“Sumpah ya kalian… Elo lagi udah punya cewek masih aja… Ampun deh gue! Dia tuh refleknya lama! Aduh lu sih bener-bener deh!” Sahabatku itu segera memaki dia, laki-laki yang sudah membobol pertahananku dua kali. Sedangkan dia hanya tertawa, tersenyum seakan menang. Saat sahabatku duduk, barulah rasa bersalah itu menyerangku, “Jangan bilang-bilang ya sama pacar gue…” Sahabatku mengangguk, syukurlah dia mengerti. Tidak bisa aku pungkiri rasanya seperti dunia jungkir balik. Walau aku bingung harus menyesal atau senang, di satu sisi aku senang, bahagia. Siapa yang tidak bahagia ketika dicium dengan orang yang disuka? Siapapun akan merasa bahagia kan meski dengan cara yang salah? Karena setiap orang punya cara bahagia masing-masing, tidak selalu berada di dalam jalur yang benar. Justru terkadang mendapatkan bahagia itu harus melalui jalan yang salah sebelum akhirnya kebahagiaan sejati bisa kita dapatkan diakhir jalan yang benar.

Aku tahu ini salah, bodohnya aku melanjutkannya. Meski dengan sampul kebahagiaan semu dan dalam jangka waktu sementara, aku menyukainya. Menyukai anomali yang membawaku terbang tinggi. Meski aku mengabaikan perasaan seseorang yang saat ini bersamaku, meski seringkali aku mangkir dari betapa kesetiaannya benar-benar teruji. Walau saat ini aku tahu akan ada hukuman untuk ke depannya. Aku terima. Anggaplah ini bonus dari Tuhan. 

Living On My Own 2


Hari-hari terasa janggal, ketika besoknya di sela-sela istirahat ia duduk di sebelahku, ruangan kosong dan tutur katanya mulai mengalir. Ada nada kecewa di setiap kata yang ia ucapkan, ada luka yang tersirat ketika aku melihat matanya. Ketika aku bimbang, antara harus sedih atau kecewa, aku menikmatinya. Aku menikmati saat-saat bisa bersamanya meski hanya sebatas penghibur laranya, apa aku egois untuk bahagia di atas penderitaan dia? Tapi bukankah itu memang keinginanku? Lagipula bukankah egois itu harga mutlak seorang manusia? Tanpa ego kau tidak akan punya pendirian, bukan?

“Kenapa dia harus terima kemaren? Katanya dia bilang dia suka sama gue juga? Gimana sih?”

Aku hanya diam sambil menyuapi mulutku dengan bekal yang aku bawa dari rumah, aku membiarkan dia bercerita sesuka hatinya tanpa mesti mengusik dengan cara apapun. Toh saat ini yang dibutuhkannya bukanlah saran, dan dia tidak memintanya, dia hanya butuh pendengar yang baik.

“Sakit lho, padahal kan harusnya gue yang nembak dia. Ya kan?” Aku mengangguk. Kemudian dia tertunduk lesu. Aku tidak tega, aku menutup bekalku dan berbalik menatapnya.

“Masih banyak cewek kok yang pantes buat lo, ya mungkin dia emang bukan jodoh lo…” Aku menepuk punggungnya. Dia tersenyum, tidak tahu apa yang membuatnya senang, yang jelas apapun yang menjadi sebab dia tersenyum, aku bersyukur. Dan tak lama ia meminta izin untuk membeli makanan ke kantin.

Dari balik punggungnya, aku mendesah.

Karena kebiasaan aku selalu menyimpannya sendirian, tanpa perlu ada yang tahu bahwa sejatinya aku menyukai orang yang selama ini tidak terlalu diperhatikan. Lagipula pergaulan kami berbeda, dia jauh beberapa tingkat di atasku, tapi respect akan orang sekitar membuatnya mudah diterima di kalangan mana saja. Gayanya yang selalu asyik ketimbang anak lain, membuatnya selalu dikenal. Dia tidak pernah memilih dalam berteman, selama 3 tahun aku bersamanya pun dia tidak pernah banyak menuntut sebagai seorang teman. Ketika ia asyik dengan lingkungannya aku juga berbaur dengan lingkunganku. Entahlah, aku tidak pernah punya niat untuk mengatakan kalau aku menyukainya lalu aku mau jadi pacarnya. Kalau soal itu ada banyak pertimbangan, selama ini aku selalu menunjukkan bahwa kami suka satu sama lain sebagai teman tidak lebih, dan tidak kurang. Yeah, terkadang hati memang suka memberontak kan? Aku lebih suka membiarkan keadaannya seperti ini, tanpa mengatakan apapun dan akhirnya mengubah jarak.

Satu tahun lewat dan kami masih sama saja, tidak ada perkembangan signifikan. Dia tetaplah dia dan aku tetaplah aku, tidak ada yang istimewa. Jarak selalu menjadi jeda utama di antara kami, aku lebih banyak menghabiskan waktu bersama dua temanku, sedangkan dia dengan teman yang lain. Seperti rasis, bidang studiku bermain berkubu, mereka memiliki kubu masing-masing tapi tetap solid. Pandangan itulah yang membuatku merasa betah menjadi bagian dari mereka.

Aku baru ingat, setahun kemarin, belum lama ia melupakan anak perempuan itu, akhirnya dia mendapatkan kekasih. Aku mengenalnya, dalam acara study tour yang diadakan sekolahku bergabung dengan sekolah cabang di daerah lain. Mereka bertemu dan akhirnya pacaran. Aku sempat kaget, tapi pada kenyataan saat itu aku juga memiliki kekasih. Jadi posisi kami adalah sama-sama punya pendamping, aku pun masih mengesampingkan perasaan itu. Sementara aku berikan pada kekasihku dulu, nanti kalau sudah kosong akan kutuai lagi untuknya. Hubungannya memang tidak lama, tanpa aku sadari ia sudah lebih dulu kandas di tengah jalan, tapi dia menyukai orang lain dan aku tahu yang kali ini adalah sejati tipikalnya. Seorang anak perempuan yang cantik, pintar dan memiliki segalanya, berasal dari sekolah cabang, aku tahu itu karena pernah mendengar ceritanya beberapa kali. Sebagai seseorang yang masih menjaga pertemanan dengan baik, aku hanya mendengarkan tanpa perlu memberikan komentar yang aneh-aneh. Tapi nyatanya, itu tidak bertahan lama, sempat dekat tapi tak kunjung meraih status pengikat, akhirnya mungkin keduanya menyerah.

Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, sampai kemudian dia mulai mencari cinta baru dengan adik kelas kami. Saat itu aku juga sudah punya pendamping baru.

Sama-sama konsentrasi dengan kekasih kami, aku sering mendengar ceritanya. Apa yang dia lakukan dengan kekasihnya dan yeah terkadang kami sharing bersama. Aku tidak merasa risih atau terganggu saat aku menceritakan apa yang aku alami dengan pacarku, semuanya mengalir begitu saja baik aku ataupun dia. Menyenangkan…

Sampai dia kandas lebih dulu, sedangkan aku masih tetap bertahan…

Ada banyak hal yang aku lewatkan, aku terlalu sibuk memikirkan diri sendiri. Padahal kalau bisa dibilang ada banyak kesempatan yang bisa aku lakukan untuk dekat, tapi nyatanya tidak lama setelah putus dia sudah memiliki tambatan hati lain. Siapa lagi kalau bukan adik kelas kami di tahun ajaran baru, awalnya aku sama sekali tidak mengenalnya meski beberapa temanku sangat mengenal anak itu. Aku terlalu cuek, aku mendapati bahwa rasa itu lama-lama memudar, entah darimana asalnya. Aku tidak pernah lagi berpikir untuk merapatkan diri di dekatnya, aku hanya bersikap biasa saja, sebagai teman. Tidak lagi menujukkan gerak gerik aneh meski terkadang ia bersikap manja dan memintaku untuk mendengarkan ceritanya.

Sampai pada saat hubunganku berjalan setahun lebih, ketika sedang belajar kewarganegaraan dan dia duduk di belakangku. Dia memang terkenal iseng dengan anak perempuan, gaya bicara suka ceplas ceplos tanpa dipikir, sikapnya cuek, tapi ya dia bersikap apa adanya. Dia memainkan suraiku dengan tangan, “rambut lo panjang ya…” Aku menoleh ke belakang, mengangkat alis dan membalikkan badan kembali. Aku masih bisa merasakan jari-jari itu memintal surai pekatku, “Coba lo nggak punya pacar, vi… Udah gue pacarin kali ya, gue kan suka sama lo.” Aku membelalak, tidak percaya dengan apa yang barusan dia bicarakan.

“Apaan sih nggak lucu banget…” Aku terkekeh, “beneran… tipe gue kan yang kayak lo gini.” Selentingan kalimat itu menjadi pendorong untuk rasa yang pernah mati, yang pernah aku biarkan begitu saja. Aku tidak pernah berpikir kalau ia akan mengatakannya. Memang saat ini akulah yang memiliki penghalang, aku memiliki kekasih yang sulit aku jelaskan bagaimana dia. Bagaimana aku menghabiskan apapun yang aku miliki untuknya, seolah kiblatku ada padanya. Dalam beberapa kali kesempatan, karena kami terbiasa dekat, dia sering tanpa sengaja memelukku dari belakang, sekedar memegang pinggangku, atau memelukku, membiarkanku mengaitkan lenganku pada lengannya. Tanpa pernah menimbulkan detak berlebihan di dalam dadaku. Aku merasa fine saja, toh hubungan kami hanya di sekolahan, begitu kembali ke rumah, aku hanya ada untuk kekasihku. Itu saja, aku pandai menutupinya, yeah aku memang pandai bersandiwara, kan?

“Tidak ada satu orang pun yang menjadi pintar ketika mereka jatuh cinta.”

Gagasan itulah yang aku dapati, tidak pernah ada perasaan yang menyelinap secara diam-diam. Rasa yang membuatku tenang tanpa ada gejolak apapun. Tidak pernah menemukan detak abadi seperti yang lainnya. Kala itu istirahat dan aku sedang makan bekal di dalam kelas, aku beranjak untuk membuang plastik bekas tempat lauk yang ingin kumakan, dari pintu keluar ada suara dia. Tadinya mau berjalan ke bangku tempatku duduk, tapi urung aku menoleh ke belakang, tanpa tedeng aling-aling sesuatu menyambar begitu cepat. Halus dan lembut, cepat dan kilat. Tanpa sempat aku memejamkan mata, dan mengelak, bibir kami bersentuhan dalam waktu yang relatif singkat. Ketika dia berjalan menjauh, dan aku menoleh ke belakang, dia hanya memasang wajah tanpa dosa. Oh god….

Aku buru-buru kembali ke bangku dan mengelap bibir.

Kali ini rasanya seperti diestrum. Sial, aku kecolongan. Cepat sekali gerakannya. Aku tidak percaya dia sangat cepat, beberapa kali aku menoleh padanya, seakan memberi kode. “Hei, kau membuatku kecolongan!” Anehnya, aku tidak merasa bersalah ketika kejadian itu terjadi, harusnya aku merasa bersalah bukan saat dicium oleh orang lain selain pacar? Tapi aku hanya bungkam, kupikir tidak ada yang melihat adegan barusan.

Meski nyatanya aku salah besar…

Satu diantara teman studiku melihatnya, dan dia sempat meledek. Pipiku merah, meski aku berusaha menyembunyikannya mati-matian, dari sahabat sebangku ku dan kekasihku tentunya. Aku tidak tega untuk menyakitinya, karena menurutku kekasihku terlalu baik. Aku menghela nafas, reflek yang telat. 

Senin, 25 Juni 2012

Living On My Own Way 1


“Love don’t cost a thing” except a lot of tears,  a broken heart, and wasted years.

Aku tidak ingat kapan tepatnya rasa ini mulai ada, aku tidak ingat kapan aku menyisipkan cerita cinta tak layak dalam buku kehidupan, aku tidak ingat bagaimana aku bisa menyukainya secara sepihak, aku tidak ingat apa yang membuatku memujanya. Yang aku tahu, aku selalu memujanya, selalu senang berada di dekatnya, meski pada saat-saat tertentu aku tidak bisa menembus kisahnya. Aku hanya mengingat, banyak wanita yang menginginkannya, aku hanya mengingat pada bagian yang aku tahu itu luka tapi aku tidak pernah merasa terluka sedikitpun. Aku bahkan tidak mengenal dirinya secara utuh, aku tidak paham bagaimana sifat aslinya, walau 3 tahun bersama.

3 tahun bersama, dalam jenjang yang sama, dalam tempat yang sama, tetap saja akan memberikan efek yang berbeda—berbeda.

Garis bawai kata berbeda maka kita akan memulai cerita ini seutuhnya…

Pertama kali aku mengenalnya pada saat pintu gerbang terbuka, dia berandal, tidak pernah fokus akan satu hal, selalu membuat kesalahan, tapi dia tetap kalem dan selalu mempetakan senyum di wajahnya. Aku tidak pernah bosan melihat senyumnya, sama sekali tidak pernah terpikir muak dengan segala tingkah lakunya. Pada awalnya dia memang bersamaku, melakukan hal-hal gila yang dititahkan dengan semena-mena, menurutku pada awalnya dia tidak satu jenjang denganku, tapi ternyata setelah aku tahu, oh well dia satu bidang studi, dan itu artinya kami akan bersama selama 3 tahun berturut-turut kan?

Bahagia itu sederhana, benar?

Hanya karena seseorang yang kita sukai, segala kesederhanaan kita sebut bahagia yang luar biasa, pertemuan demi pertemuan, mengenal secara singkat saja sudah membuat hati nggak karuan. Pada masa yang sesungguhnya, kami belajar bersama, aku tahu dia anak yang cukup cerdas, terutama dalam studi berhitung, logikanya terhitung cepat. Dan bukankah adam memang diciptakan memimpin dengan logika? Hingga akhirnya ia bisa menguasai wanita yang dipimpin dengan hatinya? Karena jarak tempat duduk kami berjauhan, aku hanya sesekali memerhatikannya. Pasca hal-hal konyol yang kami lakukan setelah masa orientasi, aku tidak lagi dekat dengannya. Kami lebih banyak menghabiskan waktu dengan teman masing-masing, meski jika tiba saatnya studi bersama sudah pasti kami akan berdekatan. Entahlah, aku menganggapnya hanya formalitas dan ya aku menyukai saat-saat itu.

Sepenuhnya aku belum paham, pada saat itu aku tidak peka dengan hati—

Aku tahu dia menyukai orang lain….

Kau akan merasa lumrah, ketika kau menyukai seseorang dan kau membaca gerakan orang yang kau suka itu sebaik mungkin, kemudian tanpa pernah aku memintanya untuk bercerita, akhirnya ia bercerita, dia memang suka dengan temanku, satu studi dengan kami. Yeah, aku sudah menebaknya. Pada saat mendengar ceritanya, terselip rasa kecewa, seperti bisikan yang mengatakan, “kenapa sukanya sama dia, bukan sama gue?” but the fact, he likes other girl and I just accept the reality. Cukup menyedihkan, tapi kukatakan sekali lagi, aku tidak merasa terluka, meski kecewa begitu menggores telinga. Anehnya aku malah mencoba membantunya untuk dekat dengan perempuan yang menyukainya, setelah beberapa lama aku mencoba mengorek informasi keduanya, ternyata mereka memang saling suka. Aku menelan kekecewaan lagi, tapi kulupakan. Bagiku kecewa itu hanyalah pahit sementara, tidak akan terasa efeknya.

Ada jerit saat mengatakan, “Dia juga suka sama lo, kemaren gue udah ngomong.”

Jelas ada pancaran bahagia di matanya, seraya mengucapkan terima kasih dengan nada bahagia.

Tapi tahukah kau?

Bahwa Tuhan selalu membawa hadiah yang menarik, selalu menulis kisah yang paling ingin dibaca khalayak. Yeah, dalam hitungan menit semuanya berubah.

Pada hari dimana, dia akan menyatakan pada temanku bahwa dia menyukainya, satu jam sebelum pulang sekolah dan hari itu juga, Tuhan menunjukkan padaku parade leluconnya. Membuatku tidak mengerti kenapa waktu bisa mengubah segalanya lebih cepat. Sore itu, anak laki-laki lain, yang sama berandalnya dengan dia, penggila music, dan over act, menggandeng tangan perempuan yang dia suka. Aku melihatnya jelas, laki-laki itu membawa hawa ke tengah ruangan, aku yakin dia juga melihatnya dengan jelas. Namun takjub senyum masih mengembang di wajahnya, aku sendiri sudah berharap-harap cemas. Aku tahu saat itu juga hatinya menjerit kesakitan, dia pasti tidak akan menduga hal ini akan terjadi.

“Teman-teman, ada yang mau gue omongin nih…”

Semuanya menyimak, sepasang anak adam dan hawa yang tengah berdiri bergandengan di depan ruangan.

“Hari ini gue mau nyatain perasaan gue sama dia. Teman-teman tolong ya jadi saksi buat gue sama dia.”

Oh well, seperangkat kalimat barusan seperti pisau yang menghujam tepat sasaran. Diam-diam ekor mataku mengarah padanya. Aku merasa heran, sama sekali tidak ada gurat kecewa atau marah, ia hanya tersenyum memandang ke depan, meski aku tidak bisa melihat hatinya yang paling dalam.

“Mmm, gue suka sama lo, Ra… Mau nggak jadi pacar gue?”

Seketika keadaan hening, menunggu detik-detik perempuan itu menjawab. Aku bahkan bisa merasakan detak jantungku sendiri. Aku terus mengawasinya dari kejauhan, aku memerhatikan bagaimana mimic wajah itu terlalu datar dan tidak ada perubahan dari sejak aku melihatnya tadi. Mungkin dari sekian banyak yang tahu kisah mereka, akulah yang paling khawatir tentang dirinya, aku tidak bisa memikirkan bagaimana reaksiny nanti. Setengahnya aku berharap bahwa perempuan itu menerima saja permintaan dari laki-laki yang menyatakan barusan, jadi aku tidak punya saingan kan untuk mendekatinya? Tapi di satu sisi, aku menjerit, tidak boleh egois. Ini menyangkut hati orang, no? Oh well, selalu apapun mengalahkan batin yang ingin menang.

“Iya, gue mau…”

Dunia….

Runtuh…

Dunianya—bukan duniaku. Duniaku bahkan baik-baik saja, tidak ada yang bergetar, atau mau hancur. Semuanya masih seperti awal, masih sama. Malah seharusnya aku bahagia kan? Mengetahui bahwa anak perempuan itu menerima perasaan laki-laki yang menembaknya meski dia tahu ada yang menyukainya. Seisi ruangan bertepuk tangan, riuh seperti pesta pora. Yang tidak pernah kusangka adalah dia juga bertepuk tangan, seakan ikut bahagia di atas tangis dirinya sendiri. Takjub—saat hati terluka, ia masih bisa terlihat bahagia bahkan pada saat orang yang dia sukai menjadi milik orang lain. Oh god, dunia mulai sinting. Dan tak lama bel bunyi semua berhamburan, begitu aku ingin keluar kelas ia menahanku, “besok gue mau cerita.” Aku menatapnya janggal, tentu saja aku mengerti bagaimana ketika dekat jurang luka itu semakin terlihat dan dalam. Aku mengangguk, mengiyakan permintaannya. Dia butuh hiburan untuk hatinya yang terlewat lapang. 

Jumat, 15 Juni 2012

Hanya Cinta Yang Bisa--Perhaps You

Tak tahukah seperih apa perasaan hati yang tak terbalas? Menanti sesuatu yang tak kunjung datang?

Hari berganti hari, tetapi arah hatiku tak pernah berubah--selalu tertuju kepadamu. Aku tak pernah jenuh menunggu... menunggu untuk kau cintai. Namun, kau hanya menganggapku lalu. Seperti tak kasat mata aku bagimu. 

Terkadang lelah menyuruhku menyerah, memintaku berhenti melakukan perbuatan sia-sia dan mulai mencari cinta baru. Namun, bagaimana aku sanggup melakukannya, kalau semua tentangmu mengikuti seperti bayangan menempel di bawah kaki? Dan bagaimana pula caranya membakar habis semua rindu yang bertahun-tahun mengendap di hatiku?

Aku berharap mendapatkan jawaban darimu. Namun kau tetap membisu, membuatku lebih lama menunggu. 

Perhaps You

"I don't have time for this bullshit called romance!"

"Setelah beberapa saat hanya memendan dan diam, namun lama-lama rasa penasarannya pun membuncah dan tak terbendung lagi. Aneh memang dengan apa yang terjadi pada perasaannya saat ini."

"Kalau dia punya perasaan yang sama denganmu, you'll be happy. Kalaupun nggak, kamu jadi nggak penasaran lagi. Penantianmu selesai."

"Sebelumnya tak pernah terpikirkan bahwa perasaan pada orang itu, selama delapan tahun yang menyesakkan ini, mungkin hanya rasa penasaran, bukan cinta."

"Pemikiran itu seolah menampar tepat di wajah. Apa benar? Apa benar sebetulnya tidak pernah mencintai orang itu? Dan selama ini dia hanya mencari jawaban dari rasa penasarannya itu?"

"And this is my bet, kalau setelah kamu tau perasaan dia sebenarnya ke kamu, dan apapun jawabannya ternyata setelah itu perasaanmu menguap begitu saja, berarti benar.... Kamu penasaran."

"Maybe I should keep this to myself, wait until I know you better."

"Untuk pertama kali dalam hidupnya, ia berjalan di jalan yang tidak lurus. Untuk pertama kalinya, aku mengingkari prinsipku sendiri--untuk selalu melakukan segala hal yang benar dalam hidup."

"

Jumat, 08 Juni 2012

Rembulan Gading


“Bahwa sepi ini mercusuarku menuju pagi. Bahwa hatiku tak akan lupa, berubah patah, dan mati.” -Rembulan Gading
“Tinggallah kini aku dalam yakinku saja. Bahwa langkah ini berkah.” -Rembulan Gading
“Karena aku tahu, setelahnya akan purnama. Utuh, penuh, dan sempurna.” -Rembulan Gading
“Seperti bulan yang ramping, pucat dan gading, jika ini sepi, parasmu yg setengah pergi tak pernah membuatku lari.” -Rembulan Gading
“Namun di sisi lain, ia tak bisa menenangkan amarah yang entah dari mana muncul di benaknya dan mulai merajalela.” -Rembulan Gading
“ia mengerti bahwa dia pun dipenuhi keinginan yang kuat untuk segera melegakaan perasaannya.” -Rembulan Gading
“Tak ada yang istimewa. Tak ada yang perlu disesali. Tak da yang perlu dipikirkan lagi. But, really?” -Rembulan Gading
“Kita harus tumbuh menjadi manusia baru, yang tidak takut meninggalkan masa lalu, dan berani memutuskan sesuatu.” -Rembulan Gading
“Ia ingin bisa menanggung apa yang ia rasakan tanpa mengeluarkan setitik pun airmata kesedihan.” -Rembulan Gading
“Ini benar-benar tak lucu, Tuhan. Atau seharusnyakah ini lucu?” -Rembulan Gading
“Setelah sekian lama dihadang kenangan tentang dia, pada saat yang sama pula ia kembali dihadapkan pada kenangan yang kini hadir 3 dimensi.”
“Beginikah sense of humor Tuhan bekerja?” -Rembulan Gading
“Sementara aku ingin berteriak dan berkata bahwa aku tak ingin dia pergi.” -Rembulan Gading
“Ada yang tak terkatakan dalam pertemuan itu. Pertemuan yang berujung pada perpisahan.” -Rembulan Gading
“Sesaat setelah menyuruh dirinya untuk tidak memperlihatkan apa yang terjadi dalam hatinya, ia meledak dalam tangis.” -RG
“Semua orang di dunia ini pernah mengalami kehilangan. Dari yang paling tak berarti, sampai yang tak bisa dilupakan dari hati.”-RG
“Bahkan saat ia masih begitu kecil untuk mengerti sebuah arti kehilangan. Ia ingin perasaan yang lega. Ia hanya ingin merasa lega.”-RG
“Wajah yang membuatnya tak berkompromi pada jarak. Ia ingin mengeluarkan berjuta kalimat yang selama ini ia simpan di kepala.” -RG
“Bagaimana menjelaskan cinta dengan beribu pukulan?” -Rembulan Gading
“Bagaimana mau mengatasnamakan cinta jika yang terjadi adalah luka-luka secara nyata?” -Rembulan Gading
“Cinta kadang memang konyol dan susah dimengerti.” -Rembulan Gading
“Bisa nggak elo denger betapa absurdnya kata-kata elo itu betapa berlawanannya dengan kenyataan yang terjadi selama ini?” -Rembulan Gading
“Gue yang tahu gimana dia! Dia mencintai gue dengan caranya sendiri yang nggak bisa dimengerti orang lain.”-Rembulan Gading
“Celah sekecil apa pun, meskipun nggak ada kesepakatan, pasti akan dipakai sebagai modal untuk berharap.”-Rembulan Gading
“Emang aneh yang namanya perasaan itu. Mau dikendaliin kayak gimana juga masih suka bandel.” -Rembulan Gading
“Kamu masih sangat mencintainya. Akuilah, maka kamu akan hidup tenang. Mengenyahkaan hanya akan membuatmu tersiksa lebih lama.” -RG
“Belum lagi celah untuk prasangka yang bisa menjerat jika kewarasan tak sedang jadi kiblat.” -Rembulan Gading
“Seperti sosok yang tak jelas yang sedang membuang kata-kata pada sosok lainnya. Tak memerlukan tanggapan balik, namun ditunggu-tunggu.” -RG
“Jika kaurasakan baik-baik, semuanya menunjukkan padamu tentang tumbuh, tentang berkembang. Dan untuk kesana, kautemui gugur, dan mati.” -RG
“Tidakkah kau lihat musim berganti setiap kali? Dan semuanya membawa warna sendiri-sendiri.” -Rembulan Gading
“Men can plan something seriously. Just don’t forget God’s sense of humor.”-Rembulan Gading

Here, After

Suatu saat, cinta itu pernah ada. Dan aku melihatnya pergi tanpa sempat kucegah sama sekali. Sejak itu hari-hari terasa sulit untuk dijalani. Aku bahkan sulit untuk tersenyum pada bayanganku sendiri dicermin—karena saat itu aku tahu hanya aku sendiri yang terlihat di situ. Meskipun kedengarannya tak masuk akal, sering aku berharap bisa membalikkan waktu. Aku bahkan bersedia memberikan apa saja supaya bisa mengucapkan apa yang selama ini terpendam begitu saja di hati. Suatu saat, cinta itu pergi. Menyisakan sejuta penyesalan karena tak cukup sigap menahannya tetap berada di sini…

Elegi

Dia akui keegoisannya. Melukai dengan seluruh kesadarannya...




lalu mengejar dengan segala cara agar maaf diberikan. 


 




Namun kini tak lagi. Akan diterimanya seluruh caci maki dan semua hal yang memang harus diterimanya..






Tidak ada yang salah dengan harapan yang terus digenggamannya kuat-kuat itu. Yang salah adalah dirinya yang terlalu fokus dengan hatinya sendiri…







Hurt On We Heart It

I always needed time on my own...




I never thought I’d need you there when I cry




And the days feel like years when I’m alone..




And the bed where you lie is made up on your side..




When you walk away I count the steps that you take...


Do you see how much I need you right now?


When You're Gone

When you’re gone the pieces of my heart are missing you..




When you’re gone, the face I came to know is missing too..




When you’re gone, the words I need to hear to always get me through the day and make it ok..




I miss you



Infinitely Yours

“Kalau kamu bahagia, 




aku nggak punya alasan apa pun untuk menghentikanmu.”



I Love You Po












When I Don't Like You To Go..


Kalau kamu bahagia, aku nggak punya alasan apapun untuk menghentikanmu—
“Aku juga tidak bisa memaksamu untuk tetap di sini…” Sepasang iris gelap menatap, tertutup embun yang mengembang di sudut kelopak. Berusaha mati-matian untuk menahan tangis yang mungkin bisa meledak kapanpun gadis ini inginkan. Hanya di depan lelakinya tidak bisa ia biarkan hancur melebur sebagai ego yang menahan sesak. Sedangkan umbul tangisannya semakin menyeruak tatkala gadis ini membuang muka ke lain arah, seolah mematri sepasang kristal pada alam. Mengerjap di dalam keheningan ketika tahu malam tidak akan mengubah bulan, ia sendiri semakin merasa waktu mereka hanya tinggal hitungan detik, bahkan untuk sekedar menoleh saja dibutuhkan waktu bermenit yang panjang. Gadis pemilik surai pekat ini malah memainkan alur seperti menahan adam untuk tidak beranjak dari sisinya.
Hatinya sesak dipenuhi perasaan yang campur aduk, antara sedih, marah, kecewa dan semuanya bertumpuk. Ia tidak mau lelaki di sampingnya pergi untuk yang kesekian kali, karena apa yang selama ini ia takutkan adalah lelakinya terlalu angkuh begitu menginjakkan kaki kembali. Ia bahkan hampir tidak pernah mengenal entitas adam pemilik mata besar di sampingnya. Tidak pernah benar-benar mengenal dia saat kembali dari perantauan—sebutlah.
Ketika merasa ego semakin menghimpit dan ia tidak bisa membiarkan dirinya dicap egois oleh khalayak, mungkin ada saat di mana dua orang akan terpisah untuk sementara sedangkan janji sudah cepat diumbar, demi menyenangi harapan yang tergantung di ujung kerongkongan. Detik terakhirnya dalam malam ia biarkan mengalir dalam tempo yang lebih lambat. Demi sebuah langkah yang ia meminta bumi untuk menahannya, agar tetap berada di sisinya—sebentar saja. kelam kelopaknya tak berani menegaskan untuk menolak, mengakui bahwa ia tidak iangin ditinggal pergi barang sehari saja.
“Aku minta maaf, aku tahu aku salah….”
Kalau sudah tahu salah kenapa dilanjutkan?
Kenapa tidak dihentikan?
Kenapa harus terus membuatku terluka?
Aku mungkin hanya bisa menggigit bibir kuat-kuat, ingin marah. Ingin mengatakan apa yang ingin aku akhiri sekarang, tapi dia tidak bisa pun terlalu takut untuk menyesal. Padahal mungkin lebih baik menurut dan mengalah, hanya kau tahu wanita tidak bisa membiarkan egonya terjatuh di sembarang tempat. Ia berikan kesempatan untuk satu pilihan yang bisa membuat pria ini berada di sampingnya, untuk satu malam yang mungkin tidak akan pernah ada di malam-malam selanjutnya. Gadis ini diam, sama sekali tidak ingin bicara, tak punya kemampuan untuk memaparkan sesuatu yang menurutnya salah, atau mungkin seharusnya lebih condong kepada apa yang dia rasakan. Gadis ini pengecut, terlalu takut untuk melihat dua pasang mata yang bicara padanya, karena ketika berhadapan, nyalinya akan semakin menciut.
“Ngeliatin apa di sana? Harusnya kamu ngeliat ke sini kan yang ngomong ada di sini…”
Justru karena yang bicara ada di hadapan makanya aku tidak mau melihat—karena begitu melihat, tetesan cair bening ini akan semakin merembes. Akan semakin menyesakkan, dan aku tidak bisa untuk tidak menangis. Jangankan nanti, untuk sekarang pun kurasa sulit menahan. Dua pilihan yang sama saja sakitnya, menimang dan gadis ini sia-sia memberikan jalan keluar, karena hanya buntu yang didapat. Mereka tidak pernah benar-benar ingin bersama, terutama dia—meninggalkan gadisnya untuk sendirian dalam waktu yang lama—sementara. Tapi tetap saja rasanya lama.
Amarahnya semakin menjadi, ketika ia berpikir—
Harusnya kau mengerti rasanya sendirian, kesepian, hening dan dia tidak suka—bahkan tidak bisa berontak setiap kali mencoba keramaian. Ingin memecahkan gelas pun rasanya terlalu hening, ingin berjalan ke luar pun rasanya terlalu sepi. Tapi rasanya terlalu egois kalau aku menahanmu di sini, untuk diriku sendiri.
“Hng….” Kali lain ia beranikan diri menatap pemuda yang selama setahun ini bersamanya, “Yasudah pergi saja, aku nggak apa-apa kok…”
Kernyitan halus di dahi pemudanya seolah mempertanyakan, apa benar gadisnya tidak apa-apa bila ia tinggalkan? Kalaupun pemuda ini ingin tetap tinggal, suara lain akan bersikeras merebutnya. Satu banding seratus, jelas gadisnya akan kalah. Ketika seorang pemuda ingin mempertahankan apa yang dimilikinya, apa yang menjadi keinginannya maka saat itu juga ia harus menanggalkan semuanya, menuruti teriakan dan tarikan orang banyak, anggaplah kalah suara dan pemuda itu tidak memiliki hak veto untuk satu kesempatan pun. Jadi hanya bisa mengikuti dan pada akhirnya membiarkan salah satunya terluka, meski dalam jangka waktu yang terbilang sebentar. Tatapan pemuda ini mempengaruhinya seolah mengiba untuk melepaskan sementara batinnya berteriak sekuat mungkin agar pemudanya tetap berada di sini, dengan tidak menggoreskan satu garis luka pun. Kenyataannya sulit untuk membuat seseorang tinggal—di sisinya. Dia mencoba mengerti posisi sang pria di mana bertaruh teman dan cinta itu tidak mudah, salah satunya memang harus dikorbankan kalau mau. Dan sebagai pihak yang mengalah sudah barang tentu membawa pulang luka, pada akhirnya sang gadislah yang harus kalah. Meski ia tahu sabit menggantung itu menyembunyikan lubang yang dalam, tapi ia percaya suatu saat akan ada kebalikan dari semua keadaan.
Mengalah bukan berarti kalah—sebab ia diajarkan bersabar oleh jarak.
Dengan satu tarikan nafas, menghela dan berat gadis ini kembali menggunakan topeng ‘aku baik-baik saja ketika kau pergi’ dan bibirnya membentuk satu lekukan tipis membentuk sabit, diraihnya raga pemuda di sampingnya untuk satu pelukan terakhir yang ia tidak tahu apa hari esok bisa memeluk pemuda ini lagi atau tidak. Satu pelukan untuk meredam setumpuk amarah, seberkas rasa kesal dan sesak, melebur ketika akhirnya mata itu mengeluarkan titik bening berujung aliran cair di permukaan porselen gadisnya. Peluk dalam diam menghadirkan sebuah tangisan hebat untuk melepaskan, sebab gadis ini belajar ikhlas untuk sebuah kepergian lelakinya. Padahal waktu yang dihabiskan hanya beberapa hari, tapi dirasanya sudah sangat lama. Ia terlalu terbiasa berada di samping sang lelaki, yang begitu banyak meninggalkan janji. Seumpama gadis ini yang akan menyalakan esok hari, mungkin ia akan lebih memilih memadamkan dan tidak ingin mengingat apapun termasuk ketiadaan pemudanya. Ia lebih memilih menjadi sendiri, bukan dengan orang lain.
Dihapusnya tangis itu dengan tangannya sendiri, mendiamkan beberapa menit dan melenyapkan sesak amarah berisi kecewa dengan satu cara—egois, keras. Seolah mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja, pemudanya boleh pergi untuk waktu yang tidak sebentar atau mungkin tidak perlu kembali.
Padahal beberapa moment lalu ia masih berdoa, untuk satu hari bersama pemuda, untuk menutup dan membuka tahun bersama lelakinya.
21.48
Jelas kristal pekat itu menatap perih angka digital yang terpampang di layar handphone nya. Meneguk ludah dengan kental, sedangkan airmata terus memaksa keluar. Tidak, dia tidak bisa mengantar lelakinya dengan tangisan, harusnya dengan senyuman agar dia tidak pernah berpikir untuk menyesal pada hari berikutnya.
“Sudah waktunya….” Pemudanya beranjak, sepasang mata cokelat gelap itu akan segera lepas dari kristal pekatnya, “aku pergi…” dengan cepat pemuda itu merangkulnya dalam satu tarikan, menghabiskan spasi di antara keduanya, mengecup kening gadisnya dan membiarkan mereka dalam satu lingkaran padat.
“Aku janji, aku akan kembali besok…”
Itu janjinya, bodohnya gadis ini mengiyakan, sedikit memupuk harapan yang ia tahu ini akan menjadi harapan yang sia-sia, padahal tidak pernah ada harapan yang sia-sia.
“Iya, baik-baik di sana, dan jangan nakal selagi aku tidak ada…”
Gadis itu menaruh kepercayaan penuh, dia yakin pemilik sepasang kelereng cokelat, berhidung mancung dan berjidat lebar dengan surai cepak sebagai mahkotanya tidak akan mengkhianati apa yang menjadi kepercayaannya. Hanya berbeda sikap ketika gadis ini mengikat janji yang tidak bisa benar-benar dipenuhi, kalaupun terpenuhi akan menimbulkan gurat tidak ikhlas pada wajah pemudanya. Kendaraan hitam itu mulai meninggalkan sebuah garasi rumah, dan bahkan sampai detik itu juga dara ini masih tidak rela lelakinya pergi, hanya untuk satu kata—ia tidak ingin dicap sebagai orang yang egois. Hanya karena dia ingin pemudanya senang, hanya karena dia ingin yang terbaik buat pemudanya. Hanya karena dia tidak ingin pemudanya terlalu khawatir memikirkannya. Hanya karena dia tidak mau pemudanya merenung di dalam keramaian. Maka ia biarkan sendiri yang menemaninya, mungkin nanti ia akan mencari teman—hening. Deru mesin mengoyakkan telinganya sekaligus membuat batin sang gadis ditahan kuat-kuat, pemuda itu tidak pernah tahu bagaimana gadis ini ingin menjerit sekuat tenaga, mencegahnya untuk tidak pergi—malam itu. Ia tidak ingin melihat pemudanya berlalu lalang tengah malam, hilang dari pandangan dalam kabut malam, dan ketika pagi menjelang ia akan mendapati dirinya sendiri terduduk di pembaringan lapuk yang selalu menahannya pergi setiap kali ingin bangkit.
Pemudanya tidak pernah tahu bahwa ia selalu menangis ketika sendiri itu menemani dan hening bermain, pemuda itu tidak pernah tahu rasa kecewa diselingi marah ketika tangis mulai meledak tanpa pundak untuk bersandar, pemuda itu tidak pernah tahu bahwa ia terus memikirkan untuk tidak lagi bertemu dengan lelakinya karena ia takut ditinggal untuk kesekian kalinya, terlalu konyol memang tapi itu fakta yang ia temukan. Pemuda itu tidak pernah tahu bahwa sepi itu telah merenggut kesenangannya, pemuda itu tidak pernah tahu apa yang dirasakan seorang gadis belasan tahun ditinggal janji, dibuai harapan, diangkat dengan satu pelukan, dan dijatuhkan dengan sekali kepergian.
Tidak ada yang pemuda itu ketahui saat ia pergi, apa yang gadis itu lakukan, apa yang gadis itu pikirkan, pemuda itu tidak pernah tahu—ketika gadisnya sendirian.