“Jadi, lo mau
sampe kapan kayak gini?” Tanya Angie sahabat kecilku di seberang telfon. Ia
nampak mulai gusar dengan kelakuanku belakangan ini. Aku hanya mengangkat alis
dan pura-pura tidak mengerti maksudnya. Sampai terdengar helaan nafas panjang
dan terlampau berat.
“Sampai gue
sembuh total dari sakit ini…” jawabku cuek. Aku memang tidak begitu peduli
dengan mereka yang berusaha menyembuhkan aku dari sakit hati yang aku derita
sejak tanggal 8 Mei lalu. Aku menjadi begitu urakan, bahkan hampir tidak bisa
mengenal diriku lagi. Sepenuhnya aku tidak tahu apa yang aku perbuat dengan
diriku sendiri. Semua berubah dengan cepat tanpa bisa aku cegah sama sekali.
Dimana keberadaan gadis manis yang berada di dalam diriku? Sekarang berganti
menjadi perempuan binal dengan sejuta kenakalan di dalam otaknya; drastis
memang. Aku tertawa renyah, kemudian Angie akan memasang tampang jengkel di
seberang telfon sana.
“Gue nggak mau
lo nyakitin diri sendiri terus, Vie…” ia diam, “lo boleh sakit hati, tapi nggak
kayak gini caranya. Nggak dengan ngancurin diri sendiri…”
Aku mengangguk
di telfon, hanya sekilas mendengarkan perkataannya sembari menyalakan puntung
yang sudah kesekian kalinya. Duduk di sebuah patung berwujud ksatria dan kuda.
Disinilah awal aku memulai dan seharusnya harus disini juga aku mengakhirinya.
Di bawah tugu patung kuda yang letaknya tidak jauh dari rumahku. Aku sering ke
sini, belakangan sejak putus dari Udin. Oh kalian tidak tahu kalau Udin itu
mantanku? Sahabat kecilku itu yang termasuk kawanannya Erlan. Aku menghisap
puntung berwarna putih itu dan menahan nikmatnya sampai terasa sesak di dadaku.
Ketika aku yakin semua beban menghilang, barulah aku hembuskan. Rasanya tenang,
tapi membunuh.
Aku menatap
sekitar, hanya ada aku seorang diri di tugu ini. Menghabiskan waktu sore dan
memang sudah kebiasaanku beberapa waktu terakhir. Mungkin ini akibat depresi
berat yang aku alami. Aneh ya? Seperti pembodohan kepada diri sendiri. Angie
masih mengoceh di seberang telfon dan aku membiarkannya untuk tetap bicara
sesuka hatinya. Sepanjang apapun dia memberikan aku saran, aku tidak mau
menggubris. Biarlah, toh semuanya sudah terjadi. Udin ya? Seharusnya dia
bertanggung jawab atas hancurnya aku, atau aku yang terlalu naïf untuk mengakui
bahwa aku sudah tidak ada gunanya bagi dia? Untuk sebuah alasan bosan seperti
barang yang habis pakai, kemudian dibuang begitu saja? Jangan Tanya apa rasanya
ketika kau mencintai seseorang dengan setulus hati kemudian dia membuangmu
begitu saja, ketika kau telah memberikan apa yang terbaik buat kata “kita” dan
dia hanya memandang sebelah mata. Sekecil apapun usahamu tidak akan ada
harganya, kecuali kalau kau berkorban untuk memenuhi nafsu setannya. Biadab
kan? Apa masih pantas disebut manusia?
“Kalo lo begini
dia malah seneng, Vie…” Aku tahu Angie sangat khawatir pada keadaanku yang
semakin hari semakin rusak. Aku berubah menjadi pribadi keras dan brutal,
anarkis terhadap diri sendiri dan acuh terhadap lingkungan. Aku sering keluar
malam, mengendap-endap ke warung di belakang rumah untuk membeli beberapa
puntung rokok dan kemudian berangkat ke tugu kuda tengah malam hanya untuk
menyaksikan bahwa hening masih ingin berteman denganku. Setidaknya alam tahu
apa yang kurasakan dan bagaimana perih yang aku terima pada hari belakangan.
Apa kalian mengharapkan aku menangis? Aku sudah menangis sejak 3 hari yang
lalu, aku bahkan tidak makan nasi untuk beberapa waktu. Maka tubuhnya yang
gempal ini sedikit mengurus, ditambah aku mengonsumsi tembakau dalam lintingan
putih. Aku tidak perlu makan, aku hanya butuh ketenangan jauh dari kehidupanku
yang sekarang. Kalau kata Angie, lebih baik menangis supaya perasaanmu lega.
Tapi tahukah terkadang tangis itu sama sekali tidak berguna? Tangis itu sama
sekali tidak berguna, tidak bisa menahan kepergian seseorang, tidak bisa
mengubah keputusan seseorang, setidaknya itulah yang membuatku muak dengan
tangisan. Aku muak menangis untuk seorang bajingan yang sama sekali tidak
pernah menghargai aku. Menginjak-injak harga diriku, kemudian membuangku begitu
saja. Sialan, dia pikir aku apa?
Aku menghisap
asapnya dalam-dalam, beberapa hisap terakhir. Habis ini aku harus bertolak ke
penjual teh langgananku dan membeli makanan serta obat kumur atau parfum dengan
daya wangi yang di atas rata-rata, karena asap rokok itu keras pengaruhnya.
By the way, aku
melakukan ini dengan cara sembunyi-sembunyi. Aku menghancurkan diriku sendiri
dengan cara yang aku lakukan, dengan tekad yang aku bulatkan. Aku selalu tidur
di pagi hari, kelayapan di malam hari, kemudian menghabiskan waktu sendirian di
tempat sepi, menengadah ke langit dengan tatapan sendu dan perasaan campur
aduk, di selingi dengan beberapa puntung putih yang sudah menjadi pengusir
kegalauanku. Lalu ibuku curiga? Tidak, beliau memang sempat beberapa kali
bertanya padaku kenapa tanganku bau rokok. Aku selalu dapat menjelaskan kepada
beliau, aku bilang saja aku habis dari warung internet dekat rumah yang kalau
di atas jam 9 itu sudah waktunya para perokok dengan bebas menduduki singgasana
mereka dengan asapnya. Jadi saja aku kecipratan baunya. Lalu ibuku percaya.
Karena aku selalu menjaga kepercayaannya, jadi kalau aku bohong sekalipun dia
akan selalu percaya. Selalu ada akal yang menghiasi trik sederhana. Aku
tersenyum, kemudian mematikan puntung terakhir sedangkan Angie masih berbicara,
kali ini bukan tentang aku atau hubunganku yang kandas dengan Udin, tapi lebih
kepada soal dirinya dengan pacarnya. Peduli setan, aku sudah tidak memikirkan
cinta. Sudah kukubur jauh-jauh, dan kuinjak-injak, sama ketika dia menginjakku
dulu.
“Oke sip!
Curhatnya lanjut ntar malem, gue mau cabut dulu! Oke? Bye, friends!”
Aku menutup
telfonnya. Aku tahu Angie kesal omongannya tidak kudengarkan, tapi biarlah dia
sudah tahu bagaimana diriku kalau sedang ada masalah. Buat apa bersahabat sejak
baru lahir tapi tidak mengerti satu sama lain.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar