Sapporo, 21 Juni
Seperti gugur, berjatuhan, tertiup angina pada pinggiran
hutan. Iris bulatnya selalu menatap lembut tak berdaya. Rekah senyumnya selalu
warnai jejak langit di waktu senja. Kilau rambutnya seakan mengajak untuk
dibelai. Setipe dengannya, adalah gadis pemalu saat usia mereka satu jenjang.
Lantunan melodi seiring dengan deru angina mengumamkan mega; ia merasa nyaman
dengan keadaan. Tempat ia bersandar ketika lelah, tempat ia membuang amarah
lalu tertahan. Gadis bersurai pekat, mirip Cleopatra sekilas, Narumi Takahiro
tidak pernah melepaskan pandangan matanya pada gadis ini. Seorang anak
perempuan yang selalu menaungi hari-harinya, mnemaninya di saat semua orang
menjauhinya. Ia ingat bagaimana teman-teman sejawat mengatakan padanya kalau ia
bocah aneh. Naru bukan tipikal pemuda barbar, pada usia kecilnya ia lebih
banyak menghabiskan waktu dengan buku dan dunia imaji miliknya. Tidak ada
satupun yang berani menyentuh dunianya; kecuali seorang anak hawa di depannya.
Pertama kali ia membuka pintu dunianya pada anak perempuan—Usami.
“Taka…” Panggilnya manja.
Tidak heran bila melihat Usami begitu manja di dekatnya,
sedangkan ia hanya cuek saja, mengabaikan Usami yang masih berusaha bersikap
manis padanya.
“Nanti sore main di bukit belakang lagi ya.. Aku mau petik
edelweis!” Taka membuka loker sepatu miliknya, ini sudah jam pulang sekolah.
Taka memang tidak bersekolah di sekolah ini. Ia berada di sekolah Usami karena
ibunya yang meminta bantuan untuk mengawasi anak-anak pada saat mereka ujian
atau sekedar menunggu mereka mengerjakan tugas sementara Minase Ai mengajar di
kelas lainnya. Kapasitas otak Naru memang berbeda di antara anak-anak lainnya,
meski tida mengenyam sekolah formal, ia tetap belajar. Membaca buku-buku yang
ada di rak rumah, milik ibu atau ayahnya. Tidak heran bila pengetahuan Narumi
lebih banyak ketimbang anak-anak seusianya, namun ia tidak pernah memilih untuk
sekolah formal. Meski berkeinginan, tetapi ia tidak mau. Mungkin penilaian
orang mempengaruhi Takahiro hingga detik ini.
Taka menggeser sedikit wajahnya dan mengernyit. Bunga
edelweiss katanya? Apakah sudah musim semi? Kedua alisnya bertaut, anak
perempuan ini aneh—pikirnya. Ia masih menatap bingung Usami, sosok cerewet di
sebelahnya. Merajuk, sorot mata mengiba. Takahiro hanya bisa menghela nafas dan
akhirnya mengangguk. Sembari menutup loker
dan bersisian dengan Usami keluar gedung sekolah. Biasanya ia selalu
bisa menolak permintaan seseorang, tetapi entah kalau dengan Usami semua
menjadi beda. Sekon berikutnya Usami melompat persis anak kecil yang habis
diberikan permen oleh orangtuanya. Naru menggeleng, mengeratkan pegangan
tangannya pada tas yang ia kenakan. Dasar anak perempuan, gumamnya.
Langit mendominasi kemerahan, nyaris terlihat bak lautan darah.
Gradasi orange dan maru lantas mewarnai langit kali ini. Semburat mega di ujung
Barat terlihat pada pantulan iris hitamnya; bersama Usami mereka terbaring di
bukit belakang rumah. Benar firasatnya, edelweiss hanyalah akal-akalan Usami semata. Takahiro tidak tahu ada motif
apa dibalik Usami mengajaknya memetik edelweiss, padahal jelas-jelas ini bukan
musim semi. Gadis itu tidak berniat mengambil edelweiss di bukit belakang,
bodohnya dia percaya, wait—katakanlah ia ingin mempercayainya tanpa alasan yang
jelas.
“Langitnya bagus ya Taka…”
Tidak ada respon berarti dari Naru, pemuda dengan iris hitam
ini hanyut dalam melodi senja. Iris pekatnya menatap kosong bentangan karpet
merah di udara. Sedangkan Usami sibuk memuji bagaimana indahnya langit sore
ini. Narumi diam, dalam hati ia ingin menjadi langit saja yang selalu dipandang
indah oleh semua orang, dikagumi dari berbagai belahan dunia. Tidak ada yang
benci langit, semua orang suka langit. Kebalikannya, semua orang tidak menyukai
Naru karena dia aneh untuk anak seusianya, kalaupun ada yang menyukainya; Usami
lah satu-satunya anak perempuan yang mengatakan bahwa ia tidak aneh, tapi Naru
istimewa. Mereka menilai Naru dan menjauhi pemuda itu lantas mereka iri dengan
kepintaran Narumi. Benar atau tidaknya, ia mencoba melihat dari sisi positif
saja. Meski di sela-sela keyakinan selalu ada keraguan mengumpat, mencari jalan
agar dia lah pemenangnya. Tertawalah, kecil saja sudah pandai merayu, mau jadi
apa kalau sudah besar?
“Taka, kenapa daritadi diam saja? Taka nggak suka ya main
sama Usami?”
Pertanyaan Usami menggaung dengan cepat, tanpa diduga Naru
segera menegapkan tubuhnya kali ini tidak lagi rebah pada karpet hijau.
Memposisikan diri menatap Usami kecil yang cemberut dan masih menaruh tubuh
pada pelukan bumi.
“Aku suka bermain denganmu…” Sangat suka sampai aku tidak
bisa bicara banyak, suka sampai aku tidak tahu harus berkomentar apa.
Sepertinya Usami tidak puas dengan jawaban Naru barusan. Kini mereka
berhadapan, saling diam dan menunggu siapa yang bicara lebih dulu. Atap bumi
telah mengubah warnanya memberikan pertahanan baru berupa sabit pada bentang
alam. Mereka sadar seharusnya mereka sudah pulang ke rumah, duduk di meja makan
dengan ayah dan ibu. Namun tidak ada yang bisa menyudahi keheningan, masing-masing
berkutat pada keadaan yang sama. Saling mempertanyakan apa yang ada di dalam
benak lawan bicara keduanya.
“Ah rupanya disitu kalian! Ibu cari kemana-mana.”
Dia harus berterima kasih atau memaki Tuhan?
“Taka, ayo pulang! Sudah malam, mainnya besok lagi. Ah
Usami, tadi ibumu kerumahku…” Ibu menoleh dan melempar senyum pada Usami,
sementara Naru hanya diam memandangi ibunya, “ayah sudah pulang. Ayo cepat,
kita akan makan malam.”
Ibu mengulurkan tangannya pada Naru, keduanya bertemu
pandang dengan Usami. Ia tersenyum, memperlihatkan kedua lesung di pipi,
menambah manis rupa wajahnya. Seketika pipi Naru dipenuhi warna merah muda.
Cepat-cepat ia memalingkan wajah dan mengikuti ibunya. Ibu sudah berjalan lebih
dulu, Taka menyusulnya dengan pelan. Ia ingin menoleh apakah Usami masih berada
di tempatnya, duduk dan diam menatap kepergiannya ataukah sudah menghilang di
telan bayangan malam? Opsi keduanya tidak ada yang menarik, selain tiba-tiba
satu tangan meraih pinggangnya. Naru bisa merasakan tangan kecil itu melingkari
pinggang dan menarik ujung bajunya. Menahan laju langkah Naru dalam sekejap,
hingga pemuda Takahiro ini membalikkan tubuhnya.
“Berjanji padaku Taka, kita akan selalu sama-sama…”
Usami merajuk, pendar kelereng hitam yang sama dengannya
berkaca-kaca. Naru tidak mengerti, bukankah mereka hanya berpisah sementara.
Pagi akan mempertemukan mereka kembali, kan? Tidak perlu ada yang
dikhawatirkan. Kenapa Usami mengatakan hal seperti itu padanya, seolah salah
satunya akan pergi jauh dan tidak akan kembali lagi. Naru masih enggan
merespon, kebiasaannya sampai ia mengerti maksud Usami.
“Kamu ini kenapa? Kita kan hanya akan masuk ke rumah,”
Jawabnya santai.
Usami merenggut, khas anak kecil ketika permintaan mereka
tidak dituruti, “Usami takut Taka nggak mau main lagi sama Usami. Maaf ya kalau
Usami menyebalkan. Ta-tapi Usami sungguh-sungguh mau jadi teman Takahiro…” Satu
tangan Usami berada di bajunya (pada bagian perut, sedikit menarik kaus yang ia
kenakan) kepalanya tertunduk, gaya seseorang bila merasa bersalah. Sementara
Takahiro tidak merasa ada yang salah. Sejujurnya ia menyukai Usami, ia menyukai
setiap saat bersama Usami, setiap kali melihat gadis ini bicara, tersenyum
bahkan merenggut seperti anak kecil. Naru sukaUsami apa adanya, semua yang ada
pada Usami ia menyukainya. Sebentuk garis tipis menghiasi wajahnya, membawa
tangannya ke atas puncak kepala Usami dan satu tangan lagi merapatkan jarak
keduanya dalam sekali dekapan. Setidaknya rengkuhan ini bisa memberikan jawaban
pada Usami, kalau Taka senang bermain bersama gadis kelincinya dan tidak ada
lagi yang harus dipertanyakan.
§§§
“Aku sudah bilang jangan bahas masalah itu!”
“Memangnya kenapa?! Ada yang salah?! Kamu hanya tinggal
menjawabnya dan selesai!”
“Kapan kamu bisa mengerti keadaan, Minase?!” urat-urat
tegang mulai merambat di wajah seorang lelaki yang menikahi ibunya beberapa
waktu silam.
“Kamu yang tidak mengerti! Siapa anak itu?! Siapa perempuan
itu?! Anakmu? Istrimu yang lain, iya?!”
Telinganya belum tuli, omong-omong. Nada tinggi penuh urat
itu menghiasi rumah kecil bernuansa cokelat, terletak di Sapooro arah
pedalaman. Ini malam, namun suasana sepanas siang. Naru turun dari tempat
tidurnya, membuka pintu hingga tercipta celah. Leluasa bagi kedua iris hitam
megamati keadaan. Ia tidak mengerti dengan orang dewasa. Baru beberapa jam yang
lalu mereka terlihat manis berangkulan, namun menit berikutnya sudah adu mulu
layaknya domba kehilangan arah.
“Katakan padaku, mereka bukan siapa-siapamu…” Itu suara
ibunya, terdengar gemetar. Kemudian sepi, tidak ada tanda-tanda ayah akan
menjawab. Memang beberapa sekon lalu ayah membuka mulutnya tetapi tidak ada
suara apapun.
Naru menunggu…
Satu menit…
Dua menit…
Sepuluh menit…
Hingga ia tertindur di balik pintu—
§§§
Silau…
Apa sudah pagi?
Hei, jangan nyalakan lampunya!
Eh tidak, ini sudah pagi…
Naru menyipitkan matanya, mendapati semalaman dirinya
tertidur di lantai dan bukan di kasur. Bangkit, membuka pintu. Suasana rumah
hening, nyaris seperti tak berpenghuni. Takahiro kecil melirik jam dinding,
masih pukul 7. Biasanya ibu sudah sibuk di dapur atau di meja makan, dan ayah
biasanya sudah mondar-mandir di ruang keluarga atau ke dapur dan sarapan. Naru
melongok, ibunya memang berada di dapur tengah mengolesi roti tawar dengan
selai kacang. Gerakannya memang seperti biasa, namun ada yang berbeda. Ada yang
tidak terlihat, ada yang kosong di dalam matanya, seolah di dalam jiwanya tidak
ada penghuni satu nyawa pun. Naru bergidik, ada apa dengan ibunya?
“Ohayou, okasan—“ Naru menarik baju Minase Ai, sang ibunda.
Ia bersyukur, wanita setengah tua itu masih menoleh dan tersenyum padanya.
Senyum kosong tepatnya.
“Lapar ya? Sebentar ya, sarapannya lagi dibuat.”
Naru mengangguk, ia berjalan ke arah meja makan dan menyeruput
segelas susu yang sudah ibunya siapkan. Mengambil gelas bening di atas meja,
sekilas ia melihat ada yang jatuh.
Apa itu?
Naru menaruh kembali gelasnya cepat-cepat, membungkuk dan
mengambil kertas dengan tulisan yang sangat rapi baginya. Tertulis dalam huruf
hiragana, sehingga Naru bisa membacanya dengan jelas.
Teruntuk Minase Ai,
Sebelumnya izinkan aku meminta maaf padamu; tentang
semalamdan tentang semua hal yang terpaksa aku sembunyikan. Aku tahu, cepat
atau lambat kamu akan mengetahuinya. Mengetahui semua ceritaku di masa lampau.
Kamu benar, terkadang saat kita berharap segala sesuatunya tersimpan rapi,
dunia menginginkan hal ian. Pada akhirnya dunia menunjukkan padamu
kebenarannya—bahwa aku adalah seorang ayah yang pengecut. Kau pasti melihatnya
disana, di salah satu buku yang aku tulis dan terselip disana, foto Athena dan
seorang anak kecil, benar?
Aku ingin mengaku padamu, meski sudah terlambat. Wanita
dalam foto itu, ya dia istri pertamaku. Anak yang ada di dalam foto itu adalah
anakku, Minase. Aku minta maaf padamu, dan keluarga besarmu terutama pada si
kecil Narumi. Maaf memang tidak bisa mengembalikan masa laluki dan maaf tidak
bisa membalut lukamu, Minase. Ketahuilah, aku menyayangimu dan tentu anak kita,
Narumi. Aku tidak bisa menjelaskan banyak tentang masa laluku, tentang rahasia
yang selama ini aku pendam untuk diriku sendiri. Tapi kalau kau mau tahu
(karena kau wanita yang keras kepala, maka aku tahu aku tidak bisa mencegah
keinginanmu) kau bisa membacanya sendiri di buku harianku atau mungkin kau
sudah membacanya lebih dulu?
Ketika kau membaca surat ini, maaf aku harus pergi. Meski
pahit dan menyakitkan aku memilih untuk pergi karena ini kesalahanku. Aku tidak
seharusnya melakukan ini padamu, kamu wanita yang sangat baik Minase. Narumi
beruntung memiliki ibu sepertimu, tapi sayangnya ia tidak seharusnya memiliki
ayah pengecut sepertiku. Ah sudah waktunya, aku harus pergi. Ada urusan yang
harus aku kerjakan, tadinya aku berniat mengajak kau dan Narumi bersamaku,
namun karena situasi dan kejadian semalam ini tidak mengizinkan aku untuk
melakukannya, maka aku urungkan niat. Biar aku saja yang pergi. Kau jaga Narumi
baik-baik. Bila ada hal-hal yang ingin kau ketahui tentang aku, aku
meninggalkan banyak buku di ruang baca. Aku tidak membawa banyak barang.
Titip Narumi, sampaikan padanya kalau dia adalah anak yang
cerdas. Dia anak yang istimewa, tidak ada yang perlu dicemaskan olehnya. Aku
yakin dia akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan lebih baik tanpa aku,
Minase. Kau berhak mendidiknya, dan merawatnya karena Narumi milikmu seutuhnya.
Maaf sekali lagi, aku benar-benar harus pergi. Aku yakin Tuhan memiliki takdir
untuk kita, kau, aku dan Narumi. Tapi Tuhan juga punya takdir untukku,
Clementine dan anak kami; Viervhy. Begitu juga dengan diriku sendiri. Kalau
takdir sudah mengatakan, kita pasti akan bertemu di lain waktu.
Love,
Tyrone Athena.
Kelereng senada tinta menatap nanar. Apa yang barusan dibaca
olehnya benarkah kenyataan? Ayah pergi dari rumah? Pemuda keturunan Jepang;
Takahiro tergugu. Diam di tempat. Dia memang masih kecil, usianya baru 8 tahun,
secepat inikah ia harus merasakan kehilangan? Meski pada usia yang belum
mengerti makna kehilangan? Tapi kenapa? Kenapa sekarang? Kenapa Tuhan tidak
memberikan waktu yang lebih lama padanya untuk keluarga yang sempurna? Detik
berikutnya ia mendengar langkah kaki, itu pasti ibunya yang membawa sarapan.
Naru cepat-cepat menaruh surat itu di tempatny semula, duduk tenang di meja
makan. Menikmati sarapan dalam keadaan seperti ini adalah kali pertama di dalam
hidupnya. Biasanya ada ayah, dan ibu akan dengan semangat menceritakan
anak-anak di tempatnya bekerja. Terkadang ibu sering meledekku dan menyelipkan
nama Usami di sela-sela ledekannya. Lalu kami bertiga akan tertawa bersama.
Sekarang, suasana hening. Tidak ada yang mampu mengisi kekosongan pagi ini,
baik itu Naru ataupun Minase. Dua-duanya berkutat dengan pikiran masing-masing.
“Bu, aku sudah selesai makan. Nanti aku nyusul saja ke
sekolah, ibu duluan saja.”
Tidak ada respon dari Minase. Narumi beranjak dari meja
makan dan pergi ke kamarnya, ia menunggu sampai jam menunjukkan pukul 8. Ketika
jarum panjang tepat di angka 8, ibunya sudah berangkat kerja, dan dia akan
masuk ke dalam ruang baca. Begitu
mendengar pintu terbuka dan tertutup, Naru mngintip dari jendela kamarnya,
memastikan kalau Minase telah berangkat menuju sekolah tempatnya mengajar. Naru
penasaran, buru-buru dia membuka pintu kamar dan berlar ke ruang baca. Jaraknya
hanya berbeda dua kamar dari kamar tidurnya. Biasanya ayah memakai ruangan ini
saat malam, setiap beliau pulang tengah malam, maka ia akan berada di kamar ini
sampai besok pagi. Kalau ia pergi, ruangan ini pastilah dikunci. Seperti
maling, Naru pelan-pelan membuka pintu ruang baca, menoleh ke belakang, takut-takut
kalau ada yang memergokinya.
Meraih gagang kenop pintu sembari menahan nafas. Berharap
kalau ruangan ini tidak terkunci, dan….
Memang tidak terkunci…
Tanpa menunggu komando apapun, Naru segera masuk ke dalamnya
dan berlari kecil menuju sebuah rak besar. Ruang baca ayah besar, bisa
dikatakan dua kali lipat lebih besar dari kamarnya. Di cat dengan warna
cokelat, atapnya terkesan tinggi sekali, setiap jengkal ruangan ini adalah rak
buku, penuh dan padat. Anehnya tidak ada debu disini, aroma lavender menyeruak,
menyambangi indera penciuman Narumi saat itu juga, khas ayahnya. Di sudut kanan
ruangan ada meja besar, tempat ayahnya menghabiskan waktu berpikir pada saat
beliau bergelut dengan pekerjaannya. Di dekat pintu tak jauh dari sebelah kanan
pintu, ada sofa panjang berwarna hitam, di bawahnya ada karpet. Meja kerja
ayahnya sangat rapi untuk seorang laki-laki. Narumi masih berkutat dengan rak
buku ayahnya. Dimana kira-kira lelaki tua itu menyimpan buku hariannya? Dari
satu rak ke rak lainnya, selama ia mencari hanya sekumpulan buku-buku rumit.
Bocah lelaki kelahiran 23 Oktober ini bergidik ngeri. Meninggalkan jajaran rak,
ia mulai berjalan menuju meja ayahnya. Duduk diam di kursi hitam besar.
Biasanya ia akan menemukan ayahnya disini pada jam-jam malam.
Dari kejauhan, kedua iris hitamnya akan memandangi sang ayah terpekur,
menautkan kesepuluh jari di bawah dagu, kepala tertunduk, kerutan di dahinya akan muncul lima menit
kemudian. Naru selalu suka pose ayahnya yang demikian, sayangnya itu tidak akan
terlihat lagi. Ayahnya sudah pergi.
Bolehkah ia menyalahkan takdir sebentar saja? Memakinya
beberapa menit saja? Hanya untuk membebaskan rasa terkutuk di dalam hatinya.
Rasa yang menyayat nafasnya setiap kali memikirkan sang ayah. Menit berikutnya,
kelereng hitam miliknya melihat sebuah foto di atas meja. Ada denyut nyeri
sepersekian detik, melihat bingkai-bingkai senada dengan irisnya berjajar rapi
di atas meja. Foto itu seolah meledeknya! Foto seorang ayah, bersama istri dan
anak laki-laki. Mereka tersenyum bahagia, sang ayah nampak merangkul wanita di
sisinya. Naru meraih foto itu, berusaha menampik apa yang dilihatnya.
“Kami bahagia kok.” Gumamnya tanpa melepas tatapan mata dari
foto yang kini dipegangnya, “kami bisa seperti dulu lagi, ayah pasti akan
kembali ya kan?” Kepalanya bergerak, menangguhkan dagu seolah melempar
pertanyaan pada sosok yang tidak akan
pernah menjawabnya.
“Kami… Bahagia…”
Tangannya mengerat, kegetiran semakin merayap. Tiba-tiba
kedua matanya buram, ia merasa seperti dipukul pada bagian dada, sesak. Narumi
tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Rasa yang menyiksanya, membuatnya ingin
menangis, tangis yang ia tahan untuk dirinya sendiri.
Takahiro bangkit dari duduknya, urat-urat kemerahan
menghiasi kulit pucat wajahnya. Ia membiarkan kedua tangannya bergerak,
membanting apa saja yang ada, membuang apa saja yang ada di sekitarnya,
diiringi dengan teriakan membabi buta, jerit kesakitan, kebencian, kemarahannya
pada yang sudah terjadi. Ia kesal, sampai tidak bisa bicara dan pada akhirnya
hanya bisa teriak, hanya bisa menerima saat ayahnya memutuskan untuk pergi.
Waktu menyuruhnya berhenti, Naru terengah-engah mengatur nafasnya. Tubuhnya
terhuyung dan akhirnya jatuh terduduk di kursi hitam. Kedua matanya basah,
tertumbuk pada satu buku hitam besar. Tanpa ragu, ia mengambil buku hitam itu,
bertanya-tanya apa yang ada di dalamnya, dan kenapa bisa ada disana?
Lembar demi lembar dibaliknya, Takahiro terhenyak.
Bukanlah huruf ketik yang biasa ia temukan di dalam
buku-buku ayahnya, tapi ini ditulis dengan tulisan tangan, sangat rapi dalam
bahasa inggris. Meski belum fasih tapi Naru bisa membacanya, sedikit tahu
artinya. Barulah ia sadar, kalau ini adalah buku harian ayah yang dicarinya
sejak tadi.
—to be continue—