Selasa, 31 Juli 2012

[ fanfiction ] You'll be my heart


Sapporo, 21 Juni

Seperti gugur, berjatuhan, tertiup angina pada pinggiran hutan. Iris bulatnya selalu menatap lembut tak berdaya. Rekah senyumnya selalu warnai jejak langit di waktu senja. Kilau rambutnya seakan mengajak untuk dibelai. Setipe dengannya, adalah gadis pemalu saat usia mereka satu jenjang. Lantunan melodi seiring dengan deru angina mengumamkan mega; ia merasa nyaman dengan keadaan. Tempat ia bersandar ketika lelah, tempat ia membuang amarah lalu tertahan. Gadis bersurai pekat, mirip Cleopatra sekilas, Narumi Takahiro tidak pernah melepaskan pandangan matanya pada gadis ini. Seorang anak perempuan yang selalu menaungi hari-harinya, mnemaninya di saat semua orang menjauhinya. Ia ingat bagaimana teman-teman sejawat mengatakan padanya kalau ia bocah aneh. Naru bukan tipikal pemuda barbar, pada usia kecilnya ia lebih banyak menghabiskan waktu dengan buku dan dunia imaji miliknya. Tidak ada satupun yang berani menyentuh dunianya; kecuali seorang anak hawa di depannya. Pertama kali ia membuka pintu dunianya pada anak perempuan—Usami.

“Taka…” Panggilnya manja.

Tidak heran bila melihat Usami begitu manja di dekatnya, sedangkan ia hanya cuek saja, mengabaikan Usami yang masih berusaha bersikap manis padanya.

“Nanti sore main di bukit belakang lagi ya.. Aku mau petik edelweis!” Taka membuka loker sepatu miliknya, ini sudah jam pulang sekolah. Taka memang tidak bersekolah di sekolah ini. Ia berada di sekolah Usami karena ibunya yang meminta bantuan untuk mengawasi anak-anak pada saat mereka ujian atau sekedar menunggu mereka mengerjakan tugas sementara Minase Ai mengajar di kelas lainnya. Kapasitas otak Naru memang berbeda di antara anak-anak lainnya, meski tida mengenyam sekolah formal, ia tetap belajar. Membaca buku-buku yang ada di rak rumah, milik ibu atau ayahnya. Tidak heran bila pengetahuan Narumi lebih banyak ketimbang anak-anak seusianya, namun ia tidak pernah memilih untuk sekolah formal. Meski berkeinginan, tetapi ia tidak mau. Mungkin penilaian orang mempengaruhi Takahiro hingga detik ini.

Taka menggeser sedikit wajahnya dan mengernyit. Bunga edelweiss katanya? Apakah sudah musim semi? Kedua alisnya bertaut, anak perempuan ini aneh—pikirnya. Ia masih menatap bingung Usami, sosok cerewet di sebelahnya. Merajuk, sorot mata mengiba. Takahiro hanya bisa menghela nafas dan akhirnya mengangguk. Sembari menutup loker  dan bersisian dengan Usami keluar gedung sekolah. Biasanya ia selalu bisa menolak permintaan seseorang, tetapi entah kalau dengan Usami semua menjadi beda. Sekon berikutnya Usami melompat persis anak kecil yang habis diberikan permen oleh orangtuanya. Naru menggeleng, mengeratkan pegangan tangannya pada tas yang ia kenakan. Dasar anak perempuan, gumamnya.

Langit mendominasi kemerahan, nyaris terlihat bak lautan darah. Gradasi orange dan maru lantas mewarnai langit kali ini. Semburat mega di ujung Barat terlihat pada pantulan iris hitamnya; bersama Usami mereka terbaring di bukit belakang rumah. Benar firasatnya, edelweiss hanyalah akal-akalan  Usami semata. Takahiro tidak tahu ada motif apa dibalik Usami mengajaknya memetik edelweiss, padahal jelas-jelas ini bukan musim semi. Gadis itu tidak berniat mengambil edelweiss di bukit belakang, bodohnya dia percaya, wait—katakanlah ia ingin mempercayainya tanpa alasan yang jelas.

“Langitnya bagus ya Taka…”

Tidak ada respon berarti dari Naru, pemuda dengan iris hitam ini hanyut dalam melodi senja. Iris pekatnya menatap kosong bentangan karpet merah di udara. Sedangkan Usami sibuk memuji bagaimana indahnya langit sore ini. Narumi diam, dalam hati ia ingin menjadi langit saja yang selalu dipandang indah oleh semua orang, dikagumi dari berbagai belahan dunia. Tidak ada yang benci langit, semua orang suka langit. Kebalikannya, semua orang tidak menyukai Naru karena dia aneh untuk anak seusianya, kalaupun ada yang menyukainya; Usami lah satu-satunya anak perempuan yang mengatakan bahwa ia tidak aneh, tapi Naru istimewa. Mereka menilai Naru dan menjauhi pemuda itu lantas mereka iri dengan kepintaran Narumi. Benar atau tidaknya, ia mencoba melihat dari sisi positif saja. Meski di sela-sela keyakinan selalu ada keraguan mengumpat, mencari jalan agar dia lah pemenangnya. Tertawalah, kecil saja sudah pandai merayu, mau jadi apa kalau sudah besar?

“Taka, kenapa daritadi diam saja? Taka nggak suka ya main sama Usami?”

Pertanyaan Usami menggaung dengan cepat, tanpa diduga Naru segera menegapkan tubuhnya kali ini tidak lagi rebah pada karpet hijau. Memposisikan diri menatap Usami kecil yang cemberut dan masih menaruh tubuh pada pelukan bumi.

“Aku suka bermain denganmu…” Sangat suka sampai aku tidak bisa bicara banyak, suka sampai aku tidak tahu harus berkomentar apa. Sepertinya Usami tidak puas dengan jawaban Naru barusan. Kini mereka berhadapan, saling diam dan menunggu siapa yang bicara lebih dulu. Atap bumi telah mengubah warnanya memberikan pertahanan baru berupa sabit pada bentang alam. Mereka sadar seharusnya mereka sudah pulang ke rumah, duduk di meja makan dengan ayah dan ibu. Namun tidak ada yang bisa menyudahi keheningan, masing-masing berkutat pada keadaan yang sama. Saling mempertanyakan apa yang ada di dalam benak lawan bicara keduanya.

“Ah rupanya disitu kalian! Ibu cari kemana-mana.”

Dia harus berterima kasih atau memaki Tuhan?

“Taka, ayo pulang! Sudah malam, mainnya besok lagi. Ah Usami, tadi ibumu kerumahku…” Ibu menoleh dan melempar senyum pada Usami, sementara Naru hanya diam memandangi ibunya, “ayah sudah pulang. Ayo cepat, kita akan makan malam.”

Ibu mengulurkan tangannya pada Naru, keduanya bertemu pandang dengan Usami. Ia tersenyum, memperlihatkan kedua lesung di pipi, menambah manis rupa wajahnya. Seketika pipi Naru dipenuhi warna merah muda. Cepat-cepat ia memalingkan wajah dan mengikuti ibunya. Ibu sudah berjalan lebih dulu, Taka menyusulnya dengan pelan. Ia ingin menoleh apakah Usami masih berada di tempatnya, duduk dan diam menatap kepergiannya ataukah sudah menghilang di telan bayangan malam? Opsi keduanya tidak ada yang menarik, selain tiba-tiba satu tangan meraih pinggangnya. Naru bisa merasakan tangan kecil itu melingkari pinggang dan menarik ujung bajunya. Menahan laju langkah Naru dalam sekejap, hingga pemuda Takahiro ini membalikkan tubuhnya.

“Berjanji padaku Taka, kita akan selalu sama-sama…”

Usami merajuk, pendar kelereng hitam yang sama dengannya berkaca-kaca. Naru tidak mengerti, bukankah mereka hanya berpisah sementara. Pagi akan mempertemukan mereka kembali, kan? Tidak perlu ada yang dikhawatirkan. Kenapa Usami mengatakan hal seperti itu padanya, seolah salah satunya akan pergi jauh dan tidak akan kembali lagi. Naru masih enggan merespon, kebiasaannya sampai ia mengerti maksud Usami.

“Kamu ini kenapa? Kita kan hanya akan masuk ke rumah,” Jawabnya santai.

Usami merenggut, khas anak kecil ketika permintaan mereka tidak dituruti, “Usami takut Taka nggak mau main lagi sama Usami. Maaf ya kalau Usami menyebalkan. Ta-tapi Usami sungguh-sungguh mau jadi teman Takahiro…” Satu tangan Usami berada di bajunya (pada bagian perut, sedikit menarik kaus yang ia kenakan) kepalanya tertunduk, gaya seseorang bila merasa bersalah. Sementara Takahiro tidak merasa ada yang salah. Sejujurnya ia menyukai Usami, ia menyukai setiap saat bersama Usami, setiap kali melihat gadis ini bicara, tersenyum bahkan merenggut seperti anak kecil. Naru sukaUsami apa adanya, semua yang ada pada Usami ia menyukainya. Sebentuk garis tipis menghiasi wajahnya, membawa tangannya ke atas puncak kepala Usami dan satu tangan lagi merapatkan jarak keduanya dalam sekali dekapan. Setidaknya rengkuhan ini bisa memberikan jawaban pada Usami, kalau Taka senang bermain bersama gadis kelincinya dan tidak ada lagi yang harus dipertanyakan.

§§§

“Aku sudah bilang jangan bahas masalah itu!”

“Memangnya kenapa?! Ada yang salah?! Kamu hanya tinggal menjawabnya dan selesai!”

“Kapan kamu bisa mengerti keadaan, Minase?!” urat-urat tegang mulai merambat di wajah seorang lelaki yang menikahi ibunya beberapa waktu silam.

“Kamu yang tidak mengerti! Siapa anak itu?! Siapa perempuan itu?! Anakmu? Istrimu yang lain, iya?!”

Telinganya belum tuli, omong-omong. Nada tinggi penuh urat itu menghiasi rumah kecil bernuansa cokelat, terletak di Sapooro arah pedalaman. Ini malam, namun suasana sepanas siang. Naru turun dari tempat tidurnya, membuka pintu hingga tercipta celah. Leluasa bagi kedua iris hitam megamati keadaan. Ia tidak mengerti dengan orang dewasa. Baru beberapa jam yang lalu mereka terlihat manis berangkulan, namun menit berikutnya sudah adu mulu layaknya domba kehilangan arah.

“Katakan padaku, mereka bukan siapa-siapamu…” Itu suara ibunya, terdengar gemetar. Kemudian sepi, tidak ada tanda-tanda ayah akan menjawab. Memang beberapa sekon lalu ayah membuka mulutnya tetapi tidak ada suara apapun.

Naru menunggu…

Satu menit…

Dua menit…

Sepuluh menit…

Hingga ia tertindur di balik pintu—

§§§

Silau…

Apa sudah pagi?

Hei, jangan nyalakan lampunya!

Eh tidak, ini sudah pagi…

Naru menyipitkan matanya, mendapati semalaman dirinya tertidur di lantai dan bukan di kasur. Bangkit, membuka pintu. Suasana rumah hening, nyaris seperti tak berpenghuni. Takahiro kecil melirik jam dinding, masih pukul 7. Biasanya ibu sudah sibuk di dapur atau di meja makan, dan ayah biasanya sudah mondar-mandir di ruang keluarga atau ke dapur dan sarapan. Naru melongok, ibunya memang berada di dapur tengah mengolesi roti tawar dengan selai kacang. Gerakannya memang seperti biasa, namun ada yang berbeda. Ada yang tidak terlihat, ada yang kosong di dalam matanya, seolah di dalam jiwanya tidak ada penghuni satu nyawa pun. Naru bergidik, ada apa dengan ibunya?

“Ohayou, okasan—“ Naru menarik baju Minase Ai, sang ibunda. Ia bersyukur, wanita setengah tua itu masih menoleh dan tersenyum padanya. Senyum kosong tepatnya.

“Lapar ya? Sebentar ya, sarapannya lagi dibuat.”

Naru mengangguk, ia berjalan ke arah meja makan dan menyeruput segelas susu yang sudah ibunya siapkan. Mengambil gelas bening di atas meja, sekilas ia melihat ada yang jatuh.

Apa itu?

Naru menaruh kembali gelasnya cepat-cepat, membungkuk dan mengambil kertas dengan tulisan yang sangat rapi baginya. Tertulis dalam huruf hiragana, sehingga Naru bisa membacanya dengan jelas.

Teruntuk Minase Ai,

Sebelumnya izinkan aku meminta maaf padamu; tentang semalamdan tentang semua hal yang terpaksa aku sembunyikan. Aku tahu, cepat atau lambat kamu akan mengetahuinya. Mengetahui semua ceritaku di masa lampau. Kamu benar, terkadang saat kita berharap segala sesuatunya tersimpan rapi, dunia menginginkan hal ian. Pada akhirnya dunia menunjukkan padamu kebenarannya—bahwa aku adalah seorang ayah yang pengecut. Kau pasti melihatnya disana, di salah satu buku yang aku tulis dan terselip disana, foto Athena dan seorang anak kecil, benar?

Aku ingin mengaku padamu, meski sudah terlambat. Wanita dalam foto itu, ya dia istri pertamaku. Anak yang ada di dalam foto itu adalah anakku, Minase. Aku minta maaf padamu, dan keluarga besarmu terutama pada si kecil Narumi. Maaf memang tidak bisa mengembalikan masa laluki dan maaf tidak bisa membalut lukamu, Minase. Ketahuilah, aku menyayangimu dan tentu anak kita, Narumi. Aku tidak bisa menjelaskan banyak tentang masa laluku, tentang rahasia yang selama ini aku pendam untuk diriku sendiri. Tapi kalau kau mau tahu (karena kau wanita yang keras kepala, maka aku tahu aku tidak bisa mencegah keinginanmu) kau bisa membacanya sendiri di buku harianku atau mungkin kau sudah membacanya lebih dulu?

Ketika kau membaca surat ini, maaf aku harus pergi. Meski pahit dan menyakitkan aku memilih untuk pergi karena ini kesalahanku. Aku tidak seharusnya melakukan ini padamu, kamu wanita yang sangat baik Minase. Narumi beruntung memiliki ibu sepertimu, tapi sayangnya ia tidak seharusnya memiliki ayah pengecut sepertiku. Ah sudah waktunya, aku harus pergi. Ada urusan yang harus aku kerjakan, tadinya aku berniat mengajak kau dan Narumi bersamaku, namun karena situasi dan kejadian semalam ini tidak mengizinkan aku untuk melakukannya, maka aku urungkan niat. Biar aku saja yang pergi. Kau jaga Narumi baik-baik. Bila ada hal-hal yang ingin kau ketahui tentang aku, aku meninggalkan banyak buku di ruang baca. Aku tidak membawa banyak barang.

Titip Narumi, sampaikan padanya kalau dia adalah anak yang cerdas. Dia anak yang istimewa, tidak ada yang perlu dicemaskan olehnya. Aku yakin dia akan tumbuh menjadi pribadi yang kuat dan lebih baik tanpa aku, Minase. Kau berhak mendidiknya, dan merawatnya karena Narumi milikmu seutuhnya. Maaf sekali lagi, aku benar-benar harus pergi. Aku yakin Tuhan memiliki takdir untuk kita, kau, aku dan Narumi. Tapi Tuhan juga punya takdir untukku, Clementine dan anak kami; Viervhy. Begitu juga dengan diriku sendiri. Kalau takdir sudah mengatakan, kita pasti akan bertemu di lain waktu.

Love,
Tyrone Athena.

Kelereng senada tinta menatap nanar. Apa yang barusan dibaca olehnya benarkah kenyataan? Ayah pergi dari rumah? Pemuda keturunan Jepang; Takahiro tergugu. Diam di tempat. Dia memang masih kecil, usianya baru 8 tahun, secepat inikah ia harus merasakan kehilangan? Meski pada usia yang belum mengerti makna kehilangan? Tapi kenapa? Kenapa sekarang? Kenapa Tuhan tidak memberikan waktu yang lebih lama padanya untuk keluarga yang sempurna? Detik berikutnya ia mendengar langkah kaki, itu pasti ibunya yang membawa sarapan. Naru cepat-cepat menaruh surat itu di tempatny semula, duduk tenang di meja makan. Menikmati sarapan dalam keadaan seperti ini adalah kali pertama di dalam hidupnya. Biasanya ada ayah, dan ibu akan dengan semangat menceritakan anak-anak di tempatnya bekerja. Terkadang ibu sering meledekku dan menyelipkan nama Usami di sela-sela ledekannya. Lalu kami bertiga akan tertawa bersama. Sekarang, suasana hening. Tidak ada yang mampu mengisi kekosongan pagi ini, baik itu Naru ataupun Minase. Dua-duanya berkutat dengan pikiran masing-masing.

“Bu, aku sudah selesai makan. Nanti aku nyusul saja ke sekolah, ibu duluan saja.”

Tidak ada respon dari Minase. Narumi beranjak dari meja makan dan pergi ke kamarnya, ia menunggu sampai jam menunjukkan pukul 8. Ketika jarum panjang tepat di angka 8, ibunya sudah berangkat kerja, dan dia akan masuk ke dalam ruang baca.  Begitu mendengar pintu terbuka dan tertutup, Naru mngintip dari jendela kamarnya, memastikan kalau Minase telah berangkat menuju sekolah tempatnya mengajar. Naru penasaran, buru-buru dia membuka pintu kamar dan berlar ke ruang baca. Jaraknya hanya berbeda dua kamar dari kamar tidurnya. Biasanya ayah memakai ruangan ini saat malam, setiap beliau pulang tengah malam, maka ia akan berada di kamar ini sampai besok pagi. Kalau ia pergi, ruangan ini pastilah dikunci. Seperti maling, Naru pelan-pelan membuka pintu ruang baca, menoleh ke belakang, takut-takut kalau ada yang memergokinya.

Meraih gagang kenop pintu sembari menahan nafas. Berharap kalau ruangan ini tidak terkunci, dan….

Memang tidak terkunci…

Tanpa menunggu komando apapun, Naru segera masuk ke dalamnya dan berlari kecil menuju sebuah rak besar. Ruang baca ayah besar, bisa dikatakan dua kali lipat lebih besar dari kamarnya. Di cat dengan warna cokelat, atapnya terkesan tinggi sekali, setiap jengkal ruangan ini adalah rak buku, penuh dan padat. Anehnya tidak ada debu disini, aroma lavender menyeruak, menyambangi indera penciuman Narumi saat itu juga, khas ayahnya. Di sudut kanan ruangan ada meja besar, tempat ayahnya menghabiskan waktu berpikir pada saat beliau bergelut dengan pekerjaannya. Di dekat pintu tak jauh dari sebelah kanan pintu, ada sofa panjang berwarna hitam, di bawahnya ada karpet. Meja kerja ayahnya sangat rapi untuk seorang laki-laki. Narumi masih berkutat dengan rak buku ayahnya. Dimana kira-kira lelaki tua itu menyimpan buku hariannya? Dari satu rak ke rak lainnya, selama ia mencari hanya sekumpulan buku-buku rumit. Bocah lelaki kelahiran 23 Oktober ini bergidik ngeri. Meninggalkan jajaran rak, ia mulai berjalan menuju meja ayahnya. Duduk diam di kursi hitam besar.

Biasanya ia akan menemukan ayahnya disini pada jam-jam malam. Dari kejauhan, kedua iris hitamnya akan memandangi sang ayah terpekur, menautkan kesepuluh jari di bawah dagu, kepala tertunduk,  kerutan di dahinya akan muncul lima menit kemudian. Naru selalu suka pose ayahnya yang demikian, sayangnya itu tidak akan terlihat lagi. Ayahnya sudah pergi.

Bolehkah ia menyalahkan takdir sebentar saja? Memakinya beberapa menit saja? Hanya untuk membebaskan rasa terkutuk di dalam hatinya. Rasa yang menyayat nafasnya setiap kali memikirkan sang ayah. Menit berikutnya, kelereng hitam miliknya melihat sebuah foto di atas meja. Ada denyut nyeri sepersekian detik, melihat bingkai-bingkai senada dengan irisnya berjajar rapi di atas meja. Foto itu seolah meledeknya! Foto seorang ayah, bersama istri dan anak laki-laki. Mereka tersenyum bahagia, sang ayah nampak merangkul wanita di sisinya. Naru meraih foto itu, berusaha menampik apa yang dilihatnya.

“Kami bahagia kok.” Gumamnya tanpa melepas tatapan mata dari foto yang kini dipegangnya, “kami bisa seperti dulu lagi, ayah pasti akan kembali ya kan?” Kepalanya bergerak, menangguhkan dagu seolah melempar pertanyaan  pada sosok yang tidak akan pernah menjawabnya.

“Kami… Bahagia…”

Tangannya mengerat, kegetiran semakin merayap. Tiba-tiba kedua matanya buram, ia merasa seperti dipukul pada bagian dada, sesak. Narumi tidak pernah merasakan ini sebelumnya. Rasa yang menyiksanya, membuatnya ingin menangis, tangis yang ia tahan untuk dirinya sendiri.

Takahiro bangkit dari duduknya, urat-urat kemerahan menghiasi kulit pucat wajahnya. Ia membiarkan kedua tangannya bergerak, membanting apa saja yang ada, membuang apa saja yang ada di sekitarnya, diiringi dengan teriakan membabi buta, jerit kesakitan, kebencian, kemarahannya pada yang sudah terjadi. Ia kesal, sampai tidak bisa bicara dan pada akhirnya hanya bisa teriak, hanya bisa menerima saat ayahnya memutuskan untuk pergi. Waktu menyuruhnya berhenti, Naru terengah-engah mengatur nafasnya. Tubuhnya terhuyung dan akhirnya jatuh terduduk di kursi hitam. Kedua matanya basah, tertumbuk pada satu buku hitam besar. Tanpa ragu, ia mengambil buku hitam itu, bertanya-tanya apa yang ada di dalamnya, dan kenapa bisa ada disana?

Lembar demi lembar dibaliknya, Takahiro terhenyak.

Bukanlah huruf ketik yang biasa ia temukan di dalam buku-buku ayahnya, tapi ini ditulis dengan tulisan tangan, sangat rapi dalam bahasa inggris. Meski belum fasih tapi Naru bisa membacanya, sedikit tahu artinya. Barulah ia sadar, kalau ini adalah buku harian ayah yang dicarinya sejak tadi.

—to be continue—

Minggu, 08 Juli 2012

I'm Sorry, I Love Him..


Detik-detik menjelang wisuda sudah semakin dekat…

Selama ini kami masih tenang-tenang saja, tidak intens pada beberapa pertemuan. Aku lebih banyak berkutat dengan persiapan menjelang wisuda. Selama sesuatu mengganggu dan mengganjal aku tidak akan merasa tenang.

Lagipula hari ini sepertinya dewi fortuna enggan menyapaku…

Dia tidak melambaikan tangannya, malah berpaling dariku. Aku melihatnya pergi tanpa sempat kucegah untuk tetap berada di sampingku. Haa, dunia ini memang tidak pernah bisa ditebak. Baru kemarin ada berita baik sekarang sudah menjadi duka. Waktu tidak pernah benar-benar membuang kesempatannya untuk menekan seseorang sampai ketitik terbawah, sial. Garis-garis kontur itu menekuk seolah menyulam wajahku menjadi garis tak beraturan, aku bagai hasil penjahit tak berornamen. Mengetuk, dan berjalan lesu. Bumi tidak pernah membiarkan siapapun untuk bersenang-senang, setidaknya hari ini. Ada saja masalahnya, benturan yang tidak dapat aku elakkan.

“Masih sama keputusannya?” Mr. Arnold menepuk pundakku.

Aku mengangguk lesu, disertai helaan nafas panjang. Spasi keheningan tanda aku tidak suka dengan keadaan. Mr. Arnold berdiri menghadap diriku. Ia mengamati hati-hati raut wajahku, kemudian membetulkan letak kacamatanya. Surainya yang berpotongan cepak dan berwarna tinta berayun ketika angina senja menerpa.

“Mereka nggak mau datang… Bagaimana ini? Masa aku wisuda sendirian?” Baru saja aku mengeluh. Mr. Arnold menepuk pundakku, dia mengajakku ke ruang guru. Tempat dimana para guru biasa berkumpul, namun sore itu kebanyakan guru sudah pulang, yang tersisa hanya Mr. Arnold saja. Aku menurut, kuminta sahabat baikku untuk ikut bersamaku, setidaknya aku tidak ingin segalanya menjadi sangat amat kacau. Sahabatku itu tidak berhenti untuk menghiburku, ia menepuk pundakku dan sudah ratusan kali mengatakan bahwa semuanya akan baik-baik saja. Telingaku bukannya tidak ingin merespon, terlalu banyak harapan dan satu-satunya sekarang adalah rasa putus asa yang aku miliki, menyadari kalau pada hari wisuda, aku akan berada sendirian tanpa orangtuaku, tentunya.

Tiba-tiba pintu terbuka, kulihat Mr. Arnold kembali dengan senyuman, ia menyuruh sahabat baikku untuk keluar sebentar. Aku masih bingung, aku memikirkan keputusan kedua orangtuaku yang bertengkar semalam.

“Ini…” Mr. Arnold memberiku selembar kartu undangan, aku mengamatinya baik-baik. Berganti pandang antara kartu itu dengan wajah Mr. Arnold.

“Ini apa, Mr?” tanyaku ragu-ragu, suara yang keluar jelas lemah.

“Take it. Orangtuamu membutuhkannya.” Wajahnya meyakinkanku untuk menerima undangan itu. Mau tidak mau aku mengambilnya, terselip sebuah rasa bersyukur dan perlahan rasa bimbang itu menghilang. Aku membolak-balik kartu undangan itu tapi Mr. Arnold menyuruhku untuk menyimpannya di dalam tas dengan segera. Yeah, aku masih tidak mengerti dengan kondisi, sampai ia mengatakan padaku untuk tidak mengatakan kepada siapa-siapa kalau ia memberikanku kartu undangan. Aku mengangguk, sebagai imbalan karena dia telah membantuku. Sahabat baikku masuk ke dalam, aku sangat ingin menceritakan padanya, betapa aku bahagia Tuhan memberiku malaikat yang sangat baik seperti Mr. Arnold. Aku ingin memeluk sahabatku dan mengatakan padanya kalau orangtuaku akan datang dan aku percaya supportnya akan menjadi kenyataan. Sayangnya, aku dilarang mengatakan apapun yang berhubungan dengan undangan. Maka aku hanya berusaha tersenyum mendapati sahabatku duduk di bangku yang tepat berada di hadapanku. Ia masih memandangku prihatin, bahkan aku terlihat lesu saat Mr. Arnold memutuskan untuk pulang karena ia sudah janji dengan istrinya untuk tidak pulang malam.

Sampai pukul 7 kami masih ngobrol santai di bilik guru…

Ada banyak hal yang aku bicarakan dengan sahabatku dan itu membuat keadaanku menjadi sangat baik. Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caramu memberikan aku begitu banyak orang yang bisa membuatku menjadi lebih baik. Yang jelas, sahabatku ini kado yang paling indah, yang tidak semua orang punya, dan mungkin akulah satu-satunya yang punya dia. Dari A sampai Z, apa saja menjadi bahan obrolan kami, waktu memang selalu menjadi pemisah, tanda kalau kami harus kembali ke rumah masing-masing, tiba-tiba dari luar jendela Putra mengetuk kaca. Aku mengernyitkan kening, menunjuk kaca jendela dan sahabat baikku itu langsung meraih kenop pintu. Aku melihat sekilas tubuh Putra yang tinggi besar sudah berada di depan pintu, bersama Ndah pacarnya. Oh mereka akrab sekali, dan sahabat baikku itu segera bicara dengan Putra. Dia senang sekali menggoda Putra dan pacarnya, kemudian aku menunduk. Kutaruh kepalaku di sisi meja, dan mulai menghela nafas lagi dan lagi.

“Kenapa?”

Aku mendongak, satu kalimat tanya berasal dari suara yang sangat aku kenal. Suara yang begitu kurindukan untuk menyapa telinga. Suara yang selalu membuatku ingin melihat matanya dan memeluknya; sayang tidak mungkin. Responku hanya senyum datar, itu sudah cukup sebagai perwakilan yang mengatakan aku baik-baik saja. Menakjuban, bukannya meninggalkanku dia malah menaruh tangannya di atas kepalaku dan membelainya. Gerakan yang paling aku suka; aku menyukai sikap lelaki yang seperti ini, memberi belaian di puncak kepala tanda kasih sayang. Tenang, seperti ada dorongan haus, kalau saja ia belum dimiliki sudah kepeluk daritadi orang ini. Aku melirik, kudapati senyum sendu itu terpeta disana.

Seperti marsmallow; basah, seperti buah yang jatuh; cepat, tanpa ada yang bisa menghentikan. Diciptakan keadaan terhenti saat ia melakukan hal kesukaanku. Memberikanku air ketenangan, berasal dari kecupannya, tanpa sempat aku hentikan, tanpa ada yang melihat, tanpa perlu ada jerit makian dari kedua sahabat kami. Sekali lagi ia mengelus kepalaku dan berkata, “Jangan sedih gitu… Aku pulang ya…” suara itu melembut, belum pernah aku dengar dia mengatakannya dalam nada rendah, “tenang aja, nggak ada yang liat kok tadi…” mengedipkan matanya, dan ia memberanikan diri untuk mengecup keningku. Tuhan, bagaimana bisa aku menolak orang ini meski kami beda dan ia sudah ada yang memiliki?

Akhirnya, gerimis itu berhenti. Awan hitam mulai menepi, pelangi muncul sebagai pengganti. Beberapa detik kemudian, Putra dan sahabat baikku memanggil dia, mengajaknya untuk pulang. Ada kelakar hangat menjamah, membuat kedua pipiku merona hebat, kututupi seolah semua baik-baik saja; alih-alih tidak membuat sahabatku curiga. Aku tidak ingin ada yang tahu kejadian barusan, bahagia itu milikku sendiri. Meski selama ini hal sekecil apapun selalu aku ceritakan pada sahabat baikku, tapi untuk kali ini rasanya hal kecil tadi hanya milikku, potongan puzzle kebahagiaan itu hanya punyaku dan aku tidak ingin memperlihatkannya pada orang lain. Senyum merekah saat ia melambaikan tangannya padaku, aku menghangat seolah melebur dengan pasir. Ia selalu bisa membuatku kembali tersenyum, bagaimanapun caranya—ya aku selalu suka caranya membuatku tidak berdaya, beberapa menit yang lalu.

Senin, 02 Juli 2012

Living On My Own Way 6


Just smile, turn around and walk away. Don’t look back, you’re not missing anything.

Apa yang aku takutkan dari sebuah perpisahan? Kehilangan? Apa yang aku khawatirkan dari sebuah keputusan? Pilihan yang salah? Apa yang membuatku kecewa hingga sekarang? Pengorbanan yang disia-siakan. Seikhlas apapun aku menerima sebuah perpisahan tetap saja aku merasa kecewa sudah hadir di antara dua celah. Memangnya kau pikir melepas kepergian seseorang yang telah begitu banyak memberimu kenangan dan membuat dirimu berkorban segalanya adalah hal yang mudah? Walaupun aku harus mengakui, aku memang berbuat kesalahan. Bukankah setiap sepasang kekasih seharusnya berjanji untuk tetap bertahan walau saling dikecewakan? Janji… yang hanya bisa diucapkan namun tak kunjung diwujudkan. Tertawalah, katakanlah aku kekanakan. Hei, pada dasarnya ia hanya berkaca pada realita, masa lalunya terulang kembali bahkan lebih pahit dari yang ia duga. Seseorang yang sudah mengambil sebagian hartanya kini pergi begitu saja dengan atau tanpa permintaan maaf sekalipun.

Sama sekali aku tidak pernah berpikir hal ini akan terjadi—atau memang aku saja yang munafik?

Seharusnya aku tahu kalau suatu saat kebersamaan ini akan berakhir dengan atau tanpa pernyataan sekalipun. Bodoh, kenapa aku baru sadar?

Mencoba menghadapi hari-hari yang kosong dan berbeda seratus delapan puluh derajat, sejatinya hampa di dalam hari-hariku nyaris menyerang secara membabi buta membuat kedua mataku sulit terpejam tengah malam, tetapi mudah terbuka sebelum mega. Yeah, masa lalu begitu serakah memakan kenangan. Aku lelah dengan semua tuntutan yang mengharuskan aku melestarikan kenangan. Kenangan itu jahat, peran antagonis dalam setiap kehidupan, dia yang selalu berdiri menantang melawan ingatan, hati dan logika. Jalang, aku membenci setiap kenangan bersamanya, torehannya selalu menyakitkan, apa yang telah direnggut dariku. Puas? Membuatku jauh lebih kotor ketimbang 3 tahun yang lalu, huh? Oh damn! Bisakah kau katakana padaku betapa brengseknya dia yang dulu selalu kupuji setengah mati?

Aku menghela nafas, sebaiknya kulupakan. Kuisi hari-hariku dengan banyak kesibukan, meski setiap jeda masih membawaku untuk mengingat setiap kenangan bersamanya. Terkadang aku lebih memilih pulang malam dari sekolah setelah selesai latihan wisuda, karena sebentar lagi kami akan mengadakan acara lepas alih. Menghabiskan banyak waktu di sekolah dengan teman-teman, membuatku melupakan semua tentang mantan pacarku. Apalagi aku dihibur mereka, terutama dia. Walaupun kedua mataku seringkali menangkap dia sedang mesra dengan pacarnya, tapi aku tidak peduli. Tidak pernah aku rasakan sakit sebagaimana aku merasakan sakit saat diputusin mantan pacar. Aku terkekeh, dunia sudah gila.

Sore itu, seminggu sebelum hari H, aku berpapasan dengannya di gerbang sekolah. Dia bersama sahabat baiknya, dan aku bersama sahabat baikku. Kami sempat bercakap-cakap sebentar, setelah itu aku dan sahabatku pamit masuk ke dalam lingkungan sekolah. Tidak sampai satu detik, ketika aku membalikkan badan, dia menarikku dan langsung menyentuh bibirku dengan bibirnya—lembut.

Terjadi lagi….

Bisa kalian bayangkan situasinya seperti apa?

Yeah, kedua sahabat kami shock setengah mati. Sahabatku yang perempuan tanpa babibu segera memaki dia, mengatakan kalau tindakan tadi benar-benar gila, sebab dia sudah memiliki pacar. Terhitung reflekku memang lama akan hal-hal seperti itu, seperti biasa, dugaanku adalah reaksinya yang hanya sebatas cengiran usil kemudian melambai pamit.

Yang entah sejak kapan aku merasa degup jantung ini tidak lagi normal kalau melihat dia, sialan. Aku tidak pernah bisa benar-benar mengontrol permaina pacu jantung. Selalu saja membuatku kelimpungan. Hanya saja, bukankah aku adalah pemain drama yang handal? Tentu penonton tidak akan pernah lupa pada permainan yang aku ciptakan, skenario yang aku siapkan untuk menutupi segalanya. Aku tetap terlihat seperti teman-teman lainnya yang tidak terlalu menonjolkan perasaan apapun padanya, atau memang aku tidak berusaha untuk menunjukkan. Tahulah batas norma, sesama wanita tidak boleh menyalip sang pria, ya ya aku tahu janur kuning belum menjadi tonggak, kan? Apa salahnya menghormati milik orang lain. Hei, Karma tidak melepas begitu saja orang-orang yang mengkhianati listnya. Percayalah, dia akan datang kapanpun tanpa melihat keadaan. Rasanya licik kalau aku bermain di belakang, padahal Karma sudah mengintip. Yah, mau bagaimana lagi perasaan memang susah untuk dikendalikan, no?

Substansi manapun enggan mengusik rasa, apalagi kalau sudah menyeruak layaknya pesta pora. Ia tidak akan membiarkanmu hengkang, malah akan dibuat tunduk semena-mena.

Kali ini keadaan berbalik dengan mudah—

Aku selalu melihat dia dan pacarnya makan bersama, dan tentu saja aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mereka mengumbarnya. Yeah, untunglah aku seorang aktris yang sangat handal. Biar bagaimanapun aku tetap bisa mengontrol emosi, atau setidaknya aku tidak membiarkan pisau manapun menyentuh selaput hati yang sudah terkoyak. Baik aku ataupun dia, kami sama-sama memainkan drama dengan sangat baik. Di satu sisi, ia bertindak sebagai kekasih yang baik untuk pacar resminya, namun di satu sisi ia bisa menyentuhku dengan lembut. Aku akui permainannya sangat hebat. Dan kalau kau bertanya, apa aku merasa sakit setiap melihat mereka bersama?

Jawabannya adalah tidak.

Bagaimana bisa?

Karena aku menikmatinya, sepenuhnya menikmati sajian yang diberikan. Toh aku sadar, aku hanya bayang-bayangnya, aku hanya kabut yang berada di belakangnya, ketika badai datang, atau langit sepi, aku akan datang padanya, atau dia yang akan datang padaku? Pilihan yang manapun aku tidak keberatan, selama masih bisa bersamanya, selama aku masih bisa merasakan dia, aku tidak keberatan. Sekalipun pada akhirnya ini hanya kisah sementara. Hanya sisipan sebuah quote pun tak mengapa.