Selasa, 12 Februari 2013

All those times that you didn't leave; stay stay stay



Disclaimer to : Amano Ryota, Shirahata Cho, Hideaki Tosho dan karakter lain yang disebutkan dalam cerita ini. 


Pindah sekolah artinya pindah rumah, pindah kota spesifiknya pindah kehidupan. Adaptasi ulang, masuk ke lingkungan baru dan menyesuaikan diri dari awal. Sejenak, bukankah ini keinginannya? Sapporo bukan berarti tempat yang tidak layak, hanya tujuannya tak terpenuhi. Substansi sekolahnya menyerah, mengatasi seorang lelaki bebal bernama Ryota. Tidak pernah hadir di kelas, main pukul anak orang, adu mulut sembarangan, terakhir membuat ketua kelasnya ambruk dan masuk rumah sakit dan meninggalkan vonis gegar otak. Kemudian ia dikeluarkan dengan sambutan sukacita. Siapa peduli? Yang penting ia cepat-cepat pergi karena toh keinginannya memang bukan disini, ‘kan? Ryota, sepenggal nama potongan dari masa Hideaki dan beralih pada Tomohiro kemudian beranjak pada Amano. Mereka pindah, setelah ibunya memutuskan menikah dengan seorang pemuda tua, kaya sayangnya ia terlalu kikir dan tolol, pemalasa, angkh dan sedikit fanatic terhadap minuman beralkohol. Menurutnya, ayah tirinya hanya peduli pada ibunya meski tak pernah ada kekerasan fisik yang ia alami sebagai anak. Namun tak dilihatnya tanda-tanda seorang ayah yang menyayangi anaknya. Na’ah lebih dari cukup, ia belum bisa melupakan Hideaki—ayah kandungnya yang sama bebal, yang darahnya mengalir dalam setiap sendinya, tetapi kenyataannya yang bersangktan menolak mentah-mentah, mencoret namanya dari daftar anak, katakanlah ia terbuang sia-sia.

Kepindahan sejatinya ia meninggalkan puing-puing yang lalu, membuka kotak baru, kehidupan yang baru dengan tujuan masa lalu. Tolol? Ya, katakanlah seperti itu—kurang lebih. Adakah yang tahu, dibalik tubuh kurusnya, dibalik wajah datarnya, dibalik peduli setannya, ia menyimpan obsesi yang sangat besar. Tidak ada yang bisa menolaknya sekalipun ibu kandungnya. Ketika ia mengingat sebuah putaran halus di dalam kepalanya; nama Saeki yang berada di sana. Bungsu dari Hideaki sekaligus kepingan masa lalu yang dibawa kabur oleh bajingan tengik sekelas Hideaki. Disanalah tujuannya, Nagoya. Dia tahu, ketika sekolah menengah pertama, ia sempat bertemu putera Hideaki bersama seorang puteri kecil di sebuah supermarket. Gadis yang cantik dengan mata besar, bibir mungil, surai pekat lurus sebahu—mirip sekali dengan ibunya. Tanpa ragu ia mengenalinya, itu Saeki—nya. Direbut paksa, diambil tanpa persetujuan oleh sang ayah. Kemudian selama seminggu ia mengikuti kemana pemuda itu pergi, pemuda yang sering diantar memakai kendaraan pribadi, pemuda yang pongah ketika membuka pintu kendaraan pribadinya, pemuda yang dengan tatapan matanya sudah memerlihatkan seberapa banyak yang yang ditimbun orangtuanya. Ia rela berdesak-desakan di dalam kereta hanya untuk bertatap muka dengan pemuda itu—Hideaki Tosho yang ia cari sekian lamanya, kurun waktu belasan tahun. Pemuda yang ingin ia cear, yang ingin ia habisi hidupnya karena mengambil apa yang bukan miliknya dan begitu sadar ia lemas pemuda itu bahkan tidak bersalah. Pemuda itu tidak tahu apa-apa, dan ia hanya termenung memandang ujung sepatunya mengumpulkan niat ketika sang pemuda yang dikenalinya sebagai anak Hideaki lain tengah berjalan ke arahnya.

“Hideaki—san?”

Pemuda itu mendongak, menaikkan satu alisnya, meneliti penampilan Ryota dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menilai selayaknya ia bertemu dengan gembel jalanan.

“Siapa?”

Lupa—wajar, sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Usia tak mengizinkan mereka pergi ke pantai bersama menghabiskan waktu dengan butiran pasir dan istnananya. Waktu juga tak mengizinkan Ryota kembali pada pelukan masa lalunya hanya untuk memungut sesuatu yang sudah terpecah belah menjadi ratusan kepingan abstrak.

“Lupa ya? Ryota.”

Pemuda itu Nampak berpikir sejenak kemudian ia mengangguk memasang wajah datar. Menunjuk Ryota dengan dahu, rasanya sampah kalau ia tidak mengajak bicara seorang Tosho.

“Oh ya, apa kabar?”

“Baik, rumahmu di sekita sini?”

“Darimana kau tahu?”

“Wah lupa? Dulu ‘kan kta sering main bersama.”

Alibi—hanya serangan masa lalu. Basa-basi menciptakan ingatan yang hilang, aliansi memori yang tak bisa ia cegah, buat sendiri kemudian disusun menjadi kumpulan dusta dan ia mulai merayap pada satu kata—naif. Ryota mulai berbasa-basi meski ia bukan seorang yang cukup pandai berinteraksi, menyakan segala hal yang bisa ia kupas demi memangkas habis rasa penasarannya. Demi mencari fakta seputar keberadaan Saeki. Dua puluh menit—sebuah mobil terlihat dari ujung jalan. Hideaki kecil membungkuk dan pamit meninggalkan ia dengan semburat masam tarikan asimetris dan kibaran kemenangan.

Ryota kembali, perjalan tak sepadan dengan yang ia dapat. Ibu menyakannya, kemana mereka akan pindah. Sejatinya Ryota butuh suasana baru, ibu berkata dengan nada memerintah bahwa ini kepindahan mereka yang terakhir sebab beliau lelah melihat tingkah anaknya. Penawaran, ia memberikan tujuan—Nagoya. Satu-satunya tempat yang ia tuju sejak masa lalunya terungkap, sejak kepingan jiwanya dibawa, ibu setuju tanpa bertanya kenapa ia memilih Nagoya. Tak butuh adu mulut, ia dan keluarganya pindah dengan embel-embel Amano.

Nagoya sebuah kota pinggiran dengan sedikit banyak kehidupan dan ibu tetap menaruh minat pada pekerjaan lamanya, pun Ryota tak menampuk. Bukan urusannya selama Amano tidak main kasar dan menyebut ibunya pelacur. Ibu kemudian mengajukan beberapa sekolah dan ia hanya menyebutkan satu dari yang tidak ada di dalam penawaran ibunya. Souzou, tempat paling baik dan juga kediaman terakhir untuk ilmunya.

“Jangan macam-macam lagi atau ibu tidak akan mengurusmu.”

“Ini yang terakhir, pegang kata-kataku.”

Ia berjanji karena memang ingin ditepati. Labuhan terakhirnya, hari pertama dan ia mulai menjalankan misinya. Hideaki Tosho disana, si dungu itu dengan wajah innocent menatap kearahnya. Tak masalah asal ia bisa memantau dan sesekali bertanya tentang Saeki. Dekat—bukan berarti keduanya saling bicara, lebih banyak diam dan main mata. Bahkan saat keduanya terlibat di arena pembelajaran, Ryota memang tidak pernah belajar, ia lebih banyak menghabiskan waktu di luar, atap sekolah, halaman hanya untuk tidur dan menikmati angin. Ia bukan penikmat tembakau yang seringkali mengenda-endap hanya untuk menyesap kenikmatannya, bukan pecandu lintingan putih berkedok asap, bukan pula pengkhayal buta di siang terik ketika matahari hanya sejengkal dari kepala. Ia hanyalah seorang Ryota dengan segala ambisinya.

Saeki menjadi tujuan utama, ia berlari ke halaman belakang sekolah tempat biasa untuk dirinya sendiri. Mengingat banyak cerita, ketika siang hari ibu pergi ke supermarket dengan cerobohnya meninggalkan Saeki di dekat meja kasir dan kembali padanya dalam keadaan menangis meraung-raung mengatakan Saeki hilang. Good, ia bukan tidak peduli macam insiden persetan macam ini pun tidak bisa disebut penculikan, si pelaku tak mengabari ibu bahkan tak meminta uang tebusan. Lapor polisi dengan dugaan mantan suaminya menculik anaknya sendiri? Gila, keluarga Hideaki menimbun kekayaan sama seperti mereka menimbun dosa dengan watak jahannam, dan mereka tidak akan ragu untuk menjejalkan polisi dengan satu koper uang. Jelata dipinggirkan, dan ia mulai kesal, lalu masa bodoh, ia tidak peduli suatu saat nanti dengan tangannya ia akan mengembalikan, merebut kembali haknya dan Hideaki muda akan menangis meraung-raung karena ia kesal. Ha, mati saja.

Benda jatuh seseorang datang ke arahnya. Mustahil, jam segini ada murid lain selain dirinya. Buru-buru ia menutup setengah wajahnya dengan tangan disilangkan di depan wajah. Tangan lain ia jadikan bantalan, mengintip melalui celah epidermis dan ia tahu siapa—pindahan, sama dengannya. Peduli? Tidak, hanya seorang gadis dan dunianya sendiri. Lalu ia meminta pergi, bebal. Gadis itu ternyata mewarisi watak yang sama. Seperti cermin, ia berkaca bahwa sepasang matanya memiliki pendar yang sama, saat keduanya berkomunikasi seadanya dan sentuhan pertama sangat memabukkan. Ia tidak lupa bagaimana mengecup rasa mani dengan indera perasanya—demi sari anggur yang membekas.

Shirahata Cho—namanya. Ia tidak terlalu mengenal gadis ini, jangankan gadis ini untuk mengenal anak lain pun ia tidak mau. Bukan karena ia sombong karena memang beginilah dia, tidak suka dengan banyak orang. Bukan membenci hanya tak suka mereka ada di sekeliling, cenderung dijauhi oleh teman-temannya. Mungkin disini rasis, anak baru tak punya teman hanya mereka yang memiliki popularitas dengan gossip-gosip papan atas lah yang menjadi sorotan dan kumpulan aliansi pasukan yang alih-alih akan membuat mereka tenar. Setelahnya hanya obrolan singkat, kemudian ada luka dalam kabut matanya. Puas memandangi wajah terkutuknya ia memutuskan untuk kembali ke kelas, meskipun ia tidak benar-benar niat kesana, sebab kelas selalu menjadi momok yang paling menakutkan.

Sampai detik ini ia berharap tidak akan melakukan interaksi dengan siapapun termasuk teman sebangkunya kalau perlu. Ia lebih baik menjaga jarak, paham kalau dirinya selalu dalam penilaian yang negatif dan sendirinya peduli setan—sengaja. Lebih baik seperti itu daripada ia berubah pathetic kemudian melayangkan tinju pada sembarang orang. Pulang pergi jalan kaki, Souzou tak begitu jauh dari rumahnya. Begitu bel berbunyi, ia selesai tidur siang di dalam kelas, berjalan malas menuju rumahnya dengan langkah gontai. Ia harus cepat pulang karena pukul enam sore ibu sudah harus siap kerja demi tamu-tamunya. Ia melangkah, satu dua, sampai puluhan bahkan ratusan. Ketika ia seringkali menoleh ke belakang dan curiga ada sesuatu yang mengikutinya. Menatap arah belakang dengan sewot, ia tahu ada yang mengikutinya. Siapa? Pencuri? Ah paling gundik-gundik malas yang seringkali mencegat wanita tengah malam. Lupakan, ia sudah sampai dirumah dan berganti pakaian. Duduk santai menunggu ibunya memasak dan berpesan ini itu seperti biasa.

“Kunci pintunya, ibu akan—“

“Pulang jam empat pagi, tapi tergantung para tamu yang datang karena itu memengaruhi tips, jadi kalau aku tiba jam enam pagi silahkan sarapan sendiri, jangan lupa siapkan sarapan untuk ayahmu, baju seragammu sudah ibu setrika.”

Dia sudah hapal kalimat yang dijabarkan ibunya sebelum beliau berangkat kerja, sang ibu hanya tersenyum mendapati anak sulungnya mulai mengerti kebiasaan yang mereka lalui selama bertahun-tahun tanpa protes, tanpa memberikan justifikasi sampah dan bahkan kalimat yang ia akan katakan pun anaknya sudah hapal. Ia lantas meraih anaknya dalam pelukan kemudian berjinjit dan mengecup kening Ryota. Setelah itu berbalik dan melangkah pergi. Ryota mendekati pintu dan menariknya kemudian mengunci pintunya. Berkeliling rumah dan memeriksa jendela, kalau ada satu pengamanan yang lewat besok pagi Amano akan memarahinya dan berujung pada pertengkaran yang membanting seluruh barang dirumah, tapi Amano tidak akan berani menyerangnya atau dia akan diceraikan ibu. Setelah selesai berpatroli keliling rumah, ia melempar tubuhnya di sofa ruang keluarga. Ruangan ini kecil, tak jauh dari tempatnya berleyeh-leyeh terdapat meja makan bundar yang lebih sering diabaikan daripada dipakai makan bersama. Tangannya meraih remote televisi, masih hitam putih.

Dengan bosan ia mengamati setiap channel yang ia jelajahi, sampai kemudian ia melihat ada bayangan melesat dari luar. Ryota mengernyitkan kening, apakah ibunya kembali lagi? Ia menunggu sembari sesekali memerhatikan layar televisi. Tetapi tak ada pergerakan lebih, seharusnya kalau ibunya kembali beliau mengetuk pintu dengan panik, tetapi ini tidak sama sekali. Ryota beranjak, tanpa perasaan takut karena menurutnya kalau maling tinggal pukul sampai pingsan. Ia memutar kunci pintu dan meraih kenop—terpaku dengan apa yang dilihatnya.

Shirahata Cho, berdiri dengan busana renda di depan rumahnya—tengah malam.

“Cho…” Ia meneguk ludah, menjulurkan lehernya, mengamati sekeliling dan kembali memerhatikan gadis bersurai hitam di hadapannya, “ada apa kesini malam-malam?” 

Shirahata Cho berdiri di depan rumahnya—tengah malam.

Garis bawahi, cetak tebal, nyaris tengah malam ia melihat seorang gadis berdiri di depan rumahnya. Memindai sekali lagi penampilan gadis Shirahata di depannya, pakaian yang tidak wajar untuk keluar di tengah malam, apalagi daerah rumahnya itu rawan. Terkadang di susut-sudut jalan atau gang sempit banyak pemuda yang berulah, entah mabuk atau mengincar perempuan yang lewat sendirian. Mungkin suatu kebetulan kalau Cho bisa sampai di depan rumahnya dengan selamat dengan pakaian yang tipis mengingat cuaca malam sangat sengit.

Amano membalikkan tubuhnya, melihat jam dinding yang bertengger, menunjukkan pukul setengah sebelas. Kemudian ia menggeleng, setelah mengembalikan fokusnya pada dara Shirahata ia mengurungkan pertanyaan lanjutan. Ia tidak mengerti kenapa Cho datang sendirian, ditanya pun gadis itu hanya diam saja, matanya bahkan mencari perhatian lain. Itu tidak mengurangi pertanyaan besar yang menggantung di kepalanya, terlebih ia masih bingung darimana Cho tahu rumahnya. Tidak ada yang tahu termasuk sepupunya sendiri, tapi kenapa gadis yang bukan siapa-siapa yang tidak memiliki relasi bahkan sedarah ini tahu rumahnya? Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baiklah satu keanehan yang terjadi, kemudian satu ajakan membuatnya ingin membanting pintu. Wait, ibu bilang tidak sopan bersikap kasar kepada perempuan se-menyebalkan apapun perempuan itu. Ia menghela nafas, menaikkan alis.

“Ke rumahku, yuk!” Katanya.

Satu undangan tengah malam dialamatkan padanya tanpa tedeng aling-aling dan wajah bersalah. Ini apalagi? Pikirnya, ia bahkan tidak tahu mau apa. Ingin mengusir Cho agar cepat pergi saja, siapa tahu ada tetangga usil yang melihat mereka malam-malam begini. Meski ia bukan tipikal yang manut dengan gossip murahan begitu.

“Ke rumahmu? Sekarang?” Ia mengernyitkan kening, ia mundur satu dua langkah, tangannya meraih kenop, “tapi ini sudah malam, pulanglah.” 

Sayangnya Shirahata bukan gadis yang mudah diperintah, hidup dari lingkungan semau-maunya memang susah untuk urusan disuruh menyuruh. Bukan tanpa alasan ‘kan ia menyuruh Cho pulang, hanya karena gadis ini datang tengah malam dan ia enggan pergi malam-malam. Gadis itu merengek padanya, meminta untuk ditemani dan membuatnya jengkel,  fix pada definsi kalau perempuan itu makhluk menyusahkan. Ryota harus menahan sabar untuk melayani putri Shirahata yang datang ke rumahnya tengah malam hanya untuk mengajaknya main ke rumah sang gadis. Tolonglah, cukup satu perempuan saja yang merepotkannya; ibunya. Beliau bahkan menitip Amano tua untuk diurus padanya, padahal secara logika Amano bisa mengurus dirinya sendiri, beliau bukan lagi bayi yang harus disuapi bahkan dikasih susu dalam botol. Amano bisa berjalan, punya dua kaki dan dua tangan, bisa kan digunakan sesuai fungsinya? Sayangnya pria itu terlalu malas untuk mengurusi urusan rumah tangga, beliau hanya mau mengurus pekerjaannya yang tidak seberapa sebagai pengusaha mie di kota Nagoya.

Rasionya menentang, satu tangan kecil Cho sudah menariknya, mengguncang tubuhnya tak ketinggalan dengan wajahnya yang memelas.

Bisakah perempuan tak memakai jurus kesedihan untuk mengambil perhatian laki-laki? Bahkan untuk memaksanya ke rumah Cho. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan putri Shirahata itu selain perbuatannya membuat repot orang lain. Ryota menoleh, pintu baru tertutup seperempat, masih ada celah dan ia terdiam. Ekspresi yang paling ia benci dari seorang perempuan, memelas, ingin menangis, tapi juga memaksa. Ryota masih diam di tempatnya kemudian ia mendorong pintu rumahnya, setelah mengambil jaket dan memakainya, ia juga membawakannya untuk Cho dan begitu keluar langsung ia lemparkan jaketnya pada dara Shirahata. Masa bodoh dibilang kasar juga.

“Pakai, aku hanya akan mengantarmu pulang.” Memunggungi Cho sembari mengunci pintu rumahnya. 

Kalau saja yang ia hadapi bukan berjenis kelamin perempuan, ia tidak akan ragu mengeluarkan bogem mentah ke bagian tubuh manapun sesuka hatinya, mengganggu waktu istirahat orang lain itu tidak waras, tahu?

Sayangnya Cho perempuan, dan ibu mengajarkan padanya untuk menghormati perempuan manapun sekalipun ia membencinya. Great! Dia jadi tidak punya alasan berlaku kasar atau main otot, ‘kan? Dia tahu, pemikiran beliau berangkat dari apa yang menjadi pengalamannya selama menikah dengan ayah kandungnya, Amano yang sekarang bukanlah Hideaki, dua-duanya berbeda meski ia menangkap beberapa kemiripan seperti ‘kemalasannya’ barangkali. Dua-duanya sama-sama tidak peduli dengan urusan rumah, lebih banyak bekerja di luar, bedanya Amano tak pernah mengeluhkan pekerjaan ibu, ia menghormati ibu dan menjaga hati perempuan itu—mungkin itulah alasan kenapa ia tidak bisa ringan tangan dengan ayah tirinya.

Tapi sekali ayah tiri tetaplah ayah tiri—

Melempar jaketnya dan perempuan itu memekik. Mendengar Cho memekik setelah ia melempar jaket, memutar kunci sekali lagi sampai menimbulkan bunyi ‘cklek’ barulah ia membalikkan tubuh dan menaruh kunci rumah di pot tanaman seperti pada kebiasaannya. Baru beberapa detik ia berdiri tegap, yang bersangkutan langsung menempel layaknya kecebong sama induknya. Hah, perempuan itu kenapa tidak bisa jauh-jauh dari laki-laki? Satu pertanyaan retoris, seharusnya tak perlu ia jawab.

"Sendirian?"

“Iya, sendirian, kenapa?” Berharap aku memintamu untuk menemani? Tidak akan, dan maaf-maaf saja, ia bukan sosok yang mudah ketergantungan dengan kehadiran seseorang, kau tahu? Lagipula hidup sendirian itu sudah menjadi kodratnya, ‘mungkin. Dari ia kecil sampai sekarang, ibu mengajarkannya sebagai lelaki yang tangguh, tidak takut tantangan dan bertanggung jawab. Itulah sebabnya Ryota terampil mengurus rumah, sekaligus menjaga. Ah dia lupa menitip pesan pada Amano kalau ia akan keluar, takutnya terkunci di dalam—tapi oh, dia punya kunci duplikat rumah ini. Dan definisinya tentang perempuan yang selalu egois dan seenaknya itu memang benar, terbukti ‘kan? Sekarang ia menggandeng tangan orang tanpa permisi. Menyuruhnya mengikuti, sedangkan kedua matanya masih tertuju pada tangan lain yang melingkar di tangannya. Bahkan ia sampai lupa mengatakan “sama-sama” untuk satu ucapan terima kasih.

“Kalau rumahmu jauh, aku hanya mengantarmu sampai perempatan, selebihnya pulang sendiri saja.” 

Karena dia memang tertarik untuk main ke rumah seorang gadis, apalagi yang tidak terlalu ia kenal. Hanya karena kesan pertama memabukkan maka mereka menjadi dekat cenderung nagih atau semacamnya. Sepanjang jalan, mereka diam. Tidak ada yang bicara, salah satunya tak ada yang memulai percakapan hanya sesekali terdengar helaan nafas. Melewati perempatan dan tetes demi tetes turun dari langit, temaram. Mendung berarti hujan, langit menangis. Ryota menengadah.

Sekarang apalagi?!

Ia menghela nafas secara kasar, ia tahu gadis di sebelahnya tidak akan kuat menahan udara dingin tengah malam ditambah hujan. Cuaca akan sangat menyiksa jikalau seperti ini. Ia juga tidak mungkin berlari, langkah lelaki dengan perempuan berbeda, sayangnya. Cho tidak mungkin bisa mensejajarkan langkahnya. Berlari? Solusi yang membuat penderita asma cepat mati.

“Dimana rumahmu? Masih jauh?”

Ryota berhenti, berbalik menghadap Cho. Memakai tudung dari jaketnya, ia kemudian setengah berjongkok.

“Sini naik ke punggungku, cepat!” 

Malam-malam menggendong seorang gadis. Hujan,ini malam terburuk sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah direpotkan oleh perempuan manapun kecuali ibunya. Lagipula terakhir kali menggendong perempuan pada saat ia berusia 10 tahun dan itu Saeki adiknya. Sekejap saja bayangan akan permainan kecilnya kembali melintas, mengelus hatinya sebentar saja. Distraksi—Cho mengarahkannya pada jalan ia pulang. Kemudian berdiri di sebuah rumah besar. Tidak jauh dari rumahnya memang, ia sering melewati rumah ini kalau sedang memotong jalan. Lebih cepat dan menghemat waktu tetapi ia lebih sering belama-lama di jalan, alasannya hanya untuk merenung bahkan ia rela memutar melewati rumah Hideaki hanya untuk sebuah keberuntungan. Siapa tahu ‘kan< Saeki sedang berada di luar rumah, entah sedang apa yang terlihat secara wujud bisa ia lihat. Begitu pun tak apa, pernah sekali ia melewati rumah besar Hideaki, dan melihat seorang wanita muda memakan dress berwarna putih tanpa lengan tengah berjongkok seperti bermain dengan piaraannya. Wajahnya tertawa, senyumnya mengembang, itu mengingatkannya akan masa kecil dimana mereka membangun istana pasir bersama, bergelung bersama ombak kemudian menggendong Saeki keliling pantai. Ya, itu memukulnya—ternyata mengingat kepingan memori jauh lebih sakit dibanding sakau akibat zat adiktif. Setidaknya ia tahu Saeki baik-baik saja, keluarga Hideaki memang telaten dalam mengurus anak dan ia sedikit bersyukur karena Saeki tak perlu mengalami hal-hal menyedihkan seperti dirinya. Dia juga tidak perlu tahu siapa kakaknya, katanya Tosho-lah yang dikatakan sebagai kakak kandung. Perih dan nyeri ada yang menyayat, luka tetapi tak berdarah.

Kemudian Shirahata diturunkan, memasuki ruangan yang membuatnya bisa menghirup oksigen banyak-banyak. Keadaan hening tengah malam, ia melihat sekeliling. Mengamati langit-langit dan terus mengekor pada seorang Cho. Ia tidak berniat masuk sebenarnya, ia ingin pulang dan sadar akan tingkahnya yang lancang. Ia berbalik badan, tidak lagi mengekor menuju kearah pintu sayangnya yang bersangkutan menahannya dan menatapnya memohon. Baiklah, ini satu dari sekian banyak adegan yang dibencinya ketika seorang perempuan memasang wajah iba dan menahannya.

“Apa? Aku mau pulang, Cho.”

“Tapi masih hujan…”

“Sudah biasa.”

“Bajumu basah.”

“Ya kenapa ‘kan mau pulang ini.”

Mendecak, gadis itu menatapnya sebal. Ia memang bebal dan akan terus seperti ini, tidak menghiraukan Ryota terus berjalan menuju pintu sampai lengannya ditarik. Ia berhenti, langsung menatap pada dua kelereng kembar. Ada harapan, keinginan untuk tidak melepaskan dan ia berhenti—menyerah. Diturunkan tangannya dari kenop pintu dan menghela nafas. Tuan puterinya senang ada raut bahagia disana, seraya kurva melengkung tanda kemenangan. Setidaknya telinganya tak akan mendengar rengekan bahkan tangisan yang mungkin akan membangunkan penghuni rumah.

Na’ah sekarang apa?

Ia ditarik ke lantai atas, bingung sendiri karena bajunya basah. Sudah lengket dengan kulit epidermisnya dan ia merasa gatal.

“Cho, bajuku basah dan—“

Aku ingin berganti pakaian, semoga saja dia punya baju laki-laki, kalau tidak mana mau dia memakai baju perempuan sekalipun ukurannya muat dengan badan kurusnya. Berhenti di depan sebuah kamar dan Shirahata perempuan membukanya. Disambut dengan udara yang menguasai ruangan, Ryota mengekor di belakang. Ia tak mengerti dengan gadis ini, bahkan ketika langkahnya memasuki ruangan. Sebentar, ia sudah termasuk lancang karena biasanya bila ada orang asing atau seseorang yang mengajak teman sekolahnya harusnya dikenalkan pada orangtuanya, ‘kan? Apa mungkin karena sudah malam Cho enggan membangunkan keduanya? Entahlah, salahnya juga datang tengah malam.

“Orangtuamu… kemana?”

“Tidak ada, dan jangan tanya mereka.”

“Kenapa?”

“Kalau kubilang jangan tanya ya jangan tanya.”

Ryota diam, tadi merengek sekarang dibentak. Rasanya seperti ingin menelan Cho hidup-hidup. Ia mendengus sebal dan mematung di tempatnya berdiri cukup lama sampai gadis itu lagi-lagi menariknya masuk. Dia tidak pernah masuk ke kamar perempuan kecuali kamar ibunya. Ruangan itu terlampau besar, hampir tiga kali lipat dari kamarnya. Yah, namanya juga istana beda dengan gubuk yang ia huni, no? Ia berdiri memunggungi pintu menatap hampa ke depan, cukup rapi untuk kamar anak perempuan ketimbang kamarnya yang mirip kapal pecah, mirip kapal setelah perang. Tidak berniat duduk dengan masih mengenakan bajunya yang basah.

“Aku mau ganti baju, kau menghadap ke sana saja.”

Tanpa banyak bicara, Ryota membalikkan badan menghadap pintu. Ia tidak berpikir yang macam-macam, ia juga sibuk dengan pikirannya. Pertama, bajunya basah dan ia jelas tidak nyaman karena lengket. Kedua, bertamu tengah malam dan ini rumah perempuan. Kalau rumah Hideaki sih dia sering, tinggal timpuk batu ke kamar Tosho yang ia tuju akan membuka jendela dan ia akan memanjatnya. Kenapa tidak lewat pintu masuk? Tahu sendiri ‘kan title anak haram yang melekat di dirinya? Ketiga, dia masuk ke kamar seorang perempuan tanpa ada yang tahu dan ini tengah malam.

“Hei!”

Ryota menoleh, dilihatnya Cho sudah memakai piyama kemudian melempar satu kaos padanya. Ia mengernyit, kaos putih tanpa gambar—polos. Cho menunjuk dengan dagu, bahasa isyarat—simbolik. Artinya cepat ganti bajumu menggunakan kaos itu. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat lengannya, menggulung bajunya hingga lepas dari tubuh. Memamerkan tubuh kurusnya yang lumayan terawat dan langsung memakai baju yang diberikan. Ah nyaman sekali. Tetapi sadar kalau mungkin saja tadi ia jadi bahan tontonan oleh seorang Cho. Menyembunyikan semburat merah dan dilihatnya anak perempuan Shirahata duduk dengan sebuah boneka besar—beruang. Menyebut-nyebut nama Kimu yang tidak jelas, ia hanya berjalan-jalan mengelilingi kamar. Semua isinya sama, hanya ada beberapa foto, lemari belajar, lemari pakaian, satu kasur, lampu hias, yah selayaknya kamar pada umumnya.

“Duduk disana, Ryochan.”

Hee, apa katanya? Cho menyuruhnya duduk. Hanya karena ia tamu, maka ia akan duduk manis.

“Lebih baik kau tidur. Sudah malam, oh bahkan sudah menjelang dini hari.”

Cho menoleh, raut wajahnya merenggut. Pipinya menggelembung dan bibirnya manyun.

“Apa?”

“Tidak mau! Nanti kalau aku tidur Ryochan pulang.”

Ryota diam, memangnya kenapa kalau dia pulang? Ryota ‘kan punya rumah.

“Ya memangnya kenapa kalau aku pulang? ‘kan aku punya rumah, cho. Tidurlah…”

“Tidak.Mau!”

“Terserah.”

Hening, kembali adu mulut. Ini yang terjadi bila batu dengan batu bertemu dan tidak ada sinyal untuk mediasi secara baik-baik. Ryota duduk menyandar pada bantalan sofa. Masih mendengar racauan kecil Shirahata yang semakin nyaring. Dulu, dia pikir Cho adalah gadis bisu yang penyakitan. Hng, embel-embel itu tidak perlu dipaka, ‘kan? Gadis itu ternyata memiliki penyakit asma, kau tahu? Tapi tak masalah, ia tidak menilai seseorang dari keadaan fisiknya. Lama-lama ia jengah, beranjak dan mendekati kasur Cho. Memegang boneka beruangnya dan melotot.

“Kalau tidak tidur, aku pulang.”

Ada sepasang kelereng bundar, semacam penolakan tapi tak ia gubris. Tangannya menyambar lipatan selimut besar dan menyebarkannya hingga menutupi tubuh gadis Shirahata, setelah itu ia berbali kembali pada sofa dan meluruskan tubuhnya. Menaruh kepalanya di bantalan sofa, setengah memejamkan mata. Menunggu pagi—menunggu gadisnya tertidur. Tangannya diletakkan diatas perut, masing-masing jarinya bertaut, wajahnya Nampak berpikir. Tatkala pikirannya mulai mengawang, ia berpikir kenapa Cho nekat mendekatinya sedangkan tidak ada satupun murid Souzou yang ingin berada di sekitarnya, paling-paling biasanya menempel pada Audy-san atau Hiroki-san. Mereka-mereka itu jauh lebih bermutu ketimbang dirinya yang lebih dulu menyingkir. Setidaknya ia tahu diri, benar? Toh ia juga tidak peduli-peduli amat. Di sekolahnya yang dulu, memang sempat ada beberapa anak perempuan yang rjain menitipkan salam, rajin menaruh sesuatu di dalam lokernya entah cokelat atau surat, tapi tak ada satupun yang diambilnya bahkan dibalas, kebanyakan ia buang ke tong sampah atau ia jual kembali cokelatnya. Hitung-hitung lumayan ‘kan untuk tambah-tambah penghasilan.

Dulu sekali, ia penasaran kemana perginya Saeki. Ia mencoba bertanya pada tetangga-tetangganya, tapi tidak satupun menjawab. Kemudian ia coba bertanya pada penjaga supermarket seperti apa wajah yang membawa pergi Saeki—nya ternyata seorang lelaki tinggi besar, wajahnya kaku, hidungnya mancung dan matanya agak kecil, surai hitam cepak, dengan sorot mata menderita—katanya. Sudah tentu itu ayah, ibu pernah mengatakan kalau sebenarnya ayah menyesal telah berpisah dengan ibu, katanya dia juga menyesal telah menuduh Ryota sebagai anak haram padahal jelas-jelas ia lahir sebelum ibu bekerja menjadi Geisha di salah satu tempat orang-orang minum. Seharusnya Saeki lah yang dituding sebagai anak haram—sayangnya ia tidak terlalu mengerti bagaimana kronologis kejadiannya hingga akhirnya ibu membawa Ryota pergi bersama dengan Saeki dan memutuskan hidup sendirian.

Ayah kembali pada keluarga Hideaki dan membawa berita yang mengecewakan, mengatakan bahwa ibu bekerja sebagai seorang pelacur karena ia tak tahan dengan kondisi ekonomi keluarga. Padahal ia tahu benar, ibu tak pernah menyentuh tanah hitam macam pelacuran. Ia tahu ibunya hanya bekerja sebagai pelayan minuman, menemani pejabat-pejabat hanya untuk karokean atau apalah tidak sampai tidur bersama, ibu melakukannya karena ia ingin membantu ekonomi keluarga. Usaha dagang ayah yang kian merosot nyaris membuat Ryota putus sekolah dan bahkan keluarganya jarang makan. Ibu merasa ia tidak bisa hanya diam menadahkan uang kepada ayah yang nyatanya setiap malam pulang dengan keadaan mabuk. Ibu tidak tahan, sudah bagus ia sabar malah dituding seperti itu. Jangan salahkan ibunya, salahkan dirinya sendiri.

Terkadag membayangkan keluarga yang utuh dan bahagia itu menyenangkan—nyaris membuatnya ingin tertawa karena sebagian masa kecilnya diisi dengan ingatan tentang Saeki. Bagaimana gadis itu manja padanya, meminta pudding buatan ibu, dan yang lainnya. Sampai mereka masih bisa bermain bersama di pantai, bersama Tosho yang kala itu adalah anak tunggal. Sejak terjadi perpecahan, ibu mengasingkan diri, keluarga Hideaki tidak lagi menerimanya sebagai menantu, pedih? Ya, ibu sakit hati membawa kami ke rumah nenek dan hidup dengan nama gadis ibu, Tomohiro. Tahun tahun kemudian Saeki tumbuh menjadi gadis yang manis dan ibu mengajaknya pergi, Saeki anak yang lemah gadis itu tidak bisa melakukan hal-hal berat bahkan untuk berjalan jauh saja ia rentan. Ibu meninggalkan Saeki sebentar di kasir supermarket, supaya Saeki tidak banyak jalan—takut kalau gadis itu tumbang. Hanya perlu waktu lima belas menit untuk mengambil adik-nya, separuh hidupnya. Ketika ibu kembali dan sepasang pendar hitamnya tak menangkap wujud Saeki disamping kasir bahkan dimanapun, ia panik.

Sempat bertanya pada petugas tapi yang ditanya menjawab tidak tahu. Bagaimana tidak tahu kalau saat kejadian dia berada di tempat? Akhirnya ibu pulang dan meraung, ia mengatakan Saeki hilang. Ryota terkesiap, tanpa babibu segera berlari ke supermarket tempat ibunya belanja, dengan watak anak kecilnya ia memaksa petugas kasir memberitahu cirri-ciri penculiknya. Sayangnya ia sadar, terlalu pandai menganalisa bahwa Saeki bukanlah diculik melainkan diambil oleh ayahnya sendiri. Ia kembali dalam perasaan menyesal, separuh marah, separuh membenci ayahnya yang membawa pergi Saeki. Ibu masih menangis sesegukan, Ryota mengatakan pada ibu kalau Saeki tidak diculik ia hanya dibawa pergi oleh lelaki yang mirip ayahnya. Keesokan harinya ibu tidak ada dirumah seharian dan baru kembali tengah malam, wajahnya kusut, ada banyak bekas aliran airmata dan matanya bengkak. Ryota melompat dari kursi dan memastikan bila ibunya baik-baik saja. Tanpa bisa ia cegah sang ibu menghambur di pelukannya, mengatakan bahwa Saeki tak akan pernah kembali padanya. Ayah mengambilnya, mengubah semua datanya, memberikannya pada keluarga Hideaki lain. Alasannya satu, ayah ingin menebus kesalahannya, menyebarkan berita kalau ibu adalah seorang pelacur pada keluarganya, ternyata mereka bertemu di Chikusaku, tempat dimana ia, ibu dan Saeki menghabiskan waktu bersama begitu musim semi datang. Ibu bilang ia menyarankan agar ayah kembali padanya dan membawa kembali Saeki pada keluarganya, sayangnya ayah tak bisa—menarik ucapannya tentang pelacur di kalangan keluarga Hideaki. Katanya ibu membuat malu keluarga dan ia sendiri sadar bahwa tidak ada perempuan yang begitu sabar menghadapinya kecuali ibu bahkan ketika ia sekarat akan hidupnya.

Ayah didiagnosa terkena kanker pancreas, hidupnya tidak akan lama lagi. Beliau akan meninggalkan dunia ini, dan ia sadar betapa ia bersalah dengan ibu dan Ryota. Betapa ia menyesal menuding Ryota sebagai anak haram, maka dengan Saeki—lah ia menebusnya, berharap dengan merawat Saeki bisa menenangkan hatinya, karena ia tidak bisa merawat Ryota hingga tumbuh menjadi pria dewasa. Ayah menangis kata ibu, dokter bilang hidupnya hanya dalam hitungan bulan, Saeki ia titipkan pada keluarga Hideaki bila ia tiada dengan mengubah asal usul keluarganya termasuk pada Tosho dengan mengatakan bahwa Saeki diambil dari panti asuhan. Ibu tak bisa berbuat apa-apa, ia sempat memaksa pergi ke rumah Hideaki untuk bertemu keluarga ayah dan memintanya kembali. Sayangnya sang tetua terlanjur murka mengalamatkan figure seorang pelacur pada ibu adalah permanen dan ia diusir, ayah bahkan tidak bisa lagi bertemu dengan ibu—terakhir kalinya sebelum ia dikabarkan meninggal ketika musim gugur tiba.

BUGH!! 

Sebuah bantal menyerangnya, menyentuh kepalanya dengan kasar. Ia menoleh, menatap penuh tanda Tanya pada pelakunya. Shirahata Cho nampak sebal dengannya, Ryota meneguhkan dagunya.

“Kenapa?”

Yang ditanya malah mengumpat di balik selimut dan ia hanya menggeleng, kembali melanjutkan lamunannya. Ia rindu dengan masa kecil yang hilang, kemarahannya menguar ketika ayah tiada bahkan ketika datang ke pemakamannya saja mereka diusir secara tidak terhormat itulah yang menjadikannya benteng pertahanan, bahwa amarahnya selama bertahun-tahun dan rasa kecewanya akan sebuah keluarga tak terlampiaskan. Akhirnya ia menjadi brutal, ibu bahkan diancam akan dibunuh jika masih berhubungan dengan keluarga Hideaki. Akhirnya ibu memutuskan pindah, ia sempat gonta-ganti pekerjaan. Pernah ia menjadi seorang tukang cuci, kemudian pekerja pabrik sampai ia bertemu dengan Amano. Dia tahu, Amano menikahi ibunya lantaran kasihan—ia tak menangkap ada sorot cinta disana, persetan. Ia tahu ibu menikah pun karena terpaksa, demi terpenuhinya kebutuhan Ryota. Ia tak mau anaknya terlantar. Menikahnya ibu sekaligus memperbaharui marga kami, Amano. Hideaki tak kan lagi menemukan Tomohiro karena kami sudah berganti marga.

Mereka akan lupa dengan sendirinya—siapa kami sebenarnya. 

BUGH! 

Lagi timpukan bantal melayang, Ryota kesal karena gadis ini tidak tidur-tidur juga. Ia geram, beringsut dari tempatnya ogah-ogahan.

“Maumu apa? Tidak bisakah tenang sedikit dan tidur saja?”

“Nanti kalau aku tidur, Ryochan pergi.”

“Kenapa kalau aku pergi? Aku punya rumah!”

“Tidak mau! Pokoknya tidak mau!”

Susah, wanita ini bebal, ibunya ngidam apa saat mengandung ha? Ia mendecak pelan, menatap sebal dan duduk di pinggir pembaringan.

“Oke, aku tidak akan pulang. Aku disini sampai kau tidur, sekarang tidurlah.”

“Benarkah?”Ryota mengangguk, demi seorang anak perempuan. Ia tidak mau gadis ini menangis meraung-raung dan membangunkan seluruh penghuni rumah. Shirahata berbaring dan ia merosot ke bawah duduk di lantai dan menaruh kepalanya di pinggir ranjang. Sudah tidak ada yang perlu ia pikirkan, toh? Ryota memejamkan matanya, beberapa menit sampai sebuah suara memecah keheningan. Cho memanggilnya lirih dan menatapnya dalam jarak yang sangat dekat sampai ia bisa merasakan nafas hangat perempuan teman sekelasnya.

“Apa?” Hanya wajah datar, sekon berikutnya milik keduanya bertemu, terpaut.

Satu-satunya yang ia takutkan hanyalah Cho kambuh, tetapi nyatanya gadis itu semakin menariknya, menaruh lengannya hingga menghabiskan jarak antar keduanya. Ini permainan—akan lebih baik mengikuti iramanya, ‘kan? Ia biarkan saja gadis ini membawanya, sesuka hatinya. Ia tidak ambil pusing dan bahkan ketika gadis itu mendesis atas apa yang ia lakukan, bahkan saat gadis itu membiarkan tangannya menjamah bagian-bagian yang tidak seharusnya, dan bahkan sampai gadis itu merintih kesakitan pun ia tidak peduli. Siapa suruh membangunkan macan yang sedang tidur, hmm? Kalau tidak kuat untuk menjinakkannya jangan coba-coba. Hingga malam semakin larut—menuju pagi. Tidak ada yang tersisa dari kain yang menempel pada tubuh keduanya, hanya peluh yang membalut, hanya selubung nafsu yang ia tahu. Bahkan ketika salah satunya menyerah untuk memberikan perlawanan dan ketika salah satunya semakin gencar untuk menyerang tanpa ampun. Desis, lirih, ucapan-ucapan dalam volume kecil tak ia hiraukan, hingga tak tersisa, hingga puncak keduanya tercapai.

Matahari sudah muncul di ufuk timur, mengintip dari sela-sela gorden yang tertutup rapat. Pendar hitamnya menguasai sekeliling, Ryota mengerjap, ia dapati dirinya terbaring separuh melayang antara sadar dan tidak dengan Shirahata di sampingnya—lelap. Gadis itu terpejam dengan nafas yang teratur, lembut, puncak kepalanya ia kecup, lembut. Sebelum yang terpejam membuka mata, ia bergegas mencari helaian pakaian miliknya yang tercecer di lantai, secepat mungkin dan ia membuka jendela. Dewi fortuna memberkatinya, kamar ini tidak terlalu tinggi berada di tingkat satu. Kemudian ia menaiki dahan-dahan pohon dan turun, memanjat pagar dan pulang.

Ia tidak menyadari apa yang ia tinggalkan sekaligus apa yang mulai ia genggam, bahkan tidak pernah menyadari apa yang mulai tumbuh dihatinya, ia tidak menyadari bila ini akan menjadi klemik di dalam kehidupannya menjadi gabungan kisah yang ironis tanpa tahu akan senang atau sedih, yang ia tahu hanyalah—tubuhnya letih dan sakit pada bagian tertentu. Melirik arloji lamanya, masih ada waktu empat puluh limat menit sebelum sekolah mulai, berharap saja ibu pulang tidak bertanya-tanya, kalaupun ya, senjata pamungkasnya adalah….

“Semalam dari rumah Tosho, intip keadaan Saeki.”

And then—case closed!