Disclaimer : Terima
kasih kepada Zeta Board as usual, terima kasih kepada IndoSalem RPG, Viervhy L.
Athena (selaku chara original saya), Dante A. Diamond, Sean McKinley serta
visualisasinya; mechtaniya, gabriel garko, sean farris, didukung backsound It
Will Rain-Bruno Mars, serta para chara yang saya sebutkan di dalam sini Narumi
Takahiro, Kanaya Miki serta credit quote dari Remember When. Let's enjoy this fanfiction,
thank you.
Seperti musim panas lainnya, musim berlalu dengan sangat cepat. Membuang
sebagian bahagia lainnya, menyisihkan segenap dukanya. Menjalani sendiri bukan
berarti tanpa kekasih, ia hanya berbagi kasih selama ditinggal pergi. Tidak
menetap, memang. Tetapi ini sudah menjadi jalannya, baginya sudah suratan tak
tersirat namun kebahagiaan seperti candu yang tak dapat dihentikan. Datang dan
pergi itu mutlak, bergantian menjaga tempat dan pindah dari satu tahta ke tahta
lainnya. Sebuah tangan terulur untuknya, mengganti sebuah kepergian dengan
bertaruh akan kebahagiaan—semata. Ia tidak mundur begitu saja, maju adalah
pilihannya. Ya bukan berarti ya dan tidak bukan berarti tidak.
Ini cerita sebuah rumah tangga, suami dan istri, sepasang kekasih yang
memutuskan untuk tinggal dalam suatu pernikahan. Memutuskan untuk meninggalkan
apa yang harus ditinggalkan keduanya, memulai bagian baru yang masih membekas
dalam kisah lama. Bahwa diantara keduanya sama sekali tidak melupakan
perjalanan lalu. Salah satunya masih memegang meski tak sepenuhnya cerita
terdahulu. Untuk itulah salah satunya pergi, karena musim panas melibatkan
emosi yang tinggi. Ia kembali pada singgasana, predikat terhormat bersama para
dayang, ditinggalkannya sang istri dalam balutan kedukaan. Ia tidak mati hanya
berbagi titah, digantikan oleh seorang lelaki dari lembaran masa lalu.
Kehadirannya dibutuhkan sebagai malaikat—penjaga bagi istri tercintanya. Sayang
ia tak tahu. Lembar demi lembar berada di atas meja kerjanya tersentuh begitu
saja tanpa makna, ia mulai disibukkan dengan hal-hal yang menjenuhkan.
Mengurusi rakyat bukanlah perkara mudah, negara ini terlalu besar untuknya.
Sayang tak ada yang bisa diandalkan sampai detik ini bahkan pelipur laranya
tidak diperbolehkan datang menginjakkan kaki di kastil suci ini. Ini adalah
tugas terberat seorang Dante, sulit—sangat sulit membagi waktu antara kerajaan
dengan keluarganya sendiri. Maka demi memenuhi ego sang bunda, ia rela
mengorbankan istrinya. Dalam hal ini istrinya tak keberatan, Ivy mendukung
penuh pekerjaan baru suaminya. Ia tahu ini tidak mudah baginya dan juga Dante.
Ia berharap, Dante bisa cepat kembali.
***
Dan sebuah harapan akan tetap menjadi harapan, bila tak jua diwujudkan.
Sejak kedatangan Sean kembali ke hidupnya, ia memilih untuk tetap berdiri dalam
ketiadaan seorang Dante di sisinya. Demi membayar kesemuan di masa lalunya.
Walaupun ia tahu ini adalah sebuah kesalahan untuk membuka kisah lama dalam
balutan ketiadaan. Ivy sadar sepenuhnya langkah ini demikian salah ketika ia
memutuskan untuk menikmati kesenangan sesaat bersama McKinley menjelang
detik-detik kelahiran putra kecilnya.
Malaikat kecil yang ditunggu oleh banyak pelukan dan tangisan, hanya menunggu
beberapa bulan saja untuk turun ke dunia. Ia menghabiskan kurang lebih dua bulan
bersama McKinley. Peran Dante digantikan dengan sangat baik oleh kenangan masa
lalunya tanpa Dante tahu bahwa kini posisinya sebagai suami tergantikan meski
tidak sepenuhnya. Sean menemani Ivy melakukan pemeriksaan setiap bulan,
membantu menyiapkan apa-apa saja yang harus disediakan menjelang kelahiran
malaikat kecilnya. Sebagai topangan, Sean berperan sangat baik. Ia menyediakan
tumpuan yang tidak didapatkan dari seorang Dante. Anehnya keluarga Ivy tak
pernah keberatan bagaimana Sean bersikap kepada Ivy saat ini. Mungkin mereka
memaklumi kondisi Ivy yang berusaha berdiri tanpa Dante di sisinya meski setiap
tiga hari sekali keduanya berkirim kabar.
"Saya perkirakan dua minggu lagi."
"Dua minggu?"
"Ya, putra anda akan lahir ke dunia ini dua minggu lagi."
Dua minggu lagi, itu yang dokter sabdakan kepadanya. Dua minggu sudah
ditetapkan menjadi waktu ideal bagi putra kecil Diamond untuk turun ke dunia.
Ivy semakin tidak sabar sekaligus dilanda ketakutan luar biasa. Pasalnya
melahirkan bukanlah perkara mudah, tidak seperti yang ia tonton dalam tata cara
melahirkan, bukan juga secara teoritis yang diajarkan ibunya dan ibu Narumi.
Meski mereka lebih berpengalaman karena sudah lebih dulu menjadi ibu. Tetap
saja ada rasa ketakutan yang dialami oleh Ivy saat ini.
Seringkali Ivy memikirkan hal-hal buruk yang terjadi pada ia dan jabang bayinya
terlebih ketiadaan Dante di sisinya, namun terkadang ia bisa lebih tenang
ketika Sean datang menopangnya. Menghilangkan segala ketakutannya, Sean bahkan
berjanji ia akan menemani Ivy sampai Dante datang. Ia sendiri tak menampik
betapa ia merindukan sosok Sean di sampingnya setelah tahun demi tahun
merenggutnya tanpa sebab, tanpa alasan yang pasti mengapa Sean meninggalnya.
Waktu berlalu tanpa jeda dan setiap momentnya selalu ia sanggah dengan
kebahagiaan, betapapun ia merindukan sosok Dante, masih lebih merindukan
kenangan-kenangan tempo dulu bersama Sean. Saat ia masih duduk bersebelahan dan
keduanya masih sering bicara. Namun itu hanya bertahan 2 tahun saja, lepas dari
itu Sean menghilang bagai ditelan bumi, tak pernah ada kabar darinya, bahkan
dari pihak sekolah pun tak mengetahui McKinley. Entah pemuda itu masih berada
di kastil atau tidak yang jelas Ivy jarang dan nyaris tidak pernah bertemu
dengan Sean. Terakhir kali ia melihat Sean hanyalah namanya tertulis sebagai
peserta ujian akhir sekolah, ketentuan lulus dan tidaknya Sean berada di sana,
hanya nama tanpa wajah. Ia bahkan tidak tahu wujud Sean seperti apa sampai ia
sudah sangat jauh bersama Dante dan kemunculan berdasarkan nama yang membuatnya
berkeinginan kuat untuk mengirimkan surat memastikan bahwa itu adalah Sean-nya
bukan McKinley lain. Ketika suratnya mendapat penjelasan dan ia berharap bila
hari itu tidak akan pernah berakhir pada akhirnya pertemuan itu hanya
menumbuhkan luka baru membuat lubang yang semakin menganga bahkan tak dapat ia
ampuni lukanya hingga ikrar antara dirinya dan Dante terpenuhi di hadapan
Tuhan.
Ia menyesal, bukan karena menjadi istri seorang raja Rusia, ia menyesali takdir
yang dilewatkan, menyesali pertemuan dengan Sean. Hatinya gugur perlahan, bagi
Dante dusta Ivy mungkin kesalahan paling menyakitkan disamping ia tetap
mencintai istrinya sepenuh hati. Lupakan, saat ini hanya ada dia dan Sean.
Detik demi detik telah berlalu, seingatnya ia terlelap dalam tidur panjang dan
perutnya bergolak. Kemudian teriakan serta tubuhnya melayang. Entah apa yang
terjadi di luar sana selama ia tertidur.
***
Ini adalah saat-saat paling menegangkan ketika takdir akan merenggutnya atau
menaikkan derajatnya. Seorang perempuan mungil tergeletak lemah di atas bangsal
putih. Dilapisi selimut putih dengan doa menyelubungi. Wajahnya begitu pucat,
begitu banyak rasa khawatir menjulang. Sedang di luar sana ayah, ibu, Narumi,
ibu Narumi, Kanaya bahkan Sean sedang menunggu dengan hati was-was. Mereka tak
berhenti berdoa bagi Ivy. Berharap semua akan baik-baik saja sementara ayah
kembali membawa kabar kekecewaan bahwa Dante tak bisa datang malam itu juga.
Tetapi ia tak bisa menyalahkan bahkan ketika kelopak mata itu perlahan terbuka
dan mencium aroma alkohol menyelimuti dirinya. Hening, ia mendadak khawatir,
meringis dan bertanya-tanya berada dimana. Para perawat menenangkannya, memberi
pengertian bahwa Ivy sudah mencapai pembukaan lima dan sebentar lagi bayinya akan
lahir ke dunia.
***
Seorang lelaki keluar ruangan, memandangi sosok-sosok disana dengan raut
kekhawatiran.
"Maaf bisakah Tuan Diamond masuk ke dalam, sepertinya istri anda
membutuhkan bantuan."
Semuanya berpandangan, tidak ada yang menjawab. Ayah sudah dirundung kekecewaan
yang mendalam, ia jelas tak bisa masuk. Tidak tahan melihat anak perempuannya
kesakitan dan ibu tidak akan kuat mendengar jeritan Ivy. Pada akhirnya sosok
itu berdiri dan menyeruak diantara kerumunan.
"Baik, dok."
Tercengang, di saat seperti ini sungguh sulit dipercaya bahwa seorang Sean
menawarkan diri tanpa diminta. Ia yang tak memiliki ikatan apapun mengajukan
diri sebagai seorang ayah. Ivy sudah lupa pada siapa yang memandang, maka
ketika satu tangan merangkulnya dan memegang tangannya ia berteriak, berjuang
untuk sebuah nyawa. Antara hidup dan kematiannya. Menahan diri untuk meronta
dan melahirkan kehidupan barunya. Genggaman itu semakin menguat seiring dengan
teriakan terakhir seorang Ivy menjelang akhir kesakitannya dan tangisan mungil
itu pun pecah tidak lama. Para perawat berkumpul dan menyaksikan sendiri
bagaimana malaikat kecil itu meronta-ronta dalam tangan sang dokter dengan
likuid kental menyelimutinya. Membawanya dalam pelukan sang ibu muda dan
membiarkannya tergeletak disana. Ivy mendongak, bukan lagi Dante disana
melainkan McKinley. Tuhan, mungkin ia berdosa tetapi inilah jalannya. Jagoan
kecilnya lahir ditemani dengan ayah penggantinya. Tangis haru dan pelukan
berhamburan ketika kabar ini dibawa keluar ruangan. Sesosok jagoan kecil sudah
hadir ke dunia.
"Kau hebat, Ivy."
Kedua mata cokelatnya masih menyaksikan malaikat kecil bereaksi, menggeliat
lembut. Jemari mungilnya bertaut, memegang senti demi senti kulit lembut putra
pertamanya. Ada rasa haru yang memeluknya, menyeruak bulir-bulir airmata
disana. Pantulan seorang Dante disana, tercetak jelas di wajah putra kecilnya,
memberikan rona kepedihan saat suaminya tak bisa berada disisi. McKinley
memutuskan untuk mengecup singkat Ivy dan segera keluar ruangan, memberikan
selamat pada keluarga Athena.
Perjalanannya tidak sia-sia, selama ini berdiri sendiri dengan topangan
singkat. Dan dalam waktu dua puluh menit, ia sudah berada di sebuah kamar rawat
dikelilingi ayah, ibu dan keluarganya. Ia sempat bertanya kemana McKinley
karena pemuda itu menghilang tak lama setelah ia meninggalkan ruangan operasi.
"Sean sudah pulang, katanya dia sedikit lelah, mungkin nanti akan kembali
lagi."
"Dante?"
Wajah ayah berubah murung, ia mendekati Ivy dan membelai puncak kepala putri
sulungnya.
"Dante baru datang besok, sayang. Jangan sedih, dia pasti datang
untukmu."
Bentukan senyum getir nampak disana, ia sedikit kecewa tetapi itu lebih baik
karena ia takut ketika Dante datang semalam dan menyaksikan perjuangannya
ditemani Sean atau mengetahui kalau selama ini ia digantikan oleh Sean, Dante
akan marah besar. Ia tidak ingin terjadi perkelahian. Kemudian sebuah senyum
mengembang, berharap rasa kekecewaannya dapat disembunyikan. Setelahnya semua
ricuh memberikan selamat dan meributkan masalah nama. Ia sendiri sudah memiliki
beberapa nama yang dirancang sendiri. Tetapi Ivy memilih memberikan kesempatan
bagi keluarganya untuk menyumbang nama karena nama adalah doa dan harapan bagi
masing-masing anak. Maka ia biarkan mereka memberikan harapan yang ditanam.
***
"Maaf aku baru bisa datang..."
Perlahan kelopak matanya terbuka, melihat siapa yang mengecup keningnya.
"Oh, hai..." Ivy berusaha bangkit dari tidurnya. Dante datang masih
dengan baju kebesarannya sebagai seorang raja. Hitam dan jubah itu masih
lengkap ia kenakan, Ivy perlahan bangkit dan memposisikan diri untuk duduk.
"Bagaimana kabarmu?"
"Baik, tidak pernah sebaik ini. Kau? Kapan sampai? Sudah makan?"
"Baguslah, maaf kemarin aku tak bisa berada di sampingmu," Dante
menunduk, salah satu tangannya yang berada di belakang tangannya terulur.
Sebuah bucket bunga mawar merah disodorkan kepada Ivy, "ini untukmu,
selamat menjadi seorang ibu. Dan jangan khawatirkan aku, sayang."
Ivy menerima bucket dengan senyum sumringah, menaruhnya diatas selimut dan
mengecup singkat Dante.
"Kau sudah lihat jagoan kecil kita?"
Dante menggeleng, "Dia mirip sekali denganmu." Satu tangannya
diletakkan pada pipi Dante dan sebuah cengiran terukir disana. Sumringah,
menutupi kegundahannya kalau-kalau tiba-tiba Sean datang dan bertemu dengan
Dante hari ini. Sebisa mungkin ia menutupi kegundahannya. Dante tak perlu tahu
kisahnya selama dua bulan ini.
"Dimana?"
"Siapa?"
"Jagoan kecil kita..."
"Ah ya, mungkin sebentar lagi, karena sudah waktunya memberikan si kecil
ASI."
Dan percakapan singkat mengenai pagi itu menjadi kesejukan tersendiri bagi Ivy.
Tanpa ia sadari bahwa di luar sana seseorang tengah berdiri dengan bucket yang
sama, menatapi pemandangan yang menekan ulu hatinya hingga sesak tak beraturan.
Namun terselip senyum kegetiran dan pedih yang dipaksakan menjadi sebuah
kebahagiaan. Sean McKinley memang tak pernah ditakdirkan untuk menggantikan
Dante seutuhnya, ia telah kalah menjadi seseorang yang salah di waktu yang
kurang tepat. Segalanya menjadi terbayarkan, untuk sebuah kebahagiaan singkat
darinya dan untuknya dari seorang Ivy. Ia bersembunyi meratapi, mengambil
pecahan kecil dari kepingan hatinya yang luluh lantak. Ketika kereta dorong
kecil memasuki kamar perawatan dan ia hanya menatap hampa malaikat kecil di dalamnya
seraya berdoa kalau sosok mungil itu tidak akan lupa padanya--suatu hari nanti.
Meninggalkan benih-benih kepedihan tersendiri baginya dan kakinya seolah
menarik diri untuk tidak berada disana dan mematung lebih lama demi
kesakitannya seorang diri.
"Nah itu dia!" Ivy menunjuk kereta dorong kecil yang didorong oleh
seorang perawat. Kemudian perawat itu mengangkat jagoan mungilnya dan
menaruhnya di tangan Ivy untuk mendapatkan asupan gizinya.
"Kau sudah memberinya nama?"
Ivy mendongak, menyelami sepasang cokelat milik Dante.
"Belum, baru ada beberapa nama yang kupikirkan, tetapi aku sudah
merangkainya." Dante mengulurkan tangan besarnya, mendarat di puncak
kepala jagoan kecilnya. Tidak sedetik pun melepaskan pandangannya pada si kecil
yang berada dalam pelukan Ivy.
"Siapa?"
"Kairi Ignatius Diamond."
***
Ia tak sekalipun melepaskan pandangannya pada Kairi, putra pertamanya. Bahkan
sepasang cokelat itu tak berhenti memandangi Ivy. Gadis kecil yang telah
melahirkan buah hatinya. Ia tak menyangka bahwa fisiknya cukup kuat untuk
melahirkan putra pertamanya bahkan tanpa Dante disisinya. Mungkin ia merasa
bersalah, mungkin Ivy tidak tahu, ia melupakan satu hal bahwa selama ia
meninggalkan kehidupan pribadinya ada banyak hal yang tak luput dari pandangannya,
segalanya termasuk kehadiran seorang pemuda yang ia tahu dibenci oleh
jiwanya—namun untuk kali ini ia berhutang budi. Dante tak berhenti menyalahkan
dirinya yang kelewat egois membiarkan Ivy berjuang sendirian sedangkan dirinya
tenggelam dalam tugas-tugas negara, mementingkan ego keluarganya sendiri dan
membiarkan istrinya bersama dengan lelaki lain. Ini bukan perkara mudah, ketika
hatinya terbagi dan ia melihat reaksi Ivy seperti tak ada suatu hal yang
dibagi. Diam-diam Dante mendesah, merasa kecewa akan dirinya sendiri tetapi ia
tak dapat berbuat apa-apa ketika melihat dengan matanya sendiri bahwa Ivy kini
bahagia bersama putra kecilnya.
"Aku pergi sebentar," Ia beranjak setelah mengecup puncak kepala Ivy.
Menutup pintu kamar tempat dimana istri dan jagoan kecilnya bercakap-cakap.
Ekor matanya menatap nanar, sebuah sosok yang memandang tepat pada matanya.
Seolah menimbulkan percikap api permusuhan yang tak kunjung usai sekaligus
permintaan maaf dan terima kasih secara bersamaan. Dante merasa dirinya tengah
dikasihani tetapi ia tak bisa, sulit mengatakan bila dirinya kalah. Dihadapkan
pada takdir sesungguhnya bahwa Sean memenangkan pertarungan nasib dan pemuda
itu kini berdiri tegak di depannya membawa tropi kemenangan.
"Selamat atas kelahiran putramu."
Ia mengulurkan tangan dengan dusta yang menumpuk di balik dosanya.
Dante berusaha bertindak sebagaimana seorang lelaki bersikap, ia menjabat
tangan Sean dengan penuh wibawa sekaligus menyembunyikan kekalahannya.
"Aku harus mengucapkan terima kasih."
Sean mengernyitkan keningnya. Sedetik kemudian sebuah senyuman tersungging dan
ia merasa kalau ini bukanlah akhir dari kemenangannya.
"Tetap saja 'kan aku tak bisa menggantikanmu, tetap saja dia anakmu dan
Ivy tetap saja milikmu."
Dan aku tetap saja sebagai pion dalam
titahmu, 'kan?
"Itu pasti," Dia tahu pada saat itu dia sudah kalah—seutuhnya,
"tapi aku tidak menyangka kalau pada akhirnya kau menyetujui semua
permintaanku."
Itu karena aku mencintainya, sangat
mencintainya lebih dari yang dunia tahu. Itu karena aku tak pernah bisa
memilikinya secara utuh, percuma harapan itu hanya akan menjadi butiran impian
tanpa pernah kurasakan wujudnya.
Sebentuk sabit muncul di wajah Sean, ia tak mengatakan apapun untuk membalas
pertanyaan seorang raja bagi Ivy, pun tak mengatakan yang sebenarnya untuk
Dante. Ia tahu segalanya percuma, ketika ia mengatakan cinta semuanya sudah
terlambat, ia hanya bagian dari kolase semu yang diciptakan Tuhan. Hanya
sekadar pelengkap kekosongan ketika serpihan puzzle itu menghilang, tak bisa
disatukan.
"Karena aku mencintainya, lebih dari yang kau tahu, Dante."
Tapi ia tahu, ia tak bisa memiliki
Ivy—karena takdir keduanya tak pernah ada.
"Aku rela menyakiti diriku sendiri asal bisa melihatnya bahagia, termasuk
ketika kalian bersama. Percayalah, aku bahagia diberikan kesempatan menemani
Ivy selama ini. Dan berada di sisinya selama proses persalinan, itu moment yang
sangat langka. Terima kasih karena sempat menyatukan kami, tapi aku tahu takdir
kami tak pernah ada," Ia menghela nafas di sela rasa sakit yang menggedor
semakin kencang, "karena dia memang diciptakan untukmu, bukan untukku.
Kebahagiaannya untukmu bukan untukku. Terima kasih."
***
Musim panas yang lain, permasalahan klasik sebenarnya. Pemerintahan Rusia
sedang goyang, ia bukan penganut oligarki seperti apa yang dikatakan dunia pada
saat itu. Klan Diamond memang berkuasa, tetapi bukan berarti mereka gelap mata
akan kepentingan perut-perut yang lapar, bukan berarti penguasa mereka memilih
Tirani. Dante Diamond berusaha untuk tidak terjerumus dalam keserakahannya.
Bahkan sebenarnya dia tidak ingin dicampuri oleh urusan macam begini. Ia mulai
lelah memegang tampu kekuasaan kalau saja bukan karena amanat. Ia harus
mengorbankan kepentingan pribadinya atas nama rakyat sekaligus mengorbankan
istri dan putranya. Demi membahagiakan seorang wanita tua angkuh yang sampai
detik ini tidak pernah menerima pernikahan anaknya dengan seorang perempuan
terkasih dan terbaik dalam hidupnya. Wanita itu tidak tahu apapun mengenai
putranya, ia hanya tahu bagaimana hidup dan bergaul diantara para wanita
terhormat lain dalam kepalsuan. Ia sendiri lelah disodori wanita-wanita bagai
pajangan etalase toko, mereka cantik tetapi tak ada yang semurni Ivy. Mereka
hanya haus kekuasaan, hobi mereka hanyalah bersolek dan tidur di ranjang lelaki
tanpa melakukan sesuatu yang berarti.
Hari demi hari kesibukan ini semakin mencekiknya, sejak kepergiannya ke Rusia.
Ia menjadi tak punya waktu untuk menjamah surat-surat yang datang dari
istrinya. Ia mencoba dan terus mencoba membalas satu per satu surat sampai ia
lelah. Dante tahu Ivy sangat kesepian, istrinya. Dia tahu benar Ivy tidak bisa
ditinggal sendirian apalagi ia sedang mengandung anak pertama mereka. Bagaimana
bisa Dante tidak memikirkannya, bahwa di setiap suratnya selalu ada kegelisahan
dan kesedihan meski per kata mengandung kalimat bahagia. Dia tahu Ivy paling
tidak bisa membuat orang lain sedih dengan sikapnya tetapi sebagai seorang
suami yang jauh dari keluarganya Dante merasa bertanggung jawab atas
kepergiannya. Maka ia memutuskan untuk mengorbankan satu lagi kehidupannya,
hatinya. Ia mengambil keputusan paling menyakitkan, bisa dikatakan. Ia menyuruh
peri rumahnya mencari dimana Sean McKinley berada, surat-surat Ivy sama sekali
tak terjamah, ia tak ingin istrinya khawatir maka ia akan menukar segalanya
dengan kebahagiaan utuh yang Ivy inginkan. Berminggu-minggu Yeth mencari dimana
Sean dan akhirnya ditemukan, Dante langsung menulis surat khusus yang ditujukan
pada seorang Sean.
Isinya adalah meminta Sean untuk menggantikan Dante selama ia melaksanakan
tugasnya sebagai seorang raja. Ia juga menceritakan maksud dan tujuannya serta
bagaimana kondisi Ivy, ia memberikan alamat serta dimana ia bisa menemui Ivy.
Dalam suratnya ada kalimat memohon berikut imbalan yang akan diterima McKinley.
Cukup lama Dante menanti jawaban atas penawarannya kepada McKinley hingga yang
bersangkutan menjawab suratnya dan setuju. Mengejutkan adalah Sean menolak
imbalan tetapi ia melakukannya dengan tulus tanpa memberitahu alasan pasti
kenapa ia menolak imbalan yang sangat besar. Tetapi Dante memahami kalau Sean
sejatinya adalah orang yang sangat baik, pemuda itu jauh lebih baik darinya dan
Ivy pantas mendapatkan kepingan terkecil dari kebahagiaan sejatinya tanpa
melupakan siapa yang menjadi tumpuan hidupnya.
Selama perjanjian dilaksanakan, bukan berarti ia tak punya ketakutan
tersendiri. Dante tahu dirinya merasa kalut terlebih ketika menjelang detik-detik
kelahiran sang putra ia tak bisa pulang. Tahu kenapa? Karena ia sendiri memilih
untuk tidak pulang dan membiarkan Sean berada di tempatnya, ini semua demi Ivy.
Demi kebahagiaan wanita terkasihnya, wanita kedua setelah ibunya. Ia memilih
untuk menukar tempatnya, rasa sakit yang memuncak ketika tahu kalau Ivy tetap
bergeming dan bereaksi bahwa ia tetap baik-baik saja dengan atau tanpa Dante.
Dalam suratnya Ivy memang mengatakan bahwa ia merindukan kebersamaan mereka
tetapi jarak bukanlah toleransi untuk Dante agar ia tidak tahu apa-apa. Yeth
memberikan laporan secara berkala tentang apa-apa saja yang dilakukan Sean
dengan Ivy. Dante adalah seorang pemimpin yang bijak, setiap langkahnya
memiliki perhitungan rasional dan pemikiran yang konsisten maka ia tak peduli
apabila hatinya hancur lebur asalkan wanita yang paling disayanginya bahagia
dan tidak menangis di hadapannya. Maka ia biarkan ketika benih-benih cinta itu
mulai tumbuh dan berkembang karena selanjutnya ia berusaha memadamkan
keduanya--dengan tangannya sendiri.
***
Kabar baik datang disambut kemeriahan. Rumah Athena akan kedatangan seorang
malaikat kecil. Dokter mengatakan kalau Ivy sudah boleh pulang setelah menginap
selama seminggu dengan membawa serta putra kecil mereka, Kairi.
Dalam kain tebal yang hangat, Kairi tertidur pulas. Nafas dan aromanya membuat
siapapun ingin memeluknya sepanjang waktu. Sementara Ivy sibuk menggendong
jagoan kecil mereka, Dante merapikan barang-barang Ivy dan merangkulnya keluar
rumah sakit. Ini akan menjadi hari yang paling spektakuler karena keduanya
bersama-sama melangkah sebagai ayah dan ibu baru. Ivy sudah sepenuhnya menjadi
wanita, dia sempurna karena sudah terlahir menjadi seorang ibu.
Namun hatinya mendadak gelisah, sehari sejak Kairi lahir ke dunia, ia tak
melihat ada tanda-tanda McKinley. Sean menghilang kembali seperti ditelan bumi,
Ivy mendadak sangat cemas. Ia seringkali merasa gelisah. Alasan paling kuat
adalah ia belum mengucapkan terima kasih kepada Sean atas apa yang sudah pemuda
itu luangkan kepadanya. Sean yang menemaninya menjelang hari kelahiran, Sean
yang bertindak seolah-olah ia adalah ayah dari Kairi bahkan Sean yang berada di
sampingnya ketika ia berjuang melahirkan Kairi dari kandungannya. Ia ingin
mengucapkan terima kasih pada Sean.
"Ada apa?" Dante menaikkan alisnya, Ivy berkali-kali menoleh ke
belakang. Takut kalau tiba-tiba Sean datang ke kamarnya dan ia tidak menemukan
Ivy disana, "kau mencari seseorang?"
Ivy mendongak, melepaskan pandangannya dari sisi lain.
"Tidak, tidak apa-apa."
Kembali ia memfokuskan diri pada Kairi. Berusaha menenangkan dirinya sendiri
meski di dalam hatinya bergolak. Di satu sisi ia ingin sekali bertemu dengan
Sean, namun ia takut kalau Dante mengetahui segalanya. Tanpa ia tahu kalau Dante
lah yang menciptakan kebersamaan keduanya, Dante lah yang mengizinkan Sean
menulis kembali kisah yang tertunda. Dante lah yang memberikan tulisan terakhir
bagi Sean dalam kehidupan Ivy.
"Kalau dia adalah orang yang kau cari, Ivy." Dante merangkul Ivy
lebih erat, mengecup puncak kepalanya dalam-dalam dan menunjuk Sean dengan
dagunya saat ia melihat pemuda itu berdiri di depan sebuah mobil dengan gaya
maskulinnya.
Dengan kemeja biru laut dan lengan digulung dan satu tangannya dimasukkan ke
dalam saku. Khas seorang Sean, Ivy mendongak. Mendadak matanya terasa panas,
bergantian menatap Dante dan Sean. Lantas ia tak percaya, apa yang dilihatnya.
Keduanya tak melakukan perkelahian, tidak juga adu mulut. Ivy memandang Dante
penuh arti antara ingin menghampiri Sean tetapi ia takut--takut Dante marah
padanya.
Seperti telepati, Dante menunjuk dengan dagunya. Memberikan izin pada perempuan
terkasihnya untuk waktu yang relatif singkat. Ia melepaskan rangkulannya dan
berjalan menuju McKinley dan hati serta mata yang panas. Begitu kedua
tumpuannya tiba, ia merasakan getaran yang menyesakkan seperti diremukkan.
Dalam sekali kedip, airmatanya tumpah ruah tanpa jeda. Ia menjadi sulit
bernafas dan senyum penuh kebahagiaan itu tidak sekalipun menyusut.
"Hai," Sebuah sapaan hangat dibarengi tatapan yang ia rindukan.
"Selamat kau sudah menjadi ibu, Ivy. Kau wanita yang hebat."
Ia rindu disentuh pemuda ini, Tuhan.
"Terima kasih...."
Getir, hanya sepenggal kata yang mampu keluar dari bibirnya. Sesak menyeruak
tanpa bisa ia hentikan. Ia yakin ini adalah detik-detik terakhirnya bertemu
Sean karena sesudahnya ia yakin Dante tak akan memberikan kesempatan untuknya.
"Untuk apa?"
Susah payah Ivy menarik nafas dalam-dalam, susah payah ia mengatakan apa
keinginannya.
"Untuk segalanya selama dua bulan ini, terima kasih telah menggantikan
posisi Dante dan kembali."
Ia merasakannya, sebuah tatapan hangat antara kelegaan melepaskan sakit dan
melepas bebannya. Tangan besar itu terulur menyapu epidermis Kairi, putranya. Kemudian
diselingi senyum paling damai yang pernah ia lihat. Setelah itu, Sean meraihnya
dalam satu rangkulan, menghabiskan jarak keduanya dan membawanya mengecup
kening Ivy di hadapan seorang Dante. Rasa panas menyelubungi pipinya.
"Berterima kasihlah pada Dante, Ivy. Tanpa dia, aku tidak bisa bertemu
denganmu lagi."
Ivy mematung, hening dalam beberapa saat mencoba mencerna kalimat yang
dikatakan Sean.
"Maksudmu?"
"Dia yang merencakan ini semua, dia mencariku, Dante. Melalui Yeth, ia
mencariku, memintaku menggantikan tempatnya untuk menjagamu hingga si kecil ini
lahir karena ia tak bisa membiarkanmu berjuang sendirian. Memang terlambat
karena cukup sulit mencariku, Ivy. Tetapi kalau terima kasih, katakanlah itu
pada Dante,"
Ivy menoleh diantara bahunya, menatap Dante dari sela kabut matanya, ia tidak
yakin sepenuhnya akan sebuah kebenaran yang Sean katakan, mungkin ia terlalu
takut mengakui kalau selama ini Dante lah yang mengarang scenario ini untuknya
dan cukup takut mengartikan kebahagiaannya adalah rekayasa semata.
“Jangan berprasangka apapun, kumohon. Dante melakukan semua ini untukmu, hanya
untukmu. Dia mengorbankan perasaannya untukmu, Ivy. Percayalah ia mencintaimu
lebih dari yang kau tahu.”
Kini dia meringkuk dalam diam. Dalam pelukan seseorang yang telah memberinya
sayatan dalam. Coba meredam tangisnya dengan satu tangan, ini adalah senyap
paling pekat yang pernah dirasakan keduanya. Berdua yang seperti sendirian. Ivy
memberanikan diri menatap Sean, meski dadanya bergemuruh, meski tangisnya
semakin sesegukan, namun dalam pelukan keheningan. Sepasang bola matanya
menatap langsung dua pasang mata di depannya. Meminta penjelasan lebih dari
sekadar apa yang dikatakan McKinley padanya. Namun justru keterdiaman itu—cara kedua
matanya memandang—adalah teriak kebenaran yang paling lantang dan tidak bisa
lagi disangkal. Karena dia bicara dengan seluruh sesal. Seluruh luka. Seluruh
sakit. Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan. Pada akhirnya, dia
melakukan semua itu juga dengan seluruh cinta. Untuk seseorang yang hilang pada
masa lalu dan untuk seseorang yang hadir dalam hidupnya.
Ivy masih tidak mengerti apa yang disembunyikan keduanya. Ada sesuatu yang
terasa janggal di antara mereka. Dan, hanya mereka yang tahu. Kejujuran yang
entah terkuak sejak kapan, tapi tidak mau pergi lagi. Mata itu menatapnya,
dalam dan tepat mengenai sasaran sementara kakinya berdiri lantang dan dalam
keheningan meminta penjelasan. Sekali lagi ia menatap sepasang mata yang bukan
miliknya, meyakinkan dirinya sendiri—mungkin dia hanyalah orang yang tepat yang
datang pada waktu yang salah. Sudah cukup kami menganggap tidak ada yang
terjadi hari itu. Tapi dalam hati ada sesuatu yang memberontak, sesuatu yang
terus menerus membatin, seakan ada sesuatu yang dirahasiakannya tapi sangat
ingin dia ceritakan sampai tuntas. Ia tidak bisa menjelaskan kata yang tepat
untuk mendeskripsikan rasa yang berkecamuk di hati saat ini. Yang ada hanyalah
sugesti sampai kapan pun, luka dari kehilangan seseorang mungkin nggak akan
sembuh. Ivy terdiam, ia berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk
hal-hal yang udah terjadi. Segalanya menjadi percuma ketika kedua mata itu
saling bertemu pandang dan tidak ada yang bisa dielakkan. Ivy melihatnya mata
itu sarat dengan kesepian, kesedihan yang ia sendiri kenali dengan begitu
dalam. Mereka berdua hidup dalam kepura-puraan karena takut melukai orang lain,
terlebih dari diri sendiri. Ivy hanya bisa balik menatap matanya, membiarkannya
merasakan segala yang harus ia rasakan. Butuh waktu yang lama untuk berhenti
menyalahkan, Tuhan. Untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan salah
siapa-siapa. Butuh waktu buat kembali percaya lagi, kalau ia pantas bahagia
dengan Dante.
Sampai tangis mereda, dan kehilangan
kemampuan untuk menangis. Ivy mengerti.
Bahwa terkadang di dunia ini ada hal-hal yang tak ingin dikatakan, bahwa
sebaiknya di dunia ini ada hal-hal yang tetap menjadi rahasia. Maka ketika ia
ingin menuntut jawaban, penjelasan lebih dalam tentang keduanya, tentang perjanjian
yang mungkin mereka lakukan tanpa Ivy tahu, ia memilih diam, ia memilih untuk
membiarkan segalanya berjalan apa adanya. Hingga ia membentuk lengkungan sabit
di bibirnya. Bahwa sebuah kejujuran sebaiknya tersimpan tanpa pernah ia
pertanyakan. Cukup lama ia merasakan perang batin yang begitu sengit di dalam
nuraninya, berusaha sekuat mungkin untuk menerima kenyataan yang ada. Pada
akhirnya ia memutuskan berbalik dan meninggalkan Sean dalam kesendirian tanpa
jawaban.
Hingga langkah kakinya terhenti karena suara itu kembali memanggilnya.
“Aku mencintaimu…”
Ia menoleh dari bahunya, merasakan degup hangat selama kalimat itu mengalir ke
dalam sukmanya. Diantara jarak inilah posisi tersulit dari keduanya dimana ia
mendapatkan serangan bertubi-tubi atas hatinya dan bimbang bagaimana harus
bersikap. Kristal cokelatnya tertuju pada si kecil Kairi dalam pelukannya
mencoba mencari makna kembali pada dirinya sendiri. Disanalah ia pulang, kepada
Dante lah kehidupannya yang sebenarnya. Hanya sebuah lekukan senyum yang ia
sematkan, pertanda darinya akhir dari sebuah kisah yang menggantung di sudut
awal. Memberikan warna lebih dari sekadar pelangi di malam senja. Kemudian ia
kembali pada pelukan Dante yang membawanya masuk ke dalam sebuah mobil yang
perlahan meninggalkan halaman parkir rumah sakit, meninggalkan sesosok pemuda
dengan cerita yang begitu perih. Tetapi ia yakin, akan ditemuinya bahagia
selepas kepergian Ivy.
***
Sepanjang perjalanan, hening menghiasai, dominasi bungkam lebih bermakna. Di
tengah hembusan nafas sang malaikat kecil ia terus berpikir.
Saat Sean mengatakan “aku mencintaimu”
ia merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katanya
ambigu? Atau ia saja yang menganggapnya saru? Bagi keduanya, senja selalu
sempurna; bukankah sia-sia bila menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan
aku, juga dia. Tak ada bagian yang harus kita ubah. Tak ada sela yang harus
kita isi. Bukankah takdir kita sudah jelas?
Lalu saat kau berkata “aku mencintaimu”
mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kalau kau, kalau kita sejak awal tak
pernah bisa berada dalam cerita yang sama—dengan senja yang berwarna?
Sejak awal segalanya sudah jelas, tidak
pernah ada takdir antara kau dan aku, dan kau tahu itu.