Senin, 20 Agustus 2012

"You don't know what it's like, to be like me."

"Aku diam, tidak mengerti semua ini. Segala sesuatu tidak ada yang bisa aku pahami. Buram, abu-abu."

"Gue takut terlalu berharap sekarang. Nunggu yang pasti-pasti aja."

"Do what you wanna do. Choose your own happiness. Work hard for it and you deserve it!"

"Aku sadar banyak peristiwa dalam hidup ini yang tidak bisa dimengerti bagaimana dan sejak kapan dimulai."

"Mungkin peristiwa kecil bisa membuat perubahan besar dan hidup tidak pernah lagi sama."


"Tuhan sudah merencanakan aku dan kamu bertemu di suatu waktu."

"Semua yang dimulai dengan buru-buru, hasilnya nggak baik."

"Namun, aku terlalu takut tidak ada takdir untuk kita berdua."

"Dan kembali terluka di tempat yang sama. Tapi apakah mungkin semua akan lain ketika orang itu berbeda?"

"Ada ekspresi kosong. Ada yang hilang dalam matanya. Ada sekelumit emosi yang ia pendam."

"Kami berdua terdiam, saling menunggu siapa yang mulai bicara."

"Apa kamu juga berasa senang?"

"Ada wajah yang tidak dikenalnya. Butuh kegigihan besar. Gigih meskipun terus ditolak dan disingkirkan menjauh."

"Ia juga tidak mengerti darimana ia mendapatkan kekuatan sebesar itu untuk membantu orang lain, sementara ia hanya mendapatkan sisanya."

"Tetapi, apakah bisa jatuh cinta tanpa rencana? Tanpa lebih dulu mengenalnya? Tanpa apa-apa jatuh begitu saja?"


"Tidak akan pernah dijawabnya. Ia tidak tahu yang sebenarnya menjadi harapannya."

"Aku hanya tahu dengan hadirnya laki-laki itu, detik itu juga hidupku berubah. Hidupku tidak pernah lagi sama."

"Dan pertanyaan terakhirnya seperti membangunkannya dari koma berkepanjangan."

"Aku yakin tidak mungkin. Aku merasakan itu karena hati ini sudah tertutup sejak dia tinggalkan."

"Aku tidak mungkin jatuh cinta lagi. Tidak, tidak akan pernah lagi."

"Aku terdiam, menatap punggung yang menjauh. Dingin, beku, terasa misterius."

"Membuka dirinya sama sulit dengan menyatukan puzzle yang telah berserakan. Satu demi satu. Teliti dan penuh kesabaran besar."

"Selama ini, aku bertekad tidak memulai hubungan dengan laki-laki manapun dan berhasil pada semua laki-laki yang aku temui."

"Tetapi kenapa dengan dia? Kenapa setiap kali berada di dekatnya aku selalu lupa pada tekadku?"

"Namun aku tidak ingin jatuh cinta. Tidak ingin.... Lagi."

"You don't know what it's like, to be like me."

"Segala keterbatasan ini membuatku takut."

"Sudah tahu kalau bermain api akan terbakar, lalu apa yang aku cari? Sudah tahu dia akan mendatangkan kesuliran, malah maju terus mengharapkan--mengharapkan apa?"

"Mimpi yang besar membuat kamu buta dan lupa."

"Tapi kita hidup harus punya mimpi. Punya goal!"

"Sama kayak lomba; ada garis start, ada garis finish. Mau cepat, mau lambat, pasti sampai di garis finish. Tapi itu bukan goalnya. Bagaimana bisa jadi pemenang itu baru goal!"

"Dan, akhirnya kalah?"

"Setidaknya kita sudah usaha. Kalah atau menang adalah hasil akhir. Penentuannya dari bagaimana kamu melakukan sebaik-baiknya."

"Tuhan membiarkan kita kalah supaya kita tahu dimana letak kita salah. Supaya kita belajar berbuat benar."

"Ada banyak kata-kata di dalam kepala, tetapi tidak semudah itu bicara."

"Aku mungkin bisa mengingkari perasaan tetapi tidak dengan tindakan. Action speak louder than words, right?"

"Nggak gampang buat seseorang melepas masa lalu dan aku akan berjuang sendirian--lagi."

"Aku merasa pertentangan. Antara rasio dan rasa. Antara pikiran dan perasaan. Antara berhenti atau mengikuti kata hati yang mencintai."

"Aku diam, belajar memahami. Aku tidak punya kemampuan untuk melawan keraguan."

"Cinta mengenai hati. Hal yang harus dilakukan hanyalah mengikuti kemana hati akan membawa. Kalaupun pura-pura tidak adam rasa itu akan tetap disana. Tidak mudah membuatnya pergi begitu saja. Dan aku tidak akan mundur karenanya."

ps : Favorit quote berdasarkan



Minggu, 19 Agustus 2012

Beautiful Mistake

Mencintaimu bukanlah sesuatu yang kuharapkan terjadi. 

Aku tak ingin harapan datang lagi, berkunjung di hati, diam untuk beberapa waktu, lalu meninggalkanku dalam kesedihan berlipat-lipat. Aku tahu pasti ini kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi. 

Tapi kau hanya memelukku, tanpa suara. Menggenggam tanganku erat seolah tak ingin melepasnya lagi. Dan sebelum aku berhasil menyangkal cintamu lagi, aku menyadari kau meninggalkan sesuatu di tangaku. Sesuatu yang kukenali sebagai.... Harapan. 

Dan kali ini, aku ingin menggenggamnya, memilikinya sekalipun seandainya itu salah. 

Kamis, 09 Agustus 2012

All These Years, All These Memories, There Was You


Takdir kita sudah jelas. Kau dan aku tahu itu—

Bukan pada manik hijau di depannya ia menatap, bukan pada kulit yang bersentuhan dengannya ia bercengkrama. Mungkin satu sama lain di hadapan pada bagian yang tidak diinginkan sekali pun, tetapi Molenvliet belia ini tidak punya pilihan lain selain menikmatinya—menikmati semua kehancurannya. Kehilangan seseorang itu bukan hal yang mudah untuk diterima. 

Ada aksi ada reaksi, tidak ada gerakan yang dilakukan Xylia selain mengikuti ritme gerakan pemudanya. Ia hanya mengikuti—apa maunya si pemuda. Mungkin pemudanya lebih sakit dari bayangannya, sedangkan dirinya hanya bisa menyediakan kebutuhannya saja. Lebih memeduli setani rasa sakitnya, lebih ingin menikmati kesakitannya saat ini. Tidak ada yang perlu disesali sesudahnya, tidak perlu ada yang dipermasalahkan sesudahnya. Toh, mereka tengah berada dalam dunianya sendiri. Ada sarat tekanan dalam helaan nafas setiap Jonah Julius, namun Xylia sadar. Sesadar-sadarnya dia Cuma jadi baku pelampiasan saja, maka ia biarkan pemuda ini berlaku sesukanya. Erangan, atau apa pun yang terucap dari bibir sang pemuda hanya diresponnya dengan senyum lirih dan seringkali gadis ini menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia bisa merasakan sentuhan demi sentuhan itu menggerayangi bagian-bagian tubuhnya.

Hatinya mungkin memekik, bukan bersama pemuda inilah kegiatan seperti ini ingin dia lakukan, tetapi toh sudah tidak ada gunanya berharap banyak. Tidak perlu menghancurkan diri pelan-pelan kan? Atau setidaknya selama sarana pelampiasan sudah tersedia dengan sukarela kenapa tidak dimanfaatkan dengan baik? 

Xylia menunggu sampai pemuda ini kelelahan, ia sendiri sudah mencapai puncaknya entah sejak kapan. Perlu waktu yang cukup lama agar pemudanya tumbang, merebahkan dirinya sendiri di atas dadanya. Xylia mengulurkan tangannya, menyibakkan beberapa helai rambut pemudanya yang terjatuh di sekitar keningnya. Dengan gerakan perlahan, ia bergerak mencoba mencari celana pemudanya yang entah berceceran dimana—pemudanya butuh obat dan Xylia tahu dimana pemuda itu biasa menyimpan obatnya—dia kekasih yang baik bukan? 

Gadis yang tengah bersimbah keringat itu susah payah menggapai sebotol obat dan membuka tutupnya, mengambil satu tablet kemudian memasukkannya pada mulut sang pemuda. Tangannya kemudian terulur kembali pada puncak kepala sang pemuda. “Sakit banget ya? Duduk dulu yuk…” Ada saat-saat tertentu gadis ini bisa menjadi sangat baik dan ada pula saat-saa tertentu saat gadis ini bisa menjadi sangat jahat, tetapi kali ini pada pemuda di hadapannya ia tidak bisa. 

Setengah harapannya berteriak—kalaupun ada pemuda yang dia inginkan untuk menyandarkan diri tak sekedar kepala, maka hanya orang itulah yang ia harapkan. Bukan dia—bukan Jonah Julius.

It's Only After We've Lost Everything That We're Free To Do Anything


"Aku tak pernah dengar," ujar Jonah tak peduli lalu merangkul tubuh gadis berambut ikal gelap itu lalu ia bersandar pada sandaran empuk sofa besar itu dan menarik tubuh si gadis untuk turut bersandar di bahunya. "Tapi jelas ruangan ini sangat berguna."

Untuk kau dan aku.

"Aku tidak merayumu," ia berkata lagi, tertawa kecil ketika Xylia mencolek ujung hidungnya. Jonah lalu mendekatkan wajahnya ke wajah si gadis, memberinya kecupan di keningnya lalu ke hidungnya. "Aku mengucapkan kenyataan," lalu dikecupnya kedua pipi gadis itu bergantian sementara kedua tangan pemuda itu mengeratkan rangkulannya menjadi sebuah pelukan. Aroma tubuh Xylia yang lembut namun berani itu menggelitik hidungnya ketika ia menciumi leher gadis itu pelan. Ia menjauhkan kepalanya kemudian untuk menatap mata Xylia dan tersenyum.

"Bagaimana kalau kita pacaran?" tanyanya serius. "Aku suka kau. Kau suka aku. Apa lagi yang kurang?"

Tidak, ia belum lupa pada cinta sejatinya.

Tanpa menunggu jawaban, Jonah membelai pipi Xylia yang halus. Kulit gadis itu seperti kulit bayi. Begitu kenyal dan sangat terawat. Sifat gadis itu yang selalu menerima perlakuannya membuat ia merasa jauh lebih mudah mengabaikan perasaannya pada seseorang. Dengan adanya Xylia, orang-orang akan tahu bahwa ia baik-baik saja setelah kejadian di Yule Ball tahun lalu. Ia seorang Gryffindor yang pemberani. Tidak akan kalah oleh sesuatu yang bernama cinta. Ia penakluk wanita. Wajah yang tampan adalah hadiah yang diberikan Tuhan untuknya.

Ia akan berdosa kalau tidak memanfaatkannya, kan?

"If your answer is yes," gumamnya sembari menyusuri wajah gadis itu dengan ujung hidungnya,"kiss me."

I Was Different Person Then


Itu karena pertemuan di danau—

Salahkan gurita yang membuatnya jadi seperti ini. Kenapa gurita? Karena gara-gara dia jalan-jalan di danau dan ikut-ikutan bicara gurita jadi terjerat sama gurita itu sendiri. Guritanya ya dia ini, lelaki asal asrama Gryffindor dengan surai pirang kecokelatan (dan lagi-lagi pirang dan kenapa harus pirang?) yang sedang menggandeng tangannya. Molenvliet tunggal ini hanya bisa menatap datar pemuda di sampingnya. Pemuda yang tempo hari sempat bercakap-cakap dengannya. Xylia mengakui kalau untuk ukuran lelaki—dia—lelaki dengan surai pirang kecokelatan itu termasuk lelaki yang terbuka, walau tidak sepenuhnya terbuka. 

Dari hanya sekedar pembicaraan ringan sampai yang berat sampai pada masalah yang mereka sendiri—kesepian—masih tidak tahu jalan keluar yang terbaiknya apa. Salahkan persamaan nasib yang membuat mereka menjadi dekat dengan menautkan jemari satu sama lain dan berada di depan sebuah pintu. Pintu yang ada dengan sendirinya. Koridor yang nampak lengang membuat gadis ini mengerti tujuan sang lelaki. Xylia Lotus tidak sebodoh yang dikira untuk urusan yang seperti ini dan tidak perlu disembunyikan. Trayek favoritnya memang. 

Dia tahu lelaki yang kesepian pasti seperti ini. Dia sendiri cukup paham, “Mungkin ini ruang kebutuhan. Pernah dengar? Pintu ini muncul saat kita butuhkan.” Mungkin salah satu dari mereka memang membutuhkan sebuah ruangan. Akhir-akhir ini Xylia dengan pemuda yang ia ketahui bernama Jonah memang terlihat akrab. Tidak ada rasa canggung saat Jonah menggandeng tangannya, membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Xylia lebih terlihat tenang, pikirnya sudah biasa menghadapi situasi seperti ini. Duduk di sebuah sofa. Kedua manik cokelatnya membalas tatapan pemuda Julius itu, tersenyum kecut tanpa memalingkan wajah. 

“Kau merayuku, huh?” gadis bertitel Molenvliet itu mencolek hidung sang pemuda dan tertawa kecil.

Ia membiarkan pemuda ini berlaku sesukanya, menatapnya, menciumnya atau apa pun sesuka hatinya. Ia membiarkan dirinya untuk saat ini saja hanya untuk pemuda di sampingnya. Untuk hari ini saja, ia ingin lupa diri sejenak. 

Rabu, 08 Agustus 2012

Everything happened for a reason


Everything happened for a reason—

Segala yang mengalir pasti punya alasan tertentu, baik yang menjalankan mau pun yang dijalankan. Pemuda bungsu ini berdiri tegap, ia mengerti. Sangat mengerti arti kehilangan seseorang, membuatnya lebih mudah mencerna betapa berartinya seseorang untuk dilepaskan. Mengerti bahwa melepaskan seseorang berarti siap melepaskan semua pertahanan diri, mengukuhkan apa yang selama ini bersikeras ia jaga. Kedua lengannya sudah tidak mampu untuk melingkari batas yang ia ciptakan dengan sendirinya. Liang yang nyaman untuk dirinya sendiri, hempas sudah oleh setitik rasa yang membuatnya miris. Keterdiaman seseorang terkadang adalah sebuah jawaban, namun diam itu ambigu. Atau memang dirinya saja yang menganggap semua itu saru? Kalimat menggantung seseorang masih teringat dengan jelas, setiap garis kontur wajahnya menyayat setiap memori yang berputar di kepalanya. Tuhan, tidak untuk sekarang ini ia benar-benar menghabiskan pertahanan dirinya. Setidaknya berikan pemuda ini jeda waktu untuk bisa mengisi sepetak keputusasaannya. Sedikit ruang untuk sebuah ketenangan yang selalu berkecamuk di dalam dadanya. 

Bahwa permintaan maaf dari seorang Rainyvow mampu membuatnya tidak tidur semalaman, semenjak pertemuannya di menara, mampu menembus rasa bersalahnya yang paling dalam—rasa bersalah karena terlalu banyak berharap pada gadisnya. Rasa bersalah yang kian hari kian menusuknya, Ian tidak suka. Tidak pernah suka dengan rasa yang baru ini timbul—lebih sakit dari yang sebelumnya. 

Ia mengerti bahwa suatu saat cinta itu akan pergi, menyisakan satu penyesalan karena ia tidak cukup sigap untuk menahannya untuk tetap di sini, bersamanya. Mungkin, dirinya adalah orang yang tepat—bukan tetapi Rainyvow lah orang yang tepat namun datang di waktu yang salah, atau kedua memang kesalahan Tuhan yang didatangkan pada waktu yang kurang tepat? Tidak ada garis yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya kini adalah salah, tetapi satu yang pasti Tuhan seperti memberinya isyarat bahwa ia belajar, belajar memahami betapa berartinya seseorang, belajar bagaimana ia menyayangi seseorang tulus tanpa meminta timbal baliknya. Pertemuannya di musim dingin, di menara, dengan gadis yang menjadi satu-satunya harapan, namun sekaligus yang menghancurkannya ternyata mampu membuat pemuda kurus ini mengerti untuk satu hal yang ia tahu adalah semua orang pernah merasakan kehilangan dari yang tidak berarti sampai yang berarti sekali pun. 

Bahkan saat ia masih kecil untuk mengerti sebuah arti kehilangan, yang ia tahu, ia hanya ingin merasa lega. 

Favian, seorang pemuda tanggung berusia lima belas tahun menarik sudut bibirnya, ketika sebuah jari menempel pada lapis bibirnya. Ia tahu gadis di depannya bukan hanya sekedar seorang gadis yang sudah memberinya tumpangan berupa ketenangan pada bahunya, tetapi gadis ini bisa menenangkannya tanpa syarat. Ada sarat yang seharusnya tak bisa ia jelaskan ketika dua mata mereka bertemu, kedua bening cokelat yang sama-sama tahu artinya kesepian—tidak, bahkan lebih dari itu. Sesuatu tak mengalihkannya ketika sebuah kecupan manis mendarat pada pipinya. 

Meninggalkan seberkas noda merah muda pada kedua pipinya, “Terima kasih untuk menenangkan ku, Lysa…” 

Tangannya kembali terulur, menggapai puncak kepala gadisnya dengan satu tarikan yang kemudian merapatkan sebuah ruang kosong menjadi berisi. “Omong-omong, tadi kau menciumku, apa tidak ada yang marah? Oh baiklah, wajahmu merah sekali.” 

There's nothing worse than this!


Karena hidup seperti permainan sepak bola, kita tidak akan tahu kapan kita akan menang atau kalah—waktu sebuah permainan sedang berjalan sangat baik, bisa saja di detik terakhir pihak lawan lah yang mencetak gol. 

Ironinya kehidupan memang tak bisa ada yang menebak, bagaimana hidup akan berjalan seperti aliran sungai—bisa saja tenang, mengikuti arus namun berujung pada sebuah air terjun yang sangat curam. Butuh waktu yang lama bagi Ian untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, untuk tidak menyalahkan Tuhan yang sudah memberinya begitu banyak ujian perasaan. Butuh waktu yang lama untuk seorang pemuda belia sepertinya agar bisa percaya kalau ia bisa bahagia terlepas dari semua beban yang menggelayut setia di dalam hatinya. Ian percaya ia tidak akan memiliki hujan selamanya, atau kemarau. Karena hidup tak akan seimbang jika hanya merasakan salah satu dari keduanya. 

Ian semakin mempererat pelukannya, mungkin gadis ini hampir sulit bernafas. Tetapi ia harus mengakui, daripada ia melakukan sesuatu yang di luar logika serta rasionalitas terlebih karena yang berada dalam pelukannya itu berjenis kelamin perempuan, maka lebih baik ia mendekapnya erat. Menghancurkan sendiri apa yang sudah menjadi konsekuensi kesakitannya. Meski Ian tahu ukuran tubuh gadis ini terlalu kecil untuk menghapus semuanya, namun bisa ia singkirkan dengan sebuah rasa yang ia hadirkan begitu saja. untuk sebuah kesempatan yang gadis ini berikan secara Cuma-Cuma kepada dirinya, kesempatan untuk bisa meluruhkan sakitnya, kesempatan untuk bisa menangis sepuasnya meski ia tahu ini tidak pantas dikerjakan untuk seorang lelaki. Tanpa isakan, tanpa bahu yang berguncang—Ian merengkuh gadis ini kuat-kuat. Nyeri di dadanya yang semula semakin menguat, untuk waktu yang lama sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hanya wujud keputusasaan yang berwujud pada matanya yang terpejam. 

Airmata, tangis, permohonan untuk tinggal, luka dan keputusasaan. Tidak satupun bisa menyentuh. 

Karena memang tembok yang sudah tercipta lebih kokoh dibanding karang es di kutub utara. Bahkan rupanya sosoknya hanya berupa fatamorgana yang berada di jarak yang sama hanya saja Ian tidak akan bisa meraihnya—tidak akan pernah seutuhnya. Dibuatnya Ian oleh rasa yang sederhana, seperti orang yang mencari delusi dalam dunianya. 

Suara kecil dalam rengkuhannya, dalam sebuah lingkaran terdekatnya tidak bisa ia dengar dengan jelas. Masih disibukkan oleh penyembuhan diri yang walau tak bisa secara total dan tidak bisa saat itu juga. Pun ketika pertahanan dirinya benar-benar luluh lantak ketika sepasang Kristal cokelat itu menatapnya—tatapan kecemasan yang tidak ingin dia lihat. Sementara ia ingin menarik sudut bibirnya untuk tersenyum dengan dalih mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya baik-baik saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan sebagaimana mestinya. Tetapi Ian mengaku kalah dengan egonya yang masih mendominasi rasa sakitnya. 

Tanpa sempat dicegah, tanpa sempat mengucapkan beberapa patah kata, jari-jari lentik gadisnya sudah lebih dulu sampai pada permukaan kulitnya. Menghapus jejak-jejak airmata yang berbekas. 

“Aku… tidak apa-apa…” Ian mengucapkannya dengan suara terbata-bata seakan kesadarannya menghilang, “Aku… baik-baik saja… ya kan?” sepenggal demi sepenggal kalimat meluncur dari bibirnya. Kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman, “Payah, aku menangis…” disambut tertawa kecil yang samar, seperti ia bicara sendiri pada pantulan semu dirinya. 

Tubuhnya yang sedikit ia condongkan akibat ulahnya memeluk sang gadis kembali ia tegapkan, ia tahu dalam hatinya ia tidak akan bisa seperti ini. Ia tahu tatapan gadis itu sarat akan ketakutan, sarat akan sesuatu yang Ian pun tidak mengerti. “Maaf ya, bahumu jadi basah.” Ian menangkupkan kedua tangannya di depan dada, bermaksud meminta maaf karena telah meneteskan airmata sembarangan. Namun di sela-sela sunyi yang bergema, ia sudah merasa tenang sedikit—setidaknya untuk sekarang. Ian tersenyum, menganggukkan kepalanya. 

Merentangkan lengannnya dan kembali meraih sang gadis dalam rengkuhannya. Tangan kanannya mengusap lembut puncak kepala gadisnya. "Terima kasih untuk satu pelukan yang menenangkan, Lysa." Entah harus berapa banyak terima kasih yang Ian ucapkan pada gadis kecil dalam pelukannya; yang dengan sangat baik mau menjadi tempat bersandar seorang Favian. 

I've feeling us two even separated


Harus kamu tahu bahwa suatu saat kebersamaan itu akan berakhir, dengan atau tanpa penyataan sekali pun—

Benih-benih rasa yang sama sekali tidak bisa ia toleransi, bersamaan dengan segala keputusasaan yang setiap detiknya menerjang tubuhnya, menjadikan lelaki tanggung berusia lima belas tahun ini berdiri telanjang. Transparan dan apa adanya. Ia biarkan seseorang melihat lukanya, ia biarkan seseorang mengamati dengan jelas bagaimana sayatan itu terdapat di tubuhnya—hatinya mendingin. Ada banyak hal yang ingin ia ingkari, ada banyak hal yang menyuruhnya untuk berlari—pada sebuah lorong kecil yang disangga dengan lukisan abu-abu pualam yang sunyi. Baginya kesunyian yang lama menyiksanya, berusaha ia enyahkan walau harus dengan sisa-sisa kekuatannya sendiri. Tergantung dengan segala harapan yang membawanya naik pada nirwana tertinggi, dengan episode paling akhir adalah bunyi berdebam tanda bunuh diri. Ian ingin marah, ingin menangis. Tetapi sebuah bisikan membuatnya menutup sang kelopak, di lain sisi suara imajiner menyuruhnya untuk menangis. 

Sekali lagi menatap gadis di depannya—

Meski dengan seribu maaf Ian ingin katakan kalau ia sangat berdosa telah menyamakan gadis ini dengan seseorang yang ia sayang sekaligus seseorang yang mematikan dirinya sendiri. Dengan ekor matanya, dengan sisa-sisa pendengarannya, Ian menyajikan selengkung senyuman samar. Kedua matanya menutup, bukankah ini yang memang seharusnya ia lakukan? Bukankah ini memang sudah waktunya untuk melepaskan? Mengikhlaskan bukanlah sesuatu yang buruk untuk apa yang ingin kita gapai dan miliki. Meski sulit—sangat sulit melakukan satu hal yang terdengar sepele. Dalam imajinya, menyeret pada sang waktu yang kian mengingatkannya pada sesosok gadis waktu lalu. 

Jembatan dengan segala tawa, kegugupan, senyuman, perlakuan—

Ruang Rekreasi dengan segala kesal, sedih, marah, amukan, pusara putus asa—

Menara dengan segala kehancuran, kepastian yang membuatnya benar-benar harus merelakan—

Darimana pun datangnya cinta, torehan pertamanya memang selalu menyakitkan. Tidak peduli pada siapa, dan status apa yang disandang oleh orang itu. Gerak bibir gadis di sebelahnya hanya terlihat samar, tidak terdengar satu kata pun karena Ian membekukan telinganya. Kewarasannya sudah mencapai ambang batas. Tanpa bisa dicegah, kedua lengannya terulur, menghabiskan jarak yang ada dalam satu kali dekapan. Ia berusaha mengenyahkan, menghilangkan atau bahkan menghancurkan kenangan yang ada. Di setiap detail yang penuh tawa, tangisan, bahkan nyanyian. Di setiap detail yang penuh dengan goresan, sakit dan teriakan putus asa. Kini hanya pada gadis dalam pelukannya, ia memohon untuk bisa melenyapkan barang sedikit saja sakit yang ditorehkan. Hanya pada hati yang menginginkan kehidupan ia perjuangkan. 

Dalam satu pelukan, tubuh pemuda ini meluruh, melemah. Ia merasa kekuatannya untuk sekedar bertumpu pada kedua tungkainya sudah habis. 

Seluruh anatominya berteriak—teriakan yang ia redam karena justru teriakan itulah yang paling menyakitkan. Kemarahan, putus asa, mewujud dalam bening air mata yang mengalir pada kedua pipinya—Ian menangis. Sudah sejak lama ia ingin menangis, tapi ia harus mati-matian menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang dilakukan oleh seorang perempuan. Dadanya sesak, gemuruh yang kali ini benar-benar membuatnya terguncang tanpa suara isakan. Pada sebuah kepala mungil dalam dekapannya, Ian menjatuhkan tetes demi tetes air matanya. Lelaki menangis bukan karena dia seorang wanita, karena dia sudah terlalu lelah menghadapi permasalahan ini dengan sikap tegarnya, sikap tegar yang seolah-olah kuat. Ia biarkan pertahanan dirinya hancur berkeping-keping, Ia biarkan gadis dalam dekapannya melihat kerapuhannya, merasakan apa yang sebenarnya pemuda ini rasakan. Hanya dengan begini, hanya dengan cara seperti ini Ian tenang, hanya dengan cara ini ia bisa melenyapkan—kenangan serta perasaan yang pernah menyakitinya. 

These Feelings Will Reach You


Baginya dua orang lebih baik dari satu; sama dengan satu dialog lebih baik daripada dua monolog, kan? 

Pemuda kurus jangkung itu menegapkan tubuhnya, kini tak lagi bersandar pada bahu pualam yang menyangganya beberapa moment yang lalu. Yang terputar pada imaji nyatanya adalah saat ini ia sedang berdialog dengan seorang gadis kecil. Ian melepas tawa, melupakan sebagian apa yang tidak ingin dia ingat. Dia tahu kalau dia hanya berlari. Salah siapa kalau dia tidak kuat menanggung masalahnya? Toh kalau ia mengingat itu, denyut nyeri di dalam nadinya sepertinya mulai menguat. Sayangnya Ian masih cukup sadar bahwa kesakitannya tak akan ditengok barang satu tolehan pun ia meminta. Bahkan ketika mungkin pemuda ini mengiba pada gadis yang menorehkannya—berat. 

Kalau saja ia boleh meminta untuk sesuatu yang tak bisa diubah—ia akan meminta bahwa lebih baik tidak perlu melihat gadis itu atau setidaknya jangan bertemu dengannya bahkan untuk lebih dari sekedar kenal. Karena ia tahu, seperti apa pun ia berusaha untuk bisa lebih dari yang dikatakan sebagai teman—tidak akan bisa. Tidak ada benih yang menyatakan status seperti itu di antara mereka. Mungkin ini sudah saatnya Ian berhenti—berhenti memikirkan seseorang yang tidak memikirkannya, tidak menoleh padanya. Ia tidak tahu apakah ada cara lain selain melupakan dan melepaskan. Kalaupun ada seperti apa? Ia sudah mencari hingga kepalanya nyeri sendiri. Berputar-putar memikirkan cara yang pantas untuk mengenyahkan apa yang selama ini ia rasakan pada seorang gadis yang ternyata hanya berupa fatamorgana. Namun tak ditemukan cara lain selain melepaskan—mengikhlaskan. Hanya ini cara satu-satunya agar keduanya tetap tenang dan tetap menjalin hubungan baik sebagai teman—tidak lebih

Ian menoleh pada gadis kecil bernama Hanks yang mengubah tema obrolan mereka menjadi kekanakan, sifat ambegan yang ia tunjukkan dengan caranya yang ketus seperti mengingatkan—seharusnya sudah dilupakan. Sulit untuk melupakan kenangan yang tersimpan rapi di dalam benak apalagi kenangan itu bersemayam layaknya mayat yang diawetkan—ironi.


Pemuda dengan bening cokelat itu memerhatikan setiap gesture gadis yang memiliki iris sama dengannya. Bagaimana gadis itu bicara, baik dengan nada manja, ketus atau sadis sekalipun. Mengeluarkan tawa besar tanpa ada suara hingga bahunya berguncang adalah hal yang mudah—untuk merasa nyaman pada setiap aura yang diberikan Hanks muda. Tatapnya melembut ketika tingkah Hanks berubah menjadi pelawak tingkat atas. Tak sangka gadis ini bisa sebegitu lucunya, membagi lelucon meski untuk menghiburnya sedikit dan tidak menyeluruh. Ukuran tubuhnya yang menyusut mungkin terlihat mencolok. Ian hanya membentuk sabit di bibirnya. “Badanku kurus banget memangnya? Padahal makanku banyak, sekarang.” Iya sekarang, setelah didera patah hati yang luar binasa. Ian mengelus-elus perutnya yang rata, di beberapa bagian bisa ia rasakan tulang rusuknya sedikit menonjol. Mungkin benar tubuhnya sudah kurus kering. 

“Kismisnya buatku saja, sini.” Ian menengadahkan tangannya. 

Tak lama tertawa oleh guyonan yang dilemparkan Hanks, kedua irisnya menangkap setiap detail penampilan Hanks. Meski sepintas mirip, hanya di bagian cokelatnya saja selebihnya berbeda, Ian ingin sekali menggapai gadis di depannya, tetapi mengingat ia sudah dicap embel-embel sebuah nama—urung. Pemuda itu menghela nafasnya berat, ada sakit yang tak terucap di sana. 

“Aku… seleraku?” Ian menyatukan kedua alisnya, menggeleng lemah seraya tersenyum tipis, “aku tidak pernah mematok selera khusus untuk seorang gadis, Lysa. Harus kautahu itu…” lagi-lagi ia membelai surai cokelat milik gadis di depannya. 

Hening—satu ketenangan yang menohoknya. Dia pernah berada dalam ketenangan yang sama, kesunyian yang sama, kesenyapan yang nyaris membuatnya memutar ulang memori yang kini seolah menjadi rentetan sebuah kilas balik. Jantungnya bergemuruh, semua rasa yang ia biarkan tidur beberapa waktu yang lalu, terpaksa bangkit kembali. Ian menemukan pada pantulan bola cokelat itu ada sesuatu yang menyedihkan—wajahnya. Sebuah wajah yang mengiba, meminta bahagia pada Tuhan. Apa pun bahagia yang diberikan oleh Tuhan, walau tanpa alasan. Ian bersikeras untuk tetap menemukan wajah yang membuatnya tak berkompromi dengan jarak, waktu bahkan hati dan pikiran. Tidak ada satu pun yang bisa menjelaskan dimana wajah itu berada, hanya hening yang menguasai keadaan. 

Maniknya mengerjap begitu gadis di depannya menolehkan kepala, sedang Ian membuka celah pada kedua bibirnya. 

“Boleh Ian peluk Lysa?” suaranya seperti memantul dan seperti ia bicara sendiri dengan tembok pualam, “sebentar saja…” pintanya lirih. Sebentar saja, hanya untuk menghilangkan nyeri di dadanya.