"Aku diam, tidak mengerti semua ini. Segala sesuatu tidak ada yang bisa aku pahami. Buram, abu-abu."
"Gue takut terlalu berharap sekarang. Nunggu yang pasti-pasti aja."
"Do what you wanna do. Choose your own happiness. Work hard for it and you deserve it!"
"Aku sadar banyak peristiwa dalam hidup ini yang tidak bisa dimengerti bagaimana dan sejak kapan dimulai."
"Mungkin peristiwa kecil bisa membuat perubahan besar dan hidup tidak pernah lagi sama."
"Tuhan sudah merencanakan aku dan kamu bertemu di suatu waktu."
"Semua yang dimulai dengan buru-buru, hasilnya nggak baik."
"Namun, aku terlalu takut tidak ada takdir untuk kita berdua."
"Dan kembali terluka di tempat yang sama. Tapi apakah mungkin semua akan lain ketika orang itu berbeda?"
"Ada ekspresi kosong. Ada yang hilang dalam matanya. Ada sekelumit emosi yang ia pendam."
"Kami berdua terdiam, saling menunggu siapa yang mulai bicara."
"Apa kamu juga berasa senang?"
"Ada wajah yang tidak dikenalnya. Butuh kegigihan besar. Gigih meskipun terus ditolak dan disingkirkan menjauh."
"Ia juga tidak mengerti darimana ia mendapatkan kekuatan sebesar itu untuk membantu orang lain, sementara ia hanya mendapatkan sisanya."
"Tetapi, apakah bisa jatuh cinta tanpa rencana? Tanpa lebih dulu mengenalnya? Tanpa apa-apa jatuh begitu saja?"
"Tidak akan pernah dijawabnya. Ia tidak tahu yang sebenarnya menjadi harapannya."
"Aku hanya tahu dengan hadirnya laki-laki itu, detik itu juga hidupku berubah. Hidupku tidak pernah lagi sama."
"Dan pertanyaan terakhirnya seperti membangunkannya dari koma berkepanjangan."
"Aku yakin tidak mungkin. Aku merasakan itu karena hati ini sudah tertutup sejak dia tinggalkan."
"Aku tidak mungkin jatuh cinta lagi. Tidak, tidak akan pernah lagi."
"Aku terdiam, menatap punggung yang menjauh. Dingin, beku, terasa misterius."
"Membuka dirinya sama sulit dengan menyatukan puzzle yang telah berserakan. Satu demi satu. Teliti dan penuh kesabaran besar."
"Selama ini, aku bertekad tidak memulai hubungan dengan laki-laki manapun dan berhasil pada semua laki-laki yang aku temui."
"Tetapi kenapa dengan dia? Kenapa setiap kali berada di dekatnya aku selalu lupa pada tekadku?"
"Namun aku tidak ingin jatuh cinta. Tidak ingin.... Lagi."
"You don't know what it's like, to be like me."
"Segala keterbatasan ini membuatku takut."
"Sudah tahu kalau bermain api akan terbakar, lalu apa yang aku cari? Sudah tahu dia akan mendatangkan kesuliran, malah maju terus mengharapkan--mengharapkan apa?"
"Mimpi yang besar membuat kamu buta dan lupa."
"Tapi kita hidup harus punya mimpi. Punya goal!"
"Sama kayak lomba; ada garis start, ada garis finish. Mau cepat, mau lambat, pasti sampai di garis finish. Tapi itu bukan goalnya. Bagaimana bisa jadi pemenang itu baru goal!"
"Dan, akhirnya kalah?"
"Setidaknya kita sudah usaha. Kalah atau menang adalah hasil akhir. Penentuannya dari bagaimana kamu melakukan sebaik-baiknya."
"Tuhan membiarkan kita kalah supaya kita tahu dimana letak kita salah. Supaya kita belajar berbuat benar."
"Ada banyak kata-kata di dalam kepala, tetapi tidak semudah itu bicara."
"Aku mungkin bisa mengingkari perasaan tetapi tidak dengan tindakan. Action speak louder than words, right?"
"Nggak gampang buat seseorang melepas masa lalu dan aku akan berjuang sendirian--lagi."
"Aku merasa pertentangan. Antara rasio dan rasa. Antara pikiran dan perasaan. Antara berhenti atau mengikuti kata hati yang mencintai."
"Aku diam, belajar memahami. Aku tidak punya kemampuan untuk melawan keraguan."
"Cinta mengenai hati. Hal yang harus dilakukan hanyalah mengikuti kemana hati akan membawa. Kalaupun pura-pura tidak adam rasa itu akan tetap disana. Tidak mudah membuatnya pergi begitu saja. Dan aku tidak akan mundur karenanya."
ps : Favorit quote berdasarkan
"Menulis itu seperti bentukan hati, sepotong kisah, cerita penuh makna. Setiap kata punya arti dan setiap kalimat adalah emosi. Maka sampaikanlah keduanya dengan tanda yang benar, jangan kacaukan alurnya. Kalau perlu selipkan nada sebagai penghidupan dari sebuah karya sastra."
Senin, 20 Agustus 2012
Minggu, 19 Agustus 2012
Beautiful Mistake
Mencintaimu bukanlah sesuatu yang kuharapkan terjadi.
Aku tak ingin harapan datang lagi, berkunjung di hati, diam untuk beberapa waktu, lalu meninggalkanku dalam kesedihan berlipat-lipat. Aku tahu pasti ini kesalahan yang seharusnya tidak boleh terjadi.
Tapi kau hanya memelukku, tanpa suara. Menggenggam tanganku erat seolah tak ingin melepasnya lagi. Dan sebelum aku berhasil menyangkal cintamu lagi, aku menyadari kau meninggalkan sesuatu di tangaku. Sesuatu yang kukenali sebagai.... Harapan.
Dan kali ini, aku ingin menggenggamnya, memilikinya sekalipun seandainya itu salah.
Selasa, 14 Agustus 2012
Kamis, 09 Agustus 2012
All These Years, All These Memories, There Was You
Takdir kita sudah jelas. Kau dan aku tahu itu—
Bukan pada manik hijau di depannya ia
menatap, bukan pada kulit yang bersentuhan dengannya ia bercengkrama. Mungkin
satu sama lain di hadapan pada bagian yang tidak diinginkan sekali pun, tetapi
Molenvliet belia ini tidak punya pilihan lain selain menikmatinya—menikmati semua
kehancurannya. Kehilangan seseorang itu bukan hal yang mudah untuk
diterima.
Ada aksi ada reaksi, tidak ada gerakan
yang dilakukan Xylia selain mengikuti ritme gerakan pemudanya. Ia hanya
mengikuti—apa maunya si pemuda. Mungkin pemudanya lebih sakit dari bayangannya,
sedangkan dirinya hanya bisa menyediakan kebutuhannya saja. Lebih memeduli
setani rasa sakitnya, lebih ingin menikmati kesakitannya saat ini. Tidak ada
yang perlu disesali sesudahnya, tidak perlu ada yang dipermasalahkan
sesudahnya. Toh, mereka tengah berada dalam dunianya sendiri. Ada sarat tekanan
dalam helaan nafas setiap Jonah Julius, namun Xylia sadar. Sesadar-sadarnya dia
Cuma jadi baku pelampiasan saja, maka ia biarkan pemuda ini berlaku sesukanya.
Erangan, atau apa pun yang terucap dari bibir sang pemuda hanya diresponnya
dengan senyum lirih dan seringkali gadis ini menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia
bisa merasakan sentuhan demi sentuhan itu menggerayangi bagian-bagian tubuhnya.
Hatinya mungkin memekik, bukan bersama
pemuda inilah kegiatan seperti ini ingin dia lakukan, tetapi toh sudah tidak
ada gunanya berharap banyak. Tidak perlu menghancurkan diri pelan-pelan kan?
Atau setidaknya selama sarana pelampiasan sudah tersedia dengan sukarela kenapa
tidak dimanfaatkan dengan baik?
Xylia menunggu sampai pemuda ini
kelelahan, ia sendiri sudah mencapai puncaknya entah sejak kapan. Perlu waktu
yang cukup lama agar pemudanya tumbang, merebahkan dirinya sendiri di atas
dadanya. Xylia mengulurkan tangannya, menyibakkan beberapa helai rambut
pemudanya yang terjatuh di sekitar keningnya. Dengan gerakan perlahan, ia
bergerak mencoba mencari celana pemudanya yang entah berceceran
dimana—pemudanya butuh obat dan Xylia tahu dimana pemuda itu biasa menyimpan
obatnya—dia
kekasih yang baik bukan?
Gadis yang tengah bersimbah keringat
itu susah payah menggapai sebotol obat dan membuka tutupnya, mengambil satu
tablet kemudian memasukkannya pada mulut sang pemuda. Tangannya kemudian
terulur kembali pada puncak kepala sang pemuda. “Sakit banget ya? Duduk dulu
yuk…” Ada saat-saat tertentu gadis ini bisa menjadi sangat baik dan ada pula
saat-saa tertentu saat gadis ini bisa menjadi sangat jahat, tetapi kali ini
pada pemuda di hadapannya ia tidak bisa.
Setengah harapannya berteriak—kalaupun
ada pemuda yang dia inginkan untuk menyandarkan diri tak sekedar kepala, maka
hanya orang itulah yang ia harapkan. Bukan dia—bukan Jonah Julius.
It's Only After We've Lost Everything That We're Free To Do Anything
"Aku tak pernah dengar,"
ujar Jonah tak peduli lalu merangkul tubuh gadis berambut ikal gelap itu lalu
ia bersandar pada sandaran empuk sofa besar itu dan menarik tubuh si gadis
untuk turut bersandar di bahunya. "Tapi jelas ruangan ini sangat
berguna."
Untuk kau dan aku.
"Aku tidak merayumu," ia
berkata lagi, tertawa kecil ketika Xylia mencolek ujung hidungnya. Jonah lalu
mendekatkan wajahnya ke wajah si gadis, memberinya kecupan di keningnya lalu ke
hidungnya. "Aku mengucapkan kenyataan," lalu dikecupnya kedua pipi
gadis itu bergantian sementara kedua tangan pemuda itu mengeratkan rangkulannya
menjadi sebuah pelukan. Aroma tubuh Xylia yang lembut namun berani itu
menggelitik hidungnya ketika ia menciumi leher gadis itu pelan. Ia menjauhkan
kepalanya kemudian untuk menatap mata Xylia dan tersenyum.
"Bagaimana kalau kita
pacaran?" tanyanya serius. "Aku suka kau. Kau suka aku. Apa lagi yang
kurang?"
Tidak, ia belum lupa pada cinta
sejatinya.
Tanpa menunggu jawaban, Jonah membelai
pipi Xylia yang halus. Kulit gadis itu seperti kulit bayi. Begitu kenyal dan
sangat terawat. Sifat gadis itu yang selalu menerima perlakuannya membuat ia
merasa jauh lebih mudah mengabaikan perasaannya pada seseorang. Dengan
adanya Xylia, orang-orang akan tahu bahwa ia baik-baik saja setelah kejadian di
Yule Ball tahun lalu. Ia seorang Gryffindor yang pemberani. Tidak akan kalah
oleh sesuatu yang bernama cinta. Ia penakluk wanita. Wajah yang tampan adalah
hadiah yang diberikan Tuhan untuknya.
Ia akan berdosa kalau tidak
memanfaatkannya, kan?
"If your answer
is yes," gumamnya
sembari menyusuri wajah gadis itu dengan ujung hidungnya,"kiss
me."
I Was Different Person Then
Itu karena pertemuan di danau—
Salahkan gurita yang membuatnya jadi
seperti ini. Kenapa gurita? Karena gara-gara dia jalan-jalan di danau dan
ikut-ikutan bicara gurita jadi terjerat sama gurita itu sendiri. Guritanya ya
dia ini, lelaki asal asrama Gryffindor dengan surai pirang
kecokelatan (dan lagi-lagi pirang dan kenapa harus pirang?) yang sedang
menggandeng tangannya. Molenvliet tunggal ini hanya bisa menatap datar pemuda
di sampingnya. Pemuda yang tempo hari sempat bercakap-cakap dengannya. Xylia
mengakui kalau untuk ukuran lelaki—dia—lelaki dengan surai pirang
kecokelatan itu termasuk lelaki yang terbuka, walau tidak sepenuhnya
terbuka.
Dari hanya sekedar pembicaraan ringan
sampai yang berat sampai pada masalah yang mereka sendiri—kesepian—masih
tidak tahu jalan keluar yang terbaiknya apa. Salahkan persamaan nasib yang
membuat mereka menjadi dekat dengan menautkan jemari satu sama lain dan berada
di depan sebuah pintu. Pintu yang ada dengan sendirinya. Koridor yang nampak
lengang membuat gadis ini mengerti tujuan sang lelaki. Xylia Lotus tidak
sebodoh yang dikira untuk urusan yang seperti ini dan tidak perlu
disembunyikan. Trayek favoritnya memang.
Dia tahu lelaki yang kesepian pasti
seperti ini. Dia sendiri cukup paham, “Mungkin ini ruang kebutuhan. Pernah
dengar? Pintu ini muncul saat kita butuhkan.” Mungkin salah satu dari mereka
memang membutuhkan sebuah ruangan. Akhir-akhir ini Xylia dengan pemuda yang ia
ketahui bernama Jonah memang terlihat akrab. Tidak ada rasa canggung saat Jonah
menggandeng tangannya, membawanya masuk ke dalam sebuah ruangan. Xylia lebih
terlihat tenang, pikirnya sudah biasa menghadapi situasi seperti ini. Duduk di
sebuah sofa. Kedua manik cokelatnya membalas tatapan pemuda Julius itu,
tersenyum kecut tanpa memalingkan wajah.
“Kau merayuku, huh?”
gadis bertitel Molenvliet itu mencolek hidung sang pemuda dan tertawa kecil.
Ia membiarkan pemuda ini berlaku
sesukanya, menatapnya, menciumnya atau apa pun sesuka hatinya. Ia membiarkan
dirinya untuk saat ini saja hanya untuk pemuda di sampingnya. Untuk hari ini
saja, ia ingin lupa diri sejenak.
Rabu, 08 Agustus 2012
Everything happened for a reason
Everything happened for a reason—
Segala yang mengalir pasti punya
alasan tertentu, baik yang menjalankan mau pun yang dijalankan. Pemuda bungsu
ini berdiri tegap, ia mengerti. Sangat mengerti arti kehilangan seseorang,
membuatnya lebih mudah mencerna betapa berartinya seseorang untuk dilepaskan.
Mengerti bahwa melepaskan seseorang berarti siap melepaskan semua pertahanan
diri, mengukuhkan apa yang selama ini bersikeras ia jaga. Kedua lengannya sudah
tidak mampu untuk melingkari batas yang ia ciptakan dengan sendirinya. Liang
yang nyaman untuk dirinya sendiri, hempas sudah oleh setitik rasa yang
membuatnya miris. Keterdiaman seseorang terkadang adalah sebuah jawaban, namun
diam itu ambigu. Atau memang dirinya saja yang menganggap semua itu saru?
Kalimat menggantung seseorang masih teringat dengan jelas, setiap garis kontur
wajahnya menyayat setiap memori yang berputar di kepalanya. Tuhan,
tidak untuk sekarang ini ia benar-benar menghabiskan pertahanan dirinya.
Setidaknya berikan pemuda ini jeda waktu untuk bisa mengisi sepetak
keputusasaannya. Sedikit ruang untuk sebuah ketenangan yang selalu berkecamuk
di dalam dadanya.
Bahwa permintaan maaf dari seorang
Rainyvow mampu membuatnya tidak tidur semalaman, semenjak pertemuannya di
menara, mampu menembus rasa bersalahnya yang paling dalam—rasa bersalah karena
terlalu banyak berharap pada gadisnya. Rasa bersalah yang kian hari kian menusuknya,
Ian tidak suka. Tidak pernah suka dengan rasa yang baru ini timbul—lebih sakit
dari yang sebelumnya.
Ia mengerti bahwa suatu saat cinta itu
akan pergi, menyisakan satu penyesalan karena ia tidak cukup sigap untuk
menahannya untuk tetap di sini, bersamanya. Mungkin, dirinya adalah orang yang
tepat—bukan tetapi
Rainyvow lah orang yang tepat namun datang di waktu yang salah, atau kedua
memang kesalahan Tuhan yang didatangkan pada waktu yang kurang tepat? Tidak ada
garis yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya kini adalah salah,
tetapi satu yang pasti Tuhan seperti memberinya isyarat bahwa ia belajar,
belajar memahami betapa berartinya seseorang, belajar bagaimana ia menyayangi
seseorang tulus tanpa meminta timbal baliknya. Pertemuannya di musim dingin, di
menara, dengan gadis yang menjadi satu-satunya harapan, namun sekaligus yang
menghancurkannya ternyata mampu membuat pemuda kurus ini mengerti untuk satu
hal yang ia tahu adalah semua orang pernah merasakan kehilangan dari yang tidak
berarti sampai yang berarti sekali pun.
Bahkan saat ia masih kecil untuk
mengerti sebuah arti kehilangan, yang ia tahu, ia hanya ingin merasa
lega.
Favian, seorang pemuda tanggung
berusia lima belas tahun menarik sudut bibirnya, ketika sebuah jari menempel
pada lapis bibirnya. Ia tahu gadis di depannya bukan hanya sekedar seorang
gadis yang sudah memberinya tumpangan berupa ketenangan pada bahunya, tetapi
gadis ini bisa menenangkannya tanpa syarat. Ada sarat yang seharusnya tak bisa
ia jelaskan ketika dua mata mereka bertemu, kedua bening cokelat yang sama-sama
tahu artinya kesepian—tidak, bahkan lebih dari itu. Sesuatu tak mengalihkannya
ketika sebuah kecupan manis mendarat pada pipinya.
Meninggalkan seberkas noda merah muda
pada kedua pipinya, “Terima kasih untuk menenangkan ku, Lysa…”
Tangannya kembali terulur, menggapai
puncak kepala gadisnya dengan satu tarikan yang kemudian merapatkan sebuah
ruang kosong menjadi berisi. “Omong-omong, tadi kau menciumku, apa tidak ada
yang marah? Oh baiklah, wajahmu merah sekali.”
There's nothing worse than this!
Karena hidup seperti permainan sepak bola, kita tidak akan tahu
kapan kita akan menang atau kalah—waktu sebuah permainan sedang berjalan sangat
baik, bisa saja di detik terakhir pihak lawan lah yang mencetak gol.
Ironinya kehidupan memang tak bisa ada
yang menebak, bagaimana hidup akan berjalan seperti aliran sungai—bisa saja
tenang, mengikuti arus namun berujung pada sebuah air terjun yang sangat curam.
Butuh waktu yang lama bagi Ian untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, untuk tidak
menyalahkan Tuhan yang sudah memberinya begitu banyak ujian perasaan. Butuh
waktu yang lama untuk seorang pemuda belia sepertinya agar bisa percaya kalau
ia bisa bahagia terlepas dari semua beban yang menggelayut setia di dalam
hatinya. Ian percaya ia tidak akan memiliki hujan selamanya, atau kemarau.
Karena hidup tak akan seimbang jika hanya merasakan salah satu dari
keduanya.
Ian semakin mempererat pelukannya,
mungkin gadis ini hampir sulit bernafas. Tetapi ia harus mengakui, daripada ia
melakukan sesuatu yang di luar logika serta rasionalitas terlebih karena yang
berada dalam pelukannya itu berjenis kelamin perempuan, maka lebih baik ia
mendekapnya erat. Menghancurkan sendiri apa yang sudah menjadi konsekuensi
kesakitannya. Meski Ian tahu ukuran tubuh gadis ini terlalu kecil untuk
menghapus semuanya, namun bisa ia singkirkan dengan sebuah rasa yang ia
hadirkan begitu saja. untuk sebuah kesempatan yang gadis ini berikan secara
Cuma-Cuma kepada dirinya, kesempatan untuk bisa meluruhkan sakitnya, kesempatan
untuk bisa menangis sepuasnya meski ia tahu ini tidak pantas dikerjakan untuk
seorang lelaki. Tanpa isakan, tanpa bahu yang berguncang—Ian merengkuh gadis
ini kuat-kuat. Nyeri di dadanya yang semula semakin menguat, untuk waktu yang
lama sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hanya wujud keputusasaan yang
berwujud pada matanya yang terpejam.
Airmata, tangis, permohonan untuk
tinggal, luka dan keputusasaan. Tidak satupun bisa menyentuh.
Karena memang tembok yang sudah
tercipta lebih kokoh dibanding karang es di kutub utara. Bahkan rupanya
sosoknya hanya berupa fatamorgana yang berada di jarak yang sama hanya saja Ian
tidak akan bisa meraihnya—tidak akan pernah seutuhnya. Dibuatnya Ian oleh rasa
yang sederhana, seperti orang yang mencari delusi dalam dunianya.
Suara kecil dalam rengkuhannya, dalam
sebuah lingkaran terdekatnya tidak bisa ia dengar dengan jelas. Masih
disibukkan oleh penyembuhan diri yang walau tak bisa secara total dan tidak
bisa saat itu juga. Pun ketika pertahanan dirinya benar-benar luluh lantak
ketika sepasang Kristal cokelat itu menatapnya—tatapan kecemasan yang tidak
ingin dia lihat. Sementara ia ingin menarik sudut bibirnya untuk tersenyum
dengan dalih mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya baik-baik saja,
tidak perlu ada yang dikhawatirkan sebagaimana mestinya. Tetapi Ian mengaku
kalah dengan egonya yang masih mendominasi rasa sakitnya.
Tanpa sempat dicegah, tanpa sempat
mengucapkan beberapa patah kata, jari-jari lentik gadisnya sudah lebih dulu
sampai pada permukaan kulitnya. Menghapus jejak-jejak airmata yang
berbekas.
“Aku… tidak apa-apa…” Ian
mengucapkannya dengan suara terbata-bata seakan kesadarannya menghilang, “Aku…
baik-baik saja… ya kan?” sepenggal demi sepenggal kalimat meluncur dari
bibirnya. Kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman, “Payah, aku menangis…” disambut
tertawa kecil yang samar, seperti ia bicara sendiri pada pantulan semu
dirinya.
Tubuhnya yang sedikit ia condongkan
akibat ulahnya memeluk sang gadis kembali ia tegapkan, ia tahu dalam hatinya ia
tidak akan bisa seperti ini. Ia tahu tatapan gadis itu sarat akan ketakutan,
sarat akan sesuatu yang Ian pun tidak mengerti. “Maaf ya, bahumu jadi basah.”
Ian menangkupkan kedua tangannya di depan dada, bermaksud meminta maaf karena
telah meneteskan airmata sembarangan. Namun di sela-sela sunyi yang bergema, ia
sudah merasa tenang sedikit—setidaknya untuk sekarang. Ian
tersenyum, menganggukkan kepalanya.
Merentangkan lengannnya dan kembali
meraih sang gadis dalam rengkuhannya. Tangan kanannya mengusap lembut puncak
kepala gadisnya. "Terima kasih untuk satu pelukan yang menenangkan,
Lysa." Entah harus berapa banyak terima kasih yang Ian ucapkan pada gadis
kecil dalam pelukannya; yang dengan sangat baik mau menjadi tempat bersandar
seorang Favian.
I've feeling us two even separated
Harus kamu tahu bahwa suatu saat kebersamaan itu akan berakhir,
dengan atau tanpa penyataan sekali pun—
Benih-benih rasa yang sama sekali tidak
bisa ia toleransi, bersamaan dengan segala keputusasaan yang setiap detiknya
menerjang tubuhnya, menjadikan lelaki tanggung berusia lima belas tahun ini
berdiri telanjang. Transparan dan apa adanya. Ia biarkan seseorang melihat
lukanya, ia biarkan seseorang mengamati dengan jelas bagaimana sayatan itu
terdapat di tubuhnya—hatinya mendingin. Ada banyak hal yang ingin ia
ingkari, ada banyak hal yang menyuruhnya untuk berlari—pada sebuah lorong kecil
yang disangga dengan lukisan abu-abu pualam yang sunyi. Baginya kesunyian yang
lama menyiksanya, berusaha ia enyahkan walau harus dengan sisa-sisa kekuatannya
sendiri. Tergantung dengan segala harapan yang membawanya naik pada nirwana
tertinggi, dengan episode paling akhir adalah bunyi berdebam tanda bunuh diri.
Ian ingin marah, ingin menangis. Tetapi sebuah bisikan membuatnya menutup sang
kelopak, di lain sisi suara imajiner menyuruhnya untuk menangis.
Sekali lagi menatap gadis di depannya—
Meski dengan seribu maaf Ian ingin
katakan kalau ia sangat berdosa telah menyamakan gadis ini dengan seseorang
yang ia sayang sekaligus seseorang yang mematikan dirinya sendiri. Dengan ekor
matanya, dengan sisa-sisa pendengarannya, Ian menyajikan selengkung senyuman
samar. Kedua matanya menutup, bukankah ini yang memang seharusnya ia lakukan?
Bukankah ini memang sudah waktunya untuk melepaskan? Mengikhlaskan bukanlah
sesuatu yang buruk untuk apa yang ingin kita gapai dan miliki. Meski
sulit—sangat sulit melakukan satu hal yang terdengar sepele. Dalam imajinya,
menyeret pada sang waktu yang kian mengingatkannya pada sesosok gadis waktu
lalu.
Jembatan dengan segala tawa,
kegugupan, senyuman, perlakuan—
Ruang Rekreasi dengan segala kesal,
sedih, marah, amukan, pusara putus asa—
Menara dengan segala kehancuran,
kepastian yang membuatnya benar-benar harus merelakan—
Darimana pun datangnya cinta, torehan
pertamanya memang selalu menyakitkan. Tidak peduli pada siapa, dan status apa
yang disandang oleh orang itu. Gerak bibir gadis di sebelahnya hanya terlihat
samar, tidak terdengar satu kata pun karena Ian membekukan telinganya.
Kewarasannya sudah mencapai ambang batas. Tanpa bisa dicegah, kedua lengannya
terulur, menghabiskan jarak yang ada dalam satu kali dekapan. Ia berusaha
mengenyahkan, menghilangkan atau bahkan menghancurkan kenangan yang ada. Di
setiap detail yang penuh tawa, tangisan, bahkan nyanyian. Di setiap detail yang
penuh dengan goresan, sakit dan teriakan putus asa. Kini hanya pada gadis dalam
pelukannya, ia memohon untuk bisa melenyapkan barang sedikit saja sakit yang
ditorehkan. Hanya pada hati yang menginginkan kehidupan ia perjuangkan.
Dalam satu pelukan, tubuh pemuda ini
meluruh, melemah. Ia merasa kekuatannya untuk sekedar bertumpu pada kedua
tungkainya sudah habis.
Seluruh anatominya berteriak—teriakan
yang ia redam karena justru teriakan itulah yang paling menyakitkan. Kemarahan,
putus asa, mewujud dalam bening air mata yang mengalir pada kedua pipinya—Ian menangis.
Sudah sejak lama ia ingin menangis, tapi ia harus mati-matian menahan diri
untuk tidak melakukan sesuatu yang dilakukan oleh seorang perempuan. Dadanya
sesak, gemuruh yang kali ini benar-benar membuatnya terguncang tanpa suara
isakan. Pada sebuah kepala mungil dalam dekapannya, Ian menjatuhkan tetes demi
tetes air matanya. Lelaki menangis bukan karena dia seorang wanita, karena dia
sudah terlalu lelah menghadapi permasalahan ini dengan sikap tegarnya, sikap
tegar yang seolah-olah kuat. Ia biarkan pertahanan dirinya hancur berkeping-keping,
Ia biarkan gadis dalam dekapannya melihat kerapuhannya, merasakan apa yang
sebenarnya pemuda ini rasakan. Hanya dengan begini, hanya dengan cara seperti
ini Ian tenang, hanya dengan cara ini ia bisa melenyapkan—kenangan serta
perasaan yang pernah menyakitinya.
These Feelings Will Reach You
Baginya dua orang lebih baik dari satu; sama dengan satu dialog
lebih baik daripada dua monolog, kan?
Pemuda kurus jangkung itu menegapkan tubuhnya, kini tak lagi
bersandar pada bahu pualam yang menyangganya beberapa moment yang lalu. Yang
terputar pada imaji nyatanya adalah saat ini ia sedang berdialog dengan seorang
gadis kecil. Ian melepas tawa, melupakan sebagian apa yang tidak ingin dia
ingat. Dia tahu kalau dia hanya berlari. Salah siapa kalau dia tidak kuat
menanggung masalahnya? Toh kalau ia mengingat itu, denyut nyeri di dalam
nadinya sepertinya mulai menguat. Sayangnya Ian masih cukup sadar bahwa kesakitannya
tak akan ditengok barang satu tolehan pun ia meminta. Bahkan ketika mungkin
pemuda ini mengiba pada gadis yang menorehkannya—berat.
Kalau saja ia boleh meminta untuk sesuatu yang tak bisa diubah—ia
akan meminta bahwa lebih baik tidak perlu melihat gadis itu atau setidaknya
jangan bertemu dengannya bahkan untuk lebih dari sekedar kenal. Karena ia tahu,
seperti apa pun ia berusaha untuk bisa lebih dari yang dikatakan sebagai teman—tidak akan
bisa. Tidak ada benih yang menyatakan status seperti itu di
antara mereka. Mungkin ini sudah saatnya Ian berhenti—berhenti memikirkan
seseorang yang tidak memikirkannya, tidak menoleh padanya. Ia tidak tahu apakah
ada cara lain selain melupakan dan melepaskan. Kalaupun ada seperti apa? Ia
sudah mencari hingga kepalanya nyeri sendiri. Berputar-putar memikirkan cara
yang pantas untuk mengenyahkan apa yang selama ini ia rasakan pada seorang
gadis yang ternyata hanya berupa fatamorgana. Namun tak ditemukan cara lain
selain melepaskan—mengikhlaskan. Hanya ini cara satu-satunya agar keduanya
tetap tenang dan tetap menjalin hubungan baik sebagai teman—tidak lebih.
Ian menoleh pada gadis kecil bernama Hanks yang mengubah tema
obrolan mereka menjadi kekanakan, sifat ambegan yang ia tunjukkan dengan
caranya yang ketus seperti mengingatkan—seharusnya sudah dilupakan. Sulit
untuk melupakan kenangan yang tersimpan rapi di dalam benak apalagi kenangan
itu bersemayam layaknya mayat yang diawetkan—ironi.
Pemuda dengan bening cokelat itu memerhatikan setiap gesture gadis
yang memiliki iris sama dengannya. Bagaimana gadis itu bicara, baik dengan nada
manja, ketus atau sadis sekalipun. Mengeluarkan tawa besar tanpa ada suara
hingga bahunya berguncang adalah hal yang mudah—untuk merasa nyaman pada setiap
aura yang diberikan Hanks muda. Tatapnya melembut ketika tingkah Hanks berubah
menjadi pelawak tingkat atas. Tak sangka gadis ini bisa sebegitu lucunya,
membagi lelucon meski untuk menghiburnya sedikit dan tidak menyeluruh. Ukuran
tubuhnya yang menyusut mungkin terlihat mencolok. Ian hanya membentuk sabit di
bibirnya. “Badanku kurus banget memangnya? Padahal makanku banyak, sekarang.”
Iya sekarang, setelah didera patah hati yang luar binasa. Ian mengelus-elus
perutnya yang rata, di beberapa bagian bisa ia rasakan tulang rusuknya sedikit
menonjol. Mungkin benar tubuhnya sudah kurus kering.
“Kismisnya buatku saja, sini.” Ian menengadahkan tangannya.
Tak lama tertawa oleh guyonan yang dilemparkan Hanks, kedua
irisnya menangkap setiap detail penampilan Hanks. Meski sepintas mirip, hanya
di bagian cokelatnya saja selebihnya berbeda, Ian ingin sekali menggapai gadis
di depannya, tetapi mengingat ia sudah dicap embel-embel sebuah nama—urung.
Pemuda itu menghela nafasnya berat, ada sakit yang tak terucap di sana.
“Aku… seleraku?” Ian menyatukan kedua alisnya, menggeleng lemah
seraya tersenyum tipis, “aku tidak pernah mematok selera khusus untuk seorang
gadis, Lysa. Harus kautahu itu…” lagi-lagi ia membelai surai cokelat milik
gadis di depannya.
Hening—satu ketenangan yang menohoknya. Dia pernah berada dalam
ketenangan yang sama, kesunyian yang sama, kesenyapan yang nyaris membuatnya
memutar ulang memori yang kini seolah menjadi rentetan sebuah kilas balik.
Jantungnya bergemuruh, semua rasa yang ia biarkan tidur beberapa waktu yang
lalu, terpaksa bangkit kembali. Ian menemukan pada pantulan bola cokelat itu
ada sesuatu yang menyedihkan—wajahnya. Sebuah wajah yang mengiba,
meminta bahagia pada Tuhan. Apa pun bahagia yang diberikan oleh Tuhan, walau
tanpa alasan. Ian bersikeras untuk tetap menemukan wajah yang membuatnya tak
berkompromi dengan jarak, waktu bahkan hati dan pikiran. Tidak ada satu pun
yang bisa menjelaskan dimana wajah itu berada, hanya hening yang menguasai
keadaan.
Maniknya mengerjap begitu gadis di depannya menolehkan kepala,
sedang Ian membuka celah pada kedua bibirnya.
“Boleh Ian peluk Lysa?” suaranya seperti memantul dan seperti ia
bicara sendiri dengan tembok pualam, “sebentar saja…” pintanya lirih. Sebentar
saja, hanya untuk menghilangkan nyeri di dadanya.
Langganan:
Postingan (Atom)