________OO_________
Pernikahan.
Sulit baginya untuk percaya
kalau saat ini—saat matahari mengintip dari tirai di kamarnya dan ketika ia
menoleh di sisinya ada seorang perempuan yang begitu didambakannya, seorang
perempuan yang terlalu sempurna untuk mengatakan janji hidup bersamanya.
Seorang perempuan yang menjadi tempat bersandarnya sejak ia kehilangan arah
sejak ia putus asa dengan berbagai komitmen di masa keemasannya. Ia tak meragukan
barangkali Tuhan tahu apa yang dibutuhkannya pun ia menginginkannya dalam waktu
yang lama. Ya, takdir angkat bicara dengan senang hati memeluk keduanya dalam
ikrar dan sumpah, pernikahan.
Lucu 'kan?
Perjalanan Jacques Kant
mencari cintanya bisa dibilang sedikit lucu. Ia dikenal sebagai petualang,
seorang yang tak bisa tidak memiliki kehidupan dan travelling. Hobinya adalah
melakukan perjalanan dan memerhatikan kebiasaan-kebiasaan kecil orang lain.
Seringkali ia mengorbankan banyak waktunya hanya untuk melakukan perjalanan;
perjalanan ke negeri-negeri seberang demi memenuhi egonya seorang diri
meninggalkan profesinya sebagai seorang guru dan meninggalkan anak-anak
didiknya hanya agar ia memperkaya dirinya sendiri. Kant termasuk egois.
Tidak hanya sekali dua kali
pada perjalanannya ia merasa tertarik dengan beberapa perempuan. Di setiap
belahan dunia, setiap negara selalu ada wanita-wanita yang menggodanya. Paras
yang cantik, setipe dengan barbie, lekuk tubuh yang sempurna dan kulit seputih
porselen serta sehalus kain satin. Ia sudah terbiasa dengan lusinan wanita
sempurna seperti itu. Maka ia tidak merasa gugup sama sekali ketika melihat
beberapa perempuan mendekatinya menyatakan kalau dirinya tertarik karena dalam
satu malam ia bisa menghabiskan tiga jenis perempuan berbeda hanya untuk
menemaninya bicara tentang apa yang mereka lakukan seharian, dua hari yang lalu
sampai sebelum mereka menjadi dewasa. Apapun bisa ia bicarakan tanpa mengatakan
barisan mana hal tabu dan mana hal yang pantas. Kant bukan seorang playboy
kelas kakap ia hanya menyambangi wanita-wanita untuk penelitian, singkatnya
hidupnya dipenuhi penelitian.
Sendiri—klise—kebiasaan kuno.
Dari sekian banyak perempuan paling hanya satu atau dua saja yang hinggap.
Selebihnya dibiarkan begitu saja dan mereka yang sudah tahu seluk beluk Kant
seperti apa atau paling tidak tahu tabiat kecil pemuda ini (termasuk yang
buruk) pasti akan memilih pergi dan beberapa tidak hanya bertahan lama hanya
satu atau dua bulan, setelahnya entah lari kemana. Kant merasa dalam situasi
ini dirinya cenderung dipersalahkan secara total. Ia cenderung mengeruk
keegoisan bagi dirinya sendiri. Satu yang paling ia ingat adalah ketika ia
jatuh cinta pada muridnya sendiri.
Ini bukan mimpi, kenyataannya
memang seperti itu.
Dulu, ia lupa nama desanya.
Ketika ia tengah berkunjung ke salah satu desa untuk menghabiskan masa
liburannya sampai Salem membuka gerbangnya kembali ia memutuskan untuk pergi ke
salah satu desa dan melakukan penelitian disana sekaligus melakukan kunjungan
kepada kakaknya yang baru saja melahirkan anak pertamanya. Sore hari ia
duduk-duduk di bangku halaman kuil membaca kisah klasik tentang pelaut dan
romansa ombak yang memabukkan. Kala itu seseorang mendatanginya, ia kenal betul
perempuan itu. Perempuan cerdas, terhormat dan garis keturunannya tidak
diragukan. Ia kenal baik akan dedikasinya yang tinggi dan rasa disiplin serta
percaya diri yang melampaui batas, gadis itu Agatha Thompson. Kant tidak
munafik, lelaki kelahiran musim semi ini sama sekali tidak menampik kalau
pertemuan itu mengundang hal yang tak biasa, menciptakan benih-benih konyol
yang ia sebut rasa cinta. Mereka hanya bicara singkat dengan pertemuan intens
setiap sore selama dua minggu dan berlanjut hingga berkirim surat sampai
rentang waktu 2 bulan.
2 bulan, pada umurnya yang
tidak lagi muda. Ia mulai mencari kebenaran akan keduanya, Kant mencoba
menanyakan hal yang biasa ia tanya kepada gadis lain setelah perkenalannya
dirasa cukup. Namun sekiranya seminggu sebelum pertanyaannya sampai tiba-tiba
saja keturunan Thompson tidak lagi mengirimkannya surat, berhenti memberi kabar
padanya. Kant menunggu, ia memberi waktu pada dirinya sendiri selama 3 hari,
kemudian seminggu, kemudian sebulan dan ia mulai lelah dengan permainan hati
yang tak sampai. Sejak itulah ia memutuskan untuk tidak lagi membuka hatinya
agar tidak merasakan kecewa yang kesekian kalinya.
Meski terlihat baik-baik saja
tetapi Lee tahu kalau sahabatnya tidak akan pernah baik-baik saja. Maka sewaktu
malam berakhirnya keputusan bahwa ia dan Agatha menyudahi segala hubungan
mereka, ia mendapat wejangan istimewa kalau mungkin saja orang yang selama ini
dicarinya ternyata berada di sekitarnya, mungkin saja Tuhan sedang menyiapkan
seseorang yang terbaik untuk Kant dan sebentar lagi pasti akan menemukannya.
Ini lucu baginya wejangan itu hanyalah sebuah dakwah tanpa pembuktian,
irrasional. Ia bisa gila secara sepihak, kau tahu. Menyebalkan ketika menerima
sebuah kabar langsung dari pemiliknya kalau ia kini benar-benar menyedihkan. Membujang
sendirian, menderita. Lee telah melamar pujaan hatinya Hyun Na yang selalu ia
puja setiap detik, setiap mau makan, mau mandi bahkan mau buang air kecil.
Menjijikan, tahu. Lee bisa mendadak puitis seperti orang tolol kalau sudah
bicara tentang Hyun Na, dia sering nyanyi-nyanyi sendiri, sering tertawa
sendiri bahkan nyengir sendiri sampai giginya kering. Kant sering bergidik
ngeri kalau ketika ia tiba di ruang guru melihat Lee sedang mengelus-elus
kaktus dan menatap durinya penuh cinta seakan duri-durinya adalah bulu mata
Hyun Na atau lebih anggunnya bulu kaki Hyun Na.
Cinta itu segalanya, kata Lee.
Tahu apa si idiot yang satu itu?
Cinta itu buta, ya memang.
Cinta itu...... Penderitaan.
Yang berbuah manis pada waktunya.
God, damn!
Kau tahu karma? Dia
mendapatkannya. Ya ya ya, Kant tahu kalau dirinya baru saja mendapatkan hukuman
akibat ulahnya sendiri. Menyepelekan perasaannya. Hah, tak ada untungnya
mendapatkan hati yang telah tiada. Masih untung ia diberikan karir yang
gemilang. Sejak keputusan terakhir menutup kehidupan hatinya ia jadi lebih
berhati-hati dengan perempuan manapun dan itu membuat gerah sahabat karibnya
sendiri. Barangkali ia akan mendapat hidayah dari Tuhan.
Lucu sekali.
Pada kenyataannya, tak
selamanya manusia sendiri dan tak selamanya ia merasa sakit 'kan?
Pada akhirnya Tuhan akan
memberikan ia kebahagiaan sama seperti yang Lee rasakan. Bukan berarti ia tidak
merasa iri ketika Lee menceritakan kehidupan pernikahannya, bagaimana
malam-malam yang ia lalui bersama Hyun Na, bagaimana setiap pagi selalu ada
yang membuatkannya kopi dan menyapanya ketika usai bertugas. Sial, itu semakin
membuatnya pusing. Racauan Lee seperti dosa yang tidak akan pernah diampuni.
Kant mati-matian menahan agar ia tidak meratapi setiap dongeng selamat tidur
dari Lee dan berharap keesokannya ia masih bisa melihat Lee karena ia bisa saja
berbuat brutal dengan mencekik sahabatnya yang satu itu.
Ah tapi itu cerita lalu toh
sekarang saat ini seseorang tengah terbaring manis di sebelahnya, seseorang
yang telah melewatkan satu malam paling manis bersamanya dan bersedia menerima
kehidupannya dari awal hingga detik hari ini. Ariabelle Kant, namanya resmi
berubah sejak upacara sakral keduanya kemarin. Gadis itu meringkuk dalam
pelukannya, Kant sudah sejak lima belas menit yang lalu hanya diam menatap
berlian paginya. Mengusap epidermis pipi pasangan hidupnya dan tidak membiarkan
gadis itu terbangun hingga ia memutuskan untuk membuatkan sarapan.
Ia memiliki kebiasaan yang
berbeda, Belle selalu mengantarkan makan malamnya dulu sewaktu mereka belum
menjadi pasangan seperti ini, kali ini biar ia yang melakukan hal manis itu
pada pasangan barunya. Memasak adalah salah satu keahliannya, ia cukup lama
tinggal menyendiri di belahan dunia manapun. Jadi tidak diragukan lagi kalau ia
pandai memasak untuk dirinya sendiri meski hanya membuatkan pancake saja dan
menghidangkannya di atas meja. Merasa kurang maka ia menaruhnya pada meja kecil
dan menatanya semanis mungkin. Ia ingin memperlakukan Belle seperti gadis
normal lainnya tanpa menggunakan embel-embel penyihir. Tidak lupa 'kan kalau ia
seorang Profesor yang mengajar Telaah Muggle. Maka ia menyusuri lorong rumahnya
yang tidak jauh dari ruang tidurnya di desa Sallowsville, membuka pintunya dan
membangunkan Ratunya dengan kecupan ringan di kening.
"Selamat pagi..."
Mata itu terbuka perlahan,
tangan kecil itu teraih untuk mengucek mata. Kantuk masih tersisa tetapi Kant
menaruh meja kecil itu di atas kaki Belle yang terbalut selimut dan wanita yang
paling disayanginya setelah sang ibu memekik terkejut. Ia meraih Kant dalam
pelukannya dan mencium pelipis lelakinya.
"Manis sekali, terima
kasih." Belle menyiapkan alat makannya, memotong pancakenya menjadi
potongan kecil-kecil dan mulai melahapnya.
"Enak?"
"Enak, kau yang membuatnya
sendiri?"
"Ya, baguslah. Makan
yang banyak, aku harus bersiap-siap dulu."
Belle mengerutkan keningnya,
"Mau kemana?"
"Bekerja. Aku mendapat
panggilan lagi untuk menyelesaikan satu laporan dari Kementrian." Ia
mencoba tersenyum sebagai hiburan.
Mungkin, Belle ingin Kant
tetap disini, sayangnya ia bukan tipikal pemaksa.
"Hng, ya sudah tidak
apa-apa." Ia kembali melanjutkan makan tanpa melupakan langkah Kant yang
menjauh dan mulai sibuk dengan pikirannya sendiri.
***
Kembali membagi waktu untuk
pekerjaan yang menumpuk. Kementrian seringkali tidak mau tahu apa yang
dilakukan oleh pegawainya, padahal ia termasuk orang sipil. Seorang guru dengan
gaji tak seberapa tapi Kementrian sering menjadikannya sebagai aset berharga.
Tidak percaya? Memang selama ini ia bisa melakukan perjalanan darimana uangnya?
Mengemis? Kant selalu mendapat asupan dana dari tempatnya bekerja, penelitian
lelaki keturunan Jepang ini sangat berharga. Meneliti tingkah laku manusia,
tata cara mereka hidup dan rahasia apa yang membuat muggle bertahan hidup tanpa
sihir dan bagaimana cara penyihir berinteraksi dengan muggle. Banyak penelitian
yang dikeluarkan Kant dan mendapat apresiasi berharga dari Kementrian.
Terkadang ia harus rela dua puluh empat jam penuh bekerja tanpa peduli hal-hal
kecil lain, makan misalnya atau ke gereja pun ketika dirinya berada di Salem.
Kementrian tetap memintanya meneliti kehidupan muggle.
"Pagi, Tuan Kant."
"Ya, pagi."
"Selamat atas
pernikahannya."
"Terima kasih."
Boleh ia menyebut ini sebuah
kejutan kecil? Setiap orang yang ditemuinya sepanjang lorong Kementrian
mengucapkan selamat padanya. Kant geleng-geleng kepala pun yang membuatnya
benar-benar tidak habis pikir, ada sekitar empat karangan bunga yang mampir di
dalam ruang kerjanya berikut dengan ucapan selamat atas hari pernikahan. Tanpa
basa-basi dan beramah-tamah akan kehidupan pribadinya, Kant memposisikan untuk
menaruh bokongnya dan segera berkutat dengan berkas-berkas yang menunggu untuk
dibaca. Di ruang yang besarnya mencapai 8meter x 8meter ia duduk seorang diri
dengan tumpukan berkas-berkas. Terlalu larut hingga tidak menyadari kedatangan
seseorang yang membawa tumpukan berkas lain dengan senyum sumringah.
Kant mendongak, kejutan
kecil. Pemuda Sullivan sudah berdiri di depannya.
"Oh kau, ada apa?"
"Lima puluh laporan
dalam satu hari. Aku tidak mengerti kenapa penyihir begitu posesif akan dunia
muggle." Lelaki itu menaruh dirinya tanpa perlu dipersilahkan untuk duduk.
Kant mengulum senyumnya, meraih
tumpukan berkas lain dengan map tertera lambang resmi Kementrian pada sampul
depannya.
"Mereka hanya belum
terbiasa, Sullivan. Lagipula masih banyak hal-hal di dunia muggle yang harus
dipelajari supaya penyihir dapat berbaur tanpa terlihat berbeda." Kant
membuka salah satu laporan dan terkekeh geli kemudian menggeleng.
"Dan oh aku membawa
ini." Sullivan menunjukkan padanya sebuah amplop cokelat dengan benang di
depannya. Membuat Kant mengernyitkan kening. Bergegas mengambil amplop
cokelatnya, membuka dan membaca isinya.
***
Penugasan lagi, Kant harus
keluar kota lagi bulan Desember itu berarti 4 bulan lagi.
Lama-lama kehidupannya
menyedihkan. Ia akan meninggalkan Belle untuk waktu yang lama. Ah, betapa
pekerjaan ini membuatnya muak. Sejak membaca lembar penugasan yang diberikan
kepadanya, ia menjadi jengkel setengah mati. Kementrian tidak memiliki hati
nurani, seenaknya menugaskan orang yang baru saja menikah dan tanpa persetujuan
ke daerah mana. Sial, Kant membanting dirinya ke kursi. Pukul delapan malam dan
ia belum pulang juga. Rela meninggalkan Salem dengan mood yang tidak begitu
bagus, pembicaraan dengan Sullivan pun nampak tak menarik. Jauh ia ingin
menghubungi Lee dan tak ingin pulang kerumah terlebih dulu.
'Kutunggu kau di tempat biasa.'
Itu tulisan yang ia baca di
selembar surat balasan milik Lee. Kant melipatnya dan memasukkan ke dalam saku
mantel kulitnya, bergegas menuju tempat favorit keduanya. Apparate satu-satunya
jalan paling praktis karena tidak perlu lelah meski penampilan menjadi
berantakan.
Ia tiba, tidak sampai lima
menit. Menyeret kakinya ke ruang guru Salem. Belle pasti sudah pulang, kelas
juga sudah usai. Tidak ada yang tersisa kecuali guru-guru dan murid yang hobi
berpatroli malam. Mengandalkan situasi yang menguntungkan ia segera menemui karibnya
dan menceritakan apa yang mengganggu pikirannya.
***
"Aku pulang."
Kant menggeser pintu
rumahnya. Rumah miliknya di desa Sallowsville sengaja didesain seperti
rumah-rumah di Jepang agar ia tidak mengabaikan kultur tanah kelahirannya.
Kalau biasanya di desa Sallowsville banyak rumah dengan gaya klasik atau minimalis
ia lebih memilih ke arah Jepang. Dominasi cokelat dan putih menghiasi tembok
rumahnya. Kant menaruh sepatunya di rak kecil di belakang pintu masuk dan
menggantinya dengan sendal. Kemudian menyusuri lorong untuk menemukan dapur dan
mengambil minum. Tenggorokannya mendadak kering. Tidak jauh dari dapurnya agak
menyerong ke sebelah kiri ada ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga.
Rumah Kant tidak terlalu besar dan tidak terlalu kecil paling tidak cukup
ditempati oleh 5 sampai 6 orang atau lebih. Keluar dari dapur ia menuju lantai
atas namun di pertengahan jalan ia berhenti mendapati televisi di ruang tamu
menyala. Kant berhenti dan menyambangi ruang itu, mengernyitkan kening.
Seketika hatinya mendadak
menciut melihat Belle tertidur di atas kursi.
Pasti dia menungguku pulang semalaman.
Dalam diam, Kant mematikan
televisi dan menggendong Belle ke kamar. Ia sendiri merasa tidak enak untuk
menceritakan kepada Belle kalau 4 bulan lagi ia harus meninggalkan Belle.
Padahal pernikahan mereka baru berusia beberapa hari. Kant menghela nafas,
setelah memposisikan Belle di kasur tepat di sebelahnya ia berbaring.
Memikirkan bagaimana harus memberitahu Belle. Di satu sisi ia sebenarnya ingin
mengajak Belle pergi menghabiskan masa-masa pernikahannya, berlibur ke pulau
misalnya. Sayang kesibukan ini menyitanya di luar dugaan. Ia sendiri bingung
harus melakukan apa, dia takut Belle menyesal atau marah karena Kant tidak bisa
meluangkan waktu untuk keduanya. Tapi bukan perkara liburan, Kant tidak ingin
meninggalkan Belle sendirian dirumah. Wanita terlalu rentan apabila ditinggal
seorang diri dirumah, tetapi tidak mungkin mengajak Belle ikut pergi dengannya
karena pekerjaan ini membahayakan.
Ketika ia menyuarakan masalah
ini pada Lee, sahabatnya hanya menjawab kalau lebih baik membawa Belle ke
Jepang. Sapporo salah satu tempat yang sangat cocok bagi keduanya, Belle bisa
dititipkan dirumah orangtua Kant tanpa harus merasa bersalah karena di Sapporo
Belle bisa menemani ibunya Kant. Saran Lee ada benarnya juga, cara itu lebih
baik. Tapi bagaimana mengatakannya? Apa Belle akan marah padanya? Semakin
dipikirkan semuanya terasa semakin memusingkan. Akhirnya Kant berusaha menutup
matanya dan menghabiskan malam yang panjang dengan pikiran mumetnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar