Hari-hari terasa janggal, ketika besoknya di sela-sela
istirahat ia duduk di sebelahku, ruangan kosong dan tutur katanya mulai
mengalir. Ada nada kecewa di setiap kata yang ia ucapkan, ada luka yang
tersirat ketika aku melihat matanya. Ketika aku bimbang, antara harus sedih
atau kecewa, aku menikmatinya. Aku menikmati saat-saat bisa bersamanya meski
hanya sebatas penghibur laranya, apa aku egois untuk bahagia di atas
penderitaan dia? Tapi bukankah itu memang keinginanku? Lagipula bukankah egois
itu harga mutlak seorang manusia? Tanpa ego kau tidak akan punya pendirian,
bukan?
“Kenapa dia harus terima kemaren? Katanya dia bilang dia
suka sama gue juga? Gimana sih?”
Aku hanya diam sambil menyuapi mulutku dengan bekal yang aku
bawa dari rumah, aku membiarkan dia bercerita sesuka hatinya tanpa mesti
mengusik dengan cara apapun. Toh saat ini yang dibutuhkannya bukanlah saran,
dan dia tidak memintanya, dia hanya butuh pendengar yang baik.
“Sakit lho, padahal kan harusnya gue yang nembak dia. Ya
kan?” Aku mengangguk. Kemudian dia tertunduk lesu. Aku tidak tega, aku menutup
bekalku dan berbalik menatapnya.
“Masih banyak cewek kok yang pantes buat lo, ya mungkin dia
emang bukan jodoh lo…” Aku menepuk punggungnya. Dia tersenyum, tidak tahu apa
yang membuatnya senang, yang jelas apapun yang menjadi sebab dia tersenyum, aku
bersyukur. Dan tak lama ia meminta izin untuk membeli makanan ke kantin.
Dari balik punggungnya, aku mendesah.
Karena kebiasaan aku selalu menyimpannya sendirian, tanpa
perlu ada yang tahu bahwa sejatinya aku menyukai orang yang selama ini tidak
terlalu diperhatikan. Lagipula pergaulan kami berbeda, dia jauh beberapa
tingkat di atasku, tapi respect akan orang sekitar membuatnya mudah diterima di
kalangan mana saja. Gayanya yang selalu asyik ketimbang anak lain, membuatnya
selalu dikenal. Dia tidak pernah memilih dalam berteman, selama 3 tahun aku
bersamanya pun dia tidak pernah banyak menuntut sebagai seorang teman. Ketika
ia asyik dengan lingkungannya aku juga berbaur dengan lingkunganku. Entahlah, aku
tidak pernah punya niat untuk mengatakan kalau aku menyukainya lalu aku mau
jadi pacarnya. Kalau soal itu ada banyak pertimbangan, selama ini aku selalu
menunjukkan bahwa kami suka satu sama lain sebagai teman tidak lebih, dan tidak
kurang. Yeah, terkadang hati memang suka memberontak kan? Aku lebih suka
membiarkan keadaannya seperti ini, tanpa mengatakan apapun dan akhirnya
mengubah jarak.
Satu tahun lewat dan kami masih sama saja, tidak ada
perkembangan signifikan. Dia tetaplah dia dan aku tetaplah aku, tidak ada yang
istimewa. Jarak selalu menjadi jeda utama di antara kami, aku lebih banyak
menghabiskan waktu bersama dua temanku, sedangkan dia dengan teman yang lain.
Seperti rasis, bidang studiku bermain berkubu, mereka memiliki kubu
masing-masing tapi tetap solid. Pandangan itulah yang membuatku merasa betah
menjadi bagian dari mereka.
Aku baru ingat, setahun kemarin, belum lama ia melupakan
anak perempuan itu, akhirnya dia mendapatkan kekasih. Aku mengenalnya, dalam
acara study tour yang diadakan sekolahku bergabung dengan sekolah cabang di
daerah lain. Mereka bertemu dan akhirnya pacaran. Aku sempat kaget, tapi pada
kenyataan saat itu aku juga memiliki kekasih. Jadi posisi kami adalah sama-sama
punya pendamping, aku pun masih mengesampingkan perasaan itu. Sementara aku
berikan pada kekasihku dulu, nanti kalau sudah kosong akan kutuai lagi
untuknya. Hubungannya memang tidak lama, tanpa aku sadari ia sudah lebih dulu
kandas di tengah jalan, tapi dia menyukai orang lain dan aku tahu yang kali ini
adalah sejati tipikalnya. Seorang anak perempuan yang cantik, pintar dan
memiliki segalanya, berasal dari sekolah cabang, aku tahu itu karena pernah
mendengar ceritanya beberapa kali. Sebagai seseorang yang masih menjaga
pertemanan dengan baik, aku hanya mendengarkan tanpa perlu memberikan komentar
yang aneh-aneh. Tapi nyatanya, itu tidak bertahan lama, sempat dekat tapi tak
kunjung meraih status pengikat, akhirnya mungkin keduanya menyerah.
Aku tidak terlalu memikirkan hal itu, sampai kemudian dia
mulai mencari cinta baru dengan adik kelas kami. Saat itu aku juga sudah punya
pendamping baru.
Sama-sama konsentrasi dengan kekasih kami, aku sering
mendengar ceritanya. Apa yang dia lakukan dengan kekasihnya dan yeah terkadang
kami sharing bersama. Aku tidak merasa risih atau terganggu saat aku
menceritakan apa yang aku alami dengan pacarku, semuanya mengalir begitu saja
baik aku ataupun dia. Menyenangkan…
Sampai dia kandas lebih dulu, sedangkan aku masih tetap
bertahan…
Ada banyak hal yang aku lewatkan, aku terlalu sibuk
memikirkan diri sendiri. Padahal kalau bisa dibilang ada banyak kesempatan yang
bisa aku lakukan untuk dekat, tapi nyatanya tidak lama setelah putus dia sudah
memiliki tambatan hati lain. Siapa lagi kalau bukan adik kelas kami di tahun
ajaran baru, awalnya aku sama sekali tidak mengenalnya meski beberapa temanku
sangat mengenal anak itu. Aku terlalu cuek, aku mendapati bahwa rasa itu
lama-lama memudar, entah darimana asalnya. Aku tidak pernah lagi berpikir untuk
merapatkan diri di dekatnya, aku hanya bersikap biasa saja, sebagai teman.
Tidak lagi menujukkan gerak gerik aneh meski terkadang ia bersikap manja dan
memintaku untuk mendengarkan ceritanya.
Sampai pada saat hubunganku berjalan setahun lebih, ketika
sedang belajar kewarganegaraan dan dia duduk di belakangku. Dia memang terkenal
iseng dengan anak perempuan, gaya bicara suka ceplas ceplos tanpa dipikir,
sikapnya cuek, tapi ya dia bersikap apa adanya. Dia memainkan suraiku dengan
tangan, “rambut lo panjang ya…” Aku menoleh ke belakang, mengangkat alis dan
membalikkan badan kembali. Aku masih bisa merasakan jari-jari itu memintal
surai pekatku, “Coba lo nggak punya pacar, vi… Udah gue pacarin kali ya, gue
kan suka sama lo.” Aku membelalak, tidak percaya dengan apa yang barusan dia
bicarakan.
“Apaan sih nggak lucu banget…” Aku terkekeh, “beneran… tipe
gue kan yang kayak lo gini.” Selentingan kalimat itu menjadi pendorong untuk
rasa yang pernah mati, yang pernah aku biarkan begitu saja. Aku tidak pernah
berpikir kalau ia akan mengatakannya. Memang saat ini akulah yang memiliki
penghalang, aku memiliki kekasih yang sulit aku jelaskan bagaimana dia.
Bagaimana aku menghabiskan apapun yang aku miliki untuknya, seolah kiblatku ada
padanya. Dalam beberapa kali kesempatan, karena kami terbiasa dekat, dia sering
tanpa sengaja memelukku dari belakang, sekedar memegang pinggangku, atau
memelukku, membiarkanku mengaitkan lenganku pada lengannya. Tanpa pernah
menimbulkan detak berlebihan di dalam dadaku. Aku merasa fine saja, toh
hubungan kami hanya di sekolahan, begitu kembali ke rumah, aku hanya ada untuk
kekasihku. Itu saja, aku pandai menutupinya, yeah aku memang pandai
bersandiwara, kan?
“Tidak ada satu orang pun yang menjadi pintar ketika mereka
jatuh cinta.”
Gagasan itulah yang aku dapati, tidak pernah ada perasaan
yang menyelinap secara diam-diam. Rasa yang membuatku tenang tanpa ada gejolak
apapun. Tidak pernah menemukan detak abadi seperti yang lainnya. Kala itu
istirahat dan aku sedang makan bekal di dalam kelas, aku beranjak untuk
membuang plastik bekas tempat lauk yang ingin kumakan, dari pintu keluar ada
suara dia. Tadinya mau berjalan ke bangku tempatku duduk, tapi urung aku
menoleh ke belakang, tanpa tedeng aling-aling sesuatu menyambar begitu cepat.
Halus dan lembut, cepat dan kilat. Tanpa sempat aku memejamkan mata, dan
mengelak, bibir kami bersentuhan dalam waktu yang relatif singkat. Ketika dia
berjalan menjauh, dan aku menoleh ke belakang, dia hanya memasang wajah tanpa
dosa. Oh god….
Aku buru-buru kembali ke bangku dan mengelap bibir.
Kali ini rasanya seperti diestrum. Sial, aku kecolongan.
Cepat sekali gerakannya. Aku tidak percaya dia sangat cepat, beberapa kali aku
menoleh padanya, seakan memberi kode. “Hei, kau membuatku kecolongan!” Anehnya,
aku tidak merasa bersalah ketika kejadian itu terjadi, harusnya aku merasa
bersalah bukan saat dicium oleh orang lain selain pacar? Tapi aku hanya
bungkam, kupikir tidak ada yang melihat adegan barusan.
Meski nyatanya aku salah besar…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar