Seolah tak pernah aku temukan, untuk satu jawaban yang
menggema, meneriakkan beberapa patah kata dalam lengkung abadi senja. Tak
pernah aku menaruh harapan besar di atas langit mega, aku hanya butuh seteguk
surya untuk menguatkan. Mengalihkan diriku dari badai, pasir dan Hera akan
bertanya pada Zeus, bagaimana memikat dewa dengan kecantikan Aphrodite sebagai
tahtanya. Kemudian bumi akan tertawa, mengguncang Yunani hanya dalam sekejap. Isak tangis malaikat yang membuatnya terheran,
ada apa dengan langit kelam? Mampukah awan menunjukkan singgasananya? Di balik
kelabu malam, dan gagak yang menghindar? Apa aku harus mencari celah dimana
kedatangan ajudan Tuhan? Oh sebaiknya kotak Pandora tidak perlu dibuka,
bukankah sebuah rahasia akan tetap menjadi rahasia? Seperti takdir yang tidak
perlu dibuka isinya. Tidak seru, seperti puzzle yang kehilangan potongannya
atau malah sudah lengkap sebelum kita bisa menyusunnya. Seperti permainan yang
sudah usai kemudian dimainkan kembali, tidak seru. Tidak ada tantangan yang
membuat keadaan menjadi terhakimi.
Rutinitas yang membosankan, setiap hari hanya ada pelajaran
di dalam kepalaku. Pun tugas hanya itu-itu saja yang aku kerjakan, bayangkan bagaimana
ada di posisiku?
Dituntut menguasai keseluruhan pelajaran dan setiap harinya
harus menelan beberapa kalimat di dalam buku pelajaran. Yeah, aku tersiksa
sejujurnya. Namun tak bisa kubayangkan bagaimana raut wajah kedua orangtuaku
kalau mereka melihat nilaiku tidak sepadan dengan apa yang ada dipikiran
mereka. Pasti aka nada raut kecewa di sana, dan aku tidak bisa membayangkannya.
Sama sekali tidak bisa kulihat wajah kelelahan itu kecewa. Mau jadi anak apa
aku ini?
Aku menghela nafas, untuk beberapa minggu melelahkan di
sekolah.
Dengan kegiatan yang itu-itu saja, sebagai pelajar tentu
kejenuhan menjadi yang paling utama. Peluang hari libur walau Cuma satu hari
benar-benar dimanfaatkan olehnya sebagai penambah stamina. Belum lagi beberapa
tuntutan di sekolah, sementara kedua orangtuanya berjuang demi pendidikannya,
gadis berusia Sembilan tahun ini berjuang untuk melihat senyum kedua
orangtuanya.
***
“Yah, hujan….” Keluhnya saat melihat awan meneteskan airnya.
Jutaan titik air menjatuhkan diri mereka ke dataran aspal. Keras, tapi tidak
sakit. Berkali-kali terbentur dan tak bergeming, “ini gimana pulangnya ya?”
Viervhy Juliana melirik arloji biru di tangannya, saat ini
berdiri di lorong Ruang Tata Usaha sebelum mencapai gerbang, menikmati sajian
langit dengan air tawarnya. Menghanyutkan, pemandangan serupa yang dinikmati
oleh anak-anak lainnya. Bening hitam memantulkan perangkap halusinasi yang
terekam, sejenak mencium aroma seseorang. Terlalu dikenalnya, ia menoleh.
Sesosok tinggi jangkung sudah berada di sampingnya, berdiri tegak dan menatap
ke arah yang sama tanpa jeda, tanpa lirikan syang pasti, tanpa gerakan
interupsi lainnya. Ivy, biasa dipanggil namanya hanya bisa menatap diam pemuda
di sampingnya. Bibirnya mengatup namun detak jantung seolah bicara padanya. Pemuda
pemilik surai kecokelatan ini mampu membiusnya dalam sekejap, membuat Ivy
serasa sesak nafas di tengah guyuran hujan. Ia tetap mengawasi Favi dalam jarak
dekat, diam-diam menyelipkan kecewa sebab dalam jarak sedekat ini saja komunikasi
sebatas kalimat sapa tidak terucap sama sekali.
Inginnya mengatakan hal yang wajar, sama seperti anak
laki-laki lain yang dekat dengan Favi, menanyakan segala hal tentang kehidupan
Favi, semuanya. Ivy seolah haus dengan laki-laki di sebelahnya. Daya tariknya
seperti magnet segitiga Bermuda, memantau seluruh nadinya agar terus menelusup
di dalam dekap kagum seorang adam.
“Pulang?” Fauzi kulihat sudah berdiri di sebelah Favi,
menepuk pundak pemuda itu dengan santai. Favi menunjuk langit dan menggeleng.
Bahasa isyarat, kenapa dia tidak bicara saja?
“Tunggu aja dulu sampe reda, lagian bakalan lama deh. Eh,
Ivy…” Tolehan Fauzi membuatku mengukir senyum, dan mengangguk, “mau pulang
juga?”
“Iya, cuma hujan. Nggak tau nih mau pulang gimana.” Aku
mengedikkan bahu.
“Perpus aja yuk sama gue, Fav, Vy… Yuk, si Ito juga masih di
perpustakaan tuh.” Ia menoleh ke lantai 2 tempat dimana perpustakaan berada.
Seketika mata kami beradu tatap, sama-sama mengalihkan
pandangan ke arah perpustakaan. Sebuah kebetulan atau memang jalan pikiran kami
sama? Bahkan dalam sepersekian detik kami berdua sama-sama melangkah untuk satu
tempat tujuan—perpustakaan. Kami ingin ke sana, di lantai 2. Setidaknya membaca
beberapa buku bisa membunuh waktu, walau langit belum sembuh kesedihannya
setidaknya tangisannya tidak menjerit akibat batin yang tersiksa. Menaiki satu
per satu anak tangga menuju lantai 2, aku di depan dan Favi di belakang kami.
Rasanya seperti mengumpat dalam sunyi, hanya degup jantung sendiri yang
terdengar. Hanya bisikan dinding yang kau raba, semuanya hanya kau sendiri yang
merasakan. Herannya aku tidak berani menoleh ke belakang, terlalu takut untuk
mengetahui ia hanya berjarak beberapa centi dari tubuhku, dan posisi kami
sangat dekat.
Aku menghela nafas begitu berbelok ke arah perpustakaan dan
Favi mengikuti tepat di belakangku. Bukankah seharusnya ia berjalan saja di
sebelahku? Atau di depanku? Kenapa harus di belakangku? Seperti ekor yang setia
menemani, aku tetap menatap lurus ke depan sampai menemukan palang
perpustakaan. Lorong lantai 2 menjadi begitu sunyi setelah pulang sekolah, aku
tidak yakin banyak anak yang menghabiskan waktu di perpus. Kau tahu sendiri
anak sekolah dasar tidak akan betah berdiam diri di perpustakaan, kecuali kalau
di dalam perpustakaan itu ada arena bermain seperti yang ada di taman
kanak-kanak. Sama sekali kami tidak
saling bicara, menutup mulut dengan sejuta kata. Aku tidak tahu apakah Favi
ingin bicara padaku atau tidak, aku tidak tahu apa yang Favi pikirkan selama
beberapa menit yang lalu.
“Ah!”
Aku menarik tanganku, menyadari kalau sedaritadi aku
mematung di depan pintu perpustakaan dan tadi tangan kami hampir saja
bersentuhan di gagang pintu. Awkward moment, no?
Sekali lagi, kedua mata pekatku menatap kelereng cokelat milknya.
Bola mata indah yang selalu menghiasi wajah manisnya. Hidung mancung, dengan
kulit putih yang kontras, matanya belo, bibirnya tipis, pipinya tembam, dahinya
tertutup poni yang menyamping ke arah kanan. Bulu matanya lentik, alisnya tidak
terlalu tebal, surainya cokelat, proporsi tubuhnya agak bungkuk, aku menyukai
semua yang tergambar jelas di wajahnya. Asal tahu saja, baru detik ini aku bisa
sedekat ini dengannya.
“Jangan bengong…”
Kalimat pertama yang diucapkannya padaku.
Bukannya menjawab aku malah diam menatap Favi. Suara singkat
itu begitu menggema di dalam kepalaku. Aku mengikutinya masuk ke dalam
perpustakaan. Bilik yang dominan selalu sepi, jarang murid berkunjung ke sini
kalau bukan pada saat jam tidur siang. Iya, kebanyakan dari mereka biasanya ke
sini saat waktu istirahat siang, memilih tidur di kursi-kursi milik
perpustakaan. Jelas saja mereka akan terlelap, Air Conditioner di sini sangat
dingin berbeda dengan yang ada di kelas-kelas. Tumpukan buku dan jajaran lemari
yang tinggi membuat beberapa murid berlangganan menjadikan perpustakaan sebagai
kamar tidur mereka yang kedua—nyaman. Suasana yang tenang dan hening, siapa
yang tidak betah.
“Ito dimana? Katanya di sini…” Favi balik badan, ia
menatapku dengan wajah tanda tanya.
Sepertinya dia bertanya pada orang yang salah, atau malah
bukan sepertinya? Sudah pasti salah, karena aku sendiri tidak tahu Ito ada
dimana. Seketika dadaku bergemuruh tak tentu arah, mulai berdegup kencang
menyadari situasi yang ada di luar perkiraan. Aku mengitari sekeliling
perpustakaan, tak satupun aku temuka makhluk bernafas kecuali udara. Wajahku
bersemu merah, menatap Favi sedekat ini. Ah jantungku jadi tidak karuan,
bagaimana ini?
“Nggak tau, di sini bahkan nggak ada satu murid pun yang
duduk.” Memalingkan wajah, memperlihatkan fakta dan realitanya. Favi menaikkan
sebelah alisnya, ia berusaha mengecek ke seluruh ruangan, berharap menemukan
satu orang saja di dalam. Langkahnya tenang, matanya mengawasi. Sampai ia
kembali di hadapanku dan mengehela nafas, namun kulihat tangannya terisi
sesuatu. Buku? Sempat-sempatnya di dalam keadaan yang seperti ini dia berniat
meminjam buku perpustakaan? Aku menunjuk buku di tangannya.
“Itu Ito? Kok dia jadi kecil?”
Ini bukan joke murahan, tapi memang aku merasa aneh dan perlu
terbiasa dengan suasana yang terlalu kaku seperti sekarang. Favi mengangkat
buku itu ke depan wajahnya dan memperlihatkan judulnya di depan wajahku, “7
Keajaiban Dunia.” Dongeng macam apa? Oh ralat, itu bukan dongeng, tapi sejenis
buku pengetahuan yang aku tahu dia menguasainya. Aku mengedikkan bahu, dan demi
Tuhan untuk pertama kalinya aku lihat dia tersenyum. Senyum tulus dan wajahnya
berseri penuh arti. Selasar menghangat di sekujur tubuhku, menimbulkan
satu-satunya kesadaran diriku kalau saat ini yang terjadi di depanku adalah
nyata. Favi tersenyum jenaka ke arahku. Sungguh ini kejadian langka.
“Bukan, ini buku yang mau gue baca.” Ia menatapku dengan
jenaka, setiap centi gerakannya akan terekam begitu kuat di dalam ingatanku,
“mau tetep disini atau keluar? Hujannya udah reda belum ya?”
Di luar dugaan dia banyak bicara. Aku baru menyadari kalau
ucapan Ito ada benarnya. Kalau hanya sepintas mengenalnya, Favi akan seperti
balok es yang mematung di tengah jalan. Dingin, tak satupun senyum yang terukir
pada raut mukanya, tidak satupun kata berarti yang keluar dari bibirnya kecuali
pada saat moment tertentu. Ah kenapa aku baru menyadarinya? Menyadari laki-laki
ternyata lebih dari yang aku duga, nyaris seperti kotak Pandora yang di
letakkan secara sembarangan. Tidak, Favi diletakkan di tempat khusus yang
bahkan tidak pernah tersentuh oleh apapun. Hanya ada beberapa tangan yang
menyentuhnya dengan hati-hati.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar