Sesi foto satu angkatan, pertemuan kesekian…
Pacarku janji akan menjemputku hari ini. Jadi atau tidaknya
memang masih 50:50. Tidak berharap banyak, kenyataannya sore itu sekitar pukul
5 dia datang. Aku melihatnya di sudut sekolah, mengenakan jaket hitam dan
celana jeans hitam favoritnya, surainya sudah memanjang, poninya hampir
menyentuh mata. Berdiri kasual mengawasiku dari kejauhan, acara sesi foto ini
memakan waktu banyak. Pacarku itu tidak suka menunggu, wajahnya masam. Apalagi
berada di lingkungan seperti ini. Menghela nafas begitu selesai acaranya, hari
ini banyak yang akan kami lakukan.
Serangkai aktifitas dan tujuan kami adalah ke atap sekolah,
aku hanya menemani sahabatku saja. Nampaknya dia ada urusan dengan seseorang,
aku hanya duduk bersama pacarku membelakangi sahabatku bersama seorang adam
lainnya.
Pembicaraan yang melelahkan, dan kami mengakhirinya.
Pacarku bilang dia lapar, maka sebelum pulang aku memutuskan
untuk makan di depan sekolahan, bersama sahabatku juga. Memilih duduk agak ke
sudut, dan kami mulai bicara satu sama lain. Baik aku atau sahabatku, kami
sama-sama nyambung kalau sudah bertiga, sambil menunggu pesanan datang terjadi
hal yang diluar dugaan.
Dia datang—laki-laki yang aku suka datang.
Menghampiri kami dengan cengiran khasnya, meminta izin untuk
bergabung bersama kami. Aku terhenyak sempat kaget tapi kututupi. Kupikir
pacarku melihat reaksiku barusan, maka aku buru-buru mengubahnya. Aku tidak
ingin mengundang curiga, nanti semua bisa berantakan. Memfokuskan diri di
hadapan kekasihku sementara di lain sisi seseorang yang aku suka tengah
bersamaku, sesekali dia meledek aku dengan pacarku, aku memang tipikal orang
yang tidak gampang panas, namun gelagat pacarku yang sepertinya mengetahui
sesuatu yang tidak beres menatapku curiga, sekuat mungkin aku berusaha untuk bersikap
biasa saja. Menunjukkan bahwa aku dan dia memang tidak ada apa-apa, hanya teman
biasa. Sementara, pada pertengahan obrolan kami, dia memanggilku dan menutup
wajahnya dengan sebelah tangan, memajukan bibirnya seperti orang yang meminta
dicium, raut wajahku seketika berubah dan aku memalingkan wajah. Apa-apaan dia
ini? Aku kan lagi bersama pacarku, nanti kalau dia tahu sesuatu hal yang
janggal, aku tidak bisa melihat hatinya sakit.
Kuputuskan untuk mengabaikannya sementara.
Dan ternyata berbagi peran itu tidaklah mudah, pada saat
bersamaan terlalu sulit untuk dilakukan. Memainkan dua peran sekaligus dengan
lawan main yang berbeda cukup menguras tenaga. Pada saat perjalanan pulang, dan
kami berada di atas motor, pacarku melontarkan pertanyaan yang sudah kuduga
pasti dia akan menanyakannya.
“Dia satu kelas sama kamu, yang?”
“Iya, kenapa?”
“Aku nggak suka aja sama dia, sok akrab.” Aku berusaha
tenang mendengar ocehan pacarku. Memang tabiatnya orang itu suka sok asyik tapi
memang dia asyik.
“Iya emang begitu orangnya…”
“Kamu… Nggak ada apa-apa kan sama dia?”
Hening sejenak, sedetik kemudian aku menjawabnya dengan
lugas, “nggak kok. Kita cuma temen aja nggak lebih.”
Setidaknya menjaga perasaan seseorang itu wajib. Lagipula aku
tidak ingin melihat pacarku tersakiti, pengkhianatan di belakangnya mungkin
lebih pedih. Katakanlah aku manusia paling berdosa, berkali-kali mengkhianati
dia yang menyayangiku dan mengorbankan waktu serta tenaganya untukku. Sepatutnya
aku meminta maaf padanya, tetapi lidah kelu dan hati tak kunjung mampu. Terlanjur
menikmati, sebut saja seperti itu. Padahal aku tahu, aku berjalan pada jalur
yang salah. Bagaimanapun aku memutar kesadaran, tetap saja semuanya salah. Meski
seharusnya aku bisa menghindar dan aku bisa menutupi perasaan suka ku pada dia,
demi pacarku yang saat ini bersamaku. Aku tidak keberatan meski harus mengubur
dalam-dalam perasaan itu demi membuatnya bahagia.
Tapi apakah dia yang saat ini bersamaku menjadi kekasihku
akan bersamaku untuk hari esok dan seterusnya?
Seolah aku mengingkari hati sendiri. Menguatkan diri,
bertahan untuk bimbang yang menelusup seiring berjalannya waktu. Aku sadar,
gelagatku terbaca olehnya. Lagipula pacarku tidak buta, setahun menjalani
hubungan bersamaku mana mungkin dia tidak ingat kebiasaanku, raut wajahku akan
hal-hal tertentu. Hanya saja dia tidak mengatakannya, mungkin takut mendengar
kenyataannya. Biarlah semua berjalan bagaimana semestinya. Terkadang aku
berpikir bahwa apa yang aku jalankan saat ini, sandiwara yang aku mainkan
hanyalah semu yang sia-sia, tidak ada gunanya. Toh pada saatnya nanti, kisah
cinta ini akan berakhir. Tidak pernah ada janji yang mengatakannya bahwa kami
akan bersama untuk seterusnya, karena aku seorang pengkhianat.
Senyum kecut terpampang di wajahku—kalaupun aku akan
menerima hukuman dari Tuhan, aku akan terima sebagaimana mestinya.
Aku tahu dia akan sakit kalau menerima kenyataan bahwa
selama ini hatiku mendua, tanpa pernah ia sadari itu. Predikatku memang setia,
tetapi dimensi lain menarikku pada perselingkuhan dalam diam. Sebagai pemain
drama, aku cukup handal memainkan peran ini. Memposisikan diri di dua latar
yang berbeda untuk dua orang yang memiliki status yang juga berbeda. Meski aku
menyukai dia yang 3 tahun bersamaku, tapi aku juga menyayangi orang yang selama
1 tahun bersamaku. Hati yang terbagi dua itu selalu menuntut, dan ada saatnya
dimana aku yang harus menyerah atau salah satunya dipaksa menyerah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar