Sejauh apapun kamu pergi, hatimu akan selalu kembali
padanya—
Kalimat itulah yang terngiang-ngiang di telingaku. Ada
kalanya seseorang yang pergi tidak sepenuhnya pergi dari dalam hatimu, dia
tetap tinggal disana bersama jiwamu, hanya saja raganya tak pernah
menyambangimu di sana. Pedih? Tidak juga, aku tidak pernah merasa pedih ketika
kuingat sosok itu tak pernah kutemui sejak 8 tahun silam. Lalu rasa apa lagi
yang akan kau perkirakan? Sakit? Menangis? Entah, aku tidak pernah merasakan
kesakitan sebagaimana lelaki yang selama ini lalu lalang di dalam kehidupanku.
Aku menikmatinya, menikmati satu-satunya jiwa yang hidup di dalam hatiku.
Satu-satunya jiwa yang bernafas di dalam satu raga bersamaku selama 8 tahun
ini, selama aku menunggunya kembali.
Sebut saja aku bodoh, sikapku yang selalu menunggu seseorang
yang aku tahu sama sekali tidak akan menoleh kembali padaku. Laki-laki yang
sudah satu windu hidup dalam tenang di hatiku. Berbeda dengan gemuruh kasar
yang ditimbulkan kaum adam lainnya. Ia begitu tenang, sarat akan ketidakpastian
alur kehidupan, bahkan aku tidak tahu kapan ia akan datang di depan ku. Aku
bahkan tidak tahu rupanya seperti apa, bagaimana keadaannya, seperti apa
kehidupannya sekarang. Terlalu naïf untuk mengetahui kehidupan seseorang yang
bahkan tidak kau tahu sama sekali seluk beluknya, tapi anehnya kau
mencintainya—sangat. Seperti candu yang memabukkan, seperti angin yang
membawamu terbang ke singgasana teratas.
Bukankah cinta itu memang selalu absurd?
Tidak terlihat tapi bisa kau rasakan, mengerikan. Jauh lebih
mengerikan kalau kau tidak tahu apa yang kau cintai. Aku seperti mencintai roh
Tuhan, dan malaikat selalu mendekatkanku dengannya. Aku tidak pernah tahu
bagaimana caranya, tapi aku merasakannya. Aku selalu merasakan denyut nadiku
bersamanya, bersama seseorang yang aku tidak tahu dia masih hidup atau tidak.
Ah tolong, jangan biarkan aku berpikir secara negatif. Aku yakin dia masih
hidup, masih memiliki nafas. Jangan tanya aku tahu darimana, aku mengetahuinya
karena dia hidup di dalam sini—hatiku.
***
8 tahun yang lalu—
Juli, 2004.
Bangunkan aku kalau surya telah mencapai ufuk timur, karena
aku tahu ini sudah bulan Juli dan aku selalu menyukainya. Sama seperti namaku,
Viervhy Juliana. Kenapa aku suka bulan Juli? Pertama, karena aku lahir bulan
Juli, kedua karena bulan Juli itu libur sekolah dan aku sangat senang kalau
liburan tiba. Kenapa? Karena aku akan terbebas dari ancaman tugas dan berbagai
buku pelajaran yang menunggu untuk dibaca. Jujur saja, aku tidak suka belajar
tapi karena status yang kusandang adalah pelajar maka aku harus melakukannya.
Aku mencoba untuk tidak menjadikan belajar adalah beban, tapi sebuah hobi yang
selalu aku lakukan demi mengisi waktu luang. Aku juga mengisi hari-hariku
dengan banyak kegiatan, seperti les mata pelajaran, mengikuti ekskul di
sekolah. Aku tergolong anak yang sangat aktif dan berprestasi, jangan lupakan
itu. Setiap tahunnya aku selalu menyabet beasiswa di sekolah dan aku selalu
mendengar ada banyak orang mengalami pergunjingan tentang diriku. Ah peduli
apa? Aku hanya mengapresiasikan diriku bagi mereka yang memberikan dukungan
positif sementara komentar negative hanya akan aku saring sekedarnya saja.
Bagiku, mereka yang bermulut usil dan menggunjing di belakangku hanya
orang-orang yang iri dengan kemampuanku. Mereka menganggap aku lebih baik dari
mereka, mereka tidak suka, dan mereka mencari tahu kenapa aku bisa lebih baik
dari mereka dengan mengambil celah membicarakan hal yang buruk mengenai diriku.
Simple kan? Begitulah kesimpulan bagi mereka yang suka berkomentar jelek
tentang dirimu.
Tidak perlu aku ambil pusing, sungguh.
Hidup itu terlalu sempit hanya untuk menanggapi orang-orang
seperti mereka. Dunia terlalu munafik kalau hanya mengurusi komentar miring
tentang diri sendiri. Maka dari itu, aku tidak pernah menggubris apapun.
“Kak, sarapan dulu…”
Vokal untuk pagi ini adalah suara ibuku. Yeah, beliau selalu
membangunkanku jam 6 pagi, tepat saat beliau akan berangkat kerja. Aku segera
beranjak dari kasur tempatku tidur, oh baiklah bukan kasurku tapi kasur kami
bersama. Ya aku sekamar dengan kakak perempuanku, April. Aprilia Renata. Kakak
perempuanku berusia 4 tahun lebih tua dari aku. Kami bersekolah di sekolah yang
sama—yayasan yang sama. Aku mengguncang tubuh Kak April, dia masih pulas
tergolek di pembaringan. Sedangkan aku sudah menyingkap selimut tebal yang
memeluk kami semalaman.
“Kak, bangun udah jam 6 nanti kita telat.”
Kak April masih menggumam di kasurnya sedangkan aku sudah
bersiap mandi. Tidak ingin terlambat bertemu hari pertama di sekolah kan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar