Jumat, 01 Juni 2012

Jinga dalam Elegi


 "Lo emang nggak bego. Lo cuma polos. Naif. Karena cara pikir lo sederhana."

 "Gue nggak seneng, tau nggak? Dia pingin tau semua urusan gue. Emangnya dia siapa gue? Ngapain juga gue mesti laporan ke dia?"

 "Lo sadar nggak? Meskipun teriak-teriak lo benci dia, sebenarnya lo tuh justru ngerti banget gimana dia..."

"Doa tuh eksekusinya di tangan Tuhan,"

 "Dengan posisi offense dan defense. Satu menyerang membabi buta, sedangkan yang lain hanya mengambil sikap bertahan."

"Satu diwarnai gelegak kemarahan, sementara yang lain menganggapnya sebagai permainan yang menyenangkan."

"Banyak hal di dunia cowok yang sulit dipahami cewek."

"Bisikan yang hanya bisa didengar oleh dirinya sendiri itu lalu membuat kedua matanya meredup."

"Seiring penyesalan tipis yang perlahan mulai menyentuh hatinya."

 "Dia tahu, suatu saat penyesalan ini akan menebal dan terus menebal. Sampai mencapai taraf tak akan pernah ada cara untuk menebusnya."

"Bahkan mungkin dirinya tak kan pernah bisa dimaafkan."

"Dia bukan gila. Dia cuma punya cara pikir yg beda aja sama kebanyakan cowok lain."

"Namun tak ditemukannya cara lain. Hanya ini. Kalaupun ada, sudah terlambat."

"Sudah tidak ada lagi jalan untuk mundur, menganggap ini tak pernah terjadi lalu mulai dengan cara yang baru."

 "Jika ditanya siapa yang akan menderita, semua yang terkait dalam masalah ini akan menderita."

 "Gue nggak mau ngambil tindakan karena gua kuatir akibatnya ke elo. Gue yakin. Tapi masih mending begini daripada gue ngambil tindakan."

 "Ia terpaksa setuju. Lebih karena tidak bisa memikirkan alternatif tindakan lain yang bisa diambil."

"Ketenangan yang justru memicu munculnya banyak kekuatiran dan prasangka di dalam kepala."

"Ketenangan yang membuat kedua matanya selalu mencari-cari keberadaan dia. Ketenangan yg membuat seluruh indranya dalam kondisi siaga."

"Dan ketenangan yang semu karena pasti mempunyai jangka waktu.."

"Dia tahu, kedua ruang kosong itu adalah dinding tak kasatmata. Yang bahkan lebih susah ditembus daripada baja."

"Gue suka mulut lo. Nggak manis, tapi apa adanya."

"Dia tetep lebih baik daripada elo kemana-mana. Kalopun bener, dia pasti punya alasan kenapa begitu."

"Dia nggak jahat kayak elo!"

 "Karena ia merasa saat ini dirinya tak punya cukup kekuatan untuk mempertahankan seseorang agar tidak pergi."

 "Bertolak belakang dengan ketenangan yang terlihat, jauh di dalam, pembicaraan tadi sesungguhnya teramat melelahkannya."

"Karena itu dimintanya bantuan bumi untuk menahan kepergian seseorang. Karena dirinya tak sanggup untuk saat ini."

"Bagaimanapun ingin, bagaimanapun dia berusaha, dirinya tak bisa lari. Bumi mencengkramnya."

"Pada seseorang yg kejatuhannya telah ditangkapnya dengan kedua lengan dan kini tengah disangganya dengan seluruh keberadaan..."

"Ia menundukkan kepala. Dan dibunuhnya satu-satunya jarak yang tersisa. Lingkaran itu kemudian menghilang."

 "Gue pingin banget meluk elo. Udah nggak inget lagi sejak kapan gue harus mati-matian nahan diri."

 "Baginya, yang barusan terjadi antara ada dan tiada..."

"Bisikan itu hanya menelan sekejap waktu. Segala yang terjadi bersamanya juga hanya sekejap waktu."

"Namun, sekejap itu menghentikan laju sang waktu. Sekejap itu menyingkap yg tersembunyi. Sekejap itu tak terpahami."

 "Sekejap yang seperti abadi..."

"Dia tak pernah tahu, di ujung telepon sana, seseorang yg paling berkuasa dan paling ditakuti itu harus mati-matian melawan dirinya sendiri"

"Kabar itu mengirisnya dengan cara yg bahkan bisa dia rasakan setiap sayatan yang terjadi."

"Rasa bersalah mencengkramnya dalam belita kuat, melontarkan sebuah teriakan menggila yg susah payah diredamnya."

 "Namun teriakan teredam itu lalu meniksa nurani tanpa ampun."

"Memunculkan, saat itu juga, permohonan maaf yg benar-benar dengan seluruh kesungguhan dan kerendahan hatinya."

"Ia meminta maaf untuk seseorang yg saat ini tengah menangis karena apa yang telah dilakukannya."

"Jarak itu takkan mampu menyamarkan, apalagi mengelabui..."

 "Lebih baik yang terang-terangan daripada yang terselubung, kan?"

"Nggak ada kembar yang bener-bener beda. Harusnya lo sadar dari awal."

"Ia merasa sesuatu yg aneh dan tak kasatmata seperti menyelinap dan berdiri di antara mereka berdua."

"Kadang ada hal-hal yang pingin banget kita lupain tapi nggak bisa. Dalam kasus gue, bukan kadang lagi. Ada banyak hal yg pingin dilupain."

 "Kadang juga, ada kenyataan-kenyataan yg pingin banget kita ingkarin. Tapi nggak bisa juga."

"Dalam kasus gue, lagi-lagi ada banyak banget kenyataan yang kalo aja bisa, pingin banget gue ingkarin."

"Gue cuma minta bisa bahagia. Terserah Tuhan mau gimana bentuknya. Mau tanpa alasan juga nggak apa-apa."

 "Hidup itu... Cuma bisa nyanyi satu macem lagu aja. Elegi."

"Masalah muncul kalo kami lagi nggak kuat. Nggak ada cara lain kecuali lari."

"Dan kalo lo harus berangkat perang setiap hari, satu kali 24 jam, tanpa jeda, lo bukan cuma babak belur di satu sisi. Semuanya. Fisik, hati, pikiran, emosi, akal sehat, semangat. Lo akan jadi orang yang mencari-cari fatamorgana dan delusi."

"Karena ia tahu, suara tarikan dan embusan nafas itu adalah sakit yg tak terucap. Aliran darah yg tak terlihat."

"Cengkraman "kematian" dalam hidup yang masih berjalan. Dan harapan yg mungkin telah sampai di ambang penyerahan."

 "Pikiran, energi, emosi, hati. Hingga yang dilakukannya adalah benar-benar terjaga menunggu pagi."

 "Sama sekali tak diduganya, banyak kenangan ternyata masih tersimpan rapi dalam salah satu sudut benak dan alam bawah sadarnya."

"Banyak rasa yg selama ini dipaksanya untuk tertidur, kini juga terjaga. Menggeliat dan menggila. Nyaris menggilas kesadarannya."

"Ia merasa sesuatu di dalam dirinya dicabut paksa. Dan dia tahu apa sesuatu itu. Harapan. Detik itu juga alam bawah sadarnya melawan."

Tidak ada komentar:

Posting Komentar