Just smile, turn around and walk away. Don’t look back,
you’re not missing anything.
Apa yang aku takutkan dari sebuah perpisahan? Kehilangan?
Apa yang aku khawatirkan dari sebuah keputusan? Pilihan yang salah? Apa yang
membuatku kecewa hingga sekarang? Pengorbanan yang disia-siakan. Seikhlas
apapun aku menerima sebuah perpisahan tetap saja aku merasa kecewa sudah hadir
di antara dua celah. Memangnya kau pikir melepas kepergian seseorang yang telah
begitu banyak memberimu kenangan dan membuat dirimu berkorban segalanya adalah
hal yang mudah? Walaupun aku harus mengakui, aku memang berbuat kesalahan.
Bukankah setiap sepasang kekasih seharusnya berjanji untuk tetap bertahan walau
saling dikecewakan? Janji… yang hanya bisa diucapkan namun tak kunjung
diwujudkan. Tertawalah, katakanlah aku kekanakan. Hei, pada dasarnya ia hanya
berkaca pada realita, masa lalunya terulang kembali bahkan lebih pahit dari
yang ia duga. Seseorang yang sudah mengambil sebagian hartanya kini pergi
begitu saja dengan atau tanpa permintaan maaf sekalipun.
Sama sekali aku tidak pernah berpikir hal ini akan
terjadi—atau memang aku saja yang munafik?
Seharusnya aku tahu kalau suatu saat kebersamaan ini akan
berakhir dengan atau tanpa pernyataan sekalipun. Bodoh, kenapa aku baru sadar?
Mencoba menghadapi hari-hari yang kosong dan berbeda seratus
delapan puluh derajat, sejatinya hampa di dalam hari-hariku nyaris menyerang
secara membabi buta membuat kedua mataku sulit terpejam tengah malam, tetapi
mudah terbuka sebelum mega. Yeah, masa lalu begitu serakah memakan kenangan.
Aku lelah dengan semua tuntutan yang mengharuskan aku melestarikan kenangan.
Kenangan itu jahat, peran antagonis dalam setiap kehidupan, dia yang selalu
berdiri menantang melawan ingatan, hati dan logika. Jalang, aku membenci setiap
kenangan bersamanya, torehannya selalu menyakitkan, apa yang telah direnggut
dariku. Puas? Membuatku jauh lebih kotor ketimbang 3 tahun yang lalu, huh? Oh
damn! Bisakah kau katakana padaku betapa brengseknya dia yang dulu selalu
kupuji setengah mati?
Aku menghela nafas, sebaiknya kulupakan. Kuisi hari-hariku
dengan banyak kesibukan, meski setiap jeda masih membawaku untuk mengingat
setiap kenangan bersamanya. Terkadang aku lebih memilih pulang malam dari
sekolah setelah selesai latihan wisuda, karena sebentar lagi kami akan
mengadakan acara lepas alih. Menghabiskan banyak waktu di sekolah dengan
teman-teman, membuatku melupakan semua tentang mantan pacarku. Apalagi aku
dihibur mereka, terutama dia. Walaupun kedua mataku seringkali menangkap dia
sedang mesra dengan pacarnya, tapi aku tidak peduli. Tidak pernah aku rasakan
sakit sebagaimana aku merasakan sakit saat diputusin mantan pacar. Aku
terkekeh, dunia sudah gila.
Sore itu, seminggu sebelum hari H, aku berpapasan dengannya
di gerbang sekolah. Dia bersama sahabat baiknya, dan aku bersama sahabat
baikku. Kami sempat bercakap-cakap sebentar, setelah itu aku dan sahabatku
pamit masuk ke dalam lingkungan sekolah. Tidak sampai satu detik, ketika aku
membalikkan badan, dia menarikku dan langsung menyentuh bibirku dengan
bibirnya—lembut.
Terjadi lagi….
Bisa kalian bayangkan situasinya seperti apa?
Yeah, kedua sahabat kami shock setengah mati. Sahabatku yang
perempuan tanpa babibu segera memaki dia, mengatakan kalau tindakan tadi
benar-benar gila, sebab dia sudah memiliki pacar. Terhitung reflekku memang
lama akan hal-hal seperti itu, seperti biasa, dugaanku adalah reaksinya yang
hanya sebatas cengiran usil kemudian melambai pamit.
Yang entah sejak kapan aku merasa degup jantung ini tidak
lagi normal kalau melihat dia, sialan. Aku tidak pernah bisa benar-benar
mengontrol permaina pacu jantung. Selalu saja membuatku kelimpungan. Hanya
saja, bukankah aku adalah pemain drama yang handal? Tentu penonton tidak akan
pernah lupa pada permainan yang aku ciptakan, skenario yang aku siapkan untuk
menutupi segalanya. Aku tetap terlihat seperti teman-teman lainnya yang tidak
terlalu menonjolkan perasaan apapun padanya, atau memang aku tidak berusaha
untuk menunjukkan. Tahulah batas norma, sesama wanita tidak boleh menyalip sang
pria, ya ya aku tahu janur kuning belum menjadi tonggak, kan? Apa salahnya
menghormati milik orang lain. Hei, Karma tidak melepas begitu saja orang-orang
yang mengkhianati listnya. Percayalah, dia akan datang kapanpun tanpa melihat
keadaan. Rasanya licik kalau aku bermain di belakang, padahal Karma sudah
mengintip. Yah, mau bagaimana lagi perasaan memang susah untuk dikendalikan,
no?
Substansi manapun enggan mengusik rasa, apalagi kalau sudah
menyeruak layaknya pesta pora. Ia tidak akan membiarkanmu hengkang, malah akan
dibuat tunduk semena-mena.
Kali ini keadaan berbalik dengan mudah—
Aku selalu melihat dia dan pacarnya makan bersama, dan tentu
saja aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri bagaimana mereka mengumbarnya.
Yeah, untunglah aku seorang aktris yang sangat handal. Biar bagaimanapun aku
tetap bisa mengontrol emosi, atau setidaknya aku tidak membiarkan pisau manapun
menyentuh selaput hati yang sudah terkoyak. Baik aku ataupun dia, kami
sama-sama memainkan drama dengan sangat baik. Di satu sisi, ia bertindak
sebagai kekasih yang baik untuk pacar resminya, namun di satu sisi ia bisa menyentuhku
dengan lembut. Aku akui permainannya sangat hebat. Dan kalau kau bertanya, apa
aku merasa sakit setiap melihat mereka bersama?
Jawabannya adalah tidak.
Bagaimana bisa?
Karena aku menikmatinya, sepenuhnya menikmati sajian yang
diberikan. Toh aku sadar, aku hanya bayang-bayangnya, aku hanya kabut yang
berada di belakangnya, ketika badai datang, atau langit sepi, aku akan datang
padanya, atau dia yang akan datang padaku? Pilihan yang manapun aku tidak
keberatan, selama masih bisa bersamanya, selama aku masih bisa merasakan dia,
aku tidak keberatan. Sekalipun pada akhirnya ini hanya kisah sementara. Hanya
sisipan sebuah quote pun tak mengapa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar