Detik-detik menjelang wisuda sudah semakin dekat…
Selama ini kami masih tenang-tenang saja, tidak intens pada
beberapa pertemuan. Aku lebih banyak berkutat dengan persiapan menjelang
wisuda. Selama sesuatu mengganggu dan mengganjal aku tidak akan merasa tenang.
Lagipula hari ini sepertinya dewi fortuna enggan menyapaku…
Dia tidak melambaikan tangannya, malah berpaling dariku. Aku
melihatnya pergi tanpa sempat kucegah untuk tetap berada di sampingku. Haa,
dunia ini memang tidak pernah bisa ditebak. Baru kemarin ada berita baik
sekarang sudah menjadi duka. Waktu tidak pernah benar-benar membuang kesempatannya
untuk menekan seseorang sampai ketitik terbawah, sial. Garis-garis kontur itu
menekuk seolah menyulam wajahku menjadi garis tak beraturan, aku bagai hasil
penjahit tak berornamen. Mengetuk, dan berjalan lesu. Bumi tidak pernah
membiarkan siapapun untuk bersenang-senang, setidaknya hari ini. Ada saja
masalahnya, benturan yang tidak dapat aku elakkan.
“Masih sama keputusannya?” Mr. Arnold menepuk pundakku.
Aku mengangguk lesu, disertai helaan nafas panjang. Spasi
keheningan tanda aku tidak suka dengan keadaan. Mr. Arnold berdiri menghadap
diriku. Ia mengamati hati-hati raut wajahku, kemudian membetulkan letak
kacamatanya. Surainya yang berpotongan cepak dan berwarna tinta berayun ketika angina
senja menerpa.
“Mereka nggak mau datang… Bagaimana ini? Masa aku wisuda
sendirian?” Baru saja aku mengeluh. Mr. Arnold menepuk pundakku, dia mengajakku
ke ruang guru. Tempat dimana para guru biasa berkumpul, namun sore itu
kebanyakan guru sudah pulang, yang tersisa hanya Mr. Arnold saja. Aku menurut,
kuminta sahabat baikku untuk ikut bersamaku, setidaknya aku tidak ingin
segalanya menjadi sangat amat kacau. Sahabatku itu tidak berhenti untuk
menghiburku, ia menepuk pundakku dan sudah ratusan kali mengatakan bahwa
semuanya akan baik-baik saja. Telingaku bukannya tidak ingin merespon, terlalu
banyak harapan dan satu-satunya sekarang adalah rasa putus asa yang aku miliki,
menyadari kalau pada hari wisuda, aku akan berada sendirian tanpa orangtuaku,
tentunya.
Tiba-tiba pintu terbuka, kulihat Mr. Arnold kembali dengan
senyuman, ia menyuruh sahabat baikku untuk keluar sebentar. Aku masih bingung,
aku memikirkan keputusan kedua orangtuaku yang bertengkar semalam.
“Ini…” Mr. Arnold memberiku selembar kartu undangan, aku
mengamatinya baik-baik. Berganti pandang antara kartu itu dengan wajah Mr.
Arnold.
“Ini apa, Mr?” tanyaku ragu-ragu, suara yang keluar jelas
lemah.
“Take it. Orangtuamu membutuhkannya.” Wajahnya meyakinkanku
untuk menerima undangan itu. Mau tidak mau aku mengambilnya, terselip sebuah
rasa bersyukur dan perlahan rasa bimbang itu menghilang. Aku membolak-balik
kartu undangan itu tapi Mr. Arnold menyuruhku untuk menyimpannya di dalam tas
dengan segera. Yeah, aku masih tidak mengerti dengan kondisi, sampai ia
mengatakan padaku untuk tidak mengatakan kepada siapa-siapa kalau ia
memberikanku kartu undangan. Aku mengangguk, sebagai imbalan karena dia telah
membantuku. Sahabat baikku masuk ke dalam, aku sangat ingin menceritakan padanya,
betapa aku bahagia Tuhan memberiku malaikat yang sangat baik seperti Mr.
Arnold. Aku ingin memeluk sahabatku dan mengatakan padanya kalau orangtuaku
akan datang dan aku percaya supportnya akan menjadi kenyataan. Sayangnya, aku
dilarang mengatakan apapun yang berhubungan dengan undangan. Maka aku hanya
berusaha tersenyum mendapati sahabatku duduk di bangku yang tepat berada di
hadapanku. Ia masih memandangku prihatin, bahkan aku terlihat lesu saat Mr.
Arnold memutuskan untuk pulang karena ia sudah janji dengan istrinya untuk
tidak pulang malam.
Sampai pukul 7 kami masih ngobrol santai di bilik guru…
Ada banyak hal yang aku bicarakan dengan sahabatku dan itu
membuat keadaanku menjadi sangat baik. Tuhan, aku tidak tahu bagaimana caramu
memberikan aku begitu banyak orang yang bisa membuatku menjadi lebih baik. Yang
jelas, sahabatku ini kado yang paling indah, yang tidak semua orang punya, dan
mungkin akulah satu-satunya yang punya dia. Dari A sampai Z, apa saja menjadi
bahan obrolan kami, waktu memang selalu menjadi pemisah, tanda kalau kami harus
kembali ke rumah masing-masing, tiba-tiba dari luar jendela Putra mengetuk
kaca. Aku mengernyitkan kening, menunjuk kaca jendela dan sahabat baikku itu
langsung meraih kenop pintu. Aku melihat sekilas tubuh Putra yang tinggi besar
sudah berada di depan pintu, bersama Ndah pacarnya. Oh mereka akrab sekali, dan
sahabat baikku itu segera bicara dengan Putra. Dia senang sekali menggoda Putra
dan pacarnya, kemudian aku menunduk. Kutaruh kepalaku di sisi meja, dan mulai
menghela nafas lagi dan lagi.
“Kenapa?”
Aku mendongak, satu kalimat tanya berasal dari suara yang
sangat aku kenal. Suara yang begitu kurindukan untuk menyapa telinga. Suara yang
selalu membuatku ingin melihat matanya dan memeluknya; sayang tidak mungkin.
Responku hanya senyum datar, itu sudah cukup sebagai perwakilan yang mengatakan
aku baik-baik saja. Menakjuban, bukannya meninggalkanku dia malah menaruh
tangannya di atas kepalaku dan membelainya. Gerakan yang paling aku suka; aku
menyukai sikap lelaki yang seperti ini, memberi belaian di puncak kepala tanda
kasih sayang. Tenang, seperti ada dorongan haus, kalau saja ia belum dimiliki
sudah kepeluk daritadi orang ini. Aku melirik, kudapati senyum sendu itu
terpeta disana.
Seperti marsmallow; basah, seperti buah yang jatuh; cepat,
tanpa ada yang bisa menghentikan. Diciptakan keadaan terhenti saat ia melakukan
hal kesukaanku. Memberikanku air ketenangan, berasal dari kecupannya, tanpa
sempat aku hentikan, tanpa ada yang melihat, tanpa perlu ada jerit makian dari
kedua sahabat kami. Sekali lagi ia mengelus kepalaku dan berkata, “Jangan sedih
gitu… Aku pulang ya…” suara itu melembut, belum pernah aku dengar dia
mengatakannya dalam nada rendah, “tenang aja, nggak ada yang liat kok tadi…”
mengedipkan matanya, dan ia memberanikan diri untuk mengecup keningku. Tuhan,
bagaimana bisa aku menolak orang ini meski kami beda dan ia sudah ada yang
memiliki?
Akhirnya, gerimis itu berhenti. Awan hitam mulai menepi,
pelangi muncul sebagai pengganti. Beberapa detik kemudian, Putra dan sahabat
baikku memanggil dia, mengajaknya untuk pulang. Ada kelakar hangat menjamah,
membuat kedua pipiku merona hebat, kututupi seolah semua baik-baik saja;
alih-alih tidak membuat sahabatku curiga. Aku tidak ingin ada yang tahu
kejadian barusan, bahagia itu milikku sendiri. Meski selama ini hal sekecil
apapun selalu aku ceritakan pada sahabat baikku, tapi untuk kali ini rasanya
hal kecil tadi hanya milikku, potongan puzzle kebahagiaan itu hanya punyaku dan
aku tidak ingin memperlihatkannya pada orang lain. Senyum merekah saat ia
melambaikan tangannya padaku, aku menghangat seolah melebur dengan pasir. Ia
selalu bisa membuatku kembali tersenyum, bagaimanapun caranya—ya aku selalu
suka caranya membuatku tidak berdaya, beberapa menit yang lalu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar