Berkacalah wahai Pak Tua, pada air yang mengalir dan langit
yang membiru.
Meskipun aku bisu, namun tidak tuli. Apa kau buta—buta kasih
sayang? Dasar lelaki pecundang, kau pikir anak gadismu apa? Seenaknya menjadikanku
gundik? My my, belas kasihmu dimana Pak Tua?
Apa dia tidak sadar kalau anaknya bukanlah pesuruh ulung,
hmm? Nyx Odessa Napoleon bangkit dari tempat tidurnya, berniat menangglkan gaun
tidurnya. Masih kecil saja dia sudah diperlakukan seperti orang dewasa, hidup
memang terlalu keras di keluarga Napoleon. Maka tidak heran kalau para
sepupunya yang lain hanya mendesah begitu melihat Odessa kecil menampilkan
wajah datar; menikmati setiap kecaman hidup, katanya. Sekilas menatap kamar
tidur mewah, rasanya sudah bertahun-tahun hidup dalam kubangan kekayaan, kejayaan
bahkan kesuksesan. Namun seperti kosong merupakan api yang menyala siap memakan
halangan apapun di depan tanpa jeda. Nyx menggelung surainya, menaruh kaki-kaki
jenjangnya menyusuri petak demi petak marmer penghias ruangan. Menarik kenop
pintu, membukanya seara perlahan. Mengintip, apakah sekiranya ada obrolan
tentang dirinya yang bisa tertangkap telinga?
Perjodohan dirinya dengan Orion, misalnya.
Betapa ia membenci cara pikir keluarganya secara membabi
buta, dia pikir Odessa mainan mereka? Oh sayangnya orangtua otaknya sudah
karatan. Nyx menghembuskan nafas, ditatanya air muka tanpa menunjukkan bahwa ia
sudah bosan untuk hidup di dalam istana serba mewah. Menuruni setiap anak
tangga, gaun putih yang dikenakannya menjuntai, menyapu lantai. Tapi toh ia
tidak peduli sehelai kain ini mau kotor atau tidak. Sebab sesampainya ia di
ruang makan, Odessa hanya butuh membungkuk, mengucapkan salam dan mendudukkan
dirinya secara anggun menurut tata cara nenek moyang yang sudah diajarkan
padanya.
“Pagi Father, Pagi Mother…” Ia membungkuk kemudian menaruh
diri di salah satu kursi.
Tidak dijawab apalagi dilihat? Itu sudah biasa.
“Cepat habiskan sarapanmu, kemudian bersihkan dirimu dan
kembali ke ruang besar. Ayah ingin bicara padamu.”
Yang barusan bicara itu ibunya. Odessa mengangguk, seraya
mengambil bagian terluar dari alat makannya. Enggan mengoleskan keju buatan
luar negeri. Bisakah mereka menghemat makanan dari dalam negeri saja?
Mendengus, seringai kebosanan mulai diperlihatkan. Sementara ibunya menyiapkan
sarapan untuk dibawa ke ruang besar, Nyx mengunyah potongan demi potongan roti
gandum dengan perlahan. Apalagi yang harus dibicarakan Pak Tua itu? Dia mau
menyampaikan kesan dan pesan apalagi, hmm? Kalau saja sejak berada di alam
sana, ia boleh memilih untuk hidup dengan siapa dan bagaimana, maka ia tidak
ingin berada di dalam keluarga seperti ini. Terkungkung dalam tradisi kuno,
penuh perintah dan tata tertib tak jelas asal usulnya. Bahkan Louis saja
mengatakan padanya, kalau ia adalah anak gadis paling hebat yang pernah ia
temui. Kuat menghadapi kecaman hidup dari dalam keluarganya sendiri.
Lalu apa aku harus menjerit? Berteriak bahwa aku ingin
bebas? Lelucon jaman batu, mana mau Pak Tua itu mendengar keluh kesah anaknya
sendiri.
“Aku sudah selesai, Mother.”
Isyarat tangan ibundanya, menyuruh Odessa bergegas ke
kamarnya dan merapikan diri. Yeah, Pak Tua itu tidak suka anak gadisnya
terlihat urakan mirip gembel di jalanan. Dirumah saja harus mengenakan satu set
baju yang sudah disiapkan para pesuruh. Lagi-lagi ia mendesah, satu dari sekian
banyaknya kekecewaan yang harus ditelannya secara bulat-bulat. Tetes demi tetes
air menyentuh kulit bak porselennya, menjangkiti setiap asa yang tidak pernah
tidur setiap harinya. Mimpinya kebebasan akan selalu datang, siapapun harus
membawanya keluar darisini, no? Muak, ia membenci tata krama tanpa sebab. Well,
waktunya habis.
Meraih gagang pintu, memasuki ruang besar milik Napoleon
senior seorang.
Ruang besar terletak di lantai tiga istananya, arah Barat
Laut agak menjorok ke dalam. Ada sistematis yang harus digunakan kalau ingin
memasuki ruang besar. Hanya orang-orang tertentu yang bisa mengakses bilik
tersebut. Dari sekian banyak keluarga Napoleon bahkan hanya satu atau dua orang
yang bisa menjangkau ruang besar dengan desain keamanan paling rumit yang
pernah ia temui. Setelah hening panjang, akhirnya Nyx memberanikan diri untuk
menghadapi Napoleon senior. Dilihatnya lelaki tua duduk di atas kursi besar dan
wajahnya terhalang koran pagi ini. Membungkuk (seperti biasa, karena sudah
tradisi) barulah ia duduk. Kursinya panas, atau mungkin ini hanya perasaannya
saja?
“Father, ingin bicara denganku?”
Tidak ada suara, udara bergulir, detik menjerit. Hanya satu
gerakan dari balik koran penutup wajah ayahnya. Tangan besar menyodorkan
padanya sebuah surat, ada stempel resmi di depannya. Dahi Nyx berkerut,
jari-jari lentiknya mengambil amplop tersebut. Melepaskan perekatnya dan
membuka serta membaca isinya. Hening, bukan ini yang ia inginkan. Dikirim ke
Amerika untuk sekolah, adakah hal yang lebih buruk dari ini? Nyx meneguk ludahnya,
memandang tak percaya isi kepala ayahnya. Kalimat ia akan diasingkan berangsur
mengeras dalam satuan detik berlalu di hidupnya.
“Kenapa harus di Amerika? Di Negara ini juga banyak sekolah
sihir yang bagus, terutama sekolah Louis.”
Lembaran berita tersingkap, menampilkan sesosok wajah tua
masih segar, garis-garis kontur wajahnya tak memperlihatkan kalau Napoleon
senior sudah mencapai masa kejayaannya. Wajahnya masam, ekspresi yang paling
tidak disukai Odessa sekaligus air muka andalan Napoleon senior saat idenya
dibantah.
“Sejak kapan berani membantah?” Nyx membenci ayahnya kala
beliau menatapnya setajam pisau, membuatnya tak segan untuk mengambil benda
tajam apapun disekitarnya dan menggoreskan tepat di permukaan epidermis kulit vitalnya.
Tsk! Palingan wajah Nyx, diiringi langkah seberat 2 ton. Lebih memilih memendam
amarahnya daripada harus memupuk keinginan mencekik ayah kandungnya sendiri. Tanpa
sepatah kata, ia membalikkan badan. Meninggalkan ruang besar dengan amarah
bergolak. Seharusnya masa depan itu miliknya, ayahnya hanya perantara. Tetapi kenapa
semuanya berbeda?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar