You were there for me, so I’ll be there for you—
Kalau ia bisa mengatakan secara jujur, mungkin tahun ini
menjadi tahun paling bahagia baginya. Bahagia itu sederhana, memiliki kekasih
yang baik seperti Keira dan mendapat restu dari seorang Minase Ai bukan lagi
kebahagiaan biasa baginya. Naru menepukkan selembar surat ke sisi tangannya. Baru
datang pagi ini balasan dari Minase Ai, rona wajahnya berseri. Setidaknya tahun
ini ia berharap saat menjalani FLEW tidak sendirian, ada seseorang yang bisa
mensupportnya secara halus.
Keira Summerfield—belakangan nama itulah yang sering mengisi
kepalanya, baik sebelum tidur ataupun saat bangun tidur.
Pada intinya kali ini ia belajar secara sungguh-sungguh,
selain ingin menunjukkan pada Keira kalau dia adalah laki-laki yang berbobot. Apa
yang salah dari seseorang yang sedang berusaha menjadi yang terbaik untuk orang
yang disayanginya? Meskipun harus berkorban banyak hal, tetapi baginya itu
semua tidak diperhitungkan. Anggap saja memang kewajiban yang harus dilakukan
dan dinikmati. Kebetulan waktu sudah menyuruhnya untuk kembali ke asrama untuk
belajar. Dia sudah berjanji pada Minase Ai, perempuan yang sudah melahirkannya
lima belas tahun silam, bahwa kali ini ujian FLEW nya akan Outstanding!
Mustahil ya?
Tapi kata Tuhan, tidak pernah ada yang mustahil di dunia ini—
Naru meraih kenop pintu asrama dan melangkah ke dalam. Ada wangi
yang hangat, terselubung merangkul tubuhnya. Sepertinya ada seseorang di ruang
rekreasi, ia semakin mendekat. Mendapati sesosok perempuan tergolek lemah
disana. Kernyitan halus di dahinya nampak, Naru melangkah pelan-pelan tanpa
memiliki maksud untuk mengganggu kegiatan sang gadis. Ia berlutut, memastikan
siapa yang tidur sembarangan di ruang rekreasi. Surai kecokelatan, sosok yang
ia kenal. Jari-jarinya menelusuri pipi gadis Summerfield di depannya. Wajahnya damai,
diiringi hembusan nafas seperti senandung kecil. Merdu di telinganya, Naru
menarik ujung bibirnya.
Takahiro menoleh ke belakang, memastikan kalau tidak ada
orang lain selain mereka. Suhu ruangan menjadi hangat, atau pipinya yang saat
ini merona?
Jaraknya merapat, hanya beberapa centi dari wajah gadisnya. Ia
sendiri bisa merasakan alunan nafas lembut persis bayi tak berdosa. Ah bagaimana
ini? Degup jantungnya bertambah kencang, suara-suara imajiner mulai membahana,
menuntut banyak hal padanya. Namun pada akhirnya ia hanya berlabuh pada satu
pilihan—mengecup hangat milik gadisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar