“Tidak boleh begitu, dia kan ayahmu.”
“Ayah? Mana ada ayah yang mengasingkan putrinya sendiri ke
negeri antah berantah begini, Louis.”
Tatap matanya nyalang, seolah tengah dikerubuti emosi
membara. Ingin sekali menyumpah serapahi Napoleon senior di depan muka. My, my
haruskah ia mengingatkan siapa jati dirinya sekali lagi? Louis mungkin tidak
akan melupakan tata krama keluarga mereka, Louis mungkin menikmati ajaran
kesopanan yang ditanamkan pada mereka sejak dalam kandungan, namun Odessa? Sama
sekali tidak menikmati omong kosong atas sopan yang diajarkan. Ilmu macam apa
yang melahirkan sikap otoriter berkepanjangan? Sinting! Mereka itu, orang-orang
tua jaman dulu punya otak atau tidak? Otak mereka digunakan untuk apa? Kalau saja
ia tidak ingat Louis adalah sepupu terbaiknya dibanding kedua sepupunya yang
lain, maka sudah pasti Nyx melarikan diri ke kutub utara. Biar saja, biar dia
mati kedinginan dan tidak perlu lagi menuruti hawa nafsu kedua orangtuanya.
Keturunan melahirkan bibit tak jauh berbeda—
Untung saja Louis bersamanya, pemuda asal Australia itu
mengcover semua kebutuhan Nyx selama ia bersekolah di Salem. Nyx tidak peduli
kalau ayahnya tahu dengan siapa ia meminta tolong, selama Nyx tidak menjual
dirinya pada kalangan musuh Napoleon ia rasa ayahnya masih mengijinkan dengan
siapa ia meminta ditemani hidup. Ya, ya dia cinta kebebasan. Ada untungnya juga
jauh dari orangtua. Sekilas kecut tersimpan dalam senyum manis bibirnya, tak
menyangka saja bisa tiba di gerbang sihir. Louis menyuruhnya untuk mencari
tempat duduk dimanapun asalkan Odessa kecil bisa merasa nyaman. Sekalipun duduk
dipangkuan pemilik bar saja, ia tidak akan marah. Mayday, mikir apa sih dia
ini? Usianya masih belia, tapi otaknya sudah nyalang.
Selaras dengan gaunnya merah menyala, surai terang miliknya
dibiarkan tergelung anggun. Cuaca panas, no? Matahari sedang giat menunjukkan
wajahnya. Odessa berjalan melewati lengan beberapa orang. Sial, baunya kecut! Makan
apa mereka? Apa mereka tidak memakai parfum eh?
“Aw!” Sedikit memekik, kelereng kembarnya menajam, “tidak sopan!”
Ketusnya.
Membawa jemari lentiknya melakukan gerakan pengusiran debu
secara halus. Cih, bocah kampung! Main tabrak saja, punya mata tapi tidak
dipakai! Bukannya minta maaf malah lari begitu saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar