“Kita putus?”
“Iya…”
“Kenapa?”
Suara hening
menguasai keduanya, disebelang sana ia menahan nafas sekaligus berusaha menahan
butiran airmata yang siap tumpah hanya dalam sekali kedip. Keadaan kali ini
bukan lagi sekedar lelucon yang biasa dilakukan oleh keduanya ketika mereka
bertengkar, bukan pula situasi dimana ia mencoba memancing agar sang lelaki
menahannya. Ini serius, sudah waktunya ditangani tanpa hiasan tawa dan joke
yang tidak bermutu. Pegangan tangannya mendadak gemetar, ada sesuatu yang
menciutkan hatinya. Nyali yang melonjak seolah keadaan sudah membaca kondisi
keduanya.
“Malas…”
Ia mengangkat
alisnya, tanda sesuatu belum dicerna betul oleh otaknya. Meminta pengulangan
akan maksud lawan bicaranya diseberang telfon.
“Iya, aku sudah
malas denganmu…”
Seperti
diam-diam ditusuk dari belakang pas mengenai ulu hati. Kalau telinganya belum
tuli-tuli amat dengan alasan sederhana yang bisa mengakibatkan luka jauh dari
kata sederhana. Ya, seketika luluh lantak dalam seketika. Jangan ditanya
bagaimana rasanya saat alasan itu terlontar, jangan ditanya bagaimana rasa
hatinya saat predikat itu terucap. Ya, kalian boleh mengatakan bahwa ia sedang
mengalami kegalauan yang luar biasa. Alasan sederhana yang mampu membuat lubang
sebesar sumur di dalam sebuah Keraton di kota Yogyakarta.
“Sudah ya, kita
putus. Bye…”
Kemudian nada
terputus itu berbunyi, nyaring dan mengisi otaknya. Berteriak hening sementara
ia masih memegang gagang telfon di telinganya. Ia masih tidak percaya, semudah
itukah dirinya dipisahkan? Semudah itukah mengucapkan kata putus? Semudah saat
mereka berdua memulai cerita dahulu. Tuhan, boleh ia menangis di pundakmu
sekarang? Karena begitu telfon genggam itu ia taruh di permukaan kasur, maka
semuanya tak lagi sama.
***
Errr…. Hai, nama
gue Vianthdhavie El Alfa. Gue biasa dipanggil Avie. Cukup singkat kan? Gue
seorang siswi SMA kelas 2 dan gue bersekolah di sekolah swasta di Jakarta.
Kalian bisa menggambarkan fisik gue dengan bentuk badan di atas rata-rata alias
kelebihan berat badan, tinggi badan gue sekitar 163 cm, dengan rambut hitam
panjang sepinggang. Gue tergolong murid yang biasa-biasa saja, nggak ada yang
istimewa dari seorang gue. By the way, walaupun sekolah gue di Jakarta tapi
rumah gue bukan asli domisili Jakarta, rumah gue letaknya di Bintaro. Pasti
kalian Tanya deh kenapa sekolah gue di Jakarta? Kenapa gue nggak sekolah yang
dekat dengan rumah gue saja? Alasannya itu murni karena gue ikut dengan
keinginan nyokap gue. Aneh kan? Ya namanya juga anak yang penurut ya? Nggak
murni penurut sih, gue cuma mau buktiin sama nyokap kalau gue bisa jadi anak
yang penurut karena selama ini gue nggak pernah nurut sama beliau. Simple kan?
Nah di samping itu juga ya karena sekolah gue itu katanya bagus, lulusannya
terjamin masa depannya, kenapa gue bisa bilang begini? Weits! Gue nggak asal
ngomong, buktinya ada yaitu salah satu keluarga gue sukses jadi pengusaha
sebuah perusahaan asuransi terkenal. Beberapa temannya pun sudah bisa menjadi
eksekutif muda hanya dalam umur 20 tahunan. Gila kan?! Siapa juga yang nggak
mau sukses muda?
Gue anak kedua
dari 3 bersaudara, sebenarnya sih 4 bersaudara. Cuma kakak gue sudah meninggal
beberapa tahun silam, akibat penyakit gegar otak yang ia derita setelah ia
tabrakan di jalan sepulang sekolah. Waktu itu umurku masih belasan tahun, dan
kakak ku itu masih duduk dibangku SMA. Tragis memang, tapi ya itulah hidup. Gue
punya kakak perempuan satu dan adik laki-laki satu. Kakak perempuan gue namanya
Ivy, sedangkan adek gue itu namanya Ian. Ian itu nakal, gue sama dia nggak pernah
akur sama sekali. Ada aja tingkahnya yang bikin gue kesel, nggak jarang gue
berantem sama dia. Kadang-kadang sampai nyokap gue yang harus misahin gue sama
dia. Cih! Oh ya, nyokap bokap gue—mereka itu pahlawan gue. Orangtua paling baik
yang pernah gue punya. Mereka menomorsatukan anak. Nyokap gue seorang karyawan
swasta, beliau bekerja di sebuah perusahaan obat di Jakarta, beliau itu
orangnya terlalu baik sama orang lain. Dia nggak pernah tega buat nyakitin
perasaan orang lain, dari nada bicaranya saja halus dan lembut meski masih
kalah sama puteri keratin. Nah bokap gue itu kebalikan dari nyokap gue. Bokap
gue bekerja untuk pemerintah Jakarta, beliau bekerja tanpa lelah demi gue sama
saudara-saudara gue. Gue salut sama bokap, beliau tidak pernah absen untuk
memenuhi kebutuhan keluarga. Kerja kerasnya membuat gue sadar bahwa betapa
berharganya seorang ayah bagi keluarga, tanpa ayah keluarga gue tidak bisa
apa-apa, apalagi ayah sehebat bokap gue. Wah, jarang ada atau mungkin beliau
satu-satunya ayah yang mirip sama superhero?
Apalagi yang
harus gue ceritain?
Oke temen-temen
gue, khususnya temen sekolah gue? Kita masuk dari temen SMA dulu kali ya? Gue
punya sahabat deket namanya Opi, dia itu sahabat yang paling deket sama gue di
kelas. Dia yang selalu ngeluangin waktunya buat denger curhatan gue, nah Opi
ini matanya sipit tapi dia dikenal tegas sama seantero sekolah. Bahkan dia
selalu menyabet peringkat 1 di kelas. Betapa jernihnya otak sahabat gue, dan
gue merasa beruntung bisa temenan sama Opi. Duduk sebangku dan bisa jadi
sahabat yang deket sama dia tuh rasanya seneng banget! Nggak ketinggalan ada
lagi sahabat gue namanya Naru. Dia cowok dan dia beda sama cowok kebanyakan,
sifatnya yang pendiem dan kehidupannya yang misterius menjadi daya tarik
sendiri di sekolah gue. Banyak banget cewek yang suka sama dia, nggak heran
sih. Soalnya Naru itu hasil dari keturunan Barat sana, jadi ya nggak heran
kalau banyak cewek yang ngejar-ngejar dia, ya kan?
Berikutnya
temen-temen SMP gue. Nah ini dia. Dulu SMP gue punya kelompok, apa ya kalau
zaman sekarang namanya… Gank? Yap! Seperti itulah kira-kira. Namanya Laskar
Ngepot, nggak jelas memang namanya tapi entah kenapa kami membuat nama itu
sebagai trademark. Terdiri dari empat orang, Aku, Salvi, Lunna, Camelio. Mau tahu
kenapa namanya Laskar Ngepot? Jadi ceritanya ada di barisan akhir kelas 9
Sekolah Menengah Pertama. Ini memang tidak mudah, tapi beginilah cara Tuhan
mempersatukan kami berempat. Bermula dari hanya gue dan Lunna yang 3 tahun
selalu duduk satu meja, duduk satu bangku. Lunna itu sahabat gue yang paling
gokil, penampilannya sama kayak murid-murid biasa, hanya ada beberapa kelebihan
saja. Kelebihan warna kulit yang agak gelap, kelebihan kepribadian makanya
terkadang dia suka abnormal. Maksudnya bukan abnormal dalam arti sesungguhnya,
kadang-kadang dia suka absurd, sering gue dibikin ketawa sampai mau nangis
gara-gara ulah konyolnya. Kemudian saat kelas 8 aku bertemu Camelio, Salvi juga
bertemu di saat yang sama tapi kami tidak begitu dekat. Waktu itu aku belum
terlalu mengenal Salvi seperti aku kenal Lunna. Kemudian pada akhir kelas 9,
aku dan Lunna lagi-lagi satu kelas dan satu bangku, kami menghabiskan begitu
banyak waktu bersama dengan tertawa. Tidak ada yang pernah kehabisan obrolan
setiap kali kami terlibat percakapan, selalu saja ada bahan. Dan bagaimana aku
bisa dekat dengan Camelio? Itu karena mantan pacar Camelio adalah mantanku
juga.
Dunia memang
sempit, eh?
Tinggalkan itu
sejenak, dan bagaimana aku bisa dekat dengan Salvi?
Aku dekat karena
hobi. Kuakui kami punya kesamaan minat, sama-sama suka menulis. Walau tulisanku
belum sebagus tulisannya. Tulisan Salvi itu lebih menjiwai. Dari kesamaan minat
aku bisa menjadi orang terdekatnya. Lagipula Salvi anak yang baik, dia tidak
pernah marah, selalu lembut dan ramah. Sifatnya yang khas itu selalu membuat
pertemanan kami nyaman. Ada banyak hal yang kami lakukan berempat, baik saat
masih di sekolah dulu bahkan sampai sekarang. Kegilaan yang tidak berubah,
terutama dari aku dan Lunna. Kami sama-sama memiliki sikap kurang waras kalau
sudah bertemu, bagaimana cara kami melepaskan beban bersama, dan bagaimana dia
bisa membuatku tertawa sampai menangis. Aku masih ingat bagaimana heboh kami
saat berkaroke ria di salah satu mesin karoke di sebuah pusat perbelanjaan.
Kami menjadi pusat perhatian bule dan para satpam di mall. Memalukan eh?
Walaupun memalukan tapi aku menyukainya, aku selalu menyukai saat-saat yang aku
lakukan bersama mereka. Hamper secara keseluruhan selalu menghilangkan bebanku.
Kemudian aku
punya teman-teman kecil, “My Childhood” begitulah aku menyebutnya…
Alasannya?
Sudah pasti
karena kami dekat dari kecil. Dari sejak aku berusia satu tahun, merekalah yang
selama ini bersamaku, bermain dan bicara padaku. Mereka itu Erlan, Hendro,
Udin, Paris, Agan, Pumi, Unge, Runi, dan masih banyak lagi.
Aku dekat dengan
mereka sampai umurku 6 tahun, setelah itu kami terbiasa dengan dunia kami
sendiri-sendiri. Aku sibuk dengan kegiatan akademisku, aku lebih suka
berkecimpung dengan duniaku sendiri. Menghabiskan waktu sendirian, karena
begitu berbaur dan menjadi terbiasa aku akan sangat sulit menerima kepergian
mereka. Lalu 17 Agustus tahun 2009 kami
semua dipertemukan kembali dalam sebuah organisasi di lingkungan rumah kami.
Erlan terlihat simpati padaku, Hendro dan Paris juga. Semakin dewasa mereka
semakin terlihat berbeda dengan masa kecil. Terkadang di sela kegiatan rapat
yang berlangsung aku sering menikmati khayalanku tentang masa kecil yang sudah
lewat. Aku selalu mengingat kalau kami main hujan bersama, aku denga kaus
kutang dan menarik-narik bak kecil hanya untuk mandi di tengah hujan. Kemudian
yang lain menyusul dengan kostum masing-masing.
Selesai dengan
main hujan dan dengan perkenalan yang singkat.
Aku rasa cerita
ini sudah harus dimulai, sudah tidak ada waktu untuk berbasa-basi kan?
menyentuh banget ceritanya vi..
BalasHapusitu dari pengalaman pribadi ?