Baginya dua orang lebih baik dari satu; sama dengan satu dialog
lebih baik daripada dua monolog, kan?
Pemuda kurus jangkung itu menegapkan tubuhnya, kini tak lagi
bersandar pada bahu pualam yang menyangganya beberapa moment yang lalu. Yang
terputar pada imaji nyatanya adalah saat ini ia sedang berdialog dengan seorang
gadis kecil. Ian melepas tawa, melupakan sebagian apa yang tidak ingin dia
ingat. Dia tahu kalau dia hanya berlari. Salah siapa kalau dia tidak kuat
menanggung masalahnya? Toh kalau ia mengingat itu, denyut nyeri di dalam
nadinya sepertinya mulai menguat. Sayangnya Ian masih cukup sadar bahwa kesakitannya
tak akan ditengok barang satu tolehan pun ia meminta. Bahkan ketika mungkin
pemuda ini mengiba pada gadis yang menorehkannya—berat.
Kalau saja ia boleh meminta untuk sesuatu yang tak bisa diubah—ia
akan meminta bahwa lebih baik tidak perlu melihat gadis itu atau setidaknya
jangan bertemu dengannya bahkan untuk lebih dari sekedar kenal. Karena ia tahu,
seperti apa pun ia berusaha untuk bisa lebih dari yang dikatakan sebagai teman—tidak akan
bisa. Tidak ada benih yang menyatakan status seperti itu di
antara mereka. Mungkin ini sudah saatnya Ian berhenti—berhenti memikirkan
seseorang yang tidak memikirkannya, tidak menoleh padanya. Ia tidak tahu apakah
ada cara lain selain melupakan dan melepaskan. Kalaupun ada seperti apa? Ia
sudah mencari hingga kepalanya nyeri sendiri. Berputar-putar memikirkan cara
yang pantas untuk mengenyahkan apa yang selama ini ia rasakan pada seorang
gadis yang ternyata hanya berupa fatamorgana. Namun tak ditemukan cara lain
selain melepaskan—mengikhlaskan. Hanya ini cara satu-satunya agar keduanya
tetap tenang dan tetap menjalin hubungan baik sebagai teman—tidak lebih.
Ian menoleh pada gadis kecil bernama Hanks yang mengubah tema
obrolan mereka menjadi kekanakan, sifat ambegan yang ia tunjukkan dengan
caranya yang ketus seperti mengingatkan—seharusnya sudah dilupakan. Sulit
untuk melupakan kenangan yang tersimpan rapi di dalam benak apalagi kenangan
itu bersemayam layaknya mayat yang diawetkan—ironi.
Pemuda dengan bening cokelat itu memerhatikan setiap gesture gadis
yang memiliki iris sama dengannya. Bagaimana gadis itu bicara, baik dengan nada
manja, ketus atau sadis sekalipun. Mengeluarkan tawa besar tanpa ada suara
hingga bahunya berguncang adalah hal yang mudah—untuk merasa nyaman pada setiap
aura yang diberikan Hanks muda. Tatapnya melembut ketika tingkah Hanks berubah
menjadi pelawak tingkat atas. Tak sangka gadis ini bisa sebegitu lucunya,
membagi lelucon meski untuk menghiburnya sedikit dan tidak menyeluruh. Ukuran
tubuhnya yang menyusut mungkin terlihat mencolok. Ian hanya membentuk sabit di
bibirnya. “Badanku kurus banget memangnya? Padahal makanku banyak, sekarang.”
Iya sekarang, setelah didera patah hati yang luar binasa. Ian mengelus-elus
perutnya yang rata, di beberapa bagian bisa ia rasakan tulang rusuknya sedikit
menonjol. Mungkin benar tubuhnya sudah kurus kering.
“Kismisnya buatku saja, sini.” Ian menengadahkan tangannya.
Tak lama tertawa oleh guyonan yang dilemparkan Hanks, kedua
irisnya menangkap setiap detail penampilan Hanks. Meski sepintas mirip, hanya
di bagian cokelatnya saja selebihnya berbeda, Ian ingin sekali menggapai gadis
di depannya, tetapi mengingat ia sudah dicap embel-embel sebuah nama—urung.
Pemuda itu menghela nafasnya berat, ada sakit yang tak terucap di sana.
“Aku… seleraku?” Ian menyatukan kedua alisnya, menggeleng lemah
seraya tersenyum tipis, “aku tidak pernah mematok selera khusus untuk seorang
gadis, Lysa. Harus kautahu itu…” lagi-lagi ia membelai surai cokelat milik
gadis di depannya.
Hening—satu ketenangan yang menohoknya. Dia pernah berada dalam
ketenangan yang sama, kesunyian yang sama, kesenyapan yang nyaris membuatnya
memutar ulang memori yang kini seolah menjadi rentetan sebuah kilas balik.
Jantungnya bergemuruh, semua rasa yang ia biarkan tidur beberapa waktu yang
lalu, terpaksa bangkit kembali. Ian menemukan pada pantulan bola cokelat itu
ada sesuatu yang menyedihkan—wajahnya. Sebuah wajah yang mengiba,
meminta bahagia pada Tuhan. Apa pun bahagia yang diberikan oleh Tuhan, walau
tanpa alasan. Ian bersikeras untuk tetap menemukan wajah yang membuatnya tak
berkompromi dengan jarak, waktu bahkan hati dan pikiran. Tidak ada satu pun
yang bisa menjelaskan dimana wajah itu berada, hanya hening yang menguasai
keadaan.
Maniknya mengerjap begitu gadis di depannya menolehkan kepala,
sedang Ian membuka celah pada kedua bibirnya.
“Boleh Ian peluk Lysa?” suaranya seperti memantul dan seperti ia
bicara sendiri dengan tembok pualam, “sebentar saja…” pintanya lirih. Sebentar
saja, hanya untuk menghilangkan nyeri di dadanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar