Rabu, 08 Agustus 2012

There's nothing worse than this!


Karena hidup seperti permainan sepak bola, kita tidak akan tahu kapan kita akan menang atau kalah—waktu sebuah permainan sedang berjalan sangat baik, bisa saja di detik terakhir pihak lawan lah yang mencetak gol. 

Ironinya kehidupan memang tak bisa ada yang menebak, bagaimana hidup akan berjalan seperti aliran sungai—bisa saja tenang, mengikuti arus namun berujung pada sebuah air terjun yang sangat curam. Butuh waktu yang lama bagi Ian untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, untuk tidak menyalahkan Tuhan yang sudah memberinya begitu banyak ujian perasaan. Butuh waktu yang lama untuk seorang pemuda belia sepertinya agar bisa percaya kalau ia bisa bahagia terlepas dari semua beban yang menggelayut setia di dalam hatinya. Ian percaya ia tidak akan memiliki hujan selamanya, atau kemarau. Karena hidup tak akan seimbang jika hanya merasakan salah satu dari keduanya. 

Ian semakin mempererat pelukannya, mungkin gadis ini hampir sulit bernafas. Tetapi ia harus mengakui, daripada ia melakukan sesuatu yang di luar logika serta rasionalitas terlebih karena yang berada dalam pelukannya itu berjenis kelamin perempuan, maka lebih baik ia mendekapnya erat. Menghancurkan sendiri apa yang sudah menjadi konsekuensi kesakitannya. Meski Ian tahu ukuran tubuh gadis ini terlalu kecil untuk menghapus semuanya, namun bisa ia singkirkan dengan sebuah rasa yang ia hadirkan begitu saja. untuk sebuah kesempatan yang gadis ini berikan secara Cuma-Cuma kepada dirinya, kesempatan untuk bisa meluruhkan sakitnya, kesempatan untuk bisa menangis sepuasnya meski ia tahu ini tidak pantas dikerjakan untuk seorang lelaki. Tanpa isakan, tanpa bahu yang berguncang—Ian merengkuh gadis ini kuat-kuat. Nyeri di dadanya yang semula semakin menguat, untuk waktu yang lama sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hanya wujud keputusasaan yang berwujud pada matanya yang terpejam. 

Airmata, tangis, permohonan untuk tinggal, luka dan keputusasaan. Tidak satupun bisa menyentuh. 

Karena memang tembok yang sudah tercipta lebih kokoh dibanding karang es di kutub utara. Bahkan rupanya sosoknya hanya berupa fatamorgana yang berada di jarak yang sama hanya saja Ian tidak akan bisa meraihnya—tidak akan pernah seutuhnya. Dibuatnya Ian oleh rasa yang sederhana, seperti orang yang mencari delusi dalam dunianya. 

Suara kecil dalam rengkuhannya, dalam sebuah lingkaran terdekatnya tidak bisa ia dengar dengan jelas. Masih disibukkan oleh penyembuhan diri yang walau tak bisa secara total dan tidak bisa saat itu juga. Pun ketika pertahanan dirinya benar-benar luluh lantak ketika sepasang Kristal cokelat itu menatapnya—tatapan kecemasan yang tidak ingin dia lihat. Sementara ia ingin menarik sudut bibirnya untuk tersenyum dengan dalih mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya baik-baik saja, tidak perlu ada yang dikhawatirkan sebagaimana mestinya. Tetapi Ian mengaku kalah dengan egonya yang masih mendominasi rasa sakitnya. 

Tanpa sempat dicegah, tanpa sempat mengucapkan beberapa patah kata, jari-jari lentik gadisnya sudah lebih dulu sampai pada permukaan kulitnya. Menghapus jejak-jejak airmata yang berbekas. 

“Aku… tidak apa-apa…” Ian mengucapkannya dengan suara terbata-bata seakan kesadarannya menghilang, “Aku… baik-baik saja… ya kan?” sepenggal demi sepenggal kalimat meluncur dari bibirnya. Kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman, “Payah, aku menangis…” disambut tertawa kecil yang samar, seperti ia bicara sendiri pada pantulan semu dirinya. 

Tubuhnya yang sedikit ia condongkan akibat ulahnya memeluk sang gadis kembali ia tegapkan, ia tahu dalam hatinya ia tidak akan bisa seperti ini. Ia tahu tatapan gadis itu sarat akan ketakutan, sarat akan sesuatu yang Ian pun tidak mengerti. “Maaf ya, bahumu jadi basah.” Ian menangkupkan kedua tangannya di depan dada, bermaksud meminta maaf karena telah meneteskan airmata sembarangan. Namun di sela-sela sunyi yang bergema, ia sudah merasa tenang sedikit—setidaknya untuk sekarang. Ian tersenyum, menganggukkan kepalanya. 

Merentangkan lengannnya dan kembali meraih sang gadis dalam rengkuhannya. Tangan kanannya mengusap lembut puncak kepala gadisnya. "Terima kasih untuk satu pelukan yang menenangkan, Lysa." Entah harus berapa banyak terima kasih yang Ian ucapkan pada gadis kecil dalam pelukannya; yang dengan sangat baik mau menjadi tempat bersandar seorang Favian. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar