Karena hidup seperti permainan sepak bola, kita tidak akan tahu
kapan kita akan menang atau kalah—waktu sebuah permainan sedang berjalan sangat
baik, bisa saja di detik terakhir pihak lawan lah yang mencetak gol.
Ironinya kehidupan memang tak bisa ada
yang menebak, bagaimana hidup akan berjalan seperti aliran sungai—bisa saja
tenang, mengikuti arus namun berujung pada sebuah air terjun yang sangat curam.
Butuh waktu yang lama bagi Ian untuk tidak menyalahkan siapa-siapa, untuk tidak
menyalahkan Tuhan yang sudah memberinya begitu banyak ujian perasaan. Butuh
waktu yang lama untuk seorang pemuda belia sepertinya agar bisa percaya kalau
ia bisa bahagia terlepas dari semua beban yang menggelayut setia di dalam
hatinya. Ian percaya ia tidak akan memiliki hujan selamanya, atau kemarau.
Karena hidup tak akan seimbang jika hanya merasakan salah satu dari
keduanya.
Ian semakin mempererat pelukannya,
mungkin gadis ini hampir sulit bernafas. Tetapi ia harus mengakui, daripada ia
melakukan sesuatu yang di luar logika serta rasionalitas terlebih karena yang
berada dalam pelukannya itu berjenis kelamin perempuan, maka lebih baik ia
mendekapnya erat. Menghancurkan sendiri apa yang sudah menjadi konsekuensi
kesakitannya. Meski Ian tahu ukuran tubuh gadis ini terlalu kecil untuk
menghapus semuanya, namun bisa ia singkirkan dengan sebuah rasa yang ia
hadirkan begitu saja. untuk sebuah kesempatan yang gadis ini berikan secara
Cuma-Cuma kepada dirinya, kesempatan untuk bisa meluruhkan sakitnya, kesempatan
untuk bisa menangis sepuasnya meski ia tahu ini tidak pantas dikerjakan untuk
seorang lelaki. Tanpa isakan, tanpa bahu yang berguncang—Ian merengkuh gadis
ini kuat-kuat. Nyeri di dadanya yang semula semakin menguat, untuk waktu yang
lama sedikit demi sedikit mulai menghilang. Hanya wujud keputusasaan yang
berwujud pada matanya yang terpejam.
Airmata, tangis, permohonan untuk
tinggal, luka dan keputusasaan. Tidak satupun bisa menyentuh.
Karena memang tembok yang sudah
tercipta lebih kokoh dibanding karang es di kutub utara. Bahkan rupanya
sosoknya hanya berupa fatamorgana yang berada di jarak yang sama hanya saja Ian
tidak akan bisa meraihnya—tidak akan pernah seutuhnya. Dibuatnya Ian oleh rasa
yang sederhana, seperti orang yang mencari delusi dalam dunianya.
Suara kecil dalam rengkuhannya, dalam
sebuah lingkaran terdekatnya tidak bisa ia dengar dengan jelas. Masih
disibukkan oleh penyembuhan diri yang walau tak bisa secara total dan tidak
bisa saat itu juga. Pun ketika pertahanan dirinya benar-benar luluh lantak
ketika sepasang Kristal cokelat itu menatapnya—tatapan kecemasan yang tidak
ingin dia lihat. Sementara ia ingin menarik sudut bibirnya untuk tersenyum
dengan dalih mengatakan bahwa dirinya tidak apa-apa, dirinya baik-baik saja,
tidak perlu ada yang dikhawatirkan sebagaimana mestinya. Tetapi Ian mengaku
kalah dengan egonya yang masih mendominasi rasa sakitnya.
Tanpa sempat dicegah, tanpa sempat
mengucapkan beberapa patah kata, jari-jari lentik gadisnya sudah lebih dulu
sampai pada permukaan kulitnya. Menghapus jejak-jejak airmata yang
berbekas.
“Aku… tidak apa-apa…” Ian
mengucapkannya dengan suara terbata-bata seakan kesadarannya menghilang, “Aku…
baik-baik saja… ya kan?” sepenggal demi sepenggal kalimat meluncur dari
bibirnya. Kemudian ia menyunggingkan sebuah senyuman, “Payah, aku menangis…” disambut
tertawa kecil yang samar, seperti ia bicara sendiri pada pantulan semu
dirinya.
Tubuhnya yang sedikit ia condongkan
akibat ulahnya memeluk sang gadis kembali ia tegapkan, ia tahu dalam hatinya ia
tidak akan bisa seperti ini. Ia tahu tatapan gadis itu sarat akan ketakutan,
sarat akan sesuatu yang Ian pun tidak mengerti. “Maaf ya, bahumu jadi basah.”
Ian menangkupkan kedua tangannya di depan dada, bermaksud meminta maaf karena
telah meneteskan airmata sembarangan. Namun di sela-sela sunyi yang bergema, ia
sudah merasa tenang sedikit—setidaknya untuk sekarang. Ian
tersenyum, menganggukkan kepalanya.
Merentangkan lengannnya dan kembali
meraih sang gadis dalam rengkuhannya. Tangan kanannya mengusap lembut puncak
kepala gadisnya. "Terima kasih untuk satu pelukan yang menenangkan,
Lysa." Entah harus berapa banyak terima kasih yang Ian ucapkan pada gadis
kecil dalam pelukannya; yang dengan sangat baik mau menjadi tempat bersandar
seorang Favian.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar