Harus kamu tahu bahwa suatu saat kebersamaan itu akan berakhir,
dengan atau tanpa penyataan sekali pun—
Benih-benih rasa yang sama sekali tidak
bisa ia toleransi, bersamaan dengan segala keputusasaan yang setiap detiknya
menerjang tubuhnya, menjadikan lelaki tanggung berusia lima belas tahun ini
berdiri telanjang. Transparan dan apa adanya. Ia biarkan seseorang melihat
lukanya, ia biarkan seseorang mengamati dengan jelas bagaimana sayatan itu
terdapat di tubuhnya—hatinya mendingin. Ada banyak hal yang ingin ia
ingkari, ada banyak hal yang menyuruhnya untuk berlari—pada sebuah lorong kecil
yang disangga dengan lukisan abu-abu pualam yang sunyi. Baginya kesunyian yang
lama menyiksanya, berusaha ia enyahkan walau harus dengan sisa-sisa kekuatannya
sendiri. Tergantung dengan segala harapan yang membawanya naik pada nirwana
tertinggi, dengan episode paling akhir adalah bunyi berdebam tanda bunuh diri.
Ian ingin marah, ingin menangis. Tetapi sebuah bisikan membuatnya menutup sang
kelopak, di lain sisi suara imajiner menyuruhnya untuk menangis.
Sekali lagi menatap gadis di depannya—
Meski dengan seribu maaf Ian ingin
katakan kalau ia sangat berdosa telah menyamakan gadis ini dengan seseorang
yang ia sayang sekaligus seseorang yang mematikan dirinya sendiri. Dengan ekor
matanya, dengan sisa-sisa pendengarannya, Ian menyajikan selengkung senyuman
samar. Kedua matanya menutup, bukankah ini yang memang seharusnya ia lakukan?
Bukankah ini memang sudah waktunya untuk melepaskan? Mengikhlaskan bukanlah
sesuatu yang buruk untuk apa yang ingin kita gapai dan miliki. Meski
sulit—sangat sulit melakukan satu hal yang terdengar sepele. Dalam imajinya,
menyeret pada sang waktu yang kian mengingatkannya pada sesosok gadis waktu
lalu.
Jembatan dengan segala tawa,
kegugupan, senyuman, perlakuan—
Ruang Rekreasi dengan segala kesal,
sedih, marah, amukan, pusara putus asa—
Menara dengan segala kehancuran,
kepastian yang membuatnya benar-benar harus merelakan—
Darimana pun datangnya cinta, torehan
pertamanya memang selalu menyakitkan. Tidak peduli pada siapa, dan status apa
yang disandang oleh orang itu. Gerak bibir gadis di sebelahnya hanya terlihat
samar, tidak terdengar satu kata pun karena Ian membekukan telinganya.
Kewarasannya sudah mencapai ambang batas. Tanpa bisa dicegah, kedua lengannya
terulur, menghabiskan jarak yang ada dalam satu kali dekapan. Ia berusaha
mengenyahkan, menghilangkan atau bahkan menghancurkan kenangan yang ada. Di
setiap detail yang penuh tawa, tangisan, bahkan nyanyian. Di setiap detail yang
penuh dengan goresan, sakit dan teriakan putus asa. Kini hanya pada gadis dalam
pelukannya, ia memohon untuk bisa melenyapkan barang sedikit saja sakit yang
ditorehkan. Hanya pada hati yang menginginkan kehidupan ia perjuangkan.
Dalam satu pelukan, tubuh pemuda ini
meluruh, melemah. Ia merasa kekuatannya untuk sekedar bertumpu pada kedua
tungkainya sudah habis.
Seluruh anatominya berteriak—teriakan
yang ia redam karena justru teriakan itulah yang paling menyakitkan. Kemarahan,
putus asa, mewujud dalam bening air mata yang mengalir pada kedua pipinya—Ian menangis.
Sudah sejak lama ia ingin menangis, tapi ia harus mati-matian menahan diri
untuk tidak melakukan sesuatu yang dilakukan oleh seorang perempuan. Dadanya
sesak, gemuruh yang kali ini benar-benar membuatnya terguncang tanpa suara
isakan. Pada sebuah kepala mungil dalam dekapannya, Ian menjatuhkan tetes demi
tetes air matanya. Lelaki menangis bukan karena dia seorang wanita, karena dia
sudah terlalu lelah menghadapi permasalahan ini dengan sikap tegarnya, sikap
tegar yang seolah-olah kuat. Ia biarkan pertahanan dirinya hancur berkeping-keping,
Ia biarkan gadis dalam dekapannya melihat kerapuhannya, merasakan apa yang
sebenarnya pemuda ini rasakan. Hanya dengan begini, hanya dengan cara seperti
ini Ian tenang, hanya dengan cara ini ia bisa melenyapkan—kenangan serta
perasaan yang pernah menyakitinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar