Takdir kita sudah jelas. Kau dan aku tahu itu—
Bukan pada manik hijau di depannya ia
menatap, bukan pada kulit yang bersentuhan dengannya ia bercengkrama. Mungkin
satu sama lain di hadapan pada bagian yang tidak diinginkan sekali pun, tetapi
Molenvliet belia ini tidak punya pilihan lain selain menikmatinya—menikmati semua
kehancurannya. Kehilangan seseorang itu bukan hal yang mudah untuk
diterima.
Ada aksi ada reaksi, tidak ada gerakan
yang dilakukan Xylia selain mengikuti ritme gerakan pemudanya. Ia hanya
mengikuti—apa maunya si pemuda. Mungkin pemudanya lebih sakit dari bayangannya,
sedangkan dirinya hanya bisa menyediakan kebutuhannya saja. Lebih memeduli
setani rasa sakitnya, lebih ingin menikmati kesakitannya saat ini. Tidak ada
yang perlu disesali sesudahnya, tidak perlu ada yang dipermasalahkan
sesudahnya. Toh, mereka tengah berada dalam dunianya sendiri. Ada sarat tekanan
dalam helaan nafas setiap Jonah Julius, namun Xylia sadar. Sesadar-sadarnya dia
Cuma jadi baku pelampiasan saja, maka ia biarkan pemuda ini berlaku sesukanya.
Erangan, atau apa pun yang terucap dari bibir sang pemuda hanya diresponnya
dengan senyum lirih dan seringkali gadis ini menggigit bibirnya kuat-kuat. Ia
bisa merasakan sentuhan demi sentuhan itu menggerayangi bagian-bagian tubuhnya.
Hatinya mungkin memekik, bukan bersama
pemuda inilah kegiatan seperti ini ingin dia lakukan, tetapi toh sudah tidak
ada gunanya berharap banyak. Tidak perlu menghancurkan diri pelan-pelan kan?
Atau setidaknya selama sarana pelampiasan sudah tersedia dengan sukarela kenapa
tidak dimanfaatkan dengan baik?
Xylia menunggu sampai pemuda ini
kelelahan, ia sendiri sudah mencapai puncaknya entah sejak kapan. Perlu waktu
yang cukup lama agar pemudanya tumbang, merebahkan dirinya sendiri di atas
dadanya. Xylia mengulurkan tangannya, menyibakkan beberapa helai rambut
pemudanya yang terjatuh di sekitar keningnya. Dengan gerakan perlahan, ia
bergerak mencoba mencari celana pemudanya yang entah berceceran
dimana—pemudanya butuh obat dan Xylia tahu dimana pemuda itu biasa menyimpan
obatnya—dia
kekasih yang baik bukan?
Gadis yang tengah bersimbah keringat
itu susah payah menggapai sebotol obat dan membuka tutupnya, mengambil satu
tablet kemudian memasukkannya pada mulut sang pemuda. Tangannya kemudian
terulur kembali pada puncak kepala sang pemuda. “Sakit banget ya? Duduk dulu
yuk…” Ada saat-saat tertentu gadis ini bisa menjadi sangat baik dan ada pula
saat-saa tertentu saat gadis ini bisa menjadi sangat jahat, tetapi kali ini
pada pemuda di hadapannya ia tidak bisa.
Setengah harapannya berteriak—kalaupun
ada pemuda yang dia inginkan untuk menyandarkan diri tak sekedar kepala, maka
hanya orang itulah yang ia harapkan. Bukan dia—bukan Jonah Julius.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar