Everything happened for a reason—
Segala yang mengalir pasti punya
alasan tertentu, baik yang menjalankan mau pun yang dijalankan. Pemuda bungsu
ini berdiri tegap, ia mengerti. Sangat mengerti arti kehilangan seseorang,
membuatnya lebih mudah mencerna betapa berartinya seseorang untuk dilepaskan.
Mengerti bahwa melepaskan seseorang berarti siap melepaskan semua pertahanan
diri, mengukuhkan apa yang selama ini bersikeras ia jaga. Kedua lengannya sudah
tidak mampu untuk melingkari batas yang ia ciptakan dengan sendirinya. Liang
yang nyaman untuk dirinya sendiri, hempas sudah oleh setitik rasa yang
membuatnya miris. Keterdiaman seseorang terkadang adalah sebuah jawaban, namun
diam itu ambigu. Atau memang dirinya saja yang menganggap semua itu saru?
Kalimat menggantung seseorang masih teringat dengan jelas, setiap garis kontur
wajahnya menyayat setiap memori yang berputar di kepalanya. Tuhan,
tidak untuk sekarang ini ia benar-benar menghabiskan pertahanan dirinya.
Setidaknya berikan pemuda ini jeda waktu untuk bisa mengisi sepetak
keputusasaannya. Sedikit ruang untuk sebuah ketenangan yang selalu berkecamuk
di dalam dadanya.
Bahwa permintaan maaf dari seorang
Rainyvow mampu membuatnya tidak tidur semalaman, semenjak pertemuannya di
menara, mampu menembus rasa bersalahnya yang paling dalam—rasa bersalah karena
terlalu banyak berharap pada gadisnya. Rasa bersalah yang kian hari kian menusuknya,
Ian tidak suka. Tidak pernah suka dengan rasa yang baru ini timbul—lebih sakit
dari yang sebelumnya.
Ia mengerti bahwa suatu saat cinta itu
akan pergi, menyisakan satu penyesalan karena ia tidak cukup sigap untuk
menahannya untuk tetap di sini, bersamanya. Mungkin, dirinya adalah orang yang
tepat—bukan tetapi
Rainyvow lah orang yang tepat namun datang di waktu yang salah, atau kedua
memang kesalahan Tuhan yang didatangkan pada waktu yang kurang tepat? Tidak ada
garis yang mengatakan bahwa apa yang terjadi pada dirinya kini adalah salah,
tetapi satu yang pasti Tuhan seperti memberinya isyarat bahwa ia belajar,
belajar memahami betapa berartinya seseorang, belajar bagaimana ia menyayangi
seseorang tulus tanpa meminta timbal baliknya. Pertemuannya di musim dingin, di
menara, dengan gadis yang menjadi satu-satunya harapan, namun sekaligus yang
menghancurkannya ternyata mampu membuat pemuda kurus ini mengerti untuk satu
hal yang ia tahu adalah semua orang pernah merasakan kehilangan dari yang tidak
berarti sampai yang berarti sekali pun.
Bahkan saat ia masih kecil untuk
mengerti sebuah arti kehilangan, yang ia tahu, ia hanya ingin merasa
lega.
Favian, seorang pemuda tanggung
berusia lima belas tahun menarik sudut bibirnya, ketika sebuah jari menempel
pada lapis bibirnya. Ia tahu gadis di depannya bukan hanya sekedar seorang
gadis yang sudah memberinya tumpangan berupa ketenangan pada bahunya, tetapi
gadis ini bisa menenangkannya tanpa syarat. Ada sarat yang seharusnya tak bisa
ia jelaskan ketika dua mata mereka bertemu, kedua bening cokelat yang sama-sama
tahu artinya kesepian—tidak, bahkan lebih dari itu. Sesuatu tak mengalihkannya
ketika sebuah kecupan manis mendarat pada pipinya.
Meninggalkan seberkas noda merah muda
pada kedua pipinya, “Terima kasih untuk menenangkan ku, Lysa…”
Tangannya kembali terulur, menggapai
puncak kepala gadisnya dengan satu tarikan yang kemudian merapatkan sebuah
ruang kosong menjadi berisi. “Omong-omong, tadi kau menciumku, apa tidak ada
yang marah? Oh baiklah, wajahmu merah sekali.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar