Disclaimer : Terima kasih untuk Battle Royale, Lula, Amano
Ryota, Shirahata Cho, Hikkari dan semua nama-nama yang disebutkan dalam cerita
ini. In Roleplayer ini adalah faktanya Ryota. Maaf bila ceritanya kurang
menyenangkan, terima kasih untuk silent reader. Enjoy it!
Apa kau percaya pada akhir yang bahagia?
Aku tidak...
Bahagia itu hanya merupakan dongeng belaka, bukan cerita pangeran dan putri.
Keduanya tak memiliki akhir yang bahagia, konflik selalu mengiringi dalam
setiap alurnya. Cerita lama. Percaya atau tidak ia skeptis dengan bahagia.
Definisi bahagia merupakan semu dalam titiannya, segalanya begitu saru. Setiap
kata dalam rangkulan paragraf mematikan rasanya untuk sekadar mengatakan bahwa
ia bisa bertahan untuk seseorang yang mungkin tak ingin dipertahankan.
Setiap tangisan akan pecah menjadi tawa, sendu akan berhias pada senyuman,
kelegaan dalam kecemasan sirna. Berganti arahan pada fokus sang jabang bayi
yang baru lahir ke dunia. Setelah beberapa jam sebelumnya nyaris tak menemui
titik yang mengharuskan ia merasa lega. Duduk dalam ruang tunggu berjam-jam,
menunduk dengan rasa tak karuan. Hidup dan mati, telinganya pekak oleh
teriakan. Seolah ia dipersalahkan, kadung ia sayang pada ibu dari bayinya. Tak
ingin apapun menghalanginya turun ke dunia, mencicipi barangkali kehidupan yang
tak seberapa menyenangkan. Ia diam, mengatupkan bibir dalam kurun waktu 8 jam
di sisi sang ibu menanti kelahirannya, sumber kebahagiaan dari luka yang
membusuk menjadi nestapa. Pintu besar berderit, memerlihatkan sesosok lelaki
berbalut hijau, wajahnya tertutup setengah. Ada rona yang berbeda, dibaliknya
seorang wanita bertubuh kecil dengan senyum mengembang, di tangannya sang
malaikat menggeliat pulas dengan mata terpejam dan Ryota nyaris ingin melompat
ketika sang wanita memberikannya kesempatan untuk menyentuh kulit selembut
kapas dan jemarinya menyapu tiap jengkal sang bayi. Dia berhasil--awal barunya
menjadi seorang ayah.
Dibawanya sang kecil ke dalam ruangan, kembali menatap cemas pada seorang
perempuan yang terbaring lemah. Dengan kekuatan seadanya, ia menyunggingkan
senyum memamerkan sang bayi yang berada pada pelukannya. Tanpa mengatakan
apapun, sorot matanya sarat akan kebahagiaan, ia mendekat memberikan kesempatan
bagi si bayi untuk mengenal ibunya. Ditaruhnya sang malaikat kecil di atas
tubuh Shirahata, jelas sekali dalam pias wajahnya ia bahagia. Dengan seluruh
sisa tenaganya, tangannya memegang jemari-jemari kecil milik darahnya. Ini
memori yang tak bisa ia lupakan, ketika Cho mendongak berusaha mengatakan
kehidupannya kini sempurna dengan atau tanpa keluarga yang mendukung status
barunya. Ryota menempatkan dirinya di sisi sang Shirahata, memeluknya,
berbisik.
"Terima kasih sudah melahirkan Hikkari, terima kasih untuk segala yang Cho
berikan. Aku mencintaimu, kemarin, hari ini, esok dan selamanya." Bibirnya
mengecup kening Shirahata dengan penuh kasih. Bulir-bulir nampak tertahan, tak
bicara tapi menjadi bukti kuat bahwa keduanya sama-sama bahagia.
"Aku akan pulang..."
Dia tahu menit tak akan membiarkan keduanya mereguk sulang bahagia. Tak ada
pilihan lain selain mengangguk meski perih menghantam.
"Jaga Hikkari untukku..."
Ia mengangguk dalam diam. Menahan perih sekuat yang ia bisa. Sorot melepaskan
tak kunjung membuai, ia habis dimakan asa. Terkulai lemah, baru saja
kebahagiaan itu diraihnya. Tapi tahukah Tuhan bisa mengambil apapun dalam
hitungan detik bahkan sekali dalam mengerjapkan mata? Karena kepergiannya
menyisakan pedih yang mendalam, ia tidak pernah lupa memori yang diciptakan
sekalipun berdarah sekalipun mengiris. Tahukah bahwa dalam diam ia menangis?
Tak dikatakan tak ia tunjukkan, karena ia laki-laki yang sejati. Menangis bukan
bagian dari dirinya tapi untuk seseorang yang ia cintai melebihi ibunya
sendiri, hanya diam, hanya sesak, hanya nafasnya yang tak beraturan. Untuk
bicara saja sulitnya bukan main, karena ketika bibirnya terbuka ia akan
menangis, airmata itu akan jatuh dan ia tahu bila ia menangis Cho tak akan
pergi, sayangnya ia sadar bila Shirahata masih memiliki keluarga.
Terlalu egois untuk membiarkannya pergi, satu langkah saja ia tak ingin melepas
barang satu tolehan saja untuk meyakinkan bahwa kepergiannya hanya sementara
sebab bukan hanya Amano yang membutuhkannya, malaikat kecilnya juga butuh sang
ibu. Ditinggalkan dalam usia belia terlalu muda untuk mengerti sebuah
kehilangan--sementara.
Kembali sendiri, kehidupannya berjalan dengan normal. Putus sebelah seolah
menghilang, ia melewatkan sisa-sisa harinya dalam kubangan harapan, Shirahata
tetap hidup, bernafas dan berjalan, ia lihat kondisi gadis itu baik-baik saja
pasca melahirkan. Tubuhnya memang belum terlalu menyusut masih menyisakan
bekas-bekas sang jabang bayi disana--kasat mata. Hanya Ryota yang mengetahui,
sisanya ia abaikan. Namun Shirahata lebih mirip udara, dia ada, dirasakan
tetapi tak bisa digenggam. Ryota tak pernah mendekatinya sekalipun ingin,
sekalipun waktu mengunci mereka dalam diam. Pada akhirnya pemilik bening hitam
ini memilih pergi daripada harus merasakan sakit yang mengiris.
Atap sekolah, halaman dan semua tempat yang ia kunjungi hari itu
mengingatkannya pada pertemuan pertama dengan Shirahata, kesan canggung, kesan
bahwa gadis itu terlalu angkuh untuk mengakui rasa yang teronggok di dalam
hatinya, bahwa Ryota terlalu angkuh untuk mengakui betapa ia mencintai seorang
kupu-kupu maya. Visualnya akan Cho menjadi momok menakutkan sejak kepergiannya.
Tak disangka bila ia berlari menyusuri kuil dan menapaki puluhan anak tangga.
Disinilah ia berdiri menggendong seorang perempuan--ibu dari anaknya. Tubuhnya
yang ringkih masih terasa, terbalut duka dan sepi. Ia menghampiri pembatas
antara daratan dengan lautan. Berdiri menghempas angin, melupakan sisa
kenangannya, memaksanya mengingat deretan memori yang bernyanyi bagai alunan
musik sebelum tidur. Ia terbuai.
Festival kembang api, kau tahu? Banyak anak perempuan yang datang, mereka
mengenakan yukatta mereka dengan surai yang dikepang melingkar dan menempel di
kepala mereka. Bunyi ketukan alas kaki yang terbuat dari bambu nyaring
terdengar, riuh rendah suara pedagang menawarkan dagangan mereka. Di sela-sela
hilir mudik pemuda dan pemudi yang datang, diantaranya merekalah yang mengukir
moment paling indah dan tak dilupakan. Diantara manusia lain yang memiliki
tingkat kesadaran tinggi, seorang Ryota menggandeng tangan lain, menyematkan
jemarinya menuntun Shirahata pada kesenangan. Membawanya melihat-lihat hal yang
menyenangkan disini karena katanya Shirahata Cho tidak pernah berkunjung pada
festival budaya macam ini.
"Mau kemana?"
"Mancing saja yuk."
"Aku mau ikan!"
"Iya, iya..."
Keduanya menghampiri tenda pemancingan. Cho mulai bersemangat ia histeris bagai
anak kecil diberikan kembang gula. Ryota mulai mencoba, menyaring beberapa ikan
namun lolos tak di dapat satupun sampai ia kesal dan memilih untuk menggulung
lengannya saja kemudian mengambil dengan tangannya sendiri secara membabi buta,
begitu tertangkap ia persembahkan pada Shirahata. Ia memekik senang, dalam
pantulan beningnya Ryota tak akan pernah lupa wajah bahagia Cho, senyumnya,
tawanya yang membuat Ryota yakin malam ini akan berbeda dari malam lainnya.
Mereka berjalan, menyusuri taman-taman sampai kembang api ditembakkan di udara.
Dengan kembang gulanya, keduanya saling bicara saling bercerita satu sama lain,
saling tertawa dan mendongak ke langit ketika warna warni langit didominasi
oleh cahaya api yang melesat, bunyi yang memekakakan, decak kagum dari banyak
orang. Tak luput keduanya hingga selesai, Ryota tak melupakan tujuan utamanya
selain mengenalkan budaya negerinya sendiri. Melawan arus ketika yang lain
menuju tangga kuil. Hanya saja ia ingin menghabiskan waktu bagi keduanya, lebih
larut. Karena ia tahu tidak ada lagi waktu yang tepat selain ini. Digenggamnya
tangan mungil Shirahata, dibawanya pada pembatas pagar, kemudian keduanya
menyaksikan sorot lampu warna warni dari pulau di seberang sana. Ia menyukainya
bila jenuh akan datang kesini setiap tahun. Chikusaku menjadi tempat
favoritnya, alasan utamanya sederhana. Tempat ini, tempat dimana ayah dan ibu
bertemu pertama kali. Tempat mereka mengukuhkan hubungan mereka yang mungkin
kandas di tengah jalan tapi ia tahu Hideaki masih mencintai ibunya bahkan saat
pria itu tiada. Ia tahu, ia bisa merasakannya seperti yang ia rasakan.
Sekalipun Cho ingin meninggalkannya, sekalipun Cho akan membencinya karena ia
terlalu cinta, terlalu menyayangi gadis ini sepenuh hatinya. Ia tidak peduli
alasan apapun, tidak ada yang menghentikannya untuk tetap mencintai Shirahata.
"Senang?"
Cho mengangguk.
"Aku punya cerita untukmu..."
"Hmm?"
"Tempat yang kita pijaki saat ini, tempat ayah dan ibuku pertama kali
bertemu," Ia mengatakannya tanpa menoleh seolah memandangi langit dengan
hitam yang mencekam, memutar tubuhnya agar dapat melihat Cho lebih leluasa.
Dalam balutan dress tanpa lengan berwarna krem dengan perut sedikit membuncit.
Ryota merogoh saku celananya, mengambil sebuah kotak yang ia pendam sedaritadi
tadi. Merah membara, membukanya dan mengambil isinya. Sebuah cincin, satu mata
berlian, keperakan, bukan warnanya bukan pula harganya, ia menarik tangan Cho.
"Aku tahu ini mungkin terlalu cepat, kita baru berusia enam belas tahun.
Aku memang tak pernah mengatakan apapun tentang kita, selalu aku atau kamu.
Tahukan aku bukan pribadi yang bisa mengumbar apa yang kurasakan?" Ia
menatap Cho sedalam dan semeyakinkan yang ia bisa, agar Cho bisa menyelami
keseriusan dalam setiap patah kata yang ia ucapkan, "bila selama ini aku
diam, bila selama ini aku terkesan sarkas kepadamu dan mungkin bila selama ini
aku menjadi gila gara-gara kamu. Meskipun aku tak pernah mengatakannya, tapi
bolehkah aku memesan tempat terlebih dahulu? Di hatimu, selamanya..."
Bersamaan kata terakhir yang terucap, ia menyematkan cincin bertahtakan berlian
pada jari manis Cho. Merengkuhnya dalam sekali dekap, merasakan dua kehidupan
sekaligus dalam pelukannya. Apa yang ia genggam tak mudah untuk dilepaskan.
Jawaban apapun yang diberikan Cho, pemuda kelahiran Sapporo ini tahu bahwa
gadis itu miliknya, sejak dulu. Sejak pertemuan keduanya, sejak ia
mengimplementasikan wajah Ryota dalam lukisan kasar.
Aku mencintainya, kuakui. Perbedaan ini menjadi jurang tapi aku tahu kami punya
jembatan yang menghubungkan, Hikari disana dengan cinta yang kami punya. Aku
memang tak pernah mengatakannya betapa aku mencintai gadis dalam dekapanku.
Sikapku yang cenderung sarkas tak bisa terbaca apakah aku memiliki rasa yang sama,
tetapi dibaliknya aku pemilik rasa posesif yang paling besar. Seiring dengan
Shirahata yang selalu menghadapiku dengan kesabarannya, aku mengerti bahwa
wanita memiliki kesabaran tanpa batas, pemilik kekuatan paling dominan, ia
berusaha menaklukanku dengan apa yang ia punya--kasih sayang tanpa batas
untukku dan untuk bayi kami. Aku mungkin bukan lelaki yang baik, bukan lelaki
yang punya segalanya, harta, pekerjaan atau apapun yang bisa menjadi tolak ukur
seorang pria, tetapi aku mungkin lelaki yang tepat untuknya. Terlalu percaya
diri tapi aku merasakannya, sekuat apapun aku mencoba menjauhi Shirahata aku
tidak bisa, padahal aku tahu kami sangat amat berbeda. Aku tidak peduli
kekurangannya, aku tidak peduli seberapa plin plan dia, Shirahataku tetap sama,
tetap Shirahata yang kusayang. Aku tak pernah mengatakan mencintainya
sehari-hari tetapi bukan berarti aku tidak mencintainya. Karena aku tahu cinta
bukan dikatakan, tetapi ditunjukkan, sebanyak apapun kau mengatakannya, tidak
akan berarti tanpa pembuktian.
Kali ini, aku membuktikannya...
18 Maret--aku memutuskan mengabdikan diriku pada seorang Shirahata, utuh sampai
nafasku berhenti.
"Terima kasih untuk mencintaiku selama ini..." Ia berbisik, kalimat
yang hanya bisa didengar oleh keduanya. Menggeser kepalanya, menyusuri kulit
putih Shirahata dan mengecup miliknya. Hangat dan lembut, gadis ini
gadisnya--miliknya seutuhnya.
Ingatannya membawa kembali pada titian asa, ia menunduk menyesal. Tak cukup
berani untuk mengajak gadis itu bicara di sekolah, bukan karena harga dirinya
tetapi ia terlalu senang hingga lupa darimana harus memulai. Shirahata masih
terlihat biasa saja di kelas, sorot matanya melembut kala beradu pandang
dengannya tetapi Ryota menjadi canggung seolah melihat Hikari disana menyambut
ayahnya dengan mata sang ibu. Mencengkram kuat pagar pembatas, sekuat mungkin
menekan otot perutnya ia berteriak sekuat yang ia bisa selantang yang ia bisa.
Tertinggal perih yang membara, membalut lukanya seperti garam yang ditaburkan
tak tersisa, airmata dan tangis permohonan seolah tak bisa diganggu gugat. Ia
ketakutan, setengah mati. Tak ingin ditinggalkan, posesif--menyakiti dirinya
sendiri. Tak bisa menahannya, Ryota nyaris tak bisa tidur setiap malam. Suara
Hikari memekakan telinganya memanggil ibunya, sedangkan Shirahata mungkin tidak
mengetahui. Ia bangun tengah malam, kadang tidak tidur hanya untuk Hikari,
hanya untuk melampiaskan rindunya pada sang ibu dari si bayi. Ia merasa
kemungkinan kecil untuk membawa Shirahata, meski ia tahu tak ada ibu yang tak
merindukan anaknya. Tangis pecah, lagi ia memohon untuk tidak menyakiti dirinya
sendiri. Terlambat--perih sudah membusuk disana, luka menganga tak terobati.
Baginya Shirahata kini menghilang, tak ada lagi di matanya, menjauh. Sadar atau
tidak, baginya seseorang yang dekat akan menjauh lalu ia jatuh mengasihani diri
sendiri. Bagaimana bisa mencintai seseorang yang ingin pergi? Bagaimana ia bisa
menyimpan rasa ini ketika Shirahata kian menjauh dari genggamannya? Bagaimana
bisa ia mengatasi ini sendirian? Hari-hari menjadi penuh tanda tanya, ia
memunguti sisa-sisa harapannya membawanya pulang menuruni kuil dan kembali ke
rumah. Langkahnya gontai seolah tak tahu arah mana yang dituju oleh
langkah-langkahnya.
Memanggul tasnya, menyusuri stasiun, melewati gang-gang kecil termasuk rumah
Hideaki. Sedikit saja sejarah terlupakan, Saeki bukan lagi tujuannya, ia
melupakannya, sudah. Hideaki Tosho dinobatkan sebagai kakak yang tepat bagi
Saeki. Ia tersenyum masam, ada yang lebih penting dari sekadar Saeki,
kehidupannya mulai terbentuk meminta tanggung jawabnya secara utuh.
"Tadaima..."
Ia lelah, tak ada jawaban. Dibantingnya pintu dan lagi terdengar suara Hikari
menangis. Ryota mengintip, ibunya selama ini membantunya menggendong sang bayi
dan berhenti bekerja karena katanya Hikarilah hidupnya sekarang. Meski terlalu
cepat tapi ibu tak punya pilihan, ia menyambut si kecil dengan sukacita. Begitu
juga Ryota, tersenyum masam kemudian menutup kembali pintunya. Menaiki
anak-anak tangga yang berderit. Hening, kakinya terhenti tepat di ambang pintu.
Pelan-pelan nafasnya menderu, menyapa ruang, fatamorgana tetapi nyata.
Dilihatnya bayang Shirahata disana, duduk dipinggir ranjang memakai terusan
biru muda dengan surai menjuntai, wajahnya lembut, sorot penuh kasih, ia
rindu... Ya dia rindu. Seketika membuang tasnya, berlari namun yang didapatinya
hanya ruang hampa. Shirahata tak ada disana, gadis itu lenyap dihempas
khayalan. Ia mati, tangannya melayang kearah bayang semu, sejurus kemudian
tangannya menembus pantulan dirinya sendiri, kepingan demi kepingan berjatuhan.
Suara ini dia hapal, menjadi memorinya lagi ketika Cho ingin meninggalkannya
ketika ia tidak sigap menahan Shirahata untuk tetap disini--bersamanya. Memilih
pergi dan dengan bodohnya ia membuat gadis itu menangis lagi. Darah segar
mengucur, jatuh berbentuk titian panjang, Ryota mati rasa. Tatap matanya
tertuju pada lantai, ia duduk di pinggir pembaringan. Ada nyeri disana, perih
yang tak dirasa. Ingatkah dulu saat ia nyaris mati kehabisan darah saat
bertengkar dengan Shirahata? Jatuh, gelap saat dirinya berusaha untuk menyuruh
Cho membunuhnya.
Tak dilakukannya, gemetar memilih untuk menangis di sudut ruangan.
Payah, ia tak bisa menjadi lelaki yang sempurna. Tidak bisa menjaga ibu dari
anaknya, dunianya kini lenyap, berbaur dengan duka. Kosong, hampa, ia berdiri
sendirian, sementara tangis Hikkari semakin kencang. Tak berlangsung lama,
Ryota beringsut dengan darah yang masih mengucur setia mengikuti langkahnya. Ia
tak merasa apapun kecuali pening luar biasa menyerang kepalanya. Tubuhnya mulai
hilang keseimbangan, menabrak dinding, tidak ada rasa sakit kecuali melayang
dan kepalanya seperti dibenturkan ke dinding berkali-kali. Kemudian ada banyak
bintang dan ia melayang, terakhir jatuh bunyi berdebam dan semua sirna.
Gelap tak menyisakan apapun untuk dilihat. Terbesit dalam ketakutannya, mungkin
ini akhir dari hidupnya yang sudah menanggung dosa terlalu lama. Beningnya
tertutup rapat, nafasnya semakin pelan seiring dengan detak jantungnya yang
melemah. Dingin mendekapnya, putih menjadi warna dominan--semuanya terasa
ringan dalam ketiadaan.
Di usia senjanya seorang perempuan berwajah pucat baru saja menemukan jasad
anaknya di bawah tangga. Tubuhnya kaku, dingin, wajahnya pucat pasi persis
kertas yang tak pernah disentuh manusia. Kehilangan akal, mirip orang
kesetanan, ia melarikan anaknya ke rumah sakit terdekat. Meski keputusan belum
dikumandangkan, sepasang matanya kosong. Dalam dekapannya Hikkari kecil
tertidur pulas, ibu anak ini tidak tahu apa yang terjadi pada anaknya, pada
ayah sang bayi. Dipindahkan sang malaikat pada tangan suaminya, ia memutuskan
untuk berlari sekuat tenaga, menuju rumah sebuah keluarga setelah seorang
berseragam hijau mengatakan berita duka. Ia berlari sekencang yang ia bisa demi
mengatakan kabar yang tak ingin didengarnya detik ini juga bahkan selamanya
bahwa ia belum siap kehilangan. Matanya memerah, dadanya sesak, ia berlari
tanpa berhenti ketika sampai di depan sebuah rumah dan mengetuknya dengan
langkah tergesa-gesa, sore hari menjadi momok yang paling menakutkan. Seperti
malam menelan surya, maka habislah kehidupan. Lelah, mungkin itu sisa
kekuatannya untuk bertahan. Kepergiannya mengajarkan bahwa ada rasa sakit yang
tak bisa terobati ketika cinta menjauh dan pergi.
"Permisi! Selamat sore!" Tangannya tak berhenti mengetuk pintu rumah
Shirahata, bibirnya gemetar sementara matanya sudah basah. Tak bisa lagi
dibendungnya untuk putra sulungnya. Ketika pintu terbuka dan hadir seorang
perempuan tatkala Tuhan tahu siapa yang dibutuhkan. Disana berdiri seorang
perempuan dengan surai pekat, wanita setengah tua melompat, memeluk erat hidup
putranya.
"Cho..." Sesegukan, tak bisa lagi, ini sesak seperti dibunuh
pelan-pelan, "Ryota..."
Nafasnya tak beraturan, dilepaskannya rangkulan, ditatapnya sepasang mata
kucing yang pias. Tanpa peduli siapapun yang melihat adegan ini menjadi terlalu
dramatis.
"Ada apa bu? Bicara pelan-pelan..."
Disambarnya kembali tubuh Shirahata dalam pelukannya.
"Ryochan..." Sungguh, ini perih.
"Iya, Ryochan kenapa?"
Berusaha untuk mengatakannya, mungkin ini kabar duka yang tak bisa diterima
untuk siapapun bahkan untuk dirinya sendiri. Bahwa ini terlalu pahit untuk
diterima seorang diri, bahkan untuk manusia yang baru saja bahagia beberapa
bulan yang lalu.
"Ryota koma... Dokter bilang keadaannya kritis."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar