Kau seharusnya tahu bahwa memiliki suami yang mencintaimu dan
mengandung seorang anak darinya adalah sebuah kebahagiaan yang patut membuat
siapapun iri. Kau punya segalanya, suami yang mencintaimu, keluarga yang
menyayangimu, teman-teman yang membantumu serta jabatan yang meninggikanmu. Semua
itu apa yang kurang? Apalagi kini keluargamu tengah berbahagia, mereka
menantikan manusia baru yang ada di dalam tubuhmu. Menantikan ia lahir ke
dunia, menanti tangisannya dan menanti manusia itu tumbuh besar. Manis bukan?
Kau memilikinya, kau memiliki segalanya. Apa yang kurang?
Ivy menyisir surainya, terduduk dengan perut besar di depan cermin riasnya.
Setiap hari tubuhnya bertambah berat seiring dengan jabang bayi yang semakin
membesar di dalam perutnya. Tangan mungilnya masih tetap menyusuri beberapa
helai yang kusut, wajahnya cenderung pucat tanpa polesan bedak apapun. Setiap
kali biner cokelatnya memantul pada permukaan cermin, ia menemukan seseorang
penuh dengan kebahagiaan yang mencuap-cuap, penuh dengan kasih sayang, namun
setiap kali ia mengerjap ia merasa menatap sesuatu yang lain dari balik
matanya. Menemukan serpihan lain dari bentuk kebahagiaan, pecahan harapan dan
perasaan belum benar-benar tersusun rapi hingga kelopaknya tertutup kembali. Di
balik matanya ia menemukan hal lain, dua sisi yang bertentangan. Rona merah
kembali menghilang seiring dengan helaan nafas dan pergerakan menaruh sisir
diatas meja. Dia sudah terlalu banyak menghabiskan waktunya di depan cermin
sedangkan menit akan terus melaju tanpa berharap untuk berhenti. Memoles
sedikit saja wajahnya dengan taburan bedak dan lipstick peach, ia mengambil tas
kerjanya dan bergegas berangkat. Ritual pagi yang biasa dilakukannya, sarapan
yang baik bagi ibu hamil untuk memenuhi nutrisi sang bayi. Satu dua teguk
setelah itu sisanya dijadikan bekal saat tiba di kantor.
Tidak butuh waktu lama, dia sudah mencapai tempat kerjanya. Perutnya yang
membuncit selalu menarik perhatian banyak orang, terkadang beberapa membantunya
berjalan. Ini sulit bagaimana menyeimbangkan tubuhmu dengan kaki-kaki yang
kecil. Sesekali ia harus menumpu tangan pada bagian pinggul dan melangkah
dengan tertatih. Usia kehamilannya tidak lagi muda, menginjakkan 7 bulan
kontras dengan ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar. Ivy masih tetap
terlihat mungil, masih tetap berwajah seperti anak-anak. Membentuk lekuk sabit
di bibirnya, menyapa beberapa yang lewat, butuh waktu yang cukup lama untuk
sampai ke ruangannya. Untungnya ia tidak bekerja sendirian, ia memiliki
seseorang yang dapat dipercaya, selama ini menangguhkan bebannya bila tak
sanggup melakukan pekerjaannya seorang diri. Mila, namanya. Wanita bersurai
platina dengan tubuh tinggi dan kurus namun cenderung bungkuk selalu setia
menghabiskan waktunya bersama Ivy ketika berada di kantor. Dia asisten yang
setia untuk segala keperluan Ivy bahkan ketika Ivy kesulitan untuk melakukan
hal-hal sepele, membuat susu misalnya. Mila juga pernah mengantarkan Ivy ke
rumah sakit di dunia muggle sesekali untuk memeriksa kandungan Ivy apabila ia
tidak sempat memeriksanya ke St. Octavianus.
Waktu terasa begitu cepat meski tanpa Dante disisinya. Setiap hari ada satu
sampai dua surat yang mampir kerumahnya, terkadang ada benda-benda dari Rusia
yang Dante kirimkan. Ivy selalu senang dengan Dante, meskipun jauh, meskipun ia
tak pernah melihat raganya tetapi perasaannya tetap sampai. Seolah sang jabang
bayi mengetahui seberapa besar ayahnya mencintai dia dan bayangan setiap malam
akan mimpi buruknya tentang masa lalu mungkin akan segera berakhir. Karena
setelah ini ia tidak memiliki urusan apa-apa dengan masa lalunya terutama
dengan kau-tahu-siapa yang dia maksud. Seseorang yang selalu tertuju ketika ia
membuka lembaran lalunya. Ketika ia memutar balik ceritanya dengan Dante, jauh
sekali jauh sebelum sang jabang bayi lahir. Bayangan itu seakan menjadi tinta
hitam di awal-awal masa keemasannya bersama Dante, nyaris tak pernah tidur
semalaman dan ia membangun dinding sendiri untuk menjauhkan Dante agar tidak
menyentuhnya. Berusaha sekian lama memendam apapun yang tidak ingin ia
beritahu, sayangnya kebersamaan dengan Dante memaksanya untuk berani
melepaskan. Untuk berani mengikhlaskan kepergian seseorang selamanya, selama ia
berusaha menimbun perasaan sampai takdir berkata untuk berhenti menahannya.
Ivy beringsut, ini musim semi. Sudah lama sekali tidak melihat kelopak-kelopak
bunga mereka, mewarnai karpet hijau dan serbuk bertebaran. Ia berdiri
membelakangi pintu masuk dan seolah hanya ada dirinya di ruangan. Tidak ada
Mila, tidak ada tumpukan berkas, tidak ada dering telepon—hanya dia, hanya
dirinya yang menatap melalui kaca-kaca jendela sambil sesekali mengelus
perutnya yang membuncit. Ivy selalu menyukai musim semi, biner cokelat
terangnya bisa mengamati banyak warna, merekam semangat keluarga-keluarga kecil
yang bertaburan di taman-taman Amerika, sedangkan di Calix Lumina ia tidak
mendapatkan apapun. Sepanjang musim ia hanya akan melihat salju, salju dan
salju. Bahkan walaupun musim panas salju tidak benar-benar mongering disana.
Terkadang sedikit ragu apakah nanti anaknya bisa bertahan dengan udara di
Calix? Atau dia akan memutuskan untuk pindah ke Rusia?
Sayangnya opsi kedua selalu menjadi yang paling mustahil untuk
diterima—mengingat ibu mertuanya selalu kontra dengan dirinya dan sama sekali
tidak bisa menerima kehadirannya. Padahal hanya menunggu sedikit saja, sedikit
waktu untuk dapat menerima kehadirannya, mungkin bukan dia, tapi biarkanlah
sang malaikat kecil diberikan pengakuan, setidaknya ia akan bangga mengetahui
ayahnya ternyata seorang yang paling berpengaruh di daratan Eropa. Hng, rasanya
ia sedikit kelelahan selama berdiri, belakangan ini memang Ivy cepat lelah.
Untunglah bulan persalinan hanya tinggal menunggu waktu saja, ia akan cuti
panjang setelah bulan ini berakhir.
Suara ketukan menyadarkannya dari lamunan, Ivy membalikkan tubuh dan menyuruh
tamunya masuk. Tanpa melihat siapa yang masuk, ia mencoba untuk berjalan
menggapai kursi kebesarannya, perlahan-lahan namun telinganya tak melepas dari
sebuah suara ketukan sepatu membentur lantai. Suaranya nyaring, itu sudah
biasa. Ia akan menghadapi satu lagi dari sekian banyaknya agen yang mengenakan
pakaian hitam dan mata mereka yang selalu disembunyikan oleh kacamata hitam.
Ah, ya dia merasa kesulitan untuk duduk. Satu tangannya menyanggah pinggul dan
satu lagi menahan dibagian bawah perut.
“Hati-hati…”
“Ah ya terima kasih sudah…..” Ia melepas pandangannya, mengarah pada tamu yang
datang, “mengingatkan.”
Untuk kesekian kalinya Ivy ingin membunuh takdirnya sendiri. Untuk kesekian
kalinya ia merasa dikhianati oleh takdirnya sendiri. Ini bukan lelucon, ‘kan?
Ini bukan sesuatu yang harus ia tertawakan, ini lelucon yag sangat-sangat tidak
pantas untuknya. Tuhan, kenapa kau beri aku cobaan yang sedemikian sulit? Kau
jauhkan ia dari Dante tapi kau pertemukan aku dengan orang ini, salahku apa?
“Apa kabar, Ivy?” Suara itu, suara yang sangat ingin dia dengar sejak 7
tahun silam, sejak ia dikabarkan menghilang, sejak harapannya putus di tengah
jalan. Suara yang tidak pernah terdengar lagi bersamaan dengan raga yang
tenggelam. Dadanya terasa sesak, seperti ditonjok ratusan tangan, nafasnya
tercekat dan matanya membulat. Mungkin saat ini wajahnya lebih mirip melihat
hantu di siang bolong daripada melihat manusia dengan kemeja sutra hitam, dasi
hitam dilapisi jas Armani dan surai cokelat terang yang disisir sangat rapi
meskipun ditata berantakan. Laki-laki ini cerita masa lalunya, cerita yang
tidak pernah usai sampai detik ia ingin melupakannya.
“Baik… Tentu saja, baik.” Memaksakan diri mengulas senyumnya, mencari posisi
duduk yang nyaman. Dilihatnya Mila menghampiri membawa beberapa berkas dan
kemudian memandangnya dengan ekspresi aneh. Asistennya bisa menanngkap raut
wajah janggal Ivy meskipun ia berusaha tersenyum, topeng apapun dapat ditebak
dengan mudah oleh Mila. Dengan hati-hati Mila meletakkan tumpukan berkas-berkas
diatas mejanya. Ia menjelaskan kedatangan Sean ke tempatnya dengan hati-hati
dan Ivy berusaha mencerna dengan baik ketika jantungnya mengkhianati dan
mengakibatkan kepalanya tak bisa berpikir jernih. Oh Tuhan, jangan sekarang,
tolong.
Ivy mengangguk, ketika akhirnya ia berusaha menatap Sean dengan tenang.
Jantungnya masih belum stabil, rona kebahagiaan seperti petasan yang dapat
meletus ratusan kali. Rasa senang yang membuncah sekaligus rasa sakit karena
tikaman masa lalu yang begitu pedih dan tajam, nyeri terasa diseluruh tubuhnya
bahkan menekannya hingga Ivy sulit bernafas.
“Jadi?” Ia membuka pembicaraan.
“Yang dikatakan asistenmu itu hanya kamuflase saja, mengerti ‘kan?”
Ivy mulai ber uh oh seenaknya, ia membuka beberapa lembar kertas pada bagian
persetujuan. Dia paham—kasusnya ternyata beberapa penyihir di Amerika
menggunakan hewan gaib dirumah mereka. Beberapa dalam pengawasan dan selebihnya
ternyata mulai mengabaikan peraturan. Sebagai duta sudah sewajarnya ia
mencintai negaranya sendiri, keamanan tentu menjadi prioritas utama. Ketika
ancaman keamanan menjadi serius, Ivy harus siap sedia di tempatnya. Biner
cokelatnya tak melepas pandangannya barang sedetik pun dari wajah yang begitu
ia rindukan sejak tujuh tahun silam, hidung yang mancung, mata yang besar dan
kecokelatan, struktur rahang yang kuat bahkan aroma Sean menghipnotis Ivy saat
itu juga. Tolong, ia sudah memiliki seorang suami sekarang. Penjelasan mengenai
beberapa penyihir yang menyimpan hewan gaib di dalam rumahnya, tentu saja bukan
sekelas hippogriff melainkan hewan gaib dalam ukuran kecil tanpa perizinan dari
kementrian sihir Amerika, ia diminta untuk bekerjasama dengan kementrian muggle
di Amerika. Sayangnya Sean tak punya koneksi untuk meminta tolong pengawasan di
dunia muggle. Ia tidak mengenal siapapun di dalam kantor kementrian Amerika
dunia muggle. Kementrian sihir memintanya untuk tetap berlaku stabil, takut
kalau penyihir ini lambat laun akan membuka identitas mereka pada dunia. Ia
pikir hanya ada satu atau dua orang saja yang memiliki hewan gaib, ternyata
data menunjukkan lima puluh lebih dari mereka yang memiliki hewan gaib dan
hanya beberapa yang memiliki lisensi pemeliharaannya.
Kebanyakan muggle di dunia Amerika kelewat sangat rasional, mereka jarang
percaya sihir bahkan dongeng-dongeng konyol seperti ini. Maka ketika diutus
untuk melaksanakan kerjasama dengan kedutaan Amerika ia merasa pusing dan tidak
tahu strategi apa yang digunakan. Tetapi ketika Kementrian memberikan nama
seseorang yang dijanjikan sebagai relasi paling dekat dengan kementrian muggle
di Amerika, ia merasa tidak asing dengan nama itu. Ya, Viervhy Leandra Athena.
Nama yang tidak pernah asing di telinganya, maka Sean menyanggupi tugasnya
melakukan diplomasi meningkatkan hubungan kerjasama. Ia pikir ini akan lebih
mudah, sangat amat mudah meskipun ia harus merasakan gejolak batin di dalam
dadanya saat pertama kali bertemu—kembali dengan Ivy.
Ivy mengangguk, menghabiskan separuh dari lamunannya hanya untuk mengamati
paras Sean. Ia menghela nafas, pikirannya sekarang sedang tidak karuan, hanya
bisa mencerna, bukan lantaran ia bodoh atau tidak mengerti pokok masalahnya,
lebih karena ia ingin sekali pulang dan terbangun dari mimpi yang sudah lama
ingin dilupakannya. Menghapus memori tentang McKinley saat ini juga dan
mengenyahkan pikiran apapun yang menjadi dasar terganggunya pikiran seorang
Ivy.
“Hmm, ya aku mengerti. Disini memang nyaris tidak ada yang percaya tentang
sihir, mereka selalu menganggapnya dongeng pengantar tidur,” Mengulas
senyumnya, “ada lagi yang bisa kubantu?”
“Itu saja…” Ivy meraih berkas-berkas diatas meja dan menumpuknya menjadi
satu. Satu tatapan mengganggunya, ia melepas barang sedetik arahan matanya dari
tumpukan berkas, “terlalu kaku…”
“Pardon?”
“Kau,”
Ivy mengernyitkan keningnya, “Kenapa denganku?”
“Sudah lama tidak bertemu, kau terlalu kaku, maksudku terlalu formal untuk
teman lama.” Sean terkekeh, tawa ringan yang selalu ingin dia dengar sejak
berada di tingkat dua, saat ia menantikan senyum sederhana dari pemuda
sederhana menjadi tawa yang khas di telinganya. Ivy mendadak gugup, pipinya
merona merah seraya membuang wajah.
“Karena berada di kantor, ‘kan? Profesional itu perlu, McKinley.” Lagi, ia
memaksakan diri mengulas senyumnya.
“Oh, kalau begitu… Kau ada waktu sebentar setelah ini?”
“Untuk?”
“Makan siang di luar mungkin…” Sean mengedikkan bahunya.
Hangat menjalar, Sean mengajaknya untuk waktu informal di luar jam bekerja.
Biasanya ia akan menganggapnya sebagai permintaan khusus kliennya, tapi kali
ini kenapa rasanya sangat berbeda. Biasanya ia akan dengan malas memenuhi
permintaan kliennya soal makan siang di luar, cuaca terkadang tidak bersahabat,
tetapi dengan Sean segalanya menjadi tidak terkendali. Tanpa menunggu waktu, ia
segera memenuhi ajakan kliennya itu. Ini menimbulkan pertanyaan besar,
bagaimana Mila menatapnya dengan sangat aneh dan ia menuntut jawaban ketika Ivy
menyambar tas kerjanya dan meninggalkan ruangan bersama McKinley dengan wajah
berseri. Ivy berhutang cerita pada Mila saat ini. Tidak jauh dari kantornya, di
dekat taman St. Morris. Ada sebuah restoran bergaya Eropa dengan desain
sederhana zaman romawi kuno. Makanannya lezat, mereka memasang berbagai menu
khusus bahkan untuk ibu hamil. Ivy lupa kalau dirinya sedang berbadan dua
saking senangnya dia bertemu dengan Sean. Pemuda itu tidak mengalami banyak
perubahan, penampilannya masih sama hanya pundaknya lebih bidang, tubuhnya
lebih tegap dengan garis wajah yang tegas serta aroma laki-laki yang sangat
kuat.
“Sudah lama sejak di Yellowstone…” Kata-kata ini membuatnya mendongak,
menatap raut wajah yang mendadak pias tapi berusaha tersenyum, sayang pandangan
mata itu kosong.
“Sangat lama dan kau menghilang lagi?” Menaikkan alisnya.
“Aku tidak menghilang,”
“Oh…”
Keadaan menjadi sangat hening, masing-masing bergelut dengan pikirannya
sendiri. Baik Ivy ataupun Sean, keduanya sama-sama tak tahu bahan pembicaraan
apa yang pantas untuk siang ini. Ivy berusaha menyibukkan diri dengan cara
memotong-motong beef yang menjadi menunya siang ini. Memaksa mulutnya untuk
mengunyah meskipun ia tidak sedang lapar. Sean, dia tahu pemuda ini mungkin
melakukan hal yang sama. Ivy hanya berharap, detik ini juga biarpun ini hanya
mimpi, jangan bangunkan dia meskipun dunia hancur saat ia tertidur lelap.
“Maaf waktu itu aku tidak datang ke pernikahan kalian…”
Permintaan maaf yang menurut Ivy tidak pantas diucapkan, itu hanya akan
menggoreskan luka. Ingatkah bahwa ia menunggu sosok McKinley tiba di depannya,
mengulurkan tangan alih-alih memberinya selamat tetapi malah mengajaknya pergi
bersamanya kemudian keduanya hidup bahagia. Ivy hanya menarik sudut bibirnya,
asimetris, ia tak sanggup menahan gejolak menyedihkan di dalam dadanya, sama
sekali tidak bisa ia tahan. Bahkan tangannya ingin sekali melempar Sean dengan
gelas, betapa menyebalkan sosok McKinley.
“Tidak apa-apa, aku tahu kau sibuk…” Senyumnya merekah, menahan kepedihan.
Susah payah untuk tidak mengambil lembaran lama dan membuka seluruh coretannya,
menggantinya dengan kalimat-kalimat baru yang lebih pantas untuk menggambarkan
situasi hening seperti ini.
"Bukan itu,” Sejenak Ivy terdiam, menunggu lanjutan kalimat yang akan
diucapkan pemuda McKinley, “terkadang ada beberapa hal yang harus aku
lewatkan, demi menjaga sesuatu yang berharga.”
Anggap saja Ivy tidak pernah mengerti apa yang dibicarakan McKinley saat ini.
Alih-alih lebih tertarik dengan beefnya daripada pembicaraan yang berujung pada
kelukaan. Pedih menggantung disisinya, menggoyahkan harapan bahkan mungkin
keinginan untuk tetap berada di jalan yang benar. Ingatkan ia, saat ini
ceritanya sudah selesai, ini hanyalah bagian terkecil dari ingatan masa lalu
yang belum tuntas sekadar dongeng pengantar tidur selama ia menaungi masa
kecilnya.
“Kau bahagia, Ivy?”
Percaya atau tidak, pertanyaan ini benar-benar membunuhnya, menikamnya hingga
tidak bisa bernafas barang sedetik pun. Tangannya mendadak gemetar, jantungnya
memompa darah terlalu kuat, nafasnya tercekik di kerongkongan. Bahagia, satu
kata sederhana namun terlalu rumit untuk dijabarkan. Bahagia, ia Tanya hal itu.
Bahagia adalah perasaan yang seharusnya ia rasakan, bahagia memiliki suami yang
mencintainya, menyayanginya, bahagia memiliki sang jabang bayi, bahagia karena
akan menjadi wanita seutuhnya setelah melahirkan darah daging dan buah cinta
suaminya. Harusnya hal itu bahagia ‘kan? Sulit, terlalu sulit untuk
merepresentasikan definisi bahagia. Bahagia, tetapi juga menyakitkan. Ia harus
mengatakan apa? Mungkin ia bahagia dengan Dante—pria yang baik, bermartabat,
memiliki kedudukan, dihormati segala kalangan, penyayang, mengerti bagaimana
perjuangan Ivy melupakan seorang Sean. Bukan, Ivy tidak akan pernah melupakan
Sean sekalipun ia dikabarkan telah meregang nyawa—melupakan perasaan itu lebih
dari segalanya, sulitnya bukan main. Ia berjuang selama beberapa tahun terakhir
untuk benar-benar membuka lembaran baru dengan sisa-sisa kenangan lama yang
masih dan akan terus menempel di kepalanya.
“Menurutmu?” Memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya tanpa melihat lawan
bicaranya.
“Kau pasti bahagia ya? Buktinya sudah terlihat.” Sean tertawa renyah.
Tertawa saja, tidak tahu ‘kan kalau perempuan di depanmu ini mau menangis?
Ivy mati-matian menjaga agar airmatanya tidak mengalir sembarangan, agar ia
bisa menyembunyikan perasaannya yang hancur saat ini. Mengingat darah daging
Dante ada di dalam perutnya dan kini ia harus berhadapan dengan seseorang yang
ia inginkan untuk menanam benih di dalam tubuhnya.
“Yang kudengar gosipnya sih, katanya kalian membuat beberapa teman-teman
seangkatan sangat iri. Dante pasti sangat menyayangimu, dia pasti sering
menemanimu dan si kecil itu ‘kan? By the way sudah berapa bulan usianya?” Racauan
itu seperti bom atom yang ingin meledak tepat di telinganya. Tangannya mulai
gemetar, memotong daging-daging saja ia harus susah payah. Ada perasaan seperti
tertohok di bagian jantung, kali lain ia harus belajar untuk benar-benar
memisahkan antara pribadi dengan pekerjaan. Ivy ingin sekali memperlakukan Sean
sebagai teman lama, bukan sebagai kisah masa lalu yang belum selesai. Ivy ingin
sekali menganggap segalanya sudah selesai, tidak perlu merasakan sesak setiap
kali mengingat bahkan melihat Sean di depan matanya. Dia sudah lelah, terlalu
lelah untuk mengingat serpihan kenangannya. Memeluk lukanya, membalutnya namun
setiap kali ingin sembuh selalu saja terbuka kembali, bagai menabur garam
diatas luka—perih. Mati-matian ia menahan laju emosi, ini bukan sembarang emosi
yang berujung pada amarah melainkan emosi yang beruju pada kelukaan. Menangis
mungkin satu-satunya jalan keluar ketika ia tak bisa lagi menahan perasaannya
terlalu lama, ingin sekali menghambur ke dalam pelukan McKinley. Selama tujuh
tahun, ia pikir ia berhasil menyingkirkan bayangan Sean, dia pikir tujuh tahun
adalah waktu yang cukup bagi Ivy untuk menghindari kenyataan bahwa ia dan Sean
tak bisa bersama. Sayangnya tujuh tahun ini juga memberikannya kenangan yang
tersisa, perasaan yang tertinggal.
“Itu hanya gossip saja, Sean. Dante sedang tidak berada disini, dia di Rusia,
kerajaannya butuh sosoknya saat ini. Ah kebetulan sudah 7 bulan,” Pun untuk
tersenyum rasanya sangat pahit, ada getir yang menjalar di dalam nadinya,
menusuk-nusuk hingga membuat lubang yang semakin besar, “jadi bagaimana
denganmu? Sudah menemukan perempuan yang cocok? Apa kau sudah menikah?”
Memaksakan diri menatap mata seseorang yang dengan pertimbangan ketika kau
ingin melihatnya karena rindu yang membuncah atau kau tidak ingin melihatnya
dengan alasan sakit setiap kali kau melihat kedua matanya. Kali ini gentian
Sean yang memalingkan wajah, posisi duduknya tak lagi formal, ia bersandar pada
kursi dan membiarkan kakinya lurus di bawah meja. Ivy menghela nafas, mungkin pertanyaannya
sama-sama membuka luka lama. Padahal ia ingin sekali bertanya tentang kenapa
selama ini menghilang, kemana saja, apa yang Sean lakukan selama menghilang,
kenapa tidak memberikan kabar dan yang lebih penting adalah apa Sean memiliki
perasaan yang sama dengan Ivy? Apakah dia bahagia melihat Ivy bersama Dante
sekarang? Pikirannya terus berputar, seolah tergugu mendengar jawaban Sean.
Lidahnya mendadak kelu, ia tidak bermaksud membuat Sean tidak ingin bicara
dengannya lagi. Dia hanya ingin tahu apakah Sean telah menemukan penggantinya,
lebih tepatnya seseorang yang dapat membuat pria itu merasa nyaman, tersenyum
dan tertawa sama seperti ketika keduanya baru bertemu pertama kali. Kau tahu,
selama tujuh tahun ini senyum Sean tak pernah berubah, ia selalu menyukainya,
ia selalu menyukai sikap hangat Sean—sampai kapanpun, meskipun Dante akan marah
bila ia terus menerus seperti ini.
“Sulit mencari seseorang yang dapat membuatku tersenyum—seperti dulu…” Kecut,
ia mendapati ekspresi wajah tak seimbang dengan kalimat barusan. Seperti ada
sesuatu yang menyakitkan dibalik mata seorang Sean. Ivy meraih gelas berisi
cairan limunnya, menyesapnya perlahan, membiarkan kerongkongannya terisi oleh
cairan. Kering menggantung sama dengan suasana saat ini.
“Oh, bukankah di kota ini banyak sekali gadis-gadis cantik?” Ivy semakin
memaksakan diri untuk mendesak Sean, padahal ini bukan keinginannya, sama
sekali bukan hal yang ingin dilakukannya—menyudutkan Sean bukanlah hobinya. Dua
sisi—senang dan sedih. Entah dia harus merasakan sedih atau senang ketika Sean
mengatakan kalau ia belum menemukan perempuan yang dapat membuatnya tersenyum,
it means Sean masih seorang diri mengarungi dunia. Ia belum menemukan belahan
jiwanya bahkan mengikatnya di depan altar, tidak seperti Ivy yang sudah lebih
dulu memutuskan untuk mengikat diri dengan Dante. Sedih—menyesali keputusannya
yang sangat gegabah, seharusnya ia bisa lebih sabar menunggu Sean, seharusnya
dia menolak tawaran Dante yang ingin menjadikannya ratu. Kalau saja ia sudah tahu
lebih dulu seperti apa kehidupan sebagai seorang ratu, kalau saja ia tahu masa
depannya sejak lama, seandainya dia tahu kalau Sean akan kembali kehadapannya,
mungkin ia bisa memutuskan kalau ia tidak perlu menikah dengan Dante, ya dia
tidak perlu repot-repot bersandiwara kalau selama ini dia bahagia. Sayangnya,
takdir sudah mengaturnya, sudah menuliskan ceritanya lebih dulu. Ivy hanya bisa
meretaskan senyumnya, meneguk pil kekecewaan sampai habis. Kelereng cokelatnya
dengan jelas melihat kelukaan disana, Sean mungkin bisa melepaskannya, Sean
mungkin akan menganggapnya sebagai orang yang berdosa. Tidak, sayang… Ivy tidak
tahu apapun yang Sean pikirkan, pemuda ini hanya berusaha untuk tidak
menimbulkan riak selama pembicaraan ini berjalan. Ia hanya bisa berasumsi kalau
Sean mungkin ingin memperbaiki hubungan yang telah lama rusak, jembatan yang
terputus, sayangnya jembatan itu sudah diikat kembali oleh orang lain, kali ini
lebih kokoh, lebih kuat dan lebih indah dengan kayu yang nyaris dimakan rayap.
Ivy tak sebahagia kelihatannya, selama apa yang ia yakini untuk dilepaskan pada
kenyataannya masih ia genggam dengan erat. Tuhan, jangan lagi membuatnya
bimbang dalam kondisi seperti ini.
Dua jam—pertemuan yang cukup singkat namun menguras emosinya. Persediaan airmatanya
nyaris terbendung dan siap keluar begitu ia tiba dirumah. Ivy mendongak,
melihat jam dan ternyata sudah menunjukkan pukul tiga. Belakangan sejak
kehamilannya berada pada usia diatas empat bulan, Ivy semakin memperpendek jam
kerjanya, ia tidak betah berlama-lama berada di dalam kantor, terkadang ia
memutuskan untuk bekerja setengah hari, untungnya atasannya mengerti kondisi
Ivy yang sekarang jadi tidak terlalu menimbulkan masalah. Hanya saja ia harus
menimpakan pekerjaannya kepada Mila, gadis itu tidak pernah mempermasalahkan
pekerjaan yang sangat banyak. Dia cukup teliti dan cekatan dalam memahami
konsep pekerjaan dan nyaris tak pernah melakukan kesalahan. Ah, dia beruntung
sekali. Ivy memutuskan untuk kembali pulang saja, kalaupun kembali di kantor
rasanya tidak enak. Pasti ia akan menangis setelah pertemuan ini, lebih baik
pulang dan tidur saja. Biarkan saja emosi ini meluap dengan sendirinya, biarkan
saja ia menahan tangis di balik matanya, biarkan saja.
Ivy beringsut dari tempatnya, dengan cepat dan cekatan Sean sudah lebih dulu
mengawasi gerakannya. Ia memundurkan kursi dan memegangi punggung Ivy. Seketika
itu ia meyakinkan diri untuk menahan nafasnya dan tidak berharap lebih,
sungguh.
“Rumahmu dimana?”
“Calix Lumina…”
Ivy meraih tasnya, menyampirkan di bagian pundaknya. Kentara sekali Sean sangat
terkejut dengan letak rumahnya yang bisa dibilang jauh dari tempatnya bekerja.
Ivy biasa menggunakan perapian ketimbang pintu masuk resmi gedung kedutaan
untuk para penyihir.
“Kuantar saja, itu lumayan jauh. Kau tidak mungkin pulang sendiri, ‘kan?”
Ivy menimang-nimang. Dia memang tidak biasanya pulang sendirian, biasanya ia
meminta tolong peri rumah atau Narumi yang menjemputnya. Ivy seringkali
merepotkan banyak orang dengan kehamilannya. Kali ini ia merepotkan Sean,
padahal ia tidak suka merepotkan banyak orang. Ia tidak suka menjadi beban
banyak orang, Ivy membuka mulutnya namun tertahan karena Sean sudah lebih dulu
merangkulnya. Ini merupakan pemandangan yang janggal kalau saja orang-orang
disini tahu bahwa Ivy sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak dari
suaminya tetapi malah berjalan berangkulan dengan pemuda lain. Lain halnya
kalau publik menyangka bahwa Sean lah suaminya dan Ivy tengah mengandung
anaknya. Itu khayalannya, impiannya sejak dulu sejak dia bertemu dengan Sean di
kelas telaah muggle. Impian yang sudah lama ia kubur karena kali ini bukan Sean
lah masa depannya. Mati-matian Ivy menyembunyikan rona kemerahan di wajahnya,
mati-matian pula ia menahan degup jantung yang semakin keras.
“Oh great, beda benua, right? Lewat mana?”
“Aku biasa pakai perapian, seharusnya sih dijemput adikku, tapi sepertinya dia
sedang sibuk.”
“Oh well, perapian?” Sean mengangguk, mengantar Ivy menuju perapian.
Perapian berada di dalam ruangannya, dibuat dan didesain dalam sebuah ruangan
khusus agar orang lain tidak mencurigai kalau tiba-tiba Ivy menghilang tanpa
jejak. Mila tahu kalau Ivy seorang penyihir, awalnya gadis itu terkejut dan
menyangka Ivy gila. Tentu saja, Ivy sangat khawatir dengan keadaan mental Mila
saat itu tapi yah mau bagaimana lagi? Mila lambat laun terbiasa dengan
identitas Ivy saat ini. Mila juga selalu menutupi identitasnya bila ada muggle
lain yang menanyakan Ivy.
“Aku akan pulang sekarang, Mila. Katakan saja pada yang lain seperti biasa. Oh
ya, jangan katakan apapun tentang aku diantar oleh Tuan McKinley, aku ada
sedikit urusan dengannya. Dia teman lamaku.” Mengulas senyumnya dan Mila
mengangguk. Ivy memutuskan untuk lebih dulu menggunakan perapian kemudian
diikuti Sean. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di Calix Lumina. Suasana yang
dingin, ia sudah terbiasa dan Sean mendadak merasa dingin dilihat dari gesture
yang memeluk tubuhnya sendiri. Ivy melirik Sean yang nampak susah payah
beradaptasi dengan lingkungan Calix, sesekali terkikik. Beberapa kali pemuda
itu merutuki daratan Calix yang dingin. Padahal ini musim semi, tapi salju tak
sepenuhnya mengering. Percayalah sekalipun musim panas, Calix selalu diselimuti
salju. Ia juga bingung kenapa dulu memutuskan untuk tinggal di Calix, kalau ada
tempat-tempat lain apalagi Calix sangat jauh dari tempatnya bekerja.
“Kau bisa tahan tinggal di daerah sedingin ini?” Tangan itu gemetar, asap
putih keluar ketika Sean membuka mulut untuk bicara.
“Menurutmu? Aku sudah lama pindah kesini, Sean.” Mengulas senyumnya, mulai
melangkah meninggalkan daratan tempatnya mendarat tadi.
“Oh well, bayimu tidak rewel, huh? Kau tahu ini dingin sekali, ya tuhan bahkan
ini sudah musim semi.”
“Salju disini tidak pernah benar-benar mencair sekalipun disengat matahari pada
musim panas, percayalah.”
Kemudian disusul tawa dan tidak terasa kalau keduanya sudah sampai di depan
pintu rumah minimalis. Tangan kecilnya meraih gagang pintu, menekannya ke bawah
sampai terdengar bunyi dan pintu terbuka. Disambut hangat, suasana di dalam
rumah tak seperti diluar. Kebanyakan rumah di Calix memiliki suasana rumah yang
hangat berbanding terbalik dengan suasana diluar. Maka Ivy tidak merasa heran
kalau Sean sangat bingung dengan perubahan suhu di luar dan di dalam rumah. Ivy
mempersilahkan Sean masuk, sedangkan ia sendiri pergi ke dapur mencari Mom.
Kemungkinan Mom tengah memasak makan malam tercium dari aroma yang berasal dari
dapur. Ia menoleh ke dapur, didapatinya Bibi Weisz disana, Ivy segera
menghampiri.
“Mom kemana?”
“Dia sedang pergi ke Sallowsville sama ayahmu.”
“Mereka menginap?”
“Tidak, hanya pulang setelah makan malam.”
“Eh yah…”
“Ada apa? Ada tamu?” Ivy mengangguk, “temani saja, nanti akan kubuatkan minum.
Jangan banyak bergerak. Kau pasti lelah, Ivy.”
Ivy kembali meninggalkan dapur, ia duduk di sofa tepat di depan Sean. Sembari
menunggu minuman datang. Sean terlihat nyaman dengan suhu di dalam ruangan, Ivy
sendiri menyandarkan dirinya sembari tangannya memegangi perut yang membuncit.
“Kau tinggal sendirian?”
“Tidak, ada Mom, Dad, Bibi Weisz, terkadang adikku tinggal disini, tapi saat
ini dia berada di Sallowsville.”
“Oh, adikmu? Suasananya sepi sekali…”
“Hanya ada Bibi Weisz saat ini, dia pengasuhku. Oh ya, Mom dan Dad sedang pergi
ke Sallowsville, mereka mengunjungi adikku. Jangan Tanya kemana Dante setelah
ini,” Memaksa bibirnya untu tersenyum sementara Bibi Weisz datang membawakan
minum, “ah, ini dia. Sean kenalkan ini Bibi Weisz, dia yang mengasuhku dulu
selama Mom tidak ada, dan Bibi Weisz ini Sean McKinley teman lamaku, dia alumni
Salem juga.”
Bibi Weisz nampak terpana—ia harus mengakui siapa yang tidak terpana bila
melihat Sean. Kulitnya yang putih kemerahan dengan hidung mancung, mata besar
bibir tipis serta tatanan rambut cokelat yang agar berantakan tetapi
potongannya sangat rapi. Ah belum lagi penampilannya dengan kemeja sutra hitam
dan dasi hitam, memperlihatkan otot-ototnya meski terbungkus rapi, belum lagi
aroma musk yang menguar ketika berada di dekat Sean. Wanita berumur pun akan terpesona
apalagi mendapati pria itu tersenyum dan memperlihatkan sederet gigi-gigi
putihnya. Bibi Weisz menjabat tangan Sean dan kembali ke dapur setelah
perkenalan singkat.
“Kau tidak pernah merasa kesepian selama Dante di Rusia?”
Ivy memutar bola matanya, kesepian atau tidak sebenarnya dia merasa sangat
kesepian. Dante memang jarang bicara, tipikal pria pendiam dan lebih sering
menutup diri. Dante lebih suka bertindak ketimbang bicara, sikapnya selalu
membuat Ivy merasa aman dan hangat. Ia selalu bisa menjadi putrid yang bahagia
ketika Dante berada disisinya, tapi ia juga bisa menjadi seorang putrid yang
terluka ketika Dante meninggalkannya.
“Hmm, terkadang…”
“Siapa yang mengantarmu ke dokter selama Dante tidak ada?” Tatapan Sean
seketika menghangatkannya, ia mendengar ada nada kekhawatiran dari balik
lidahnya. Ah perasaan ini sudah lama tidak Ivy rasakan.
“Narumi kadang Mom, tapi lebih sering asistenku di kantor, Mila. Bila aku libur
bekerja, orang rumah yang akan mengantarku, tapi kalau jadwal pemeriksaan jatuh
pada saat aku bekerja, maka aku meminta Mila mengantarkanku ke rumah sakit
muggle.” Ia terkikik. Ada sarat kesedihan disana, sebenarnya bila ia jujur.
Selama mengandung, Ivy ingin sekali Dante menemaninya walau hanya sekali. Ia
ingin Dante mengetahui perkembangan anak mereka, mengetahui bagaimana bayi
mereka mendapat tempat yang nyaman di dalam rahim Ivy. Setiap kali bertukar
surat dengan Dante, Ivy ingin sekali menyuruh Dante pulang dan menguncinya agar
tidak ada seorang pun yang memisahkan dia dengan Dante, sayangnya tidak bisa.
Ia tidak bisa berlaku positif, Rusia lebih membutuhkan Dante ketimbang dirinya
bahkan bayi mereka. Lagipula kalau ia boleh jujur, ia tidak bisa bersikap
terlalu protektif kepada Dante, tidak seperti dulu saat dirinya terjebak dalam
kenangan seorang McKinley.
“Kau wanita yang tangguh, calon ibu yang kuat. Aku tidak mengerti, seharusnya
Dante disisimu, ‘kan? Apalagi sebentar lagi kau akan melakukan persalinan, oh
baiklah aku seperti sedang menggurui kalian.” Sean mulai terlihat
frustasi.
“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa mandiri, Sean. Aku tidak ingin merepotkan
siapapun terutama suamiku.”
“Oh yah, tapi bahaya sekali ‘kan? Kalau aku menjadi Dante, aku pasti akan
selalu berada di sisi istriku sampai anak itu lahir ke dunia, aku pasti akan
mengantarnya ke dokter dan aku ingin selalu tahu bagaimana perkembangan
bayiku.” Seolah-olah mengatakannya dengan wajah tak berdosa.
Itu menyakitkan—bagaimana ia mulai berkhayal kalau ia tengah mengandung buah
hati dari McKinley dan bukan Dante. Ini membunuh ketika ia mendengar sederet
kalimat yang diucapkan McKinley barusan. Urat-urat di wajahnya mengeras,
tangannya mendadak dingin, biner cokelatnya menatap lurus dan kosong seolah
hanya ada penyesalan di depannya. Ia bertanya-tanya sendiri benarkan Dante
menginginkan makhluk kecil ini lahir ke dunia? Bukan hanya sebagai penghias
bagi status keduanya? Matanya kini mengarah pada McKinley yang masih duduk
dengan posisi santai. Sesekali menggeleng, mendongak untuk menahan beberapa
tetes yang akan mengalir dari matanya. Ia tak pernah bisa menahan emosi yang
terlalu kuat—tidak pernah bahkan saat memutuskan untuk melupakan Sean lebih
dari itu bahkan saat ia tahu Sean pernah kembali ke Salem pada saat-saat
terakhir ujian kelulusan. Itu menyakitkan—tentu saja. Ia tak pernah berharap
kalau pertemuannya dengan Sean akan menguras emosi yang sedemikian besar hingga
sesak tak dapat lagi ditahan. Seolah Tuhan mengujinya, sejauh mana ia melupakan
McKinley, sejauh mana jalannya untuk menatap kembali masa depan bersama Dante.
Bibirnya mengukir getir, sekali lagi dilihatnya McKinley dengan mata
berkaca-kaca, menahan beban perasaan yang begitu mencekiknya. Namun buru-buru
ia hapus sebelum mengundang kekacauan bahkan sebelum Sean sempat menoleh
kepadanya. Ivy sudah memasang wajah penuh senyuman seraya mempersilahkan Sean
meneguk minumannya.
“Sudah waktunya aku pulang…” Waktu berjalan semakin cepat, Ivy memeriksa
jam dinding rumahnya, sudah menunjukkan pukul lima sore. Perbincangan yang
menyenangkan, dua jam tertawa dan mengenang masa-masa sekolah mampu membuat Ivy
melupakan kesedihannya, melupakan ketidakhadiran Dante disisinya. Kembali
merasakan masa-masa duduk di bangku sekolah, banyak yang dibicarakan meski
hanya berupa topic-topik ringan, itu sangat membantu Ivy menjernihkan
pikirannya. Sean mengatakan padanya kalau dulu ia sempat mengira Ivy adalah
anak kecil yang salah masuk Salem. Ukuran tubuhnya memang kecil untuk
anak-annak seusianya maka Ivy tak marah ketika Sean menilainya salah masuk
Salem. Perbincangan yang terus berlanjut selama hampir dua jam di dalam rumah,
nyaris terisi dengan tawa dan ingatan-ingatan yang sedikit konyol menurut
keduanya. Kalau saja ya kalau saja menit bisa sedikit lebih lambat, ia ingin
sekali menahan Sean dirumahnya, sayang ia bukan lagi seorang gadis tanpa
seorang pendamping. Masih lebih ringan bila ia dan Dante hanya sebatas kekasih
tetapi lebih dari itu, kedatangan Sean akan menimbulkan pertanyaan besar bagi
pihak manapun terutama keluarganya. Sean mohon pamit pada dirinya, ia lantas
berdiri dan bergerak menuju pintu. Ivy sebagai pemilik rumah bermaksud
mengiringi pemuda itu sampai pintu.
“Aku senang berkunjung kesini, tidak salah memang kementrian memberikanku tugas
untuk berhadapan denganmu, Ivy.”
“Ah jangan terlalu meninggikan, sebaiknya hati-hati saat pulang.” Ivy meraih
pintu, menelengkan kepalanya. Menatap biner cokelat yang sama dengannya,
senyumnya terlampau merekah. Mendadak menjadi panas ketika tangan Sean terulur
untuk mengacak-acak surainya. Terkadang Dante melakukan itu ketika Ivy merajuk.
Hmm… Dan kemudian suasana mendadak hening, keduanya terdiam. Ivy menyimpan
kalimat-kalimat lain yang ingin dia katakan sedangkan Sean nampak diam dengan
tingkahnya yang tak mengeluarkan sepatah kata apapun dari bibirnya. Pecah
ketika Sean mengulurkan tangan, menggapai jemarinya. Perasaan hangat yang tak
pernah ia dapatkan bahkan ketika berhadapan dengan Dante, sekalipun Dante
memperlakukannya demikian bak ratu yang terhormat. Pipinya memerah, menahan
degup jantung yang berdetak bagai pacuan kuda.
“Aku bersedia menempati posisi Dante selama dia pergi, jangan sungkan untuk
menghubungiku, Ivy.”
Ivy mendongak, menaikkan sebelah alisnya. Tidak benar-benar maksud dari
pembicaraan Sean.
“Maksudmu?”
“Kau sedang berbadan dua, butuh pengawasan dari semua pihak terutama suamimu,
paling tidak kau butuh diperhatikan terutama saat memeriksakan kandunganmu,
‘kan? Mulai sekarang, aku akan menemanimu—tentu saja selama Dante di Rusia,
anggap saja pengganti dari masa-masa ketiadaanku.”
Kata-kata itu seolah mendekapnya terlalu erat, menimbulkan rasa panas pada
kedua matanya, kabut mulai menyelimuti pada bagian cokelatnya. Satu kedip saja,
airmata itu akan meluap dan meluncur bebas. Saat ini memang seharusnya ia butuh
seseorang yang menjaga, Ivy tak memungkiri rasa iri setiap melihat para wanita
muda yang tengah mengandung berjalan-jalan di taman kota dengan suami mereka
atau ketika ia pergi memeriksakan kandungannya, ia selalu menangkap pemandangan
yang diinginkannya bahkan sejak usia kandungannya baru menginjak beberapa
minggu. Mereka—para calon ibu selalu ditemani oleh calon ayah, tidak
sepertinya. Selalu Narumi bahkan Mila, ia seperti tak diberi kesempatan
menikmati detik-detik menjadi calon ibu. Dante hanya tahu melalui surat, tidak
pernah melihat keadaan bayi-nya. Sean mengatakan hal yang benar tadi, kalau
seharusnya seorang suami berada disisi istrinya yang tengah mengandung,
menikmati masa-masa tumbuh kembang janin keduanya. Ivy menunduk, menyadari
betapa kebenaran itu menohok dirinya dalam sekali ucap. Menyadari rasa kesepian
yang sudah terlampau lama terpendam, ia tak memungkiri bila ia menginginkan tempat
bersandar.
“Tidak perlu repot-repot, Sean. Dante akan marah bila tahu kau terlalu baik
padaku.” Ujarnya dengan suara parau akibat menahan tangis.
“Apa pintu itu sudah tertutup? Pintu yang selama ini sudah kau buka untukku?”
Ivy mendongak, sesak yang mengikatnya tak bisa lagi ditahan—perasaan ini
mencekiknya. Menyuruhnya membuka lembaran lama dan menatap sebuah coretan
dengan penuh kepedihan. Senyum asimetris tersungging di bibirnya, mengenyahkan
sedikit saja keteguhan hatinya untuk melenyapkan sosok McKinley di kepalanya.
“Aku tidak tahu. Pulanglah sebelum semuanya terlambat..” Dan ketika kalimat itu
berakhir, ia merasakannya—sebuah pelukan, sebuah pelukan yang sudah lama
didambakan olehnya, sebuah pelukan yang menyeluruh. Jarak menjadi penebus rindu
yang menghilang selama tujuh tahun. Digantikan dengan tangis penuh sesak serta
keteguhan yang semakin lama memudar. Ivy membenamkan kepalanya di tubuh Sean
diiringi isak yang dalam. Memohon agar tangisannya dapat berhenti barang
sedetik saja, Dante akan sangat marah—tidak, Ivy lebih takut Dante kecewa
karena selama ini usahanya untuk membuat Ivy bahagia adalah sia-sia. Meskipun
tak sepenuhnya benar. Ivy bahagia, sangat bahagia. Tetapi ia tidak bahagia
ketika harus berpura-pura melupakan perasaannya kepada Sean. Dia lelah terlalu lelah
untuk bersembunyi dan berlari, selama ini ia telah menghindari sosok yang kini
memeluknya. Berlari berharap persembunyiannya tak dapat ditemukan. Malang Tuhan
tak mengizinkannya barang sedikitpun untuk melupakan. Anggap saja ini ujian.
Cukup lama bagi Ivy merasakan segalanya seperti mimpi tak berkesudahan, Sean
mengusap puncak kepalanya dan ia dapat merasakan dengan jelas ketika pemuda itu
mencium puncak kepalanya. Hanya berharap bila Bibi Weisz tidak meninggalkan
dapur dan tidak melihat adegan memalukan seperti ini. Bila ia tidak mengingat
statusnya sebagai istri orang, Ivy tidak akan melepaskan pelukan tadi secara
sukarela. Sayangnya ia harus melepaskannya sekarang, sebelum menjadi bahan
omongan orang lain disini.
Menghirup nafas dalam-dalam, menghapus airmatanya mengganti dengan senyumannya
kembali.
“Sean, pulanglah.” Suara itu lebih terdengar seperti bisikan ketimbang
perintah.
“Kau harus berjanji padaku untuk terus menghubungiku, setidaknya aku akan
menebus waktu yang hilang sebelum terlambat, sebelum waktu mengharuskanku… yah
kau tahu maksudku, Ivy.”
“Tentu saja aku tahu, jauh lebih tahu daripada dirimu, Sean. Terima kasih, akan
kupertimbangkan tawaranmu tadi.” Seulas senyum terukir di wajahnya. Meski
kebimbangan masih merayap di pikirannya. Sean menatapnya, sorot itu jelas
menuntut agar janjinya dipenuhi, butuh waktu satu menit menunggu Sean
membalikkan badan dan kemudian melangkah meninggalkan pintu utama.
“Sean…” Tubuh itu berbalik dengan kernyitan di dahinya, “jangan sia-siakan
kesempatan kedua.” Lagi, ia tersenyum dalam kubangan luka. Menggoreskan lebih
dari satu pecahan sakit pada kulit hatinya. Menyeruak bagai koreng yang tidak
pernah sembuh bahkan mendekati amputasi. Sean mengangguk, wajah itu cerah
menyambut jawabannya. Pelan-pelan Ivy menutup pintunya hingga pintu
menyembunyikan dirinya yang sebenarnya, ia terdiam. Menatap lusinan kenangan
yang kali ini terpaksa dibuka oleh tangannya sendiri. Apa yang sudah ia lakukan
barusan? Apa yang sudah ia taruh sebagai harapan? Taruhan, banyak hati yang
akan terluka sesudah ini. Ivy tidak sanggup membuat dirinya termaafkan kalau
Dante tahu dirinya melakukan hal yang salah. Sayangnya hati lagi-lagi
mengkhianatinya, ia tak menganggap bahwa memberikan kesempatan kedua untuk Sean
adalah salah. Ivy menghirup nafas dalam-dalam berusaha mencari celah untuk
bernafas. Tak ditemukannya kelegaan selain airmata yang mengucur semakin lama
semakin deras. Tolong, ia tak ingin merasakan sakit seperti ini. Ivy melangkah
dengan gontai menuju kamarnya, memulai perang batin antara dirinya dengan
kenangan waktu lalu serta efek sakit yang ditimbulkan setelahnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar