Senin, 29 Juli 2013

Don't you remember? I never plan that one day, I’d be losing you.


Disclaimer : Indocapitol, Bloodbaths, Dedicated for Stephanie White (my beloved sister) and all of charas I mention here. Let's enjoy read this with song of tATu-All About Us, Sarah McLahlan-Angel, then quote and descriptive from Still-Esti Kinasih, Jingga dan Elegi-Esti Kinasih, Rembulan Gading. 

Mendengar detak jam sudah menjadi hal yang biasa, ia sering mengabaikan detik yang melaju. Bagi seorang yang congkak nada petikan jarum jam lebih terdengar seperti rintik hujan labil, seringkali hal sesederhana ini diabaikan, sayangnya untuk kali ini saja ia tidak bisa diam menanti detik demi detik melaju dengan cepat, seakan setiap detiknya sangat berharga. Bunyi detak kematian, mengantarkan ajal sang bungsu pada pelukan malaikat maut. Malaikat kegelapan sudah menjemput Eve pada hari pengumuman, mereka berkumpul, menyaksikan bagaimana nama itu diangkat dan disebutkan, seluruhnya melihat, menyaksikan bagaimana ia meregang, menegang diantara kerumunan yang sama sekali tidak menerima Eve dijemput paksa oleh kematiannya sendiri. Jauh di dalam lubuk hatinya ia memaki Tuhan, ia mengakui betapa kehidupan tak pernah adil terhadap dirinya. Sudah dilahirkan di tempat yang penuh siksaan, dilahirkan di keluarga menengah kebawah, sekarang apa lagi? Setengah dari kehidupannya diambil paksa. Clause tentu tak bisa belajar mengikhlaskan secepat ia belajar memanah hewan-hewan buruannya. Pasalnya Eve bukan hewan buruan yang bisa ia lepaskan begitu saja, Eve setengah dari kehidupannya, setengah dari nyawanya. Ia rela melubangi dadanya sendiri hanya agar Eve tidak turun ke arena, ia rela meninggalkan apapun di dalam hidupnya hanya untuk Eve—hanya agar Eve tetap berada disampingnya. 

Tetapi gadis itu jauh lebih keras daripada seonggok batu karang. Gadis itu bersikeras mengabaikan kekacauan Clause ketika nama itu disebutkan. Percaya atau tidak, baru kemarin keduanya melakukan perburuan bersama, baru sore kemarin mereka duduk berdampingan di depan rumah, diatas kursi kayu yang sudah goyah, membicarakan kehidupan setahun dua tahun ke depan. Bicara seolah panem tak pernah memiliki pemimpin bersurai kusut seperti Snow, bicara seolah panem memiliki masa depan yang cerah seperti matahari yang bersinar setiap paginya. Saat itu Clause bisa melihat dengan jelas rona kebahagiaan Eve, bagaimana gadis itu dengan sangat antusias merespon setiap kalimatnya, merespon setiap gagasannya tentang kehidupan di masa mendatang, Clause masih bisa melihat tawa Eve, wajah cerianya, bahkan ia sedikit menitikkan airmata ketika Clause melemparkan guyonan tentang Snow atau petugas keamanan panem atau bahkan ketika Clause melecehkan penduduk capitol yang bodoh dan idiot itu. 

Bahwa suatu hari nanti mereka akan berada disana, di Capitol. Memiliki tempat tinggal yang nyaman dengan tidak merasakan siksaan yang terus menerus diberikan oleh Snow. Tidak ada hunger games, tidak ada tayangan, anak-anak kecil terpelihara dengan cara yang lebih manusiawi, kompetisi perlombaan diadakan secara wajar hanya karena mengingat hari kemerdekaan saja. Rasanya tidak ada yang salah dengan senja dimana keduanya duduk bersama, tidak ada yang salah ketika keluarga White duduk bersama menyantap sup jamur dengan sedikit daging kelinci dan tupai. Semuanya tidak pernah salah, yang salah hanyalah ketika takdir mengusung nama Eve sebagai persembahan di arena. 

Clause ingin menertawakan takdir keras-keras, ia ingin membanting apa saja asalkan membuatnya puas. Dunia seringkali tidak adil, kali lain hidup mengangkatmu setinggi langit namun detik berikutnya langit menjatuhkanmu dengan keras ke bumi, bunyi berdebam tanda bunuh diri. Rasanya lebih sakit dari melubangi lehermu sendiri. Sebelumnya Clause tak memiliki firasat apapun mengenai Eve, tidak pernah sekalipun terbersit pikiran bila nama Eve akan memenangkan undian kematian saat pemungutan suara. Bukankah namanya lebih banyak di dalam kotak kaca? Bahkan nama anak-anak perempuan lain yang lebih tua juga banyak, tapi kenapa? Kenapa diantara ribuan orang harus nama Eve yang ada disana? Kenapa harus namanya yang disebutkan? Kenapa Eve menolak ketika Clause ingin menggantikannya? Kenapa? Ribuan bahkan jutaan tanda Tanya menggantung di benaknya, bila ini keinginan Eve untuk meninggalkannya atau bila Tuhan mencegahnya untuk kematian yang terasa begitu menyakitkan, Clause tak pernah bersedia melihat adiknya terluka bahkan untuk tergores satu senti saja ia tidak sanggup. Kau tahu arena bukanlah sekadar menggores satu atau dua senti, tetapi menusuk, menggorok bahkan mencincang-cincang bisa menjadi hal yang paling biasa disana. Beberapa kali Clause menonton tayangan berdarah dan ia seringkali merasa mual. Untuk menghindari keadaan itu ia seringkali membicarakan bagaimana kalau salah satu diantara keduanya berada disana, strategi apa yang digunakan dan yang lainnya. Baik Clause dan Eve sama-sama memiliki bakat dalam perburuan, Clause termasuk lelaki dengan kecepatan lari yang mungkin mengalahkan pemenang olimpiade tiap tahunnya, ia juga pandai memanjat seperti monyet di hutan, ia pandai menghilang di hutan, gerakannya terhitung cepat untuk mengelabui musuhnya. Clause pandai menggunakan panah, tapi tak cukup teknik untuk membunuh menggunakan pisau, lemparannya seringkali meleset. Eve, tubuhnya yang kecil mampu bertransformasi menjadi tupai, gerakannya terhitung cepat seperti Clause. Eve memiliki bakat dalam lempar pisau, berbeda dengan Clause, dibalik tubuh besarnya ia menyimpan fobia terhadap hutan, ia juga tidak suka mengonsumsi ikan. Sedangkan Eve bisa makan apa saja, ia bisa beradaptasi dengan lingkungan secara cepat. Eve cepat mencerna keadaan sekitar, tidak ada yang perlu diragukan ketika Eve berada di arena, ia bisa bertahan hidup setidaknya sebelum seseorang membiarkan Eve menjemput ajalnya dengan cara yang paling manis. 

Kehidupan tak selamanya manis, Clause merentangkan tangannya, merebahkan tubuhnya diatas tanah, menghampar diatas rerumputan. Wajahnya mendongak, menantang langit, matanya berkilat seolah menantang takdir, sejak pertemuan singkat dengan Eve sebelum adiknya dibawa menuju Capitol, ia seringkali merasa menjadi manusia yang paling berdosa, manusia kotor karena membiarkan adiknya memasuki arena yang bahkan seumur hidupnya ia tidak ingin menyentuh arena itu sampai ajal menjemputnya. Ia ingat pernah memaki seorang pemuda yang menurutnya sangat tidak penting, pemuda yang malas, bersurai merah dan paras itu seolah selalu mencari keributan. Ia tidak menyukainya, demi Tuhan. Pemuda congkak yang tolol menurutnya, terlalu kekanakan, tiduran di bawah langit dengan tangan terentang dan karma has no deadline, dia melakukan hal yang sama dengan pemuda itu. Menikmati perih yang semakin membuat luka menganga, menikmati kesendiriannya tanpa Eve, hari-hari tak ada Eve. Bila Eve tak datang menjemputnya atau bahkan ia tak bisa lagi menemui Eve di alam nyata, ia berjanji bila suatu saat nanti ia akan menyusul adiknya dengan cara yang tidak diduga. Bukannya ia tidak percaya bahwa Eve mampu menjadi petarung yang hebat, hanya saja ia meragukan kondisi Eve disana. Apa yang adiknya makan? Apakah disana ia baik-baik saja? Hunger games tidak hanya seputar pertempuran berdarah, tetapi strategi dan pemenang yang tak bisa dipisahkan. 

Masalahnya persetan dengan kemenangan, ia hanya ingin Eve kembali dalam keadaan hidup bukannya dikirim dalam bentuk kremasi dalam peti. 

Malam ketika wawancara, ia berusaha melupakan segalanya. Berusaha sekuat tenaga meyakinkan dirinya bahwa keluaganya masih lengkap. Ketika sore ia berada di luar rumah, mengendap-endap ke hutan, dia selalu memiliki celah untuk menghindar dari petugas keamanan. Tidak peduli seberapa berat konsekuensi yang harus ditanggungnya, asalkan ia bisa menjalani hari tanpa repot-repot memikirkan nasib Eve di Capitol sana. Begitu pintu tertutup di belakang punggungnya, ibu menoleh tepat saat Clause menenteng dua ekor tupai dan satu kelinci buntal. Mata tua dengan cekungan kehitaman itu nyaris menatapnya putus asa, airmata mulai berderai ketika Clause melempar tasnya ke atas meja makan, enggan melirik kea rah layar, buat apa? Untuk menertawakan hatinya yang kelam? Melihat adegan konyol Caesar yang setiap tahun tidak bosan menampilkan wajah dungunya di televise? Ia lebih membutuhkan tayangan berbobot; mengenai pemberontakan atau matinya Snow misalnya. Sama sekali Clause tidak senang dengan televise malam itu, ia tahu sekeras apapun ia menghindar pada akhirnya suara sambutan meriah dan suara Eve terdengar merdu di telinganya. Clause saat itu tengah memasukkan beberapa kacang ke dalam lemari dan berniat mengambil pisau ketika sederet kalimat diucapkan dan ia nyaris menusuk salah satu jarinya. Seksi wawancara yang menyiksanya, terlebih ketika ia mendengar Caesar menyinggung ‘kakak’ dalam wawancara untuk Eve. Hatinya teriris saat itu juga, matanya berkilat seolah ia siap membunuh siapapun yang melukai adiknya di arena, nanti. 

Clause berteriak, melempar pisaunya hingga menancap pada salah satu lemari kecil disudut dapur kecil rumahnya; mengakibatkan ibunya berlari dan memeluknya dari belakang seraya mengusap pundaknya yang lebar dan menangis sesegukan disana. Dia benci ketika terlihat tidak berdaya menghadapi takdir. Kau tahu Eve? Ini perih, rasanya menyakitkan. Sesak, seperti ditikam ribuan pisau, jauh lebih menyakitkan daripada tertusuk panah atau tergores pisau. Clause membawa kedua tangannya menutup wajah, sesekali tangannya mengepal dan meninju apa saja yang ada. Property rumah nyaris rusak karena ulahnya, ibu tak punya cukup kekuatan untuk menghentikan amukan Clause. Ayah hanya duduk tertegun memandangi televisi, meski ia tidak benar-benar menonton hingga sesi wawancara Eve selesai dan tepukan meriah dianggap sebagai sambutan kematian yang paing manis untuk Eve. 

Tubuhnya mendadak lemas setelah mengamuk lebih dari lima belas menit, dapurnya kacau balau, menaruh tangannya yang mengepal membentuk sudut sembilan puluh derajat, ia menempelkan dahinya pada tangan dan membungkuk. Terdengar tangis dalam diam, bahunya berguncang, berusaha untuk menguatkan dirinya sendiri. Manis menjadi asam ketika ia mengingat janji-janji Eve, Clause tak akan menagihnya, ia berjanji pada dirinya sendiri, Clause tidak akan pernah mengingat janji Eve karena ia tahu janji itu tidak akan pernah terwujud, melihat peluang Eve selamat sangatlah kecil. Hunger Games bukan permainan ular tangga atau labirin kecil atau sekadar main perang bola salju tapi ini menggunakan senjata dan nyawa adalah taruhannya. Clause merasa kesal, sangat kesal. Ia sendiri bisa menjamin kalau dirinya akan menyesali peristiwa ini seumur hidupnya, sebisa yang ia mampu tanpa menghilangkan detail Eve di dalam hidupnya. Ibu menggumam dalam suara yang nyaris terdengar seperti bisikan, Clause menghentakkan tubuhnya, berbalik tanpa menatap kedua orangtuanya dan melangkah besar-besar menuju pembaringannya. 

Terlelap dalam mimpi buruk berkepanjangan—ia memilih untuk tidak bangun keesokan harinya. 

I'm staring at the glass in front of me, is it half empty?
If you leave me tonight, I'll wake up alone.
Don't tell me, I will make it on my own.
Don't leave me tonight, this heart of stone will sink 'til it dies,
if you leave me tonight.
And don't you know my heart is pumping?
And I've got this feeling, that everything's alright.
Don't you see?

I'm not the only one for you but you're the only one for me.


Dari balik gordennya sinar matahari sudah mengintip, berusaha menerobos masuk ke dalam kamar sempitnya, hanya berukuran 2x3 meter saja dibatasi oleh tirai dan disebelahnya adalah kamar Eve. Pertanyaan mendasar, bagaimana selama ini ia melewatkan malam tanpa Eve disisinya dan tertidur nyenyak untuk pertama kalinya? Padahal jelas-jelas hari ini pertarungan berdarah sudah dimulai. Seperti ia menyambut bahagia pada saat adiknya meregang nyawa di arena, begitu mudah. Clause menggeliat di atas pembaringan lapuk miliknya, sudah terbiasa tidur bertelanjang dada tanpa memasukkan dirinya ke dalam selimut. Melirik jam kecil di samping tempat tidurnya, anggapannya selama ini setiap malam hanyalah Eve ada dirumah, dia sedang tidur di kamarnya, sangat pulas sampai tidak pernah keluar kamar. Clause mendudukkan dirinya, menganyunkan kakinya dan kembali menggeliat sebelum akhirnya meninggalkan pembaringannya untuk sekadar bersih-bersih dan pergi berburu. Tidak ada sekolah, buat apa? Percuma, ilmu yang dipakainya tidak akan berguna, kenyataannya hidupnya akan sia-sia seperti Eve. Susah payah bersekolah, mengeruk ilmu pada kenyataannya ia dilempar ke arena dengan peluang hidup satu banding seribu. Clause menggeleng, ia keluar dari bilik kecil dan memakai pakaiannya dengan lengkap kemudian keluar dari kamarnya. Memilih menuju dapur tanpa menoleh kearah ruang makan yang menjadi satu dengan ruang keluarga. Diatas lemari kecil ada televisi dan lagi-lagi White senior tengah melihat anak mereka bertarung diatas titian kehidupan. 

Clause mendesah, diam-diam menyumpah serapah. Ia menuju dapur dengan tatapan lurus berharap paling tidak ada sarapan disana, yang ada hanyalah roti gandum tawar dan itu pun sudah nyaris jamuran. Tangan besarnya meraih roti dengan tetesan sari berry di atasnya. Setidaknya meskipun sudah sedikit berjamur dan kalau di Capitol mungkin ini disebut makanan beracun, ia tetap bisa memakannya untuk menjaga agar energinya stabil untuk melakukan perburuan hari ini. 

“Kau mau kemana?” Itu suara ayah. 

“Hutan.” Wajahnya datar sembari mengalungkan tas selempangnya seperti biasa, tas berwarna cokelat yang terbuat dari bahan goni, serabutnya sudah terlihat dimana-mana tapi masih bisa digunakan. Tas ini dibuat oleh Eve, hadiah ulang tahunnya pada saat Clause berumur lima belas tahun. 

“Kenapa kau tidak pernah melihat adikmu?” 

Clause menoleh, menangguhkan ekspresi wajahnya. Dingin, gelegak kemarahan mulai timbul dan menguasai sekujur tubuhnya. Ingin rasanya mengulurkan tangan untuk mencekik White senior. 

“Dia tidak ada disana, dia di kamarnya sedang tidur.” Clause mulai melangkah, meraih gagang pintu sementara ketika pintu sudah memperlihatkan dunia luar….

“Sampai kapan lari dari kenyataan? Sadarlah Clause, Eve disana sedang berjuang hidup untukmu, dia ingin kembali untukmu, tapi kau tidak pernah melihat perjuangannya sejak awal. Bagaimana bisa? Kau menyayanginya ‘kan? Hadapilah Clause, Eve tak pernah ada dirumah sejak hari pengumuman.” 

Saat itu juga ia membeku, tubuhnya menegang tepat di depan pintu. Kedua tungkainya seolah terjepit di atas bumi, ia tak bisa kemana-mana. Bulir cokelatnya mengarah pada suasana di luar dengan layar yang terpampang sangat besar dan sekelilingnya dijaga oleh petugas keamanan. Ia ingin mencicit, namun ketegangan ini membuatnya beku. Clause memang tak pernah benar-benar menerima kepergian Eve bahkan sejak gadis itu ditarik paksa menghadapi ratusan mata penduduk distrik sembilan, saat itu rasanya kehidupan Clause sudah hancur, lenyap, tidak ada lagi harapan yang menaunginya. Hatinya kosong, hancur berkeping-keping dan Clause tidak ingin repot-repot memungutnya dan menyatukannya kembali. Percuma, sudah rusak, tidak bisa lagi diperbaiki. Hanya Eve yang mampu merangkainya kembali, menyadari bahwa sejak saat itulah ia tidak dapat menerima Capitol merenggut Eve dari sisinya. Adik kecil yang manis dengan segala tingkahnya, tawanya bahkan ketika gadis itu berderai airmata, tidak pernah ada yang cacat pada Eve—terlalu sempurna. Clause mengepalkan tangannya, dia tahu White senior dengan surai yang sudah memutih menunggunya mengatakan sesuatu sebagaimana sambutan meriah di hari kematian adiknya nanti. Menoleh dari balik pundaknya, mulutnya terbuka. 

"Jangan ikut campur." Tanpa perlu mendengarkan petuah lanjutan ia segera melangkah keluar, melewati jalur kecil yang ia temukan sendiri di samping gubuk kecil tempat para pekerja menaruh persediaan gandum, ia sendiri sudah biasa melewati jalur kecil itu bersama Eve. Sudah sekitar 4 tahun dan tidak ada petugas keamanan yang mengecek, ia selalu aman keluar masuk hutan lewat sana. Jalur itu ditutup oleh 3 papan triplek dan bila triplek itu berdiri sejajar, tidak akan kelihatan kalau dibaliknya ada jalur setapak menuju hutan. Lebih mudah daripada melewati pagar pembatas dengan setruman ribuan volt dan kau bisa mati kebakar setelah menyentuhnya. 

Sepanjang jalan tungkainya bergerak, menendang kerikil kecil yang bertaburan. Kali ini ia membiarkan kaki-kakinya yang membawa, bukan keinginannya untuk berburu. Sejak semalam, tidur nyenyaknya seolah menjadi obat lelah, hatinya tetap terjaga, dia tahu bila hari ini adiknya turun ke arena, berjibaku dengan peserta lain, saling membunuh. Clause melangkah lebih cepat, menyusuri tempat ia mengambil panah dan kemudian mencari bukit kecil yang menghadap pemandangan distrik sembilan. Meluruskan kakinya, menaruh sikunya di atas tanah untuk menopang tubuhnya. Kembali memasuki dunianya sendiri. Ia tidak bisa membayangkan Eve yang selama ini selalu mengekorinya baik di sekolah ataupun pada saat mereka berada di hutan, Eve yang tak pernah melepaskan genggaman tangannya, tak pernah melepaskan rangkulannya, ia tak bisa membayangkan ketika semuanya menghilang. Ketika aroma gadis itu tak lagi tercium oleh hidungnya, ketika surai cokelat terang itu tidak lagi bisa dibelainya, ketika tubuh padat berisi itu tak dapat dirangkul lagi olehnya. Rasanya kosong, hidupnya sudah berhenti. Clause mengambil beberapa bunga, melepaskan kelopak-kelopaknya seperti takdir menelanjanginya secara mental. Ia, lelaki yang tak punya belas kasih tetapi selalu kelihatan tenang, mati-matian ditahannya tangis yang akan keluar. Di saat semua orang menyaksikan kematian satu per satu anak mereka, Clause memilih untuk menyimpan dirinya sendiri. Ia tidak ingin menyaksikan setengah dari nyawanya dibawa pergi. Menarik nafas dalam-dalam, kelopak yang daritadi dilepasnya sudah habis, kini tangannya menyapu bibir.

Ada rasa asing disana, ia ingat terakhir kali Eve mendaratkan kecupan disana. Rasanya hangat dan berbeda, itu adalah saat dimana pertama dan terakhir kalinya ia merasakan sensai menggelitik. Terlambat--Clause menyadari hatinya yang sudah bengkak, perih semakin menguasai, semakin tajam menusuk, semakin menghujam, luka ini akan membusuk dan tidak akan pernah mengering. Ia mengerang, belum pernah sekalipun ia melihat adiknya dari layar kaca. Clause menghabiskan waktunya di hutan, berusaha melupakan hari pemungutan, menganggap Eve masih dirumah, Eve masih ada, tidak pernah kemana-mana, meski pada kenyataannya ia sering mendapati ibunya menangis sesegukan. Menerima takdir dengan hati lapang. Clause bukan tipikal yang ingin sabar begitu saja. Dari kejauhan, detik menuju kematian semakin mengusik telinganya. Ada angin asing menelusuri tengkuknya, Clause memandang hampa bahkan ketika ia mendengar suara ledakan yang menandakan perang dimulai. 

Matanya terpejam, merasakan pedih yang menusuk dan luka semakin merobek hatinya. Mengoyak lebih dalam, tangannya mengepal, tubuhnya menegang. 

Dan bila aku harus melihatmu pergi, aku tidak yakin sanggup menerima. Dan bila aku terus bertahan untuk satu nyawa, mungkin itu tidak akan ada artinya. Ketika sosokmu tidak bisa lagi digapai, apa aku harus tetap bergantung pada harapan? Bahkan ketika harapan itu menghilang, apa aku harus tetap memegangnya? Seperti janji yang tak akan pernah diwujudkan tapi akan selalu terucap dan membuatku hidup dalam dunia yang semu. 

Satu teriakan, Clause bangkit. Didengarnya sudah ada satu yang menjerit. Pasti diantara para peserta distrik 9 sudah ada yang meregang nyawa. Clause memasang telinganya agar mendengar lebih jelas, siapa tahu itu bukan teriakan ibunya. Jauh di dalam hatinya, ia ingin menyaksikan Eve di layar besar. Ia ingin sekali memantau Eve, tanpa visual yang jelas ia hanya seseorang yang kosong. Memberikan waktu sebentar pada dirinya untuk berpikir apakah dia perlu menyaksikan kematian Eve dengan kedua matanya atau memaksakan diri pergi berburu. Sepuluh detik, diperlukan waktu untuk Clause memutuskan keinginannya. Ia beranjak, mengambil panah alih-alih berjalan beberapa langkah, ia malah memungut panahnya dan membidik salah satu burung yang asyik mematuk tanah. Merenggangkan busurnya, menahan gemuruh di dalam hatinya, menyipitkan matanya, membidik target dan dalam hitungan tiga detik bersamaan dengan pecahnya teriakan kedua, ia mendengar teriakan lain. Kali ini pada teriakan kedua, ia tak bisa lagi menahan dirinya untuk mematung di pinggir hutan, Clause berlari menerobos ilalang, rerumputan dan angin. Melompati pagar, menyusuri setapak dan berhasil menempatkan diri pada sayap kanan alun-alun distrik sembilan. Disana layar besar dengan besar menampilkan pertarungan berdarah. Bulir cokelat cerahnya mendadak membesar ketika mengamati para peserta, mencari satu-satunya setengah dari kehidupannya. 

Dia disana, Stephanie White dengan kondisi yang nyaris sekarat. Dijambak, ditampar, ditonjok. Adiknya tak berdaya, Clause menggertakkan rahangnya, tangannya mengepal keras dengan kanan memegangi busur yang biasa dipakai berburu. Mematung, hatinya kembali bergemuruh. Dengan fisiknya yang kecil dan serangan yang sia-sia apa Eve mampu bertahan? Clause melihat dengan jelas, semua serangan Eve tidak membuahkan hasil kecuali tusukan pisau di ulu hati lawannya dan berhasil menghasilkan likuid kental. Darah mengucur, Eve mendapatkan aliran darah segar pada bibirnya. Clause ingin berada disana, mengamankan Eve dari tangan-tangan bedebah peserta sialan. Tidak adil, Eve diserang dua orang, pasangan yang mungkin dari distrik yang sama, wajah mereka menunjukkan dari distrik karier entah distrik karier mana yang jelas mereka piawai dalam menyerang. Si perempuan memegang tombak dan berkali-kali ingin menancapkannya pada Eve, tapi adiknya sudah lebih dulu menghindar dengan cekatan, meski tak cukup pandai menghindar dari bogem mentah dan serangan datang dari yang lain, ketika lelaki dengan surai cokelat dan kilatan mata dingin menarik surai adiknya. Clause menjerit dalam hatinya, menyumpah serapah laki-laki yang menyakiti adiknya, tubuhnya mendadak gemetar. Bila ia berada disana, ia tak segan-segan memanah jantung pemuda itu karena ia menyakiti Eve. Bedebah, sialan, brengsek! Ia tak henti-hentinya memaki di dalam hati, merasa kalah, merasa tidak berguna, ingin sekali mengakhiri hidupnya saat itu juga, ketika melihat Eve mulai kewalahan menghadapi dua orang lawannya. Tidak ada yang pernah menjamin kehidupan seseorang, meskipun waktu. Walaupun Clause bertekuk lutut bahkan bersujud di hadapan sang waktu, tidak ada yang bisa menjamin Eve selamat dari dua peserta tadi. Mereka malaikat maut, mereka semua yang mengantarkan Eve menuju kematiannya. 


Takdir selalu punya cara tersendiri untuk menyampaikan berita kehilangan, takdir selalu punya cara untuk menghadirkan macam-macam kepedihan dengan atau tanpa diminta. Sama seperti ketika hari pemungutan tiba, tidak pernah sekalipun Clause menduga bila pada akhirnya Eve yang akan dianugerahi gelar peserta, ia tidak pernah membayangkan sekalipun semasa hidupnya bahwa setengah dari kehidupannya berada disana, tidak pernah dan tidak akan pernah. Tapi takdir mengkhianatinya, takdir tak pernah sepakat dengan keinginannya, kini apa yang dijaganya mati-matian untuk tidak tersentuh oleh tangan-tangan kotor malah sekarang mengalami masa-masa paling menyakitkan, Clause pada akhirnya mengkhianati hati kecilnya yang berteriak meminta tolong untuk menyudahi segalanya. Getir, perih, dirasanya detak jantungnya nyaris berhenti ketika mata pisau yang dihunuskan menebus ulu hati adiknya. Clause tidak pernah membayangkan bila Eve harus tertusuk, ia menatap tanpa getar tanpa perasaan ingin pulang. Sepanjang tayangan ia memang mengatupkan bibirnya, tidak ada yang tahu isi hati siapapun—hanya dia dan dirinya. Clause menangis sejadi-jadinya, matanya memanas, di balik matanya sudah ribuan liter airmata yang mengalir deras, tak ia tunjukkan. Eve tak akan senang bukan melihatnya bersedih seperti permintaan terakhirnya di sebuah ruangan. 


Saat itu Eve memintanya untuk tidak menangis, menghambur ke pelukannya. Ia masih mengingat segalanya, disana—di sebuah ruangan kecil yang disediakan untuk pertemuan terakhir. Tidak tahu ‘kan Eve bila saat itu Clause ingin sekali membawa kabur dirimu? Berencana menyusun strategi, bagaimanapun caranya meskipun lidahnya terpotong, jangan sampai kau menjejakkan kaki di arena. Tidak tahu ‘kan pada saat itu hatinya terasa sakit, berdenyut hebat karena akan melepas kepergian orang yang paling disayanginya. Tidak tahu ‘kan? Kau tidak akan benar-benar tahu Eve, bagaimana rasanya separuh nyawamu menghilang, nyawa yang mati-matian kau jaga untuk dirimu sendiri. Kau tidak tahu apa rasanya berdiri disini, melihatmu disakiti orang lain tapi tak bisa berbuat apa-apa untuk menghentikan mereka, kau tidak tahu Eve—sama sekali tidak tahu. 

Seseorang menghambur padanya, sesosok ringkih yang berlari menerobos kerumunan, dentam meriam yang terdengar, satu per satu raga yang terkapar tak bernyawa, ia melihatnya Eve mulai kepayahan, mulai tidak stabil. Clause tahu saat itu Eve mungkin sudah sekarat, gadis itu mulai merebahkan tubuhnya, terjatuh, tetapi pemuda yang sedaritadi menyiksanya masih enggan membiarkan Eve bernafas, saat itu Clause merasakan satu pelukan melingkar dan menekannya. Dia sendiri menahan nafas, tubuhnya kaku. Semakin tak bisa bicara ketika ia melihat pemuda yang baru sore kemarin terlibat interaksi dengannya dan ia menjuluki pria itu pemalas, meregang nyawa dengan satu mata. Jauh lebih pedih, tetapi kematian seperti sulit menggapai Eve dengan segala siksaannya. Nyonya White memperketat pelukannya, bahu wanita itu berguncang hebat, ia semakin membenamkan wajahnya ke pada dada Clause dalam-dalam, sedang ia tetap menyaksikan bagaimana Eve menggapai kematiannya. Adiknya benar-benar sekarat, menekuk tubuhnya disana dengan satu tangan memegangi perutnya. Dia bisa membayangkan sesakit apa disana. Reflek Clause mengangkat satu tangannya yang tidak memegang apapun, memeluk tubuh ringkih dalam pelukannya, mengelus pundaknya. 

Wanita hebat yang telah melahirkan dan membesarkannya, bersama Eve adik kecilnya. Kali ini Clause diajarkan untuk mengikhlaskan. Meski kenyataannya mengikhlaskan sangatlah sulit, terlalu sulit. Yang entah kenapa wanita itu bisa lakukan walaupun dengan ribuan tetes airmata yang tidak berhenti. 

Baik Clause dan anggota White lainnya hanya tinggal menunggu waktu, dimana bunyi meriam berdentam dan menghantarkan adiknya pada singgsana surga. Setelah sakit beberapa menit dan Clause tahu rasanya menyiksa, setelah ini ia akan dijemput oleh maut—ketenangan abadi dengan surganya. Tidak sedikit pun ia menunduk, bahkan detik ketika meriam itu benar-benar berbunyi menandakan kematian Eve. 

Stephanie White, may you rest in peace in God arms.

Tembakan meriam sekaligus mengakhiri segalanya, barulah ia menunduk, menaruh dagunya diatas kepala sang ibu. Jantungnya terasa berhenti, ia merasa payah, seolah tegar. Ada banyak mata yang melihatnya, ia menangis. Kabut sudah memenuhi matanya, disini menangis adalah hal yang paling biasa setiap tahunnya, disini airmata tidak berharga, disini kehilangan sudah menjadi harga yang paling murah dan nyawa bisa dibeli dimana saja. Tidak ada yang sulit dari sebuah kematian kecuali berusaha mengikhlaskan kepergiannya. Pelukannya semakin erat dan tubuh dalam dekapannya semakin berguncang. 

Ia merasakannya, jauh lebih merasakannya. Ibu, dia tahu. Mrs White adalah orang yang melahirkan Eve, mengandungnya selama sembilan bulan, berjuang antara hidup dan mati ketika Eve terlahir ke dunia. Dia tahu Mrs White menahan pedih luar biasa ketika melihat anak gadis satu-satunya kini telah kembali pada penguasa alam, nyawanya dikorbankan oleh hal-hal yang tidak berguna. Tetapi Clause tidak ingin kematian Eve sia-sia, berkali-kali ia mengecup puncak kepala ibunya. Berjanji pada perempuan yang telah melahirkannya, berjanji pada gadis kecilnya bahwa ia tidak akan menangis, ia akan tetap melanjutkan hidupnya. 

Clause menarik tubuh ibunya menuju rumah, ia ingin pulang. Segalanya telah usai, Eve benar-benar pergi dari hidupnya. Ketika ia mengira Eve akan tinggal lebih lama, tetapi kenyataan berteriak bila ia yang harus meninggalkan. 

Ia kembali dalam keadaan kacau, mematung di ruang makan merangkap ruang keluarga. Ibu sudah lebih dulu menuju kamarnya, ia tak sadarkan diri sejak pintu rumah terbuka dan Clause membopong wanita terkasihnya ke atas pembaringan. Membiarkan wanita itu terlelap dalam mimpinya bersama Stephanie White. 

Menaruh tangannya, menopang dagu. 

Ia menundukkan kepala, sesekali mendongak, menghadirkan Eve secara visual di matanya. Gadis itu nampak cantik dengan balutan gaun berwarna pastel, menopang dagunya dan tersenyum. Senyum yang tak akan pernah dilihatnya, senyum yang hanya akan ada di dalam kepalanya, raga yang tiada dengan jiwa yang tersisa itulah kehilangan. Memori terputar bagai film pendek di dalam otaknya, ia menatap tangguh visual semu gadis di hadapannya. 

Ketika hanya keheningan mengisi bejana, Clause merasakan sebuah sentuhan dingin dan mata kelabu yang semakin mendekat. Eve mengulurkan tangannya, mengusap bagian pipinya, membuat distraksi dengan pantulan matanya yang tidak lagi cokelat. Ada senyum disana, senyum yang tidak lagi dimilikinya. Eve membuka mulutnya, seperti berucap sesuatu melalui isyarat. 

"Listen, my dear
Only God knows why we come up this way
We've already tried, but we can't fight no more
There's something we can't work on
So when the day has come, let it be
Our heart will still be together
Even when we are separated
By a long, long distance
Trust me, dear
Our love is the only thing precious
That I'll take to my final rest"


Seketika matanya terasa panas, ada denyut untuk merasakan kehidupan. Clause berusaha menggapai visual semunya, membiarkan tangannya berada pada titik khayalnya. 

"All you have to know is, I love you. And I will always do,”


Setiap detail adalah nyanyian. Namun setiap detailnya juga tangisan. Setiap detailnya juga seribu tanya dalam kepanikan dan keputusasaan. Setiap detail adalah tawa. Namun setiap detailnya juga tangisan. Setiap detailnya juga seribu tanya dalam kepanikan dan keputusasaan. Setiap detail adalah usaha pencarian yang tak kenal lelah. Setiap detail sebenarnya adalah harapan yang tak kenal habis. Namun setiap detail adalah pertahanan yang jatuh bangun dan makin menipis. Tidak ada yang bisa dilakukannya dengan hatinya yang tengah berjalan ke kematian. Sesuatu yang telah terjadi dan mungkin itu memang tidak bisa dibagi. Hanya milik Clause sendiri. Sesaat kedua matanya sempat terpejam. Jika saja bisa, jika saja memungkinkan, dia tidak ingin Eve pergi. Permohonan sungguh-sungguh dan harus, namun sayangnya tak ingin dia jelaskan. Karena realisasi dari permohonan itu nantinya akan teramat sarat dengan luka. 

Ini adalah senyap paling pekat yg pernah dirasakan keduanya. Berdua yang seperti sendirian. Clause menundukkan kepalanya, dia tahu, dengan menunduk dia telah menghilangkan visual dan itu justru akan semakin memerangkapnya dalam rasa sakit. Butir-butir kata yg masih tak kasatmata itu mengembara di udara. Entah kapan sampai di tujuan dan terbaca.

“Please. Someday you'll live without me.
And I'll be watching you from heaven.
Only if God trusted me up get there."


Pada akhirnya gugur dan tumbang, dirinya mendapati justru sakitlah yg ada di baris terdepan. Darinya... dan untuk seseorang. Kesadaran itu menampar. Kembali dirinya terguncang. Kali ini lebih hebat, karena setengah dari kesadarannya menghilang. Namun masih dikenalinya rasa sakit ini. Karena rasa inilah yg telah memicunya untuk "mematikan" dirinya sendiri. 

Pada akhirnya seseorang yang kuat, pasti akan butuh pundak untuk bersandar. Sekuat apapun orang itu, ia akan menangis. Menangis bukanlah cengeng. Menangis, meredakan sakit, meskipun tidak mengubah keadaan. Meskipun sama sekali tidak menebus kesalahan. Ada saatnya kita tidak bisa menahan airmata. Karenanya, biarkan saja dia mengalir. Tidak usah diredam. Tidak usah disangkal. Sama sekali bukan karena janjinya terhadap Cinta. Tapi karena hanya dari kejauhanlah apa yang dibiarkannya tetap hidup dalam hati dan pikiran bisa dilihatnya dalam realita. dengan kedua mata. Clause belajar memahami betapa berartinya seseorang dan bahwa kepergiannya bisa memberikan kepedihan yang tajam, mematahkan semangat dan mendinginkan hati. 

Perlahan ia mendongak, keduanya saling tatap. Dua pasang mata itu bertemu. Yang meninggalkan dan yang ditinggalkan. Sebelum bayangan Eve menghilang, ia membuka mulutnya. Mengalamatkan sebagai pesan terakhir untuk adik tercintanya. Sebelum bayangan itu semakin memudar, sebelum putih semakin mendominasi raga Eve. Pemuda White menggenggam tangan adiknya, membawanya pada permukaan pipinya. Merasakan hangat dan uraian airmata yang terakhir bagi Eve. 

"Listen, I love you even though we're no longer alive. I'll love you more than you know."


Wajah yang membuatnya tak berkompromi pada jarak. Ketika waktu telah kembali berdetak sempurna, kenapa justru bumi yang enggan berputar? Dan ketika semuanya berubah, menyisakan dua hati yang luluh lantak tak berbekas. Siluet waktu terpekur, duduk bersila memandang angin. Dan ketika hembusan cahaya tergapai, mulai terhampar sebuah kenyataan kalau sosok itu sudah tak lagi terjangkau. Dalam hitungan detik, cahaya putih menyelimuti Eve. Jemari lentiknya tak lagi menyentuh epidermis Clause, Eve menyunggingkan senyumnya, mengukir bulan sabitnya. Perlahan, siluet itu mengabur, tipis, transparan, lama kelamaan menghilang. 

Semua orang di dunia ini pernah mengalami kehilangan. Dari yang paling tak berarti, sampai yang tak bisa dilupakan dari hati. Bahkan saat ia masih begitu kecil untuk mengerti sebuah arti kehilangan. Ia ingin perasaan yang lega. Ia hanya ingin merasa lega. Ia ingin bisa menanggung apa yang ia rasakan tanpa mengeluarkan setitik pun airmata kesedihan. Kenyataan yang dihadapinya sudah jelas, Eve—satu-satunya perempuan yang paling ia sayangi telah kembali pada Tuhan, membawa serta kematiannya dengan seluruh kebahagiaan yang ia miliki. Bukankah ini janjinya? Bukankah ini keinginannya? Bukankah ia yang mengatakannya sendiri?

Jika kau rasakan baik-baik, semuanya menunjukkan padamu tentang tumbuh, tentang berkembang. Dan untuk kesana, kau temui gugur, dan mati. Kematian sekalipun, tidak akan pernah menghilangkan seseorang. Bahwa ketika ia berjanji pada dirinya sendiri, ketika Eve tiada, gadis itu tidak benar-benar mati, Eve akan tetap hidup—di dalam hatinya. Eve akan menetap disana, selamanya, tempat terbaik untuk pulang hanyalah hatinya, hati seorang Clauseverine White.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar