Kamis, 15 November 2012

I Looked To You As It Fell


Sejenak, Sean merasa catatannya mengenai identifikasi tentang sebuah topi muggle, masih sangat sedikit. Ya, hanya beberapa baris saja, dan tidak sampai satu paragraf. Baiklah, dia bisa menambahkannya beberapa baris lagi, karena di dalam otaknya masih tersimpan berbagai jawaban yang lagi, akan dituangkan di atas perkamen yang kini sudah terisi tulisan-tulisan tangan Sean mengenai topi yang dia dapatkan setelah mengambil sesuatu dari sebuah kotak yang disediakan Profesor. Dia bisa dibilang sedikit lebih beruntung, dibandingkan beberapa orang temannya yang mendapat benda muggle yang sangat aneh, dan bahkan Sean nyaris tidak pernah melihatnya di rumah keluarga McKinley.
Di sampingnya, gadis dengan marga Athena masih sibuk menulis identifikasi mengenai sebuah kabel. Sean sedikit lega dia tidak mendapat benda yang mengalirkan listrik itu. Soalnya, dia mungkin akan mendapat sedikit kesulitan untuk mengidentifikasi apa-apa saja yang menjadi ciri khas benda itu. Sepertinya, Ivy tidak mendapat kesulitan yang berarti pada tugasnya. Sean kagum pada gadis itu, meskipun sifatnya yang mungkin akan membuat Sean sedikit tertawa. Memang, gadis itu terlihat tidak terlalu serius dalam mengerjakan tugasnya. Tapi, itu bukan masalah.
" Mana? Boleh aku lihat? ", Sean meminta pada gadis itu, agar diberi kesempatan untuk melihat identifikasi yang dilakukan gadis itu. Paling tidak, kalau pun ada yang salah, Sean bisa ikut memberikan bantuan pada gadis itu. Yah, tak ada salahnya kan.
Sean memandangi jawaban dari gadis itu. Membacanya dengan seksama, dan terkadang tersenyum melihat jawaban gadis itu. Jawabannya tidak terlalu buruk, malah menarik buat Sean. Tak berapal lama, Sean sudah selesai membacanya, dan kembali menatap gadis itu. Sedikit tersenyum, paling tidak dia menghargai jawaban gadis itu. Apa yang akan dia lakukan selanjutnya? Terus tersenyum seperti ini hingga bel berbunyi, dan ketika itu giginya sudah kering semua? Tentu tidak, dia harus mengembalikan perkamen milik gadis itu, sekarang.
" Ini... ", ujarnya mengembalikan. "... jawabanmu menarik. ", dia tidak mengejek jawaban gadis itu lho. Dan, ngomong-ngomong Sean belum terlalu kenal gadis itu, sekalipun pernah bertemu di suatu tempat. Maaf, soalnya Sean sedikit sering lupa dengan nama-nama orang yang pernah dia temui, dalam selang waktu yang lama. " Aku harus memanggil namamu apa? "

§§§

Ivy bukan anak pintar, kakak…
Iya memang bukan, terus kenapa?
Jadi dia harus memutar otak walaupun soalnya sederhana. Ivy menekan penanya, kemudian menyelipkan beberapa helai surainya ke belakang telinga. Susah ya? Dan Ivy melontarkan pandangan pada benda panjang mirip ular warnanya hitam—lagi warnanya hitam. Ivy takut tahu! Masih untung benda itu tidak dia lempar ke meja Profesornya. Kalau nanti dia lempar pasti dia dimarahi, dan akan ia tanggapi dengan wajah yang melas, dan polos.
Ivy memang polos, kakak.
Ada yang mau intip-intip kertas perkamennya. Ivy menoleh, menarik setarik sabitnya. Menggeser perkamennya, supaya si McKinley dengan senyum menawan itu bisa melotot perkamen miliknya sampai puas. Hoo, agak mengerikan ya bahasanya. “Aku mengarang bebas lho…” Tidak penting ya kakak.
Dia membiarkan tuan McKinley meneliti pekerjaannya. Matanya memutar-mutar seperti naik komedi putar—salah kakak. Menoleh sekilas dan mendapati lelaki berumur 12 tahun itu tersenyum sendiri melihat jawaban Ivy. Memang ada yang lucu ya? Ivy merapatkan duduknya dengan McKinley, dia penasaran, sangat penasaran kenapa pemuda itu malah tersenyum melihat jawaban Ivy. Apa perkamennya terlihat meledek? Oh tidak mungkin.
Dan kau tahu, pemuda ini tersenyum lamaaaaaa sekali. Sampai giginya kering—salah lagi, kakak. Begitu perkamennya dikembalikan, Ivy merapikan alat-alat tulisnya. Dia memuji, katanya jawaban Ivy menarik. Ya jelas menarik, orang jawabannya mengarang bebas. Sujud syukur kalau diterima perkamen dan diberi nilai tapi ya tapi kalau tidak juga tidak apa, maka Ivy akan menangis meraung di pojok kelas.
“Eh?” Ivy berhenti merapikan alat tulisnya, “Hng… Panggil aku Ivy bukan Ipi, atau Ipin..” ia mengulurkan tangannya, tangan yang mungil dan halus—narsis sedikit. “Kita berteman?” sungguh, pertanyaan bodoh.

§§§

Jadi, namanya Ivy, eh?
Ya, kalau Sean tak salah dengan sih, begitu. Gadis yang begitu menarik minatnya itu, sudah diketahui namanya. Hah, mungkin mereka bisa bertemu lagi di kelas yang lain, jikalau Sean sedang merasa sepi karena tak ada hiburan. Setelah memberikan perkamen itu kepada pemiliknya, Sean memilih untuk kembali mengoreksi jawaban miliknya sendiri. Siapa tahu kan, dia justru banyak salahnya. Apapun, kalau tidak diteliti lagi, pasti akan ada sesuatu yang menimpa. Satu hal kecil, dapat mempengaruhi begitu banyak perubahan. Salah satunya, esai yang dikerjakan Sean ini.
Duh, otak Sean buntu lagi untuk ke sekian kalinya. Padahal, dia sudah menulis paragraf selanjutnya, dan itu artinya kemungkinan mendapat nilai cukup sudah di tangannya. Bagaimana tidak, Profesor hanya menyuruh esai yang dibuat singkat, tapi Sean malah membuatnya panjang lebar, dan bahkan dapat membuat mata Profesor yang membacanya bengkak saking panjangnya. Itulah kebiasaan Sean, selalu menyelesaikan suatu pekerjaan tanpa setengah-setengah. Mengerjakan tugas, harus selesai semua tanpa sisa. Kalau ada sisa, itu sangat memalukan sekali.
Itu prinsip keluarga McKinley....
Akhirnya Sean memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya, untuk sementara waktu. Dan kini, dia mulai beralih lagi kepada Ivy, yang nampaknya sudah membereskan peralatannya, bersiap kembali ke ruang rekreasi sepertinya. Ingin rasanya Sean mengajaknya mengobrol lagi, hanya saja Sean bingung menntukan apa yang akan dibicarakan selanjutnya. Setelah berpikir cukup keras, muncul sati buah pertanyaan singkat yang mungkin, kalau dijawab hanya membutuhkan waktu tak sampai satu menit untuk berpikir. Kira-kira, begitulah.
" Tidak mau menambah jawaban lagi? ". nah, itu dia.

§§§

Dia mau menjawab apa lagi? Tidak ada. Semampunya saja mengerjakan, kalau terlalu banyak memutar otak nanti Ivy lapar, kalau lapar Ivy mau makan, tapi nanti makannya jadi lahap persis seperti buruh bangunan. Dan apa itu buruh bangunan? Tidak tahu. Jadi jangan tanya Ivy ya kakak.
Yak oke, bagaimana kelas hari ini?
Menyenangkan, karena apa? Karena Ivy banyak teman. Sehabis mati surinya dia dapat teman dan sudah diberi pencerahan oleh Tuhan Yang Masa Esa. Ivy begitu namanya dipanggil memang sudah merapikan alat tulisnya, kemudian menatap lembaran perkamennya. Hanya segelintir penjelasan saja tentang si kabel. Habis Ivy tidak mungkin mengarang bebas lagi, aduh jangan deh jangan. Pemuda disampingnya yang katanya namanya McKinley itu menanyakan sesuatu, Ivy mengernyitkan keningnya. Meraih perkamennya yang berisi tulisan bak cakar ayam di atasnya.
“Aku pikir ini sudah cukup. Kenapa? Mau memberiku contekan ya?” Lagi Ivy menaik-naikkan alisnya. Tetap dengan senyum manisnya. Sebenarnya dia masih belum mau pindah kelas, sungguh. Ivy masih betah sekali disini. Entah karena habis dari mimpi panjangnya tahun kemarin, mungkin bersamaan bangkitnya Ivy, Merlin juga bangkit lagi. Siapa itu Merlin? Siapa saja boleh. Ivy terkekeh sendiri, lalu disana terdengar ramai sekali acara diskusinya. Ramai sampai seperti orang arisan—arisan itu apa? Nanti sepulangnya Ivy dari sekolah, dia akan bertanya pada Mom. Karena biasanya ibu-ibu akan menghabiskan weekend mereka dengan arisan. Berkumpul lalu tertawa dengan jumawa. Yak oke yang itu tidak perlu dibahas.
“Jadi McKinley, tulisanmu bagus ya? Sama kayak orangnya.” Maksudnya gombal? That’s I mean. “Eh McLane, kamu punya risoles? Tadi ku dengar kau menyebut risoles.”
Omong-omong tentang risoles, Ivy jadi lapar. Kata Mom itu salah satu makanan Asia yang enak, entah isinya apa tapi patut dicoba. Yeah yeah kalau ada yang bawa, Ivy mau dong ya. Ivy lapar nih. Tapi memangnya boleh makan di kelas? Mungkin tidak boleh tapi nanti Ivy akan tawarkan juga pada Profesornya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar