Sejenak,
Sean merasa catatannya mengenai identifikasi tentang sebuah topi muggle, masih
sangat sedikit. Ya, hanya beberapa baris saja, dan tidak sampai satu paragraf.
Baiklah, dia bisa menambahkannya beberapa baris lagi, karena di dalam otaknya
masih tersimpan berbagai jawaban yang lagi, akan dituangkan di atas perkamen
yang kini sudah terisi tulisan-tulisan tangan Sean mengenai topi yang dia
dapatkan setelah mengambil sesuatu dari sebuah kotak yang disediakan Profesor.
Dia bisa dibilang sedikit lebih beruntung, dibandingkan beberapa orang temannya
yang mendapat benda muggle yang sangat aneh, dan bahkan Sean nyaris tidak
pernah melihatnya di rumah keluarga McKinley.
Di
sampingnya, gadis dengan marga Athena masih sibuk menulis identifikasi mengenai
sebuah kabel. Sean sedikit lega dia tidak mendapat benda yang mengalirkan
listrik itu. Soalnya, dia mungkin akan mendapat sedikit kesulitan untuk
mengidentifikasi apa-apa saja yang menjadi ciri khas benda itu. Sepertinya, Ivy
tidak mendapat kesulitan yang berarti pada tugasnya. Sean kagum pada gadis itu,
meskipun sifatnya yang mungkin akan membuat Sean sedikit tertawa. Memang, gadis
itu terlihat tidak terlalu serius dalam mengerjakan tugasnya. Tapi, itu bukan
masalah.
"
Mana? Boleh aku lihat? ", Sean meminta pada gadis itu, agar diberi
kesempatan untuk melihat identifikasi yang dilakukan gadis itu. Paling tidak,
kalau pun ada yang salah, Sean bisa ikut memberikan bantuan pada gadis itu.
Yah, tak ada salahnya kan.
Sean
memandangi jawaban dari gadis itu. Membacanya dengan seksama, dan terkadang
tersenyum melihat jawaban gadis itu. Jawabannya tidak terlalu buruk, malah
menarik buat Sean. Tak berapal lama, Sean sudah selesai membacanya, dan kembali
menatap gadis itu. Sedikit tersenyum, paling tidak dia menghargai jawaban gadis
itu. Apa yang akan dia lakukan selanjutnya? Terus tersenyum seperti ini hingga
bel berbunyi, dan ketika itu giginya sudah kering semua? Tentu tidak, dia harus
mengembalikan perkamen milik gadis itu, sekarang.
"
Ini... ", ujarnya mengembalikan. "... jawabanmu menarik. ", dia
tidak mengejek jawaban gadis itu lho. Dan, ngomong-ngomong Sean belum terlalu
kenal gadis itu, sekalipun pernah bertemu di suatu tempat. Maaf, soalnya Sean
sedikit sering lupa dengan nama-nama orang yang pernah dia temui, dalam selang
waktu yang lama. " Aku harus memanggil namamu apa? "
§§§
Ivy
bukan anak pintar, kakak…
Iya
memang bukan, terus kenapa?
Jadi
dia harus memutar otak walaupun soalnya sederhana. Ivy menekan penanya,
kemudian menyelipkan beberapa helai surainya ke belakang telinga. Susah ya? Dan
Ivy melontarkan pandangan pada benda panjang mirip ular warnanya hitam—lagi
warnanya hitam. Ivy takut tahu! Masih untung benda itu tidak dia lempar ke meja
Profesornya. Kalau nanti dia lempar pasti dia dimarahi, dan akan ia tanggapi
dengan wajah yang melas, dan polos.
Ivy
memang polos, kakak.
Ada
yang mau intip-intip kertas perkamennya. Ivy menoleh, menarik setarik sabitnya.
Menggeser perkamennya, supaya si McKinley dengan senyum menawan itu bisa
melotot perkamen miliknya sampai puas. Hoo, agak mengerikan ya bahasanya. “Aku
mengarang bebas lho…” Tidak penting ya kakak.
Dia
membiarkan tuan McKinley meneliti pekerjaannya. Matanya memutar-mutar seperti
naik komedi putar—salah kakak.
Menoleh sekilas dan mendapati lelaki berumur 12 tahun itu tersenyum sendiri
melihat jawaban Ivy. Memang ada yang lucu ya? Ivy merapatkan duduknya dengan
McKinley, dia penasaran, sangat penasaran kenapa pemuda itu malah tersenyum
melihat jawaban Ivy. Apa perkamennya terlihat meledek? Oh tidak mungkin.
Dan
kau tahu, pemuda ini tersenyum lamaaaaaa sekali. Sampai giginya kering—salah lagi, kakak. Begitu perkamennya
dikembalikan, Ivy merapikan alat-alat tulisnya. Dia memuji, katanya jawaban Ivy
menarik. Ya jelas menarik, orang jawabannya mengarang bebas. Sujud syukur kalau
diterima perkamen dan diberi nilai tapi ya tapi kalau tidak juga tidak apa,
maka Ivy akan menangis meraung di pojok kelas.
“Eh?”
Ivy berhenti merapikan alat tulisnya, “Hng… Panggil aku Ivy bukan Ipi, atau
Ipin..” ia mengulurkan tangannya, tangan yang mungil dan halus—narsis sedikit. “Kita berteman?”
sungguh, pertanyaan bodoh.
§§§
Jadi, namanya Ivy, eh?
Ya,
kalau Sean tak salah dengan sih, begitu. Gadis yang begitu menarik minatnya
itu, sudah diketahui namanya. Hah, mungkin mereka bisa bertemu lagi di kelas
yang lain, jikalau Sean sedang merasa sepi karena tak ada hiburan. Setelah
memberikan perkamen itu kepada pemiliknya, Sean memilih untuk kembali mengoreksi
jawaban miliknya sendiri. Siapa tahu kan, dia justru banyak salahnya. Apapun,
kalau tidak diteliti lagi, pasti akan ada sesuatu yang menimpa. Satu hal kecil,
dapat mempengaruhi begitu banyak perubahan. Salah satunya, esai yang dikerjakan
Sean ini.
Duh,
otak Sean buntu lagi untuk ke sekian kalinya. Padahal, dia sudah menulis
paragraf selanjutnya, dan itu artinya kemungkinan mendapat nilai cukup sudah di
tangannya. Bagaimana tidak, Profesor hanya menyuruh esai yang dibuat singkat,
tapi Sean malah membuatnya panjang lebar, dan bahkan dapat membuat mata
Profesor yang membacanya bengkak saking panjangnya. Itulah kebiasaan Sean,
selalu menyelesaikan suatu pekerjaan tanpa setengah-setengah. Mengerjakan
tugas, harus selesai semua tanpa sisa. Kalau ada sisa, itu sangat memalukan
sekali.
Itu prinsip keluarga
McKinley....
Akhirnya
Sean memutuskan untuk menyudahi pekerjaannya, untuk sementara waktu. Dan kini,
dia mulai beralih lagi kepada Ivy, yang nampaknya sudah membereskan
peralatannya, bersiap kembali ke ruang rekreasi sepertinya. Ingin rasanya Sean
mengajaknya mengobrol lagi, hanya saja Sean bingung menntukan apa yang akan
dibicarakan selanjutnya. Setelah berpikir cukup keras, muncul sati buah
pertanyaan singkat yang mungkin, kalau dijawab hanya membutuhkan waktu tak
sampai satu menit untuk berpikir. Kira-kira, begitulah.
"
Tidak mau menambah jawaban lagi? ". nah, itu dia.
§§§
Dia
mau menjawab apa lagi? Tidak ada. Semampunya saja mengerjakan, kalau terlalu
banyak memutar otak nanti Ivy lapar, kalau lapar Ivy mau makan, tapi nanti
makannya jadi lahap persis seperti buruh bangunan. Dan apa itu buruh bangunan?
Tidak tahu. Jadi jangan tanya Ivy ya kakak.
Yak
oke, bagaimana kelas hari ini?
Menyenangkan,
karena apa? Karena Ivy banyak teman. Sehabis mati surinya dia dapat teman dan
sudah diberi pencerahan oleh Tuhan Yang Masa Esa. Ivy begitu namanya dipanggil
memang sudah merapikan alat tulisnya, kemudian menatap lembaran perkamennya.
Hanya segelintir penjelasan saja tentang si kabel. Habis Ivy tidak mungkin mengarang
bebas lagi, aduh jangan deh jangan. Pemuda disampingnya yang katanya namanya
McKinley itu menanyakan sesuatu, Ivy mengernyitkan keningnya. Meraih
perkamennya yang berisi tulisan bak cakar ayam di atasnya.
“Aku
pikir ini sudah cukup. Kenapa? Mau memberiku contekan ya?” Lagi Ivy
menaik-naikkan alisnya. Tetap dengan senyum manisnya. Sebenarnya dia masih
belum mau pindah kelas, sungguh. Ivy masih betah sekali disini. Entah karena
habis dari mimpi panjangnya tahun kemarin, mungkin bersamaan bangkitnya Ivy, Merlin
juga bangkit lagi. Siapa itu Merlin? Siapa saja boleh. Ivy terkekeh sendiri,
lalu disana terdengar ramai sekali acara diskusinya. Ramai sampai seperti orang
arisan—arisan itu apa? Nanti sepulangnya Ivy dari sekolah, dia akan bertanya
pada Mom. Karena biasanya ibu-ibu akan menghabiskan weekend mereka dengan
arisan. Berkumpul lalu tertawa dengan jumawa. Yak oke yang itu tidak perlu
dibahas.
“Jadi
McKinley, tulisanmu bagus ya? Sama kayak orangnya.” Maksudnya gombal? That’s I
mean. “Eh McLane, kamu punya risoles? Tadi ku dengar kau menyebut risoles.”
Omong-omong
tentang risoles, Ivy jadi lapar. Kata Mom itu salah satu makanan Asia yang
enak, entah isinya apa tapi patut dicoba. Yeah yeah kalau ada yang bawa, Ivy
mau dong ya. Ivy lapar nih. Tapi memangnya boleh makan di kelas? Mungkin tidak
boleh tapi nanti Ivy akan tawarkan juga pada Profesornya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar