Disclaimer to : Amano Ryota, Shirahata Cho, Hideaki Tosho dan karakter lain yang disebutkan dalam cerita ini.
Pindah sekolah artinya pindah rumah, pindah kota spesifiknya
pindah kehidupan. Adaptasi ulang, masuk ke lingkungan baru dan menyesuaikan
diri dari awal. Sejenak, bukankah ini keinginannya? Sapporo bukan berarti
tempat yang tidak layak, hanya tujuannya tak terpenuhi. Substansi sekolahnya
menyerah, mengatasi seorang lelaki bebal bernama Ryota. Tidak pernah hadir di
kelas, main pukul anak orang, adu mulut sembarangan, terakhir membuat ketua
kelasnya ambruk dan masuk rumah sakit dan meninggalkan vonis gegar otak.
Kemudian ia dikeluarkan dengan sambutan sukacita. Siapa peduli? Yang penting ia
cepat-cepat pergi karena toh keinginannya memang bukan disini, ‘kan? Ryota,
sepenggal nama potongan dari masa Hideaki dan beralih pada Tomohiro kemudian
beranjak pada Amano. Mereka pindah, setelah ibunya memutuskan menikah dengan
seorang pemuda tua, kaya sayangnya ia terlalu kikir dan tolol, pemalasa, angkh
dan sedikit fanatic terhadap minuman beralkohol. Menurutnya, ayah tirinya hanya
peduli pada ibunya meski tak pernah ada kekerasan fisik yang ia alami sebagai
anak. Namun tak dilihatnya tanda-tanda seorang ayah yang menyayangi anaknya.
Na’ah lebih dari cukup, ia belum bisa melupakan Hideaki—ayah kandungnya yang
sama bebal, yang darahnya mengalir dalam setiap sendinya, tetapi kenyataannya
yang bersangktan menolak mentah-mentah, mencoret namanya dari daftar anak,
katakanlah ia terbuang sia-sia.
Kepindahan sejatinya ia meninggalkan puing-puing yang lalu,
membuka kotak baru, kehidupan yang baru dengan tujuan masa lalu. Tolol? Ya,
katakanlah seperti itu—kurang lebih. Adakah yang tahu, dibalik tubuh kurusnya,
dibalik wajah datarnya, dibalik peduli setannya, ia menyimpan obsesi yang
sangat besar. Tidak ada yang bisa menolaknya sekalipun ibu kandungnya. Ketika
ia mengingat sebuah putaran halus di dalam kepalanya; nama Saeki yang berada di
sana. Bungsu dari Hideaki sekaligus kepingan masa lalu yang dibawa kabur oleh
bajingan tengik sekelas Hideaki. Disanalah tujuannya, Nagoya. Dia tahu, ketika
sekolah menengah pertama, ia sempat bertemu putera Hideaki bersama seorang
puteri kecil di sebuah supermarket. Gadis yang cantik dengan mata besar, bibir
mungil, surai pekat lurus sebahu—mirip sekali dengan ibunya. Tanpa ragu ia
mengenalinya, itu Saeki—nya. Direbut paksa, diambil tanpa persetujuan oleh sang
ayah. Kemudian selama seminggu ia mengikuti kemana pemuda itu pergi, pemuda
yang sering diantar memakai kendaraan pribadi, pemuda yang pongah ketika
membuka pintu kendaraan pribadinya, pemuda yang dengan tatapan matanya sudah
memerlihatkan seberapa banyak yang yang ditimbun orangtuanya. Ia rela
berdesak-desakan di dalam kereta hanya untuk bertatap muka dengan pemuda
itu—Hideaki Tosho yang ia cari sekian lamanya, kurun waktu belasan tahun.
Pemuda yang ingin ia cear, yang ingin ia habisi hidupnya karena mengambil apa
yang bukan miliknya dan begitu sadar ia lemas pemuda itu bahkan tidak bersalah.
Pemuda itu tidak tahu apa-apa, dan ia hanya termenung memandang ujung sepatunya
mengumpulkan niat ketika sang pemuda yang dikenalinya sebagai anak Hideaki lain
tengah berjalan ke arahnya.
“Hideaki—san?”
Pemuda itu mendongak, menaikkan satu alisnya, meneliti
penampilan Ryota dari ujung kepala hingga ujung kaki. Menilai selayaknya ia
bertemu dengan gembel jalanan.
“Siapa?”
Lupa—wajar, sudah bertahun-tahun mereka tidak bertemu. Usia
tak mengizinkan mereka pergi ke pantai bersama menghabiskan waktu dengan
butiran pasir dan istnananya. Waktu juga tak mengizinkan Ryota kembali pada
pelukan masa lalunya hanya untuk memungut sesuatu yang sudah terpecah belah menjadi
ratusan kepingan abstrak.
“Lupa ya? Ryota.”
Pemuda itu Nampak berpikir sejenak kemudian ia mengangguk
memasang wajah datar. Menunjuk Ryota dengan dahu, rasanya sampah kalau ia tidak
mengajak bicara seorang Tosho.
“Oh ya, apa kabar?”
“Baik, rumahmu di sekita sini?”
“Darimana kau tahu?”
“Wah lupa? Dulu ‘kan kta sering main
bersama.”
Alibi—hanya serangan masa lalu. Basa-basi menciptakan
ingatan yang hilang, aliansi memori yang tak bisa ia cegah, buat sendiri
kemudian disusun menjadi kumpulan dusta dan ia mulai merayap pada satu
kata—naif. Ryota mulai berbasa-basi meski ia bukan seorang yang cukup pandai
berinteraksi, menyakan segala hal yang bisa ia kupas demi memangkas habis rasa
penasarannya. Demi mencari fakta seputar keberadaan Saeki. Dua puluh
menit—sebuah mobil terlihat dari ujung jalan. Hideaki kecil membungkuk dan
pamit meninggalkan ia dengan semburat masam tarikan asimetris dan kibaran
kemenangan.
Ryota kembali, perjalan tak sepadan dengan yang ia dapat.
Ibu menyakannya, kemana mereka akan pindah. Sejatinya Ryota butuh suasana baru,
ibu berkata dengan nada memerintah bahwa ini kepindahan mereka yang terakhir
sebab beliau lelah melihat tingkah anaknya. Penawaran, ia memberikan
tujuan—Nagoya. Satu-satunya tempat yang ia tuju sejak masa lalunya terungkap,
sejak kepingan jiwanya dibawa, ibu setuju tanpa bertanya kenapa ia memilih
Nagoya. Tak butuh adu mulut, ia dan keluarganya pindah dengan embel-embel
Amano.
Nagoya sebuah kota pinggiran dengan sedikit banyak kehidupan
dan ibu tetap menaruh minat pada pekerjaan lamanya, pun Ryota tak menampuk.
Bukan urusannya selama Amano tidak main kasar dan menyebut ibunya pelacur. Ibu
kemudian mengajukan beberapa sekolah dan ia hanya menyebutkan satu dari yang
tidak ada di dalam penawaran ibunya. Souzou, tempat paling baik dan juga
kediaman terakhir untuk ilmunya.
“Jangan macam-macam lagi atau ibu tidak akan mengurusmu.”
“Ini yang terakhir, pegang kata-kataku.”
Ia berjanji karena memang ingin ditepati. Labuhan
terakhirnya, hari pertama dan ia mulai menjalankan misinya. Hideaki Tosho
disana, si dungu itu dengan wajah innocent menatap kearahnya. Tak masalah asal
ia bisa memantau dan sesekali bertanya tentang Saeki. Dekat—bukan berarti
keduanya saling bicara, lebih banyak diam dan main mata. Bahkan saat keduanya
terlibat di arena pembelajaran, Ryota memang tidak pernah belajar, ia lebih
banyak menghabiskan waktu di luar, atap sekolah, halaman hanya untuk tidur dan
menikmati angin. Ia bukan penikmat tembakau yang seringkali mengenda-endap
hanya untuk menyesap kenikmatannya, bukan pecandu lintingan putih berkedok
asap, bukan pula pengkhayal buta di siang terik ketika matahari hanya sejengkal
dari kepala. Ia hanyalah seorang Ryota dengan segala ambisinya.
Saeki menjadi tujuan utama, ia berlari ke halaman belakang
sekolah tempat biasa untuk dirinya sendiri. Mengingat banyak cerita, ketika
siang hari ibu pergi ke supermarket dengan cerobohnya meninggalkan Saeki di
dekat meja kasir dan kembali padanya dalam keadaan menangis meraung-raung
mengatakan Saeki hilang. Good, ia bukan tidak peduli macam insiden persetan
macam ini pun tidak bisa disebut penculikan, si pelaku tak mengabari ibu bahkan
tak meminta uang tebusan. Lapor polisi dengan dugaan mantan suaminya menculik
anaknya sendiri? Gila, keluarga Hideaki menimbun kekayaan sama seperti mereka
menimbun dosa dengan watak jahannam, dan mereka tidak akan ragu untuk
menjejalkan polisi dengan satu koper uang. Jelata dipinggirkan, dan ia mulai
kesal, lalu masa bodoh, ia tidak peduli suatu saat nanti dengan tangannya ia
akan mengembalikan, merebut kembali haknya dan Hideaki muda akan menangis
meraung-raung karena ia kesal. Ha, mati saja.
Benda jatuh seseorang datang ke arahnya. Mustahil, jam
segini ada murid lain selain dirinya. Buru-buru ia menutup setengah wajahnya
dengan tangan disilangkan di depan wajah. Tangan lain ia jadikan bantalan,
mengintip melalui celah epidermis dan ia tahu siapa—pindahan, sama dengannya.
Peduli? Tidak, hanya seorang gadis dan dunianya sendiri. Lalu ia meminta pergi,
bebal. Gadis itu ternyata mewarisi watak yang sama. Seperti cermin, ia berkaca
bahwa sepasang matanya memiliki pendar yang sama, saat keduanya berkomunikasi
seadanya dan sentuhan pertama sangat memabukkan. Ia tidak lupa bagaimana
mengecup rasa mani dengan indera perasanya—demi sari anggur yang membekas.
Shirahata Cho—namanya. Ia tidak terlalu mengenal gadis ini,
jangankan gadis ini untuk mengenal anak lain pun ia tidak mau. Bukan karena ia
sombong karena memang beginilah dia, tidak suka dengan banyak orang. Bukan
membenci hanya tak suka mereka ada di sekeliling, cenderung dijauhi oleh
teman-temannya. Mungkin disini rasis, anak baru tak punya teman hanya mereka
yang memiliki popularitas dengan gossip-gosip papan atas lah yang menjadi
sorotan dan kumpulan aliansi pasukan yang alih-alih akan membuat mereka tenar.
Setelahnya hanya obrolan singkat, kemudian ada
luka dalam kabut matanya. Puas memandangi wajah terkutuknya ia memutuskan untuk
kembali ke kelas, meskipun ia tidak benar-benar niat kesana, sebab kelas selalu
menjadi momok yang paling menakutkan.
Sampai detik ini ia berharap tidak akan melakukan interaksi
dengan siapapun termasuk teman sebangkunya kalau perlu. Ia lebih baik menjaga
jarak, paham kalau dirinya selalu dalam penilaian yang negatif dan sendirinya
peduli setan—sengaja. Lebih baik seperti itu daripada ia berubah pathetic
kemudian melayangkan tinju pada sembarang orang. Pulang pergi jalan kaki,
Souzou tak begitu jauh dari rumahnya. Begitu bel berbunyi, ia selesai tidur
siang di dalam kelas, berjalan malas menuju rumahnya dengan langkah gontai. Ia
harus cepat pulang karena pukul enam sore ibu sudah harus siap kerja demi
tamu-tamunya. Ia melangkah, satu dua, sampai puluhan bahkan ratusan. Ketika ia
seringkali menoleh ke belakang dan curiga ada sesuatu yang mengikutinya.
Menatap arah belakang dengan sewot, ia tahu ada yang mengikutinya. Siapa?
Pencuri? Ah paling gundik-gundik malas yang seringkali mencegat wanita tengah
malam. Lupakan, ia sudah sampai dirumah dan berganti pakaian. Duduk santai
menunggu ibunya memasak dan berpesan ini itu seperti biasa.
“Kunci pintunya, ibu akan—“
“Pulang jam empat pagi, tapi tergantung para tamu yang
datang karena itu memengaruhi tips, jadi kalau aku tiba jam enam pagi silahkan
sarapan sendiri, jangan lupa siapkan sarapan untuk ayahmu, baju seragammu sudah
ibu setrika.”
Dia sudah hapal kalimat yang dijabarkan ibunya sebelum
beliau berangkat kerja, sang ibu hanya tersenyum mendapati anak sulungnya mulai
mengerti kebiasaan yang mereka lalui selama bertahun-tahun tanpa protes, tanpa
memberikan justifikasi sampah dan bahkan kalimat yang ia akan katakan pun
anaknya sudah hapal. Ia lantas meraih anaknya dalam pelukan kemudian berjinjit
dan mengecup kening Ryota. Setelah itu berbalik dan melangkah pergi. Ryota
mendekati pintu dan menariknya kemudian mengunci pintunya. Berkeliling rumah
dan memeriksa jendela, kalau ada satu pengamanan yang lewat besok pagi Amano
akan memarahinya dan berujung pada pertengkaran yang membanting seluruh barang
dirumah, tapi Amano tidak akan berani menyerangnya atau dia akan diceraikan
ibu. Setelah selesai berpatroli keliling rumah, ia melempar tubuhnya di sofa
ruang keluarga. Ruangan ini kecil, tak jauh dari tempatnya berleyeh-leyeh
terdapat meja makan bundar yang lebih sering diabaikan daripada dipakai makan
bersama. Tangannya meraih remote televisi, masih hitam putih.
Dengan bosan ia mengamati setiap channel yang ia jelajahi, sampai kemudian ia melihat ada bayangan melesat dari luar. Ryota mengernyitkan kening, apakah ibunya kembali lagi? Ia menunggu sembari sesekali memerhatikan layar televisi. Tetapi tak ada pergerakan lebih, seharusnya kalau ibunya kembali beliau mengetuk pintu dengan panik, tetapi ini tidak sama sekali. Ryota beranjak, tanpa perasaan takut karena menurutnya kalau maling tinggal pukul sampai pingsan. Ia memutar kunci pintu dan meraih kenop—terpaku dengan apa yang dilihatnya.
Shirahata Cho, berdiri dengan busana renda di depan rumahnya—tengah malam.
“Cho…” Ia meneguk ludah, menjulurkan lehernya, mengamati sekeliling dan kembali memerhatikan gadis bersurai hitam di hadapannya, “ada apa kesini malam-malam?”
Dengan bosan ia mengamati setiap channel yang ia jelajahi, sampai kemudian ia melihat ada bayangan melesat dari luar. Ryota mengernyitkan kening, apakah ibunya kembali lagi? Ia menunggu sembari sesekali memerhatikan layar televisi. Tetapi tak ada pergerakan lebih, seharusnya kalau ibunya kembali beliau mengetuk pintu dengan panik, tetapi ini tidak sama sekali. Ryota beranjak, tanpa perasaan takut karena menurutnya kalau maling tinggal pukul sampai pingsan. Ia memutar kunci pintu dan meraih kenop—terpaku dengan apa yang dilihatnya.
Shirahata Cho, berdiri dengan busana renda di depan rumahnya—tengah malam.
“Cho…” Ia meneguk ludah, menjulurkan lehernya, mengamati sekeliling dan kembali memerhatikan gadis bersurai hitam di hadapannya, “ada apa kesini malam-malam?”
Shirahata Cho berdiri di depan rumahnya—tengah malam.
Garis bawahi, cetak tebal, nyaris tengah malam ia melihat seorang gadis berdiri di depan rumahnya. Memindai sekali lagi penampilan gadis Shirahata di depannya, pakaian yang tidak wajar untuk keluar di tengah malam, apalagi daerah rumahnya itu rawan. Terkadang di susut-sudut jalan atau gang sempit banyak pemuda yang berulah, entah mabuk atau mengincar perempuan yang lewat sendirian. Mungkin suatu kebetulan kalau Cho bisa sampai di depan rumahnya dengan selamat dengan pakaian yang tipis mengingat cuaca malam sangat sengit.
Amano membalikkan tubuhnya, melihat jam dinding yang bertengger, menunjukkan pukul setengah sebelas. Kemudian ia menggeleng, setelah mengembalikan fokusnya pada dara Shirahata ia mengurungkan pertanyaan lanjutan. Ia tidak mengerti kenapa Cho datang sendirian, ditanya pun gadis itu hanya diam saja, matanya bahkan mencari perhatian lain. Itu tidak mengurangi pertanyaan besar yang menggantung di kepalanya, terlebih ia masih bingung darimana Cho tahu rumahnya. Tidak ada yang tahu termasuk sepupunya sendiri, tapi kenapa gadis yang bukan siapa-siapa yang tidak memiliki relasi bahkan sedarah ini tahu rumahnya? Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baiklah satu keanehan yang terjadi, kemudian satu ajakan membuatnya ingin membanting pintu. Wait, ibu bilang tidak sopan bersikap kasar kepada perempuan se-menyebalkan apapun perempuan itu. Ia menghela nafas, menaikkan alis.
Garis bawahi, cetak tebal, nyaris tengah malam ia melihat seorang gadis berdiri di depan rumahnya. Memindai sekali lagi penampilan gadis Shirahata di depannya, pakaian yang tidak wajar untuk keluar di tengah malam, apalagi daerah rumahnya itu rawan. Terkadang di susut-sudut jalan atau gang sempit banyak pemuda yang berulah, entah mabuk atau mengincar perempuan yang lewat sendirian. Mungkin suatu kebetulan kalau Cho bisa sampai di depan rumahnya dengan selamat dengan pakaian yang tipis mengingat cuaca malam sangat sengit.
Amano membalikkan tubuhnya, melihat jam dinding yang bertengger, menunjukkan pukul setengah sebelas. Kemudian ia menggeleng, setelah mengembalikan fokusnya pada dara Shirahata ia mengurungkan pertanyaan lanjutan. Ia tidak mengerti kenapa Cho datang sendirian, ditanya pun gadis itu hanya diam saja, matanya bahkan mencari perhatian lain. Itu tidak mengurangi pertanyaan besar yang menggantung di kepalanya, terlebih ia masih bingung darimana Cho tahu rumahnya. Tidak ada yang tahu termasuk sepupunya sendiri, tapi kenapa gadis yang bukan siapa-siapa yang tidak memiliki relasi bahkan sedarah ini tahu rumahnya? Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Baiklah satu keanehan yang terjadi, kemudian satu ajakan membuatnya ingin membanting pintu. Wait, ibu bilang tidak sopan bersikap kasar kepada perempuan se-menyebalkan apapun perempuan itu. Ia menghela nafas, menaikkan alis.
“Ke rumahku, yuk!” Katanya.
Satu undangan tengah malam dialamatkan padanya tanpa tedeng
aling-aling dan wajah bersalah. Ini apalagi? Pikirnya, ia bahkan tidak tahu mau
apa. Ingin mengusir Cho agar cepat pergi saja, siapa tahu ada tetangga usil
yang melihat mereka malam-malam begini. Meski ia bukan tipikal yang manut
dengan gossip murahan begitu.
“Ke rumahmu? Sekarang?” Ia mengernyitkan kening, ia mundur
satu dua langkah, tangannya meraih kenop, “tapi ini sudah malam,
pulanglah.”
Sayangnya Shirahata bukan gadis yang mudah diperintah, hidup
dari lingkungan semau-maunya memang susah untuk urusan disuruh menyuruh. Bukan
tanpa alasan ‘kan ia menyuruh Cho pulang, hanya karena gadis ini datang tengah
malam dan ia enggan pergi malam-malam. Gadis itu merengek padanya, meminta
untuk ditemani dan membuatnya jengkel,
fix pada definsi kalau perempuan itu makhluk menyusahkan. Ryota harus
menahan sabar untuk melayani putri Shirahata yang datang ke rumahnya tengah
malam hanya untuk mengajaknya main ke rumah sang gadis. Tolonglah, cukup satu
perempuan saja yang merepotkannya; ibunya. Beliau bahkan menitip Amano tua
untuk diurus padanya, padahal secara logika Amano bisa mengurus dirinya
sendiri, beliau bukan lagi bayi yang harus disuapi bahkan dikasih susu dalam
botol. Amano bisa berjalan, punya dua kaki dan dua tangan, bisa kan digunakan
sesuai fungsinya? Sayangnya pria itu terlalu malas untuk mengurusi urusan rumah
tangga, beliau hanya mau mengurus pekerjaannya yang tidak seberapa sebagai
pengusaha mie di kota Nagoya.
Rasionya menentang, satu tangan kecil Cho sudah menariknya, mengguncang tubuhnya tak ketinggalan dengan wajahnya yang memelas.
Bisakah perempuan tak memakai jurus kesedihan untuk mengambil perhatian laki-laki? Bahkan untuk memaksanya ke rumah Cho. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan putri Shirahata itu selain perbuatannya membuat repot orang lain. Ryota menoleh, pintu baru tertutup seperempat, masih ada celah dan ia terdiam. Ekspresi yang paling ia benci dari seorang perempuan, memelas, ingin menangis, tapi juga memaksa. Ryota masih diam di tempatnya kemudian ia mendorong pintu rumahnya, setelah mengambil jaket dan memakainya, ia juga membawakannya untuk Cho dan begitu keluar langsung ia lemparkan jaketnya pada dara Shirahata. Masa bodoh dibilang kasar juga.
“Pakai, aku hanya akan mengantarmu pulang.” Memunggungi Cho sembari mengunci pintu rumahnya.
Rasionya menentang, satu tangan kecil Cho sudah menariknya, mengguncang tubuhnya tak ketinggalan dengan wajahnya yang memelas.
Bisakah perempuan tak memakai jurus kesedihan untuk mengambil perhatian laki-laki? Bahkan untuk memaksanya ke rumah Cho. Dia tidak tahu apa yang dipikirkan putri Shirahata itu selain perbuatannya membuat repot orang lain. Ryota menoleh, pintu baru tertutup seperempat, masih ada celah dan ia terdiam. Ekspresi yang paling ia benci dari seorang perempuan, memelas, ingin menangis, tapi juga memaksa. Ryota masih diam di tempatnya kemudian ia mendorong pintu rumahnya, setelah mengambil jaket dan memakainya, ia juga membawakannya untuk Cho dan begitu keluar langsung ia lemparkan jaketnya pada dara Shirahata. Masa bodoh dibilang kasar juga.
“Pakai, aku hanya akan mengantarmu pulang.” Memunggungi Cho sembari mengunci pintu rumahnya.
Kalau saja yang ia hadapi bukan berjenis kelamin perempuan,
ia tidak akan ragu mengeluarkan bogem mentah ke bagian tubuh manapun sesuka
hatinya, mengganggu waktu istirahat orang lain itu tidak waras, tahu?
Sayangnya Cho perempuan, dan ibu mengajarkan padanya untuk menghormati perempuan manapun sekalipun ia membencinya. Great! Dia jadi tidak punya alasan berlaku kasar atau main otot, ‘kan? Dia tahu, pemikiran beliau berangkat dari apa yang menjadi pengalamannya selama menikah dengan ayah kandungnya, Amano yang sekarang bukanlah Hideaki, dua-duanya berbeda meski ia menangkap beberapa kemiripan seperti ‘kemalasannya’ barangkali. Dua-duanya sama-sama tidak peduli dengan urusan rumah, lebih banyak bekerja di luar, bedanya Amano tak pernah mengeluhkan pekerjaan ibu, ia menghormati ibu dan menjaga hati perempuan itu—mungkin itulah alasan kenapa ia tidak bisa ringan tangan dengan ayah tirinya.
Tapi sekali ayah tiri tetaplah ayah tiri—
Sayangnya Cho perempuan, dan ibu mengajarkan padanya untuk menghormati perempuan manapun sekalipun ia membencinya. Great! Dia jadi tidak punya alasan berlaku kasar atau main otot, ‘kan? Dia tahu, pemikiran beliau berangkat dari apa yang menjadi pengalamannya selama menikah dengan ayah kandungnya, Amano yang sekarang bukanlah Hideaki, dua-duanya berbeda meski ia menangkap beberapa kemiripan seperti ‘kemalasannya’ barangkali. Dua-duanya sama-sama tidak peduli dengan urusan rumah, lebih banyak bekerja di luar, bedanya Amano tak pernah mengeluhkan pekerjaan ibu, ia menghormati ibu dan menjaga hati perempuan itu—mungkin itulah alasan kenapa ia tidak bisa ringan tangan dengan ayah tirinya.
Tapi sekali ayah tiri tetaplah ayah tiri—
Melempar jaketnya dan perempuan itu memekik. Mendengar Cho
memekik setelah ia melempar jaket, memutar kunci sekali lagi sampai menimbulkan
bunyi ‘cklek’ barulah ia membalikkan tubuh dan menaruh kunci rumah di pot
tanaman seperti pada kebiasaannya. Baru beberapa detik ia berdiri tegap, yang
bersangkutan langsung menempel layaknya kecebong sama induknya. Hah, perempuan
itu kenapa tidak bisa jauh-jauh dari laki-laki? Satu pertanyaan retoris,
seharusnya tak perlu ia jawab.
"Sendirian?"
“Iya, sendirian, kenapa?” Berharap aku memintamu untuk
menemani? Tidak akan, dan maaf-maaf saja, ia bukan sosok yang mudah
ketergantungan dengan kehadiran seseorang, kau tahu? Lagipula hidup sendirian
itu sudah menjadi kodratnya, ‘mungkin. Dari ia kecil sampai sekarang, ibu
mengajarkannya sebagai lelaki yang tangguh, tidak takut tantangan dan
bertanggung jawab. Itulah sebabnya Ryota terampil mengurus rumah, sekaligus
menjaga. Ah dia lupa menitip pesan pada Amano kalau ia akan keluar, takutnya
terkunci di dalam—tapi oh, dia punya kunci duplikat rumah ini. Dan definisinya
tentang perempuan yang selalu egois dan seenaknya itu memang benar, terbukti
‘kan? Sekarang ia menggandeng tangan orang tanpa permisi. Menyuruhnya
mengikuti, sedangkan kedua matanya masih tertuju pada tangan lain yang
melingkar di tangannya. Bahkan ia sampai lupa mengatakan “sama-sama” untuk satu
ucapan terima kasih.
“Kalau rumahmu jauh, aku hanya mengantarmu sampai perempatan, selebihnya pulang sendiri saja.”
“Kalau rumahmu jauh, aku hanya mengantarmu sampai perempatan, selebihnya pulang sendiri saja.”
Karena dia memang tertarik untuk main ke rumah seorang
gadis, apalagi yang tidak terlalu ia kenal. Hanya karena kesan pertama
memabukkan maka mereka menjadi dekat cenderung nagih atau semacamnya. Sepanjang
jalan, mereka diam. Tidak ada yang bicara, salah satunya tak ada yang memulai
percakapan hanya sesekali terdengar helaan nafas. Melewati perempatan dan tetes
demi tetes turun dari langit, temaram. Mendung berarti hujan, langit menangis.
Ryota menengadah.
Sekarang apalagi?!
Ia menghela nafas secara kasar, ia tahu gadis di sebelahnya tidak akan kuat menahan udara dingin tengah malam ditambah hujan. Cuaca akan sangat menyiksa jikalau seperti ini. Ia juga tidak mungkin berlari, langkah lelaki dengan perempuan berbeda, sayangnya. Cho tidak mungkin bisa mensejajarkan langkahnya. Berlari? Solusi yang membuat penderita asma cepat mati.
“Dimana rumahmu? Masih jauh?”
Ryota berhenti, berbalik menghadap Cho. Memakai tudung dari jaketnya, ia kemudian setengah berjongkok.
“Sini naik ke punggungku, cepat!”
Sekarang apalagi?!
Ia menghela nafas secara kasar, ia tahu gadis di sebelahnya tidak akan kuat menahan udara dingin tengah malam ditambah hujan. Cuaca akan sangat menyiksa jikalau seperti ini. Ia juga tidak mungkin berlari, langkah lelaki dengan perempuan berbeda, sayangnya. Cho tidak mungkin bisa mensejajarkan langkahnya. Berlari? Solusi yang membuat penderita asma cepat mati.
“Dimana rumahmu? Masih jauh?”
Ryota berhenti, berbalik menghadap Cho. Memakai tudung dari jaketnya, ia kemudian setengah berjongkok.
“Sini naik ke punggungku, cepat!”
Malam-malam menggendong seorang gadis. Hujan,ini malam
terburuk sepanjang hidupnya. Ia tidak pernah direpotkan oleh perempuan manapun
kecuali ibunya. Lagipula terakhir kali menggendong perempuan pada saat ia
berusia 10 tahun dan itu Saeki adiknya. Sekejap saja bayangan akan permainan
kecilnya kembali melintas, mengelus hatinya sebentar saja. Distraksi—Cho
mengarahkannya pada jalan ia pulang. Kemudian berdiri di sebuah rumah besar. Tidak
jauh dari rumahnya memang, ia sering melewati rumah ini kalau sedang memotong
jalan. Lebih cepat dan menghemat waktu tetapi ia lebih sering belama-lama di
jalan, alasannya hanya untuk merenung bahkan ia rela memutar melewati rumah
Hideaki hanya untuk sebuah keberuntungan. Siapa tahu ‘kan< Saeki sedang berada di luar rumah, entah sedang apa yang terlihat secara wujud
bisa ia lihat. Begitu pun tak apa, pernah sekali ia melewati rumah besar
Hideaki, dan melihat seorang wanita muda memakan dress berwarna putih tanpa
lengan tengah berjongkok seperti bermain dengan piaraannya. Wajahnya tertawa,
senyumnya mengembang, itu mengingatkannya akan masa kecil dimana mereka
membangun istana pasir bersama, bergelung bersama ombak kemudian menggendong
Saeki keliling pantai. Ya, itu memukulnya—ternyata mengingat kepingan memori
jauh lebih sakit dibanding sakau akibat zat adiktif. Setidaknya ia tahu Saeki
baik-baik saja, keluarga Hideaki memang telaten dalam mengurus anak dan ia
sedikit bersyukur karena Saeki tak perlu mengalami hal-hal menyedihkan seperti
dirinya. Dia juga tidak perlu tahu siapa kakaknya, katanya Tosho-lah yang
dikatakan sebagai kakak kandung. Perih dan nyeri ada yang menyayat, luka tetapi
tak berdarah.
Kemudian Shirahata diturunkan, memasuki ruangan yang
membuatnya bisa menghirup oksigen banyak-banyak. Keadaan hening tengah malam,
ia melihat sekeliling. Mengamati langit-langit dan terus mengekor pada seorang
Cho. Ia tidak berniat masuk sebenarnya, ia ingin pulang dan sadar akan
tingkahnya yang lancang. Ia berbalik badan, tidak lagi mengekor menuju kearah
pintu sayangnya yang bersangkutan menahannya dan menatapnya memohon. Baiklah,
ini satu dari sekian banyak adegan yang dibencinya ketika seorang perempuan
memasang wajah iba dan menahannya.
“Apa? Aku mau pulang, Cho.”
“Tapi masih hujan…”
“Sudah biasa.”
“Bajumu basah.”
“Ya kenapa ‘kan mau pulang ini.”
Mendecak, gadis itu menatapnya sebal. Ia memang bebal dan
akan terus seperti ini, tidak menghiraukan Ryota terus berjalan menuju pintu
sampai lengannya ditarik. Ia berhenti, langsung menatap pada dua kelereng
kembar. Ada harapan, keinginan untuk tidak melepaskan dan ia berhenti—menyerah.
Diturunkan tangannya dari kenop pintu dan menghela nafas. Tuan puterinya senang
ada raut bahagia disana, seraya kurva melengkung tanda kemenangan. Setidaknya
telinganya tak akan mendengar rengekan bahkan tangisan yang mungkin akan
membangunkan penghuni rumah.
Na’ah sekarang apa?
Ia ditarik ke lantai atas, bingung sendiri karena bajunya
basah. Sudah lengket dengan kulit epidermisnya dan ia merasa gatal.
“Cho, bajuku basah dan—“
Aku ingin berganti pakaian, semoga saja dia punya baju
laki-laki, kalau tidak mana mau dia memakai baju perempuan sekalipun ukurannya
muat dengan badan kurusnya. Berhenti di depan sebuah kamar dan Shirahata
perempuan membukanya. Disambut dengan udara yang menguasai ruangan, Ryota
mengekor di belakang. Ia tak mengerti dengan gadis ini, bahkan ketika
langkahnya memasuki ruangan. Sebentar, ia sudah termasuk lancang karena
biasanya bila ada orang asing atau seseorang yang mengajak teman sekolahnya
harusnya dikenalkan pada orangtuanya, ‘kan? Apa mungkin
karena sudah malam Cho enggan membangunkan keduanya? Entahlah, salahnya juga
datang tengah malam.
“Orangtuamu… kemana?”
“Tidak ada, dan jangan tanya mereka.”
“Kenapa?”
“Kalau kubilang jangan tanya ya jangan tanya.”
Ryota diam, tadi merengek sekarang dibentak. Rasanya seperti
ingin menelan Cho hidup-hidup. Ia mendengus sebal dan mematung di tempatnya
berdiri cukup lama sampai gadis itu lagi-lagi menariknya masuk. Dia tidak
pernah masuk ke kamar perempuan kecuali kamar ibunya. Ruangan itu terlampau
besar, hampir tiga kali lipat dari kamarnya. Yah, namanya juga istana beda
dengan gubuk yang ia huni, no? Ia berdiri memunggungi pintu menatap hampa ke
depan, cukup rapi untuk kamar anak perempuan ketimbang kamarnya yang mirip
kapal pecah, mirip kapal setelah perang. Tidak berniat duduk dengan masih
mengenakan bajunya yang basah.
“Aku mau ganti baju, kau menghadap ke sana saja.”
Tanpa banyak bicara, Ryota membalikkan badan menghadap
pintu. Ia tidak berpikir yang macam-macam, ia juga sibuk dengan pikirannya.
Pertama, bajunya basah dan ia jelas tidak nyaman karena lengket. Kedua, bertamu
tengah malam dan ini rumah perempuan. Kalau rumah Hideaki sih dia sering,
tinggal timpuk batu ke kamar Tosho yang ia tuju akan membuka jendela dan ia
akan memanjatnya. Kenapa tidak lewat pintu masuk? Tahu sendiri ‘kan title anak
haram yang melekat di dirinya? Ketiga, dia masuk ke kamar seorang perempuan
tanpa ada yang tahu dan ini tengah malam.
“Hei!”
Ryota menoleh, dilihatnya Cho sudah memakai piyama kemudian
melempar satu kaos padanya. Ia mengernyit, kaos putih tanpa gambar—polos. Cho
menunjuk dengan dagu, bahasa isyarat—simbolik. Artinya cepat ganti bajumu
menggunakan kaos itu. Tanpa pikir panjang, ia mengangkat lengannya, menggulung
bajunya hingga lepas dari tubuh. Memamerkan tubuh kurusnya yang lumayan terawat
dan langsung memakai baju yang diberikan. Ah nyaman sekali. Tetapi sadar kalau
mungkin saja tadi ia jadi bahan tontonan oleh seorang Cho. Menyembunyikan
semburat merah dan dilihatnya anak perempuan Shirahata duduk dengan sebuah
boneka besar—beruang. Menyebut-nyebut nama Kimu yang tidak jelas, ia hanya
berjalan-jalan mengelilingi kamar. Semua isinya sama, hanya ada beberapa foto,
lemari belajar, lemari pakaian, satu kasur, lampu hias, yah selayaknya kamar
pada umumnya.
“Duduk disana, Ryochan.”
Hee, apa katanya? Cho menyuruhnya duduk. Hanya karena ia
tamu, maka ia akan duduk manis.
“Lebih baik kau tidur. Sudah malam, oh bahkan sudah
menjelang dini hari.”
Cho menoleh, raut wajahnya merenggut. Pipinya menggelembung
dan bibirnya manyun.
“Apa?”
“Tidak mau! Nanti kalau aku tidur Ryochan pulang.”
Ryota diam, memangnya kenapa kalau dia pulang? Ryota ‘kan punya
rumah.
“Ya memangnya kenapa kalau aku pulang? ‘kan aku punya rumah,
cho. Tidurlah…”
“Tidak.Mau!”
“Terserah.”
Hening, kembali adu mulut. Ini yang terjadi bila batu dengan
batu bertemu dan tidak ada sinyal untuk mediasi secara baik-baik. Ryota duduk
menyandar pada bantalan sofa. Masih mendengar racauan kecil Shirahata yang
semakin nyaring. Dulu, dia pikir Cho adalah gadis bisu yang penyakitan. Hng,
embel-embel itu tidak perlu dipaka, ‘kan? Gadis itu ternyata memiliki penyakit
asma, kau tahu? Tapi tak masalah, ia tidak menilai seseorang dari keadaan
fisiknya. Lama-lama ia jengah, beranjak dan mendekati kasur Cho. Memegang
boneka beruangnya dan melotot.
“Kalau tidak tidur, aku pulang.”
Ada sepasang kelereng bundar, semacam penolakan tapi tak ia
gubris. Tangannya menyambar lipatan selimut besar dan menyebarkannya hingga
menutupi tubuh gadis Shirahata, setelah itu ia berbali kembali pada sofa dan
meluruskan tubuhnya. Menaruh kepalanya di bantalan sofa, setengah memejamkan
mata. Menunggu pagi—menunggu gadisnya tertidur. Tangannya diletakkan diatas
perut, masing-masing jarinya bertaut, wajahnya Nampak berpikir. Tatkala
pikirannya mulai mengawang, ia berpikir kenapa Cho nekat mendekatinya sedangkan
tidak ada satupun murid Souzou yang ingin berada di sekitarnya, paling-paling
biasanya menempel pada Audy-san atau Hiroki-san. Mereka-mereka itu jauh lebih
bermutu ketimbang dirinya yang lebih dulu menyingkir. Setidaknya ia tahu diri,
benar? Toh ia juga tidak peduli-peduli amat. Di sekolahnya yang dulu, memang
sempat ada beberapa anak perempuan yang rjain menitipkan salam, rajin menaruh
sesuatu di dalam lokernya entah cokelat atau surat, tapi tak ada satupun yang
diambilnya bahkan dibalas, kebanyakan ia buang ke tong sampah atau ia jual
kembali cokelatnya. Hitung-hitung lumayan ‘kan untuk tambah-tambah penghasilan.
Dulu sekali, ia penasaran kemana perginya Saeki. Ia mencoba
bertanya pada tetangga-tetangganya, tapi tidak satupun menjawab. Kemudian ia
coba bertanya pada penjaga supermarket seperti apa wajah yang membawa pergi
Saeki—nya ternyata seorang lelaki tinggi besar, wajahnya kaku, hidungnya
mancung dan matanya agak kecil, surai hitam cepak, dengan sorot mata menderita—katanya.
Sudah tentu itu ayah, ibu pernah mengatakan kalau sebenarnya ayah menyesal
telah berpisah dengan ibu, katanya dia juga menyesal telah menuduh Ryota
sebagai anak haram padahal jelas-jelas ia lahir sebelum ibu bekerja menjadi
Geisha di salah satu tempat orang-orang minum. Seharusnya Saeki lah yang dituding
sebagai anak haram—sayangnya ia tidak terlalu mengerti bagaimana kronologis
kejadiannya hingga akhirnya ibu membawa Ryota pergi bersama dengan Saeki dan
memutuskan hidup sendirian.
Ayah kembali pada keluarga Hideaki dan membawa berita yang
mengecewakan, mengatakan bahwa ibu bekerja sebagai seorang pelacur karena ia
tak tahan dengan kondisi ekonomi keluarga. Padahal ia tahu benar, ibu tak
pernah menyentuh tanah hitam macam pelacuran. Ia tahu ibunya hanya bekerja
sebagai pelayan minuman, menemani pejabat-pejabat hanya untuk karokean atau
apalah tidak sampai tidur bersama, ibu melakukannya karena ia ingin membantu
ekonomi keluarga. Usaha dagang ayah yang kian merosot nyaris membuat Ryota
putus sekolah dan bahkan keluarganya jarang makan. Ibu merasa ia tidak bisa
hanya diam menadahkan uang kepada ayah yang nyatanya setiap malam pulang dengan
keadaan mabuk. Ibu tidak tahan, sudah bagus ia sabar malah dituding seperti
itu. Jangan salahkan ibunya, salahkan dirinya sendiri.
Terkadag membayangkan keluarga yang utuh dan bahagia itu
menyenangkan—nyaris membuatnya ingin tertawa karena sebagian masa kecilnya
diisi dengan ingatan tentang Saeki. Bagaimana gadis itu manja padanya, meminta pudding
buatan ibu, dan yang lainnya. Sampai mereka masih bisa bermain bersama di
pantai, bersama Tosho yang kala itu adalah anak tunggal. Sejak terjadi
perpecahan, ibu mengasingkan diri, keluarga Hideaki tidak lagi menerimanya
sebagai menantu, pedih? Ya, ibu sakit hati membawa kami ke rumah nenek dan
hidup dengan nama gadis ibu, Tomohiro. Tahun tahun kemudian Saeki tumbuh
menjadi gadis yang manis dan ibu mengajaknya pergi, Saeki anak yang lemah gadis
itu tidak bisa melakukan hal-hal berat bahkan untuk berjalan jauh saja ia
rentan. Ibu meninggalkan Saeki sebentar di kasir supermarket, supaya Saeki
tidak banyak jalan—takut kalau gadis itu tumbang. Hanya perlu waktu lima belas
menit untuk mengambil adik-nya, separuh hidupnya. Ketika ibu kembali dan
sepasang pendar hitamnya tak menangkap wujud Saeki disamping kasir bahkan
dimanapun, ia panik.
Sempat bertanya pada petugas tapi yang ditanya menjawab
tidak tahu. Bagaimana tidak tahu kalau saat kejadian dia berada di tempat? Akhirnya
ibu pulang dan meraung, ia mengatakan Saeki hilang. Ryota terkesiap, tanpa
babibu segera berlari ke supermarket tempat ibunya belanja, dengan watak anak
kecilnya ia memaksa petugas kasir memberitahu cirri-ciri penculiknya. Sayangnya
ia sadar, terlalu pandai menganalisa bahwa Saeki bukanlah diculik melainkan
diambil oleh ayahnya sendiri. Ia kembali dalam perasaan menyesal, separuh
marah, separuh membenci ayahnya yang membawa pergi Saeki. Ibu masih menangis
sesegukan, Ryota mengatakan pada ibu kalau Saeki tidak diculik ia hanya dibawa
pergi oleh lelaki yang mirip ayahnya. Keesokan harinya ibu tidak ada dirumah
seharian dan baru kembali tengah malam, wajahnya kusut, ada banyak bekas aliran
airmata dan matanya bengkak. Ryota melompat dari kursi dan memastikan bila
ibunya baik-baik saja. Tanpa bisa ia cegah sang ibu menghambur di pelukannya,
mengatakan bahwa Saeki tak akan pernah kembali padanya. Ayah mengambilnya,
mengubah semua datanya, memberikannya pada keluarga Hideaki lain. Alasannya satu,
ayah ingin menebus kesalahannya, menyebarkan berita kalau ibu adalah seorang
pelacur pada keluarganya, ternyata mereka bertemu di Chikusaku, tempat dimana
ia, ibu dan Saeki menghabiskan waktu bersama begitu musim semi datang. Ibu
bilang ia menyarankan agar ayah kembali padanya dan membawa kembali Saeki pada
keluarganya, sayangnya ayah tak bisa—menarik ucapannya tentang pelacur di
kalangan keluarga Hideaki. Katanya ibu membuat malu keluarga dan ia sendiri
sadar bahwa tidak ada perempuan yang begitu sabar menghadapinya kecuali ibu
bahkan ketika ia sekarat akan hidupnya.
Ayah didiagnosa terkena kanker pancreas, hidupnya tidak akan
lama lagi. Beliau akan meninggalkan dunia ini, dan ia sadar betapa ia bersalah
dengan ibu dan Ryota. Betapa ia menyesal menuding Ryota sebagai anak haram,
maka dengan Saeki—lah ia menebusnya, berharap dengan merawat Saeki bisa
menenangkan hatinya, karena ia tidak bisa merawat Ryota hingga tumbuh menjadi
pria dewasa. Ayah menangis kata ibu, dokter bilang hidupnya hanya dalam
hitungan bulan, Saeki ia titipkan pada keluarga Hideaki bila ia tiada dengan
mengubah asal usul keluarganya termasuk pada Tosho dengan mengatakan bahwa
Saeki diambil dari panti asuhan. Ibu tak bisa berbuat apa-apa, ia sempat
memaksa pergi ke rumah Hideaki untuk bertemu keluarga ayah dan memintanya
kembali. Sayangnya sang tetua terlanjur murka mengalamatkan figure seorang
pelacur pada ibu adalah permanen dan ia diusir, ayah bahkan tidak bisa lagi
bertemu dengan ibu—terakhir kalinya sebelum ia dikabarkan meninggal ketika
musim gugur tiba.
BUGH!!
Sebuah bantal menyerangnya, menyentuh kepalanya dengan
kasar. Ia menoleh, menatap penuh tanda Tanya pada pelakunya. Shirahata Cho nampak
sebal dengannya, Ryota meneguhkan dagunya.
“Kenapa?”
Yang ditanya malah mengumpat di balik selimut dan ia hanya
menggeleng, kembali melanjutkan lamunannya. Ia rindu dengan masa kecil yang
hilang, kemarahannya menguar ketika ayah tiada bahkan ketika datang ke
pemakamannya saja mereka diusir secara tidak terhormat itulah yang
menjadikannya benteng pertahanan, bahwa amarahnya selama bertahun-tahun dan
rasa kecewanya akan sebuah keluarga tak terlampiaskan. Akhirnya ia menjadi
brutal, ibu bahkan diancam akan dibunuh jika masih berhubungan dengan keluarga
Hideaki. Akhirnya ibu memutuskan pindah, ia sempat gonta-ganti pekerjaan. Pernah
ia menjadi seorang tukang cuci, kemudian pekerja pabrik sampai ia bertemu
dengan Amano. Dia tahu, Amano menikahi ibunya lantaran kasihan—ia tak menangkap
ada sorot cinta disana, persetan. Ia tahu ibu menikah pun karena terpaksa, demi
terpenuhinya kebutuhan Ryota. Ia tak mau anaknya terlantar. Menikahnya ibu
sekaligus memperbaharui marga kami, Amano. Hideaki tak kan lagi menemukan
Tomohiro karena kami sudah berganti marga.
Mereka akan lupa dengan sendirinya—siapa kami
sebenarnya.
BUGH!
Lagi timpukan bantal melayang, Ryota kesal karena gadis ini
tidak tidur-tidur juga. Ia geram, beringsut dari tempatnya ogah-ogahan.
“Maumu apa? Tidak bisakah tenang sedikit dan tidur saja?”
“Nanti kalau aku tidur, Ryochan pergi.”
“Kenapa kalau aku pergi? Aku punya rumah!”
“Tidak mau! Pokoknya tidak mau!”
Susah, wanita ini bebal, ibunya ngidam apa saat mengandung
ha? Ia mendecak pelan, menatap sebal dan duduk di pinggir pembaringan.
“Oke, aku tidak akan pulang. Aku disini sampai kau tidur,
sekarang tidurlah.”
“Benarkah?”Ryota mengangguk, demi seorang anak perempuan. Ia
tidak mau gadis ini menangis meraung-raung dan membangunkan seluruh penghuni
rumah. Shirahata berbaring dan ia merosot ke bawah duduk di lantai dan menaruh
kepalanya di pinggir ranjang. Sudah tidak ada yang perlu ia pikirkan, toh?
Ryota memejamkan matanya, beberapa menit sampai sebuah suara memecah
keheningan. Cho memanggilnya lirih dan menatapnya dalam jarak yang sangat dekat
sampai ia bisa merasakan nafas hangat perempuan teman sekelasnya.
“Apa?” Hanya wajah datar, sekon berikutnya milik keduanya
bertemu, terpaut.
Satu-satunya yang ia takutkan hanyalah Cho kambuh, tetapi
nyatanya gadis itu semakin menariknya, menaruh lengannya hingga menghabiskan
jarak antar keduanya. Ini permainan—akan lebih baik mengikuti
iramanya, ‘kan? Ia biarkan saja gadis ini membawanya, sesuka hatinya.
Ia tidak ambil pusing dan bahkan ketika gadis itu mendesis atas apa yang ia
lakukan, bahkan saat gadis itu membiarkan tangannya menjamah bagian-bagian yang
tidak seharusnya, dan bahkan sampai gadis itu merintih kesakitan pun ia tidak
peduli. Siapa suruh membangunkan macan yang sedang tidur, hmm? Kalau tidak kuat
untuk menjinakkannya jangan coba-coba. Hingga malam semakin larut—menuju pagi.
Tidak ada yang tersisa dari kain yang menempel pada tubuh keduanya, hanya peluh
yang membalut, hanya selubung nafsu yang ia tahu. Bahkan ketika salah satunya
menyerah untuk memberikan perlawanan dan ketika salah satunya semakin gencar
untuk menyerang tanpa ampun. Desis, lirih, ucapan-ucapan dalam volume kecil tak
ia hiraukan, hingga tak tersisa, hingga puncak keduanya tercapai.
Matahari sudah muncul di ufuk timur, mengintip dari
sela-sela gorden yang tertutup rapat. Pendar hitamnya menguasai sekeliling,
Ryota mengerjap, ia dapati dirinya terbaring separuh melayang antara sadar dan
tidak dengan Shirahata di sampingnya—lelap. Gadis itu terpejam dengan nafas
yang teratur, lembut, puncak kepalanya ia kecup, lembut. Sebelum yang terpejam
membuka mata, ia bergegas mencari helaian pakaian miliknya yang tercecer di
lantai, secepat mungkin dan ia membuka jendela. Dewi fortuna memberkatinya,
kamar ini tidak terlalu tinggi berada di tingkat satu. Kemudian ia menaiki dahan-dahan
pohon dan turun, memanjat pagar dan pulang.
Ia tidak menyadari apa yang ia tinggalkan sekaligus apa yang
mulai ia genggam, bahkan tidak pernah menyadari apa yang mulai tumbuh
dihatinya, ia tidak menyadari bila ini akan menjadi klemik di dalam
kehidupannya menjadi gabungan kisah yang ironis tanpa tahu akan senang atau
sedih, yang ia tahu hanyalah—tubuhnya letih dan sakit pada bagian
tertentu. Melirik arloji lamanya, masih ada waktu empat puluh limat
menit sebelum sekolah mulai, berharap saja ibu pulang tidak bertanya-tanya,
kalaupun ya, senjata pamungkasnya adalah….
“Semalam dari rumah Tosho, intip keadaan Saeki.”
And then—case closed!