Selasa, 30 Juli 2013

To keep you by my side; to keep you from walkin' out the door.


Disclaimer : Terima kasih kepada Zeta Board as usual, terima kasih kepada IndoSalem RPG, Viervhy L. Athena (selaku chara original saya), Dante A. Diamond, Sean McKinley serta visualisasinya; mechtaniya, gabriel garko, sean farris, didukung backsound It Will Rain-Bruno Mars, serta para chara yang saya sebutkan di dalam sini Narumi Takahiro, Kanaya Miki serta credit quote dari Remember When. Let's enjoy this fanfiction, thank you. 



Seperti musim panas lainnya, musim berlalu dengan sangat cepat. Membuang sebagian bahagia lainnya, menyisihkan segenap dukanya. Menjalani sendiri bukan berarti tanpa kekasih, ia hanya berbagi kasih selama ditinggal pergi. Tidak menetap, memang. Tetapi ini sudah menjadi jalannya, baginya sudah suratan tak tersirat namun kebahagiaan seperti candu yang tak dapat dihentikan. Datang dan pergi itu mutlak, bergantian menjaga tempat dan pindah dari satu tahta ke tahta lainnya. Sebuah tangan terulur untuknya, mengganti sebuah kepergian dengan bertaruh akan kebahagiaan—semata. Ia tidak mundur begitu saja, maju adalah pilihannya. Ya bukan berarti ya dan tidak bukan berarti tidak. 

Ini cerita sebuah rumah tangga, suami dan istri, sepasang kekasih yang memutuskan untuk tinggal dalam suatu pernikahan. Memutuskan untuk meninggalkan apa yang harus ditinggalkan keduanya, memulai bagian baru yang masih membekas dalam kisah lama. Bahwa diantara keduanya sama sekali tidak melupakan perjalanan lalu. Salah satunya masih memegang meski tak sepenuhnya cerita terdahulu. Untuk itulah salah satunya pergi, karena musim panas melibatkan emosi yang tinggi. Ia kembali pada singgasana, predikat terhormat bersama para dayang, ditinggalkannya sang istri dalam balutan kedukaan. Ia tidak mati hanya berbagi titah, digantikan oleh seorang lelaki dari lembaran masa lalu. Kehadirannya dibutuhkan sebagai malaikat—penjaga bagi istri tercintanya. Sayang ia tak tahu. Lembar demi lembar berada di atas meja kerjanya tersentuh begitu saja tanpa makna, ia mulai disibukkan dengan hal-hal yang menjenuhkan. Mengurusi rakyat bukanlah perkara mudah, negara ini terlalu besar untuknya. Sayang tak ada yang bisa diandalkan sampai detik ini bahkan pelipur laranya tidak diperbolehkan datang menginjakkan kaki di kastil suci ini. Ini adalah tugas terberat seorang Dante, sulit—sangat sulit membagi waktu antara kerajaan dengan keluarganya sendiri. Maka demi memenuhi ego sang bunda, ia rela mengorbankan istrinya. Dalam hal ini istrinya tak keberatan, Ivy mendukung penuh pekerjaan baru suaminya. Ia tahu ini tidak mudah baginya dan juga Dante. Ia berharap, Dante bisa cepat kembali. 



***


Dan sebuah harapan akan tetap menjadi harapan, bila tak jua diwujudkan. 

Sejak kedatangan Sean kembali ke hidupnya, ia memilih untuk tetap berdiri dalam ketiadaan seorang Dante di sisinya. Demi membayar kesemuan di masa lalunya. Walaupun ia tahu ini adalah sebuah kesalahan untuk membuka kisah lama dalam balutan ketiadaan. Ivy sadar sepenuhnya langkah ini demikian salah ketika ia memutuskan untuk menikmati kesenangan sesaat bersama McKinley menjelang detik-detik kelahiran putra kecilnya. 

Malaikat kecil yang ditunggu oleh banyak pelukan dan tangisan, hanya menunggu beberapa bulan saja untuk turun ke dunia. Ia menghabiskan kurang lebih dua bulan bersama McKinley. Peran Dante digantikan dengan sangat baik oleh kenangan masa lalunya tanpa Dante tahu bahwa kini posisinya sebagai suami tergantikan meski tidak sepenuhnya. Sean menemani Ivy melakukan pemeriksaan setiap bulan, membantu menyiapkan apa-apa saja yang harus disediakan menjelang kelahiran malaikat kecilnya. Sebagai topangan, Sean berperan sangat baik. Ia menyediakan tumpuan yang tidak didapatkan dari seorang Dante. Anehnya keluarga Ivy tak pernah keberatan bagaimana Sean bersikap kepada Ivy saat ini. Mungkin mereka memaklumi kondisi Ivy yang berusaha berdiri tanpa Dante di sisinya meski setiap tiga hari sekali keduanya berkirim kabar. 

"Saya perkirakan dua minggu lagi." 

"Dua minggu?" 

"Ya, putra anda akan lahir ke dunia ini dua minggu lagi." 

Dua minggu lagi, itu yang dokter sabdakan kepadanya. Dua minggu sudah ditetapkan menjadi waktu ideal bagi putra kecil Diamond untuk turun ke dunia. Ivy semakin tidak sabar sekaligus dilanda ketakutan luar biasa. Pasalnya melahirkan bukanlah perkara mudah, tidak seperti yang ia tonton dalam tata cara melahirkan, bukan juga secara teoritis yang diajarkan ibunya dan ibu Narumi. Meski mereka lebih berpengalaman karena sudah lebih dulu menjadi ibu. Tetap saja ada rasa ketakutan yang dialami oleh Ivy saat ini.

Seringkali Ivy memikirkan hal-hal buruk yang terjadi pada ia dan jabang bayinya terlebih ketiadaan Dante di sisinya, namun terkadang ia bisa lebih tenang ketika Sean datang menopangnya. Menghilangkan segala ketakutannya, Sean bahkan berjanji ia akan menemani Ivy sampai Dante datang. Ia sendiri tak menampik betapa ia merindukan sosok Sean di sampingnya setelah tahun demi tahun merenggutnya tanpa sebab, tanpa alasan yang pasti mengapa Sean meninggalnya. Waktu berlalu tanpa jeda dan setiap momentnya selalu ia sanggah dengan kebahagiaan, betapapun ia merindukan sosok Dante, masih lebih merindukan kenangan-kenangan tempo dulu bersama Sean. Saat ia masih duduk bersebelahan dan keduanya masih sering bicara. Namun itu hanya bertahan 2 tahun saja, lepas dari itu Sean menghilang bagai ditelan bumi, tak pernah ada kabar darinya, bahkan dari pihak sekolah pun tak mengetahui McKinley. Entah pemuda itu masih berada di kastil atau tidak yang jelas Ivy jarang dan nyaris tidak pernah bertemu dengan Sean. Terakhir kali ia melihat Sean hanyalah namanya tertulis sebagai peserta ujian akhir sekolah, ketentuan lulus dan tidaknya Sean berada di sana, hanya nama tanpa wajah. Ia bahkan tidak tahu wujud Sean seperti apa sampai ia sudah sangat jauh bersama Dante dan kemunculan berdasarkan nama yang membuatnya berkeinginan kuat untuk mengirimkan surat memastikan bahwa itu adalah Sean-nya bukan McKinley lain. Ketika suratnya mendapat penjelasan dan ia berharap bila hari itu tidak akan pernah berakhir pada akhirnya pertemuan itu hanya menumbuhkan luka baru membuat lubang yang semakin menganga bahkan tak dapat ia ampuni lukanya hingga ikrar antara dirinya dan Dante terpenuhi di hadapan Tuhan. 

Ia menyesal, bukan karena menjadi istri seorang raja Rusia, ia menyesali takdir yang dilewatkan, menyesali pertemuan dengan Sean. Hatinya gugur perlahan, bagi Dante dusta Ivy mungkin kesalahan paling menyakitkan disamping ia tetap mencintai istrinya sepenuh hati. Lupakan, saat ini hanya ada dia dan Sean. Detik demi detik telah berlalu, seingatnya ia terlelap dalam tidur panjang dan perutnya bergolak. Kemudian teriakan serta tubuhnya melayang. Entah apa yang terjadi di luar sana selama ia tertidur. 



***


Ini adalah saat-saat paling menegangkan ketika takdir akan merenggutnya atau menaikkan derajatnya. Seorang perempuan mungil tergeletak lemah di atas bangsal putih. Dilapisi selimut putih dengan doa menyelubungi. Wajahnya begitu pucat, begitu banyak rasa khawatir menjulang. Sedang di luar sana ayah, ibu, Narumi, ibu Narumi, Kanaya bahkan Sean sedang menunggu dengan hati was-was. Mereka tak berhenti berdoa bagi Ivy. Berharap semua akan baik-baik saja sementara ayah kembali membawa kabar kekecewaan bahwa Dante tak bisa datang malam itu juga. Tetapi ia tak bisa menyalahkan bahkan ketika kelopak mata itu perlahan terbuka dan mencium aroma alkohol menyelimuti dirinya. Hening, ia mendadak khawatir, meringis dan bertanya-tanya berada dimana. Para perawat menenangkannya, memberi pengertian bahwa Ivy sudah mencapai pembukaan lima dan sebentar lagi bayinya akan lahir ke dunia. 



***


Seorang lelaki keluar ruangan, memandangi sosok-sosok disana dengan raut kekhawatiran. 

"Maaf bisakah Tuan Diamond masuk ke dalam, sepertinya istri anda membutuhkan bantuan." 

Semuanya berpandangan, tidak ada yang menjawab. Ayah sudah dirundung kekecewaan yang mendalam, ia jelas tak bisa masuk. Tidak tahan melihat anak perempuannya kesakitan dan ibu tidak akan kuat mendengar jeritan Ivy. Pada akhirnya sosok itu berdiri dan menyeruak diantara kerumunan. 

"Baik, dok." 

Tercengang, di saat seperti ini sungguh sulit dipercaya bahwa seorang Sean menawarkan diri tanpa diminta. Ia yang tak memiliki ikatan apapun mengajukan diri sebagai seorang ayah. Ivy sudah lupa pada siapa yang memandang, maka ketika satu tangan merangkulnya dan memegang tangannya ia berteriak, berjuang untuk sebuah nyawa. Antara hidup dan kematiannya. Menahan diri untuk meronta dan melahirkan kehidupan barunya. Genggaman itu semakin menguat seiring dengan teriakan terakhir seorang Ivy menjelang akhir kesakitannya dan tangisan mungil itu pun pecah tidak lama. Para perawat berkumpul dan menyaksikan sendiri bagaimana malaikat kecil itu meronta-ronta dalam tangan sang dokter dengan likuid kental menyelimutinya. Membawanya dalam pelukan sang ibu muda dan membiarkannya tergeletak disana. Ivy mendongak, bukan lagi Dante disana melainkan McKinley. Tuhan, mungkin ia berdosa tetapi inilah jalannya. Jagoan kecilnya lahir ditemani dengan ayah penggantinya. Tangis haru dan pelukan berhamburan ketika kabar ini dibawa keluar ruangan. Sesosok jagoan kecil sudah hadir ke dunia. 

"Kau hebat, Ivy." 

Kedua mata cokelatnya masih menyaksikan malaikat kecil bereaksi, menggeliat lembut. Jemari mungilnya bertaut, memegang senti demi senti kulit lembut putra pertamanya. Ada rasa haru yang memeluknya, menyeruak bulir-bulir airmata disana. Pantulan seorang Dante disana, tercetak jelas di wajah putra kecilnya, memberikan rona kepedihan saat suaminya tak bisa berada disisi. McKinley memutuskan untuk mengecup singkat Ivy dan segera keluar ruangan, memberikan selamat pada keluarga Athena. 

Perjalanannya tidak sia-sia, selama ini berdiri sendiri dengan topangan singkat. Dan dalam waktu dua puluh menit, ia sudah berada di sebuah kamar rawat dikelilingi ayah, ibu dan keluarganya. Ia sempat bertanya kemana McKinley karena pemuda itu menghilang tak lama setelah ia meninggalkan ruangan operasi. 

"Sean sudah pulang, katanya dia sedikit lelah, mungkin nanti akan kembali lagi." 

"Dante?" 

Wajah ayah berubah murung, ia mendekati Ivy dan membelai puncak kepala putri sulungnya. 

"Dante baru datang besok, sayang. Jangan sedih, dia pasti datang untukmu." 

Bentukan senyum getir nampak disana, ia sedikit kecewa tetapi itu lebih baik karena ia takut ketika Dante datang semalam dan menyaksikan perjuangannya ditemani Sean atau mengetahui kalau selama ini ia digantikan oleh Sean, Dante akan marah besar. Ia tidak ingin terjadi perkelahian. Kemudian sebuah senyum mengembang, berharap rasa kekecewaannya dapat disembunyikan. Setelahnya semua ricuh memberikan selamat dan meributkan masalah nama. Ia sendiri sudah memiliki beberapa nama yang dirancang sendiri. Tetapi Ivy memilih memberikan kesempatan bagi keluarganya untuk menyumbang nama karena nama adalah doa dan harapan bagi masing-masing anak. Maka ia biarkan mereka memberikan harapan yang ditanam. 



***


"Maaf aku baru bisa datang..." 

Perlahan kelopak matanya terbuka, melihat siapa yang mengecup keningnya. 

"Oh, hai..." Ivy berusaha bangkit dari tidurnya. Dante datang masih dengan baju kebesarannya sebagai seorang raja. Hitam dan jubah itu masih lengkap ia kenakan, Ivy perlahan bangkit dan memposisikan diri untuk duduk. 

"Bagaimana kabarmu?" 

"Baik, tidak pernah sebaik ini. Kau? Kapan sampai? Sudah makan?" 

"Baguslah, maaf kemarin aku tak bisa berada di sampingmu," Dante menunduk, salah satu tangannya yang berada di belakang tangannya terulur. Sebuah bucket bunga mawar merah disodorkan kepada Ivy, "ini untukmu, selamat menjadi seorang ibu. Dan jangan khawatirkan aku, sayang." 

Ivy menerima bucket dengan senyum sumringah, menaruhnya diatas selimut dan mengecup singkat Dante. 

"Kau sudah lihat jagoan kecil kita?"

Dante menggeleng, "Dia mirip sekali denganmu." Satu tangannya diletakkan pada pipi Dante dan sebuah cengiran terukir disana. Sumringah, menutupi kegundahannya kalau-kalau tiba-tiba Sean datang dan bertemu dengan Dante hari ini. Sebisa mungkin ia menutupi kegundahannya. Dante tak perlu tahu kisahnya selama dua bulan ini. 

"Dimana?" 

"Siapa?" 

"Jagoan kecil kita..."

"Ah ya, mungkin sebentar lagi, karena sudah waktunya memberikan si kecil ASI." 

Dan percakapan singkat mengenai pagi itu menjadi kesejukan tersendiri bagi Ivy. Tanpa ia sadari bahwa di luar sana seseorang tengah berdiri dengan bucket yang sama, menatapi pemandangan yang menekan ulu hatinya hingga sesak tak beraturan. Namun terselip senyum kegetiran dan pedih yang dipaksakan menjadi sebuah kebahagiaan. Sean McKinley memang tak pernah ditakdirkan untuk menggantikan Dante seutuhnya, ia telah kalah menjadi seseorang yang salah di waktu yang kurang tepat. Segalanya menjadi terbayarkan, untuk sebuah kebahagiaan singkat darinya dan untuknya dari seorang Ivy. Ia bersembunyi meratapi, mengambil pecahan kecil dari kepingan hatinya yang luluh lantak. Ketika kereta dorong kecil memasuki kamar perawatan dan ia hanya menatap hampa malaikat kecil di dalamnya seraya berdoa kalau sosok mungil itu tidak akan lupa padanya--suatu hari nanti. Meninggalkan benih-benih kepedihan tersendiri baginya dan kakinya seolah menarik diri untuk tidak berada disana dan mematung lebih lama demi kesakitannya seorang diri. 

"Nah itu dia!" Ivy menunjuk kereta dorong kecil yang didorong oleh seorang perawat. Kemudian perawat itu mengangkat jagoan mungilnya dan menaruhnya di tangan Ivy untuk mendapatkan asupan gizinya. 

"Kau sudah memberinya nama?" 

Ivy mendongak, menyelami sepasang cokelat milik Dante. 

"Belum, baru ada beberapa nama yang kupikirkan, tetapi aku sudah merangkainya." Dante mengulurkan tangan besarnya, mendarat di puncak kepala jagoan kecilnya. Tidak sedetik pun melepaskan pandangannya pada si kecil yang berada dalam pelukan Ivy. 

"Siapa?" 

"Kairi Ignatius Diamond." 



***


Ia tak sekalipun melepaskan pandangannya pada Kairi, putra pertamanya. Bahkan sepasang cokelat itu tak berhenti memandangi Ivy. Gadis kecil yang telah melahirkan buah hatinya. Ia tak menyangka bahwa fisiknya cukup kuat untuk melahirkan putra pertamanya bahkan tanpa Dante disisinya. Mungkin ia merasa bersalah, mungkin Ivy tidak tahu, ia melupakan satu hal bahwa selama ia meninggalkan kehidupan pribadinya ada banyak hal yang tak luput dari pandangannya, segalanya termasuk kehadiran seorang pemuda yang ia tahu dibenci oleh jiwanya—namun untuk kali ini ia berhutang budi. Dante tak berhenti menyalahkan dirinya yang kelewat egois membiarkan Ivy berjuang sendirian sedangkan dirinya tenggelam dalam tugas-tugas negara, mementingkan ego keluarganya sendiri dan membiarkan istrinya bersama dengan lelaki lain. Ini bukan perkara mudah, ketika hatinya terbagi dan ia melihat reaksi Ivy seperti tak ada suatu hal yang dibagi. Diam-diam Dante mendesah, merasa kecewa akan dirinya sendiri tetapi ia tak dapat berbuat apa-apa ketika melihat dengan matanya sendiri bahwa Ivy kini bahagia bersama putra kecilnya. 

"Aku pergi sebentar," Ia beranjak setelah mengecup puncak kepala Ivy. 

Menutup pintu kamar tempat dimana istri dan jagoan kecilnya bercakap-cakap. Ekor matanya menatap nanar, sebuah sosok yang memandang tepat pada matanya. Seolah menimbulkan percikap api permusuhan yang tak kunjung usai sekaligus permintaan maaf dan terima kasih secara bersamaan. Dante merasa dirinya tengah dikasihani tetapi ia tak bisa, sulit mengatakan bila dirinya kalah. Dihadapkan pada takdir sesungguhnya bahwa Sean memenangkan pertarungan nasib dan pemuda itu kini berdiri tegak di depannya membawa tropi kemenangan. 

"Selamat atas kelahiran putramu." 

Ia mengulurkan tangan dengan dusta yang menumpuk di balik dosanya. 

Dante berusaha bertindak sebagaimana seorang lelaki bersikap, ia menjabat tangan Sean dengan penuh wibawa sekaligus menyembunyikan kekalahannya. 

"Aku harus mengucapkan terima kasih." 

Sean mengernyitkan keningnya. Sedetik kemudian sebuah senyuman tersungging dan ia merasa kalau ini bukanlah akhir dari kemenangannya. 

"Tetap saja 'kan aku tak bisa menggantikanmu, tetap saja dia anakmu dan Ivy tetap saja milikmu." 

Dan aku tetap saja sebagai pion dalam titahmu, 'kan? 

"Itu pasti," Dia tahu pada saat itu dia sudah kalah—seutuhnya, "tapi aku tidak menyangka kalau pada akhirnya kau menyetujui semua permintaanku." 

Itu karena aku mencintainya, sangat mencintainya lebih dari yang dunia tahu. Itu karena aku tak pernah bisa memilikinya secara utuh, percuma harapan itu hanya akan menjadi butiran impian tanpa pernah kurasakan wujudnya. 

Sebentuk sabit muncul di wajah Sean, ia tak mengatakan apapun untuk membalas pertanyaan seorang raja bagi Ivy, pun tak mengatakan yang sebenarnya untuk Dante. Ia tahu segalanya percuma, ketika ia mengatakan cinta semuanya sudah terlambat, ia hanya bagian dari kolase semu yang diciptakan Tuhan. Hanya sekadar pelengkap kekosongan ketika serpihan puzzle itu menghilang, tak bisa disatukan. 

"Karena aku mencintainya, lebih dari yang kau tahu, Dante." 

Tapi ia tahu, ia tak bisa memiliki Ivy—karena takdir keduanya tak pernah ada. 

"Aku rela menyakiti diriku sendiri asal bisa melihatnya bahagia, termasuk ketika kalian bersama. Percayalah, aku bahagia diberikan kesempatan menemani Ivy selama ini. Dan berada di sisinya selama proses persalinan, itu moment yang sangat langka. Terima kasih karena sempat menyatukan kami, tapi aku tahu takdir kami tak pernah ada," Ia menghela nafas di sela rasa sakit yang menggedor semakin kencang, "karena dia memang diciptakan untukmu, bukan untukku. Kebahagiaannya untukmu bukan untukku. Terima kasih." 



***


Musim panas yang lain, permasalahan klasik sebenarnya. Pemerintahan Rusia sedang goyang, ia bukan penganut oligarki seperti apa yang dikatakan dunia pada saat itu. Klan Diamond memang berkuasa, tetapi bukan berarti mereka gelap mata akan kepentingan perut-perut yang lapar, bukan berarti penguasa mereka memilih Tirani. Dante Diamond berusaha untuk tidak terjerumus dalam keserakahannya. Bahkan sebenarnya dia tidak ingin dicampuri oleh urusan macam begini. Ia mulai lelah memegang tampu kekuasaan kalau saja bukan karena amanat. Ia harus mengorbankan kepentingan pribadinya atas nama rakyat sekaligus mengorbankan istri dan putranya. Demi membahagiakan seorang wanita tua angkuh yang sampai detik ini tidak pernah menerima pernikahan anaknya dengan seorang perempuan terkasih dan terbaik dalam hidupnya. Wanita itu tidak tahu apapun mengenai putranya, ia hanya tahu bagaimana hidup dan bergaul diantara para wanita terhormat lain dalam kepalsuan. Ia sendiri lelah disodori wanita-wanita bagai pajangan etalase toko, mereka cantik tetapi tak ada yang semurni Ivy. Mereka hanya haus kekuasaan, hobi mereka hanyalah bersolek dan tidur di ranjang lelaki tanpa melakukan sesuatu yang berarti. 

Hari demi hari kesibukan ini semakin mencekiknya, sejak kepergiannya ke Rusia. Ia menjadi tak punya waktu untuk menjamah surat-surat yang datang dari istrinya. Ia mencoba dan terus mencoba membalas satu per satu surat sampai ia lelah. Dante tahu Ivy sangat kesepian, istrinya. Dia tahu benar Ivy tidak bisa ditinggal sendirian apalagi ia sedang mengandung anak pertama mereka. Bagaimana bisa Dante tidak memikirkannya, bahwa di setiap suratnya selalu ada kegelisahan dan kesedihan meski per kata mengandung kalimat bahagia. Dia tahu Ivy paling tidak bisa membuat orang lain sedih dengan sikapnya tetapi sebagai seorang suami yang jauh dari keluarganya Dante merasa bertanggung jawab atas kepergiannya. Maka ia memutuskan untuk mengorbankan satu lagi kehidupannya, hatinya. Ia mengambil keputusan paling menyakitkan, bisa dikatakan. Ia menyuruh peri rumahnya mencari dimana Sean McKinley berada, surat-surat Ivy sama sekali tak terjamah, ia tak ingin istrinya khawatir maka ia akan menukar segalanya dengan kebahagiaan utuh yang Ivy inginkan. Berminggu-minggu Yeth mencari dimana Sean dan akhirnya ditemukan, Dante langsung menulis surat khusus yang ditujukan pada seorang Sean. 

Isinya adalah meminta Sean untuk menggantikan Dante selama ia melaksanakan tugasnya sebagai seorang raja. Ia juga menceritakan maksud dan tujuannya serta bagaimana kondisi Ivy, ia memberikan alamat serta dimana ia bisa menemui Ivy. Dalam suratnya ada kalimat memohon berikut imbalan yang akan diterima McKinley. Cukup lama Dante menanti jawaban atas penawarannya kepada McKinley hingga yang bersangkutan menjawab suratnya dan setuju. Mengejutkan adalah Sean menolak imbalan tetapi ia melakukannya dengan tulus tanpa memberitahu alasan pasti kenapa ia menolak imbalan yang sangat besar. Tetapi Dante memahami kalau Sean sejatinya adalah orang yang sangat baik, pemuda itu jauh lebih baik darinya dan Ivy pantas mendapatkan kepingan terkecil dari kebahagiaan sejatinya tanpa melupakan siapa yang menjadi tumpuan hidupnya. 

Selama perjanjian dilaksanakan, bukan berarti ia tak punya ketakutan tersendiri. Dante tahu dirinya merasa kalut terlebih ketika menjelang detik-detik kelahiran sang putra ia tak bisa pulang. Tahu kenapa? Karena ia sendiri memilih untuk tidak pulang dan membiarkan Sean berada di tempatnya, ini semua demi Ivy. Demi kebahagiaan wanita terkasihnya, wanita kedua setelah ibunya. Ia memilih untuk menukar tempatnya, rasa sakit yang memuncak ketika tahu kalau Ivy tetap bergeming dan bereaksi bahwa ia tetap baik-baik saja dengan atau tanpa Dante. Dalam suratnya Ivy memang mengatakan bahwa ia merindukan kebersamaan mereka tetapi jarak bukanlah toleransi untuk Dante agar ia tidak tahu apa-apa. Yeth memberikan laporan secara berkala tentang apa-apa saja yang dilakukan Sean dengan Ivy. Dante adalah seorang pemimpin yang bijak, setiap langkahnya memiliki perhitungan rasional dan pemikiran yang konsisten maka ia tak peduli apabila hatinya hancur lebur asalkan wanita yang paling disayanginya bahagia dan tidak menangis di hadapannya. Maka ia biarkan ketika benih-benih cinta itu mulai tumbuh dan berkembang karena selanjutnya ia berusaha memadamkan keduanya--dengan tangannya sendiri. 



***


Kabar baik datang disambut kemeriahan. Rumah Athena akan kedatangan seorang malaikat kecil. Dokter mengatakan kalau Ivy sudah boleh pulang setelah menginap selama seminggu dengan membawa serta putra kecil mereka, Kairi. 

Dalam kain tebal yang hangat, Kairi tertidur pulas. Nafas dan aromanya membuat siapapun ingin memeluknya sepanjang waktu. Sementara Ivy sibuk menggendong jagoan kecil mereka, Dante merapikan barang-barang Ivy dan merangkulnya keluar rumah sakit. Ini akan menjadi hari yang paling spektakuler karena keduanya bersama-sama melangkah sebagai ayah dan ibu baru. Ivy sudah sepenuhnya menjadi wanita, dia sempurna karena sudah terlahir menjadi seorang ibu. 

Namun hatinya mendadak gelisah, sehari sejak Kairi lahir ke dunia, ia tak melihat ada tanda-tanda McKinley. Sean menghilang kembali seperti ditelan bumi, Ivy mendadak sangat cemas. Ia seringkali merasa gelisah. Alasan paling kuat adalah ia belum mengucapkan terima kasih kepada Sean atas apa yang sudah pemuda itu luangkan kepadanya. Sean yang menemaninya menjelang hari kelahiran, Sean yang bertindak seolah-olah ia adalah ayah dari Kairi bahkan Sean yang berada di sampingnya ketika ia berjuang melahirkan Kairi dari kandungannya. Ia ingin mengucapkan terima kasih pada Sean. 

"Ada apa?" Dante menaikkan alisnya, Ivy berkali-kali menoleh ke belakang. Takut kalau tiba-tiba Sean datang ke kamarnya dan ia tidak menemukan Ivy disana, "kau mencari seseorang?" 

Ivy mendongak, melepaskan pandangannya dari sisi lain. 

"Tidak, tidak apa-apa." 

Kembali ia memfokuskan diri pada Kairi. Berusaha menenangkan dirinya sendiri meski di dalam hatinya bergolak. Di satu sisi ia ingin sekali bertemu dengan Sean, namun ia takut kalau Dante mengetahui segalanya. Tanpa ia tahu kalau Dante lah yang menciptakan kebersamaan keduanya, Dante lah yang mengizinkan Sean menulis kembali kisah yang tertunda. Dante lah yang memberikan tulisan terakhir bagi Sean dalam kehidupan Ivy. 

"Kalau dia adalah orang yang kau cari, Ivy." Dante merangkul Ivy lebih erat, mengecup puncak kepalanya dalam-dalam dan menunjuk Sean dengan dagunya saat ia melihat pemuda itu berdiri di depan sebuah mobil dengan gaya maskulinnya. 

Dengan kemeja biru laut dan lengan digulung dan satu tangannya dimasukkan ke dalam saku. Khas seorang Sean, Ivy mendongak. Mendadak matanya terasa panas, bergantian menatap Dante dan Sean. Lantas ia tak percaya, apa yang dilihatnya. Keduanya tak melakukan perkelahian, tidak juga adu mulut. Ivy memandang Dante penuh arti antara ingin menghampiri Sean tetapi ia takut--takut Dante marah padanya. 

Seperti telepati, Dante menunjuk dengan dagunya. Memberikan izin pada perempuan terkasihnya untuk waktu yang relatif singkat. Ia melepaskan rangkulannya dan berjalan menuju McKinley dan hati serta mata yang panas. Begitu kedua tumpuannya tiba, ia merasakan getaran yang menyesakkan seperti diremukkan. Dalam sekali kedip, airmatanya tumpah ruah tanpa jeda. Ia menjadi sulit bernafas dan senyum penuh kebahagiaan itu tidak sekalipun menyusut. 

"Hai," Sebuah sapaan hangat dibarengi tatapan yang ia rindukan. 

"Selamat kau sudah menjadi ibu, Ivy. Kau wanita yang hebat." 

Ia rindu disentuh pemuda ini, Tuhan. 

"Terima kasih...." 

Getir, hanya sepenggal kata yang mampu keluar dari bibirnya. Sesak menyeruak tanpa bisa ia hentikan. Ia yakin ini adalah detik-detik terakhirnya bertemu Sean karena sesudahnya ia yakin Dante tak akan memberikan kesempatan untuknya. 

"Untuk apa?" 

Susah payah Ivy menarik nafas dalam-dalam, susah payah ia mengatakan apa keinginannya. 

"Untuk segalanya selama dua bulan ini, terima kasih telah menggantikan posisi Dante dan kembali." 

Ia merasakannya, sebuah tatapan hangat antara kelegaan melepaskan sakit dan melepas bebannya. Tangan besar itu terulur menyapu epidermis Kairi, putranya. Kemudian diselingi senyum paling damai yang pernah ia lihat. Setelah itu, Sean meraihnya dalam satu rangkulan, menghabiskan jarak keduanya dan membawanya mengecup kening Ivy di hadapan seorang Dante. Rasa panas menyelubungi pipinya. 

"Berterima kasihlah pada Dante, Ivy. Tanpa dia, aku tidak bisa bertemu denganmu lagi." 

Ivy mematung, hening dalam beberapa saat mencoba mencerna kalimat yang dikatakan Sean. 

"Maksudmu?" 

"Dia yang merencakan ini semua, dia mencariku, Dante. Melalui Yeth, ia mencariku, memintaku menggantikan tempatnya untuk menjagamu hingga si kecil ini lahir karena ia tak bisa membiarkanmu berjuang sendirian. Memang terlambat karena cukup sulit mencariku, Ivy. Tetapi kalau terima kasih, katakanlah itu pada Dante," 

Ivy menoleh diantara bahunya, menatap Dante dari sela kabut matanya, ia tidak yakin sepenuhnya akan sebuah kebenaran yang Sean katakan, mungkin ia terlalu takut mengakui kalau selama ini Dante lah yang mengarang scenario ini untuknya dan cukup takut mengartikan kebahagiaannya adalah rekayasa semata. 

“Jangan berprasangka apapun, kumohon. Dante melakukan semua ini untukmu, hanya untukmu. Dia mengorbankan perasaannya untukmu, Ivy. Percayalah ia mencintaimu lebih dari yang kau tahu.” 

Kini dia meringkuk dalam diam. Dalam pelukan seseorang yang telah memberinya sayatan dalam. Coba meredam tangisnya dengan satu tangan, ini adalah senyap paling pekat yang pernah dirasakan keduanya. Berdua yang seperti sendirian. Ivy memberanikan diri menatap Sean, meski dadanya bergemuruh, meski tangisnya semakin sesegukan, namun dalam pelukan keheningan. Sepasang bola matanya menatap langsung dua pasang mata di depannya. Meminta penjelasan lebih dari sekadar apa yang dikatakan McKinley padanya. Namun justru keterdiaman itu—cara kedua matanya memandang—adalah teriak kebenaran yang paling lantang dan tidak bisa lagi disangkal. Karena dia bicara dengan seluruh sesal. Seluruh luka. Seluruh sakit. Namun juga dengan seluruh kesabaran dan harapan. Pada akhirnya, dia melakukan semua itu juga dengan seluruh cinta. Untuk seseorang yang hilang pada masa lalu dan untuk seseorang yang hadir dalam hidupnya. 

Ivy masih tidak mengerti apa yang disembunyikan keduanya. Ada sesuatu yang terasa janggal di antara mereka. Dan, hanya mereka yang tahu. Kejujuran yang entah terkuak sejak kapan, tapi tidak mau pergi lagi. Mata itu menatapnya, dalam dan tepat mengenai sasaran sementara kakinya berdiri lantang dan dalam keheningan meminta penjelasan. Sekali lagi ia menatap sepasang mata yang bukan miliknya, meyakinkan dirinya sendiri—mungkin dia hanyalah orang yang tepat yang datang pada waktu yang salah. Sudah cukup kami menganggap tidak ada yang terjadi hari itu. Tapi dalam hati ada sesuatu yang memberontak, sesuatu yang terus menerus membatin, seakan ada sesuatu yang dirahasiakannya tapi sangat ingin dia ceritakan sampai tuntas. Ia tidak bisa menjelaskan kata yang tepat untuk mendeskripsikan rasa yang berkecamuk di hati saat ini. Yang ada hanyalah sugesti sampai kapan pun, luka dari kehilangan seseorang mungkin nggak akan sembuh. Ivy terdiam, ia berhenti menyalahkan kondisi dan orang lain untuk hal-hal yang udah terjadi. Segalanya menjadi percuma ketika kedua mata itu saling bertemu pandang dan tidak ada yang bisa dielakkan. Ivy melihatnya mata itu sarat dengan kesepian, kesedihan yang ia sendiri kenali dengan begitu dalam. Mereka berdua hidup dalam kepura-puraan karena takut melukai orang lain, terlebih dari diri sendiri. Ivy hanya bisa balik menatap matanya, membiarkannya merasakan segala yang harus ia rasakan. Butuh waktu yang lama untuk berhenti menyalahkan, Tuhan. Untuk meyakinkan diri sendiri bahwa ini bukan salah siapa-siapa. Butuh waktu buat kembali percaya lagi, kalau ia pantas bahagia dengan Dante. 

Sampai tangis mereda, dan kehilangan kemampuan untuk menangis. Ivy mengerti.

Bahwa terkadang di dunia ini ada hal-hal yang tak ingin dikatakan, bahwa sebaiknya di dunia ini ada hal-hal yang tetap menjadi rahasia. Maka ketika ia ingin menuntut jawaban, penjelasan lebih dalam tentang keduanya, tentang perjanjian yang mungkin mereka lakukan tanpa Ivy tahu, ia memilih diam, ia memilih untuk membiarkan segalanya berjalan apa adanya. Hingga ia membentuk lengkungan sabit di bibirnya. Bahwa sebuah kejujuran sebaiknya tersimpan tanpa pernah ia pertanyakan. Cukup lama ia merasakan perang batin yang begitu sengit di dalam nuraninya, berusaha sekuat mungkin untuk menerima kenyataan yang ada. Pada akhirnya ia memutuskan berbalik dan meninggalkan Sean dalam kesendirian tanpa jawaban.

Hingga langkah kakinya terhenti karena suara itu kembali memanggilnya. 

“Aku mencintaimu…” 

Ia menoleh dari bahunya, merasakan degup hangat selama kalimat itu mengalir ke dalam sukmanya. Diantara jarak inilah posisi tersulit dari keduanya dimana ia mendapatkan serangan bertubi-tubi atas hatinya dan bimbang bagaimana harus bersikap. Kristal cokelatnya tertuju pada si kecil Kairi dalam pelukannya mencoba mencari makna kembali pada dirinya sendiri. Disanalah ia pulang, kepada Dante lah kehidupannya yang sebenarnya. Hanya sebuah lekukan senyum yang ia sematkan, pertanda darinya akhir dari sebuah kisah yang menggantung di sudut awal. Memberikan warna lebih dari sekadar pelangi di malam senja. Kemudian ia kembali pada pelukan Dante yang membawanya masuk ke dalam sebuah mobil yang perlahan meninggalkan halaman parkir rumah sakit, meninggalkan sesosok pemuda dengan cerita yang begitu perih. Tetapi ia yakin, akan ditemuinya bahagia selepas kepergian Ivy. 



***



Sepanjang perjalanan, hening menghiasai, dominasi bungkam lebih bermakna. Di tengah hembusan nafas sang malaikat kecil ia terus berpikir. 

Saat Sean mengatakan “aku mencintaimu” ia merasa senja tak lagi membawa cerita bahagia. Mungkinkah kata-katanya ambigu? Atau ia saja yang menganggapnya saru? Bagi keduanya, senja selalu sempurna; bukankah sia-sia bila menggenapkan warnanya? Seperti kisahmu, kau dan aku, juga dia. Tak ada bagian yang harus kita ubah. Tak ada sela yang harus kita isi. Bukankah takdir kita sudah jelas? 

Lalu saat kau berkata “aku mencintaimu” mengertikah kau apa artinya? Mengertikah kalau kau, kalau kita sejak awal tak pernah bisa berada dalam cerita yang sama—dengan senja yang berwarna? 

Sejak awal segalanya sudah jelas, tidak pernah ada takdir antara kau dan aku, dan kau tahu itu.

Hold on to this lullaby even when music's gone.


Kau seharusnya tahu bahwa memiliki suami yang mencintaimu dan mengandung seorang anak darinya adalah sebuah kebahagiaan yang patut membuat siapapun iri. Kau punya segalanya, suami yang mencintaimu, keluarga yang menyayangimu, teman-teman yang membantumu serta jabatan yang meninggikanmu. Semua itu apa yang kurang? Apalagi kini keluargamu tengah berbahagia, mereka menantikan manusia baru yang ada di dalam tubuhmu. Menantikan ia lahir ke dunia, menanti tangisannya dan menanti manusia itu tumbuh besar. Manis bukan? Kau memilikinya, kau memiliki segalanya. Apa yang kurang?

Ivy menyisir surainya, terduduk dengan perut besar di depan cermin riasnya. Setiap hari tubuhnya bertambah berat seiring dengan jabang bayi yang semakin membesar di dalam perutnya. Tangan mungilnya masih tetap menyusuri beberapa helai yang kusut, wajahnya cenderung pucat tanpa polesan bedak apapun. Setiap kali biner cokelatnya memantul pada permukaan cermin, ia menemukan seseorang penuh dengan kebahagiaan yang mencuap-cuap, penuh dengan kasih sayang, namun setiap kali ia mengerjap ia merasa menatap sesuatu yang lain dari balik matanya. Menemukan serpihan lain dari bentuk kebahagiaan, pecahan harapan dan perasaan belum benar-benar tersusun rapi hingga kelopaknya tertutup kembali. Di balik matanya ia menemukan hal lain, dua sisi yang bertentangan. Rona merah kembali menghilang seiring dengan helaan nafas dan pergerakan menaruh sisir diatas meja. Dia sudah terlalu banyak menghabiskan waktunya di depan cermin sedangkan menit akan terus melaju tanpa berharap untuk berhenti. Memoles sedikit saja wajahnya dengan taburan bedak dan lipstick peach, ia mengambil tas kerjanya dan bergegas berangkat. Ritual pagi yang biasa dilakukannya, sarapan yang baik bagi ibu hamil untuk memenuhi nutrisi sang bayi. Satu dua teguk setelah itu sisanya dijadikan bekal saat tiba di kantor.

Tidak butuh waktu lama, dia sudah mencapai tempat kerjanya. Perutnya yang membuncit selalu menarik perhatian banyak orang, terkadang beberapa membantunya berjalan. Ini sulit bagaimana menyeimbangkan tubuhmu dengan kaki-kaki yang kecil. Sesekali ia harus menumpu tangan pada bagian pinggul dan melangkah dengan tertatih. Usia kehamilannya tidak lagi muda, menginjakkan 7 bulan kontras dengan ukuran tubuhnya yang tidak terlalu besar. Ivy masih tetap terlihat mungil, masih tetap berwajah seperti anak-anak. Membentuk lekuk sabit di bibirnya, menyapa beberapa yang lewat, butuh waktu yang cukup lama untuk sampai ke ruangannya. Untungnya ia tidak bekerja sendirian, ia memiliki seseorang yang dapat dipercaya, selama ini menangguhkan bebannya bila tak sanggup melakukan pekerjaannya seorang diri. Mila, namanya. Wanita bersurai platina dengan tubuh tinggi dan kurus namun cenderung bungkuk selalu setia menghabiskan waktunya bersama Ivy ketika berada di kantor. Dia asisten yang setia untuk segala keperluan Ivy bahkan ketika Ivy kesulitan untuk melakukan hal-hal sepele, membuat susu misalnya. Mila juga pernah mengantarkan Ivy ke rumah sakit di dunia muggle sesekali untuk memeriksa kandungan Ivy apabila ia tidak sempat memeriksanya ke St. Octavianus. 

Waktu terasa begitu cepat meski tanpa Dante disisinya. Setiap hari ada satu sampai dua surat yang mampir kerumahnya, terkadang ada benda-benda dari Rusia yang Dante kirimkan. Ivy selalu senang dengan Dante, meskipun jauh, meskipun ia tak pernah melihat raganya tetapi perasaannya tetap sampai. Seolah sang jabang bayi mengetahui seberapa besar ayahnya mencintai dia dan bayangan setiap malam akan mimpi buruknya tentang masa lalu mungkin akan segera berakhir. Karena setelah ini ia tidak memiliki urusan apa-apa dengan masa lalunya terutama dengan kau-tahu-siapa yang dia maksud. Seseorang yang selalu tertuju ketika ia membuka lembaran lalunya. Ketika ia memutar balik ceritanya dengan Dante, jauh sekali jauh sebelum sang jabang bayi lahir. Bayangan itu seakan menjadi tinta hitam di awal-awal masa keemasannya bersama Dante, nyaris tak pernah tidur semalaman dan ia membangun dinding sendiri untuk menjauhkan Dante agar tidak menyentuhnya. Berusaha sekian lama memendam apapun yang tidak ingin ia beritahu, sayangnya kebersamaan dengan Dante memaksanya untuk berani melepaskan. Untuk berani mengikhlaskan kepergian seseorang selamanya, selama ia berusaha menimbun perasaan sampai takdir berkata untuk berhenti menahannya. 

Ivy beringsut, ini musim semi. Sudah lama sekali tidak melihat kelopak-kelopak bunga mereka, mewarnai karpet hijau dan serbuk bertebaran. Ia berdiri membelakangi pintu masuk dan seolah hanya ada dirinya di ruangan. Tidak ada Mila, tidak ada tumpukan berkas, tidak ada dering telepon—hanya dia, hanya dirinya yang menatap melalui kaca-kaca jendela sambil sesekali mengelus perutnya yang membuncit. Ivy selalu menyukai musim semi, biner cokelat terangnya bisa mengamati banyak warna, merekam semangat keluarga-keluarga kecil yang bertaburan di taman-taman Amerika, sedangkan di Calix Lumina ia tidak mendapatkan apapun. Sepanjang musim ia hanya akan melihat salju, salju dan salju. Bahkan walaupun musim panas salju tidak benar-benar mongering disana. Terkadang sedikit ragu apakah nanti anaknya bisa bertahan dengan udara di Calix? Atau dia akan memutuskan untuk pindah ke Rusia?

Sayangnya opsi kedua selalu menjadi yang paling mustahil untuk diterima—mengingat ibu mertuanya selalu kontra dengan dirinya dan sama sekali tidak bisa menerima kehadirannya. Padahal hanya menunggu sedikit saja, sedikit waktu untuk dapat menerima kehadirannya, mungkin bukan dia, tapi biarkanlah sang malaikat kecil diberikan pengakuan, setidaknya ia akan bangga mengetahui ayahnya ternyata seorang yang paling berpengaruh di daratan Eropa. Hng, rasanya ia sedikit kelelahan selama berdiri, belakangan ini memang Ivy cepat lelah. Untunglah bulan persalinan hanya tinggal menunggu waktu saja, ia akan cuti panjang setelah bulan ini berakhir. 
Suara ketukan menyadarkannya dari lamunan, Ivy membalikkan tubuh dan menyuruh tamunya masuk. Tanpa melihat siapa yang masuk, ia mencoba untuk berjalan menggapai kursi kebesarannya, perlahan-lahan namun telinganya tak melepas dari sebuah suara ketukan sepatu membentur lantai. Suaranya nyaring, itu sudah biasa. Ia akan menghadapi satu lagi dari sekian banyaknya agen yang mengenakan pakaian hitam dan mata mereka yang selalu disembunyikan oleh kacamata hitam. Ah, ya dia merasa kesulitan untuk duduk. Satu tangannya menyanggah pinggul dan satu lagi menahan dibagian bawah perut. 

“Hati-hati…” 

“Ah ya terima kasih sudah…..” Ia melepas pandangannya, mengarah pada tamu yang datang, “mengingatkan.” 

Untuk kesekian kalinya Ivy ingin membunuh takdirnya sendiri. Untuk kesekian kalinya ia merasa dikhianati oleh takdirnya sendiri. Ini bukan lelucon, ‘kan? Ini bukan sesuatu yang harus ia tertawakan, ini lelucon yag sangat-sangat tidak pantas untuknya. Tuhan, kenapa kau beri aku cobaan yang sedemikian sulit? Kau jauhkan ia dari Dante tapi kau pertemukan aku dengan orang ini, salahku apa? 

“Apa kabar, Ivy?” Suara itu, suara yang sangat ingin dia dengar sejak 7 tahun silam, sejak ia dikabarkan menghilang, sejak harapannya putus di tengah jalan. Suara yang tidak pernah terdengar lagi bersamaan dengan raga yang tenggelam. Dadanya terasa sesak, seperti ditonjok ratusan tangan, nafasnya tercekat dan matanya membulat. Mungkin saat ini wajahnya lebih mirip melihat hantu di siang bolong daripada melihat manusia dengan kemeja sutra hitam, dasi hitam dilapisi jas Armani dan surai cokelat terang yang disisir sangat rapi meskipun ditata berantakan. Laki-laki ini cerita masa lalunya, cerita yang tidak pernah usai sampai detik ia ingin melupakannya. 

“Baik… Tentu saja, baik.” Memaksakan diri mengulas senyumnya, mencari posisi duduk yang nyaman. Dilihatnya Mila menghampiri membawa beberapa berkas dan kemudian memandangnya dengan ekspresi aneh. Asistennya bisa menanngkap raut wajah janggal Ivy meskipun ia berusaha tersenyum, topeng apapun dapat ditebak dengan mudah oleh Mila. Dengan hati-hati Mila meletakkan tumpukan berkas-berkas diatas mejanya. Ia menjelaskan kedatangan Sean ke tempatnya dengan hati-hati dan Ivy berusaha mencerna dengan baik ketika jantungnya mengkhianati dan mengakibatkan kepalanya tak bisa berpikir jernih. Oh Tuhan, jangan sekarang, tolong. 

Ivy mengangguk, ketika akhirnya ia berusaha menatap Sean dengan tenang. Jantungnya masih belum stabil, rona kebahagiaan seperti petasan yang dapat meletus ratusan kali. Rasa senang yang membuncah sekaligus rasa sakit karena tikaman masa lalu yang begitu pedih dan tajam, nyeri terasa diseluruh tubuhnya bahkan menekannya hingga Ivy sulit bernafas. 

“Jadi?” Ia membuka pembicaraan. 

“Yang dikatakan asistenmu itu hanya kamuflase saja, mengerti ‘kan?” 

Ivy mulai ber uh oh seenaknya, ia membuka beberapa lembar kertas pada bagian persetujuan. Dia paham—kasusnya ternyata beberapa penyihir di Amerika menggunakan hewan gaib dirumah mereka. Beberapa dalam pengawasan dan selebihnya ternyata mulai mengabaikan peraturan. Sebagai duta sudah sewajarnya ia mencintai negaranya sendiri, keamanan tentu menjadi prioritas utama. Ketika ancaman keamanan menjadi serius, Ivy harus siap sedia di tempatnya. Biner cokelatnya tak melepas pandangannya barang sedetik pun dari wajah yang begitu ia rindukan sejak tujuh tahun silam, hidung yang mancung, mata yang besar dan kecokelatan, struktur rahang yang kuat bahkan aroma Sean menghipnotis Ivy saat itu juga. Tolong, ia sudah memiliki seorang suami sekarang. Penjelasan mengenai beberapa penyihir yang menyimpan hewan gaib di dalam rumahnya, tentu saja bukan sekelas hippogriff melainkan hewan gaib dalam ukuran kecil tanpa perizinan dari kementrian sihir Amerika, ia diminta untuk bekerjasama dengan kementrian muggle di Amerika. Sayangnya Sean tak punya koneksi untuk meminta tolong pengawasan di dunia muggle. Ia tidak mengenal siapapun di dalam kantor kementrian Amerika dunia muggle. Kementrian sihir memintanya untuk tetap berlaku stabil, takut kalau penyihir ini lambat laun akan membuka identitas mereka pada dunia. Ia pikir hanya ada satu atau dua orang saja yang memiliki hewan gaib, ternyata data menunjukkan lima puluh lebih dari mereka yang memiliki hewan gaib dan hanya beberapa yang memiliki lisensi pemeliharaannya. 

Kebanyakan muggle di dunia Amerika kelewat sangat rasional, mereka jarang percaya sihir bahkan dongeng-dongeng konyol seperti ini. Maka ketika diutus untuk melaksanakan kerjasama dengan kedutaan Amerika ia merasa pusing dan tidak tahu strategi apa yang digunakan. Tetapi ketika Kementrian memberikan nama seseorang yang dijanjikan sebagai relasi paling dekat dengan kementrian muggle di Amerika, ia merasa tidak asing dengan nama itu. Ya, Viervhy Leandra Athena. Nama yang tidak pernah asing di telinganya, maka Sean menyanggupi tugasnya melakukan diplomasi meningkatkan hubungan kerjasama. Ia pikir ini akan lebih mudah, sangat amat mudah meskipun ia harus merasakan gejolak batin di dalam dadanya saat pertama kali bertemu—kembali dengan Ivy. 

Ivy mengangguk, menghabiskan separuh dari lamunannya hanya untuk mengamati paras Sean. Ia menghela nafas, pikirannya sekarang sedang tidak karuan, hanya bisa mencerna, bukan lantaran ia bodoh atau tidak mengerti pokok masalahnya, lebih karena ia ingin sekali pulang dan terbangun dari mimpi yang sudah lama ingin dilupakannya. Menghapus memori tentang McKinley saat ini juga dan mengenyahkan pikiran apapun yang menjadi dasar terganggunya pikiran seorang Ivy. 

“Hmm, ya aku mengerti. Disini memang nyaris tidak ada yang percaya tentang sihir, mereka selalu menganggapnya dongeng pengantar tidur,” Mengulas senyumnya, “ada lagi yang bisa kubantu?”

“Itu saja…” Ivy meraih berkas-berkas diatas meja dan menumpuknya menjadi satu. Satu tatapan mengganggunya, ia melepas barang sedetik arahan matanya dari tumpukan berkas, “terlalu kaku…” 

“Pardon?” 

“Kau,” 

Ivy mengernyitkan keningnya, “Kenapa denganku?” 

“Sudah lama tidak bertemu, kau terlalu kaku, maksudku terlalu formal untuk teman lama.” Sean terkekeh, tawa ringan yang selalu ingin dia dengar sejak berada di tingkat dua, saat ia menantikan senyum sederhana dari pemuda sederhana menjadi tawa yang khas di telinganya. Ivy mendadak gugup, pipinya merona merah seraya membuang wajah. 

“Karena berada di kantor, ‘kan? Profesional itu perlu, McKinley.” Lagi, ia memaksakan diri mengulas senyumnya. 

“Oh, kalau begitu… Kau ada waktu sebentar setelah ini?”

“Untuk?” 

“Makan siang di luar mungkin…” Sean mengedikkan bahunya. 

Hangat menjalar, Sean mengajaknya untuk waktu informal di luar jam bekerja. Biasanya ia akan menganggapnya sebagai permintaan khusus kliennya, tapi kali ini kenapa rasanya sangat berbeda. Biasanya ia akan dengan malas memenuhi permintaan kliennya soal makan siang di luar, cuaca terkadang tidak bersahabat, tetapi dengan Sean segalanya menjadi tidak terkendali. Tanpa menunggu waktu, ia segera memenuhi ajakan kliennya itu. Ini menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana Mila menatapnya dengan sangat aneh dan ia menuntut jawaban ketika Ivy menyambar tas kerjanya dan meninggalkan ruangan bersama McKinley dengan wajah berseri. Ivy berhutang cerita pada Mila saat ini. Tidak jauh dari kantornya, di dekat taman St. Morris. Ada sebuah restoran bergaya Eropa dengan desain sederhana zaman romawi kuno. Makanannya lezat, mereka memasang berbagai menu khusus bahkan untuk ibu hamil. Ivy lupa kalau dirinya sedang berbadan dua saking senangnya dia bertemu dengan Sean. Pemuda itu tidak mengalami banyak perubahan, penampilannya masih sama hanya pundaknya lebih bidang, tubuhnya lebih tegap dengan garis wajah yang tegas serta aroma laki-laki yang sangat kuat. 

“Sudah lama sejak di Yellowstone…” Kata-kata ini membuatnya mendongak, menatap raut wajah yang mendadak pias tapi berusaha tersenyum, sayang pandangan mata itu kosong. 

“Sangat lama dan kau menghilang lagi?” Menaikkan alisnya. 

“Aku tidak menghilang,” 

“Oh…” 

Keadaan menjadi sangat hening, masing-masing bergelut dengan pikirannya sendiri. Baik Ivy ataupun Sean, keduanya sama-sama tak tahu bahan pembicaraan apa yang pantas untuk siang ini. Ivy berusaha menyibukkan diri dengan cara memotong-motong beef yang menjadi menunya siang ini. Memaksa mulutnya untuk mengunyah meskipun ia tidak sedang lapar. Sean, dia tahu pemuda ini mungkin melakukan hal yang sama. Ivy hanya berharap, detik ini juga biarpun ini hanya mimpi, jangan bangunkan dia meskipun dunia hancur saat ia tertidur lelap. 

“Maaf waktu itu aku tidak datang ke pernikahan kalian…” 

Permintaan maaf yang menurut Ivy tidak pantas diucapkan, itu hanya akan menggoreskan luka. Ingatkah bahwa ia menunggu sosok McKinley tiba di depannya, mengulurkan tangan alih-alih memberinya selamat tetapi malah mengajaknya pergi bersamanya kemudian keduanya hidup bahagia. Ivy hanya menarik sudut bibirnya, asimetris, ia tak sanggup menahan gejolak menyedihkan di dalam dadanya, sama sekali tidak bisa ia tahan. Bahkan tangannya ingin sekali melempar Sean dengan gelas, betapa menyebalkan sosok McKinley. 

“Tidak apa-apa, aku tahu kau sibuk…” Senyumnya merekah, menahan kepedihan. Susah payah untuk tidak mengambil lembaran lama dan membuka seluruh coretannya, menggantinya dengan kalimat-kalimat baru yang lebih pantas untuk menggambarkan situasi hening seperti ini. 

"Bukan itu,” Sejenak Ivy terdiam, menunggu lanjutan kalimat yang akan diucapkan pemuda McKinley, “terkadang ada beberapa hal yang harus aku lewatkan, demi menjaga sesuatu yang berharga.” 

Anggap saja Ivy tidak pernah mengerti apa yang dibicarakan McKinley saat ini. Alih-alih lebih tertarik dengan beefnya daripada pembicaraan yang berujung pada kelukaan. Pedih menggantung disisinya, menggoyahkan harapan bahkan mungkin keinginan untuk tetap berada di jalan yang benar. Ingatkan ia, saat ini ceritanya sudah selesai, ini hanyalah bagian terkecil dari ingatan masa lalu yang belum tuntas sekadar dongeng pengantar tidur selama ia menaungi masa kecilnya. 

“Kau bahagia, Ivy?” 

Percaya atau tidak, pertanyaan ini benar-benar membunuhnya, menikamnya hingga tidak bisa bernafas barang sedetik pun. Tangannya mendadak gemetar, jantungnya memompa darah terlalu kuat, nafasnya tercekik di kerongkongan. Bahagia, satu kata sederhana namun terlalu rumit untuk dijabarkan. Bahagia, ia Tanya hal itu. Bahagia adalah perasaan yang seharusnya ia rasakan, bahagia memiliki suami yang mencintainya, menyayanginya, bahagia memiliki sang jabang bayi, bahagia karena akan menjadi wanita seutuhnya setelah melahirkan darah daging dan buah cinta suaminya. Harusnya hal itu bahagia ‘kan? Sulit, terlalu sulit untuk merepresentasikan definisi bahagia. Bahagia, tetapi juga menyakitkan. Ia harus mengatakan apa? Mungkin ia bahagia dengan Dante—pria yang baik, bermartabat, memiliki kedudukan, dihormati segala kalangan, penyayang, mengerti bagaimana perjuangan Ivy melupakan seorang Sean. Bukan, Ivy tidak akan pernah melupakan Sean sekalipun ia dikabarkan telah meregang nyawa—melupakan perasaan itu lebih dari segalanya, sulitnya bukan main. Ia berjuang selama beberapa tahun terakhir untuk benar-benar membuka lembaran baru dengan sisa-sisa kenangan lama yang masih dan akan terus menempel di kepalanya. 

“Menurutmu?” Memasukkan sepotong daging ke dalam mulutnya tanpa melihat lawan bicaranya.

“Kau pasti bahagia ya? Buktinya sudah terlihat.” Sean tertawa renyah. 

Tertawa saja, tidak tahu ‘kan kalau perempuan di depanmu ini mau menangis? 

Ivy mati-matian menjaga agar airmatanya tidak mengalir sembarangan, agar ia bisa menyembunyikan perasaannya yang hancur saat ini. Mengingat darah daging Dante ada di dalam perutnya dan kini ia harus berhadapan dengan seseorang yang ia inginkan untuk menanam benih di dalam tubuhnya. 

“Yang kudengar gosipnya sih, katanya kalian membuat beberapa teman-teman seangkatan sangat iri. Dante pasti sangat menyayangimu, dia pasti sering menemanimu dan si kecil itu ‘kan? By the way sudah berapa bulan usianya?” Racauan itu seperti bom atom yang ingin meledak tepat di telinganya. Tangannya mulai gemetar, memotong daging-daging saja ia harus susah payah. Ada perasaan seperti tertohok di bagian jantung, kali lain ia harus belajar untuk benar-benar memisahkan antara pribadi dengan pekerjaan. Ivy ingin sekali memperlakukan Sean sebagai teman lama, bukan sebagai kisah masa lalu yang belum selesai. Ivy ingin sekali menganggap segalanya sudah selesai, tidak perlu merasakan sesak setiap kali mengingat bahkan melihat Sean di depan matanya. Dia sudah lelah, terlalu lelah untuk mengingat serpihan kenangannya. Memeluk lukanya, membalutnya namun setiap kali ingin sembuh selalu saja terbuka kembali, bagai menabur garam diatas luka—perih. Mati-matian ia menahan laju emosi, ini bukan sembarang emosi yang berujung pada amarah melainkan emosi yang beruju pada kelukaan. Menangis mungkin satu-satunya jalan keluar ketika ia tak bisa lagi menahan perasaannya terlalu lama, ingin sekali menghambur ke dalam pelukan McKinley. Selama tujuh tahun, ia pikir ia berhasil menyingkirkan bayangan Sean, dia pikir tujuh tahun adalah waktu yang cukup bagi Ivy untuk menghindari kenyataan bahwa ia dan Sean tak bisa bersama. Sayangnya tujuh tahun ini juga memberikannya kenangan yang tersisa, perasaan yang tertinggal. 

“Itu hanya gossip saja, Sean. Dante sedang tidak berada disini, dia di Rusia, kerajaannya butuh sosoknya saat ini. Ah kebetulan sudah 7 bulan,” Pun untuk tersenyum rasanya sangat pahit, ada getir yang menjalar di dalam nadinya, menusuk-nusuk hingga membuat lubang yang semakin besar, “jadi bagaimana denganmu? Sudah menemukan perempuan yang cocok? Apa kau sudah menikah?” 

Memaksakan diri menatap mata seseorang yang dengan pertimbangan ketika kau ingin melihatnya karena rindu yang membuncah atau kau tidak ingin melihatnya dengan alasan sakit setiap kali kau melihat kedua matanya. Kali ini gentian Sean yang memalingkan wajah, posisi duduknya tak lagi formal, ia bersandar pada kursi dan membiarkan kakinya lurus di bawah meja. Ivy menghela nafas, mungkin pertanyaannya sama-sama membuka luka lama. Padahal ia ingin sekali bertanya tentang kenapa selama ini menghilang, kemana saja, apa yang Sean lakukan selama menghilang, kenapa tidak memberikan kabar dan yang lebih penting adalah apa Sean memiliki perasaan yang sama dengan Ivy? Apakah dia bahagia melihat Ivy bersama Dante sekarang? Pikirannya terus berputar, seolah tergugu mendengar jawaban Sean. Lidahnya mendadak kelu, ia tidak bermaksud membuat Sean tidak ingin bicara dengannya lagi. Dia hanya ingin tahu apakah Sean telah menemukan penggantinya, lebih tepatnya seseorang yang dapat membuat pria itu merasa nyaman, tersenyum dan tertawa sama seperti ketika keduanya baru bertemu pertama kali. Kau tahu, selama tujuh tahun ini senyum Sean tak pernah berubah, ia selalu menyukainya, ia selalu menyukai sikap hangat Sean—sampai kapanpun, meskipun Dante akan marah bila ia terus menerus seperti ini. 

“Sulit mencari seseorang yang dapat membuatku tersenyum—seperti dulu…” Kecut, ia mendapati ekspresi wajah tak seimbang dengan kalimat barusan. Seperti ada sesuatu yang menyakitkan dibalik mata seorang Sean. Ivy meraih gelas berisi cairan limunnya, menyesapnya perlahan, membiarkan kerongkongannya terisi oleh cairan. Kering menggantung sama dengan suasana saat ini. 

“Oh, bukankah di kota ini banyak sekali gadis-gadis cantik?” Ivy semakin memaksakan diri untuk mendesak Sean, padahal ini bukan keinginannya, sama sekali bukan hal yang ingin dilakukannya—menyudutkan Sean bukanlah hobinya. Dua sisi—senang dan sedih. Entah dia harus merasakan sedih atau senang ketika Sean mengatakan kalau ia belum menemukan perempuan yang dapat membuatnya tersenyum, it means Sean masih seorang diri mengarungi dunia. Ia belum menemukan belahan jiwanya bahkan mengikatnya di depan altar, tidak seperti Ivy yang sudah lebih dulu memutuskan untuk mengikat diri dengan Dante. Sedih—menyesali keputusannya yang sangat gegabah, seharusnya ia bisa lebih sabar menunggu Sean, seharusnya dia menolak tawaran Dante yang ingin menjadikannya ratu. Kalau saja ia sudah tahu lebih dulu seperti apa kehidupan sebagai seorang ratu, kalau saja ia tahu masa depannya sejak lama, seandainya dia tahu kalau Sean akan kembali kehadapannya, mungkin ia bisa memutuskan kalau ia tidak perlu menikah dengan Dante, ya dia tidak perlu repot-repot bersandiwara kalau selama ini dia bahagia. Sayangnya, takdir sudah mengaturnya, sudah menuliskan ceritanya lebih dulu. Ivy hanya bisa meretaskan senyumnya, meneguk pil kekecewaan sampai habis. Kelereng cokelatnya dengan jelas melihat kelukaan disana, Sean mungkin bisa melepaskannya, Sean mungkin akan menganggapnya sebagai orang yang berdosa. Tidak, sayang… Ivy tidak tahu apapun yang Sean pikirkan, pemuda ini hanya berusaha untuk tidak menimbulkan riak selama pembicaraan ini berjalan. Ia hanya bisa berasumsi kalau Sean mungkin ingin memperbaiki hubungan yang telah lama rusak, jembatan yang terputus, sayangnya jembatan itu sudah diikat kembali oleh orang lain, kali ini lebih kokoh, lebih kuat dan lebih indah dengan kayu yang nyaris dimakan rayap. Ivy tak sebahagia kelihatannya, selama apa yang ia yakini untuk dilepaskan pada kenyataannya masih ia genggam dengan erat. Tuhan, jangan lagi membuatnya bimbang dalam kondisi seperti ini. 

Dua jam—pertemuan yang cukup singkat namun menguras emosinya. Persediaan airmatanya nyaris terbendung dan siap keluar begitu ia tiba dirumah. Ivy mendongak, melihat jam dan ternyata sudah menunjukkan pukul tiga. Belakangan sejak kehamilannya berada pada usia diatas empat bulan, Ivy semakin memperpendek jam kerjanya, ia tidak betah berlama-lama berada di dalam kantor, terkadang ia memutuskan untuk bekerja setengah hari, untungnya atasannya mengerti kondisi Ivy yang sekarang jadi tidak terlalu menimbulkan masalah. Hanya saja ia harus menimpakan pekerjaannya kepada Mila, gadis itu tidak pernah mempermasalahkan pekerjaan yang sangat banyak. Dia cukup teliti dan cekatan dalam memahami konsep pekerjaan dan nyaris tak pernah melakukan kesalahan. Ah, dia beruntung sekali. Ivy memutuskan untuk kembali pulang saja, kalaupun kembali di kantor rasanya tidak enak. Pasti ia akan menangis setelah pertemuan ini, lebih baik pulang dan tidur saja. Biarkan saja emosi ini meluap dengan sendirinya, biarkan saja ia menahan tangis di balik matanya, biarkan saja. 

Ivy beringsut dari tempatnya, dengan cepat dan cekatan Sean sudah lebih dulu mengawasi gerakannya. Ia memundurkan kursi dan memegangi punggung Ivy. Seketika itu ia meyakinkan diri untuk menahan nafasnya dan tidak berharap lebih, sungguh. 

“Rumahmu dimana?” 

“Calix Lumina…” 

Ivy meraih tasnya, menyampirkan di bagian pundaknya. Kentara sekali Sean sangat terkejut dengan letak rumahnya yang bisa dibilang jauh dari tempatnya bekerja. Ivy biasa menggunakan perapian ketimbang pintu masuk resmi gedung kedutaan untuk para penyihir. 

“Kuantar saja, itu lumayan jauh. Kau tidak mungkin pulang sendiri, ‘kan?”

Ivy menimang-nimang. Dia memang tidak biasanya pulang sendirian, biasanya ia meminta tolong peri rumah atau Narumi yang menjemputnya. Ivy seringkali merepotkan banyak orang dengan kehamilannya. Kali ini ia merepotkan Sean, padahal ia tidak suka merepotkan banyak orang. Ia tidak suka menjadi beban banyak orang, Ivy membuka mulutnya namun tertahan karena Sean sudah lebih dulu merangkulnya. Ini merupakan pemandangan yang janggal kalau saja orang-orang disini tahu bahwa Ivy sudah memiliki suami dan tengah mengandung anak dari suaminya tetapi malah berjalan berangkulan dengan pemuda lain. Lain halnya kalau publik menyangka bahwa Sean lah suaminya dan Ivy tengah mengandung anaknya. Itu khayalannya, impiannya sejak dulu sejak dia bertemu dengan Sean di kelas telaah muggle. Impian yang sudah lama ia kubur karena kali ini bukan Sean lah masa depannya. Mati-matian Ivy menyembunyikan rona kemerahan di wajahnya, mati-matian pula ia menahan degup jantung yang semakin keras. 

“Oh great, beda benua, right? Lewat mana?”

“Aku biasa pakai perapian, seharusnya sih dijemput adikku, tapi sepertinya dia sedang sibuk.” 

“Oh well, perapian?” Sean mengangguk, mengantar Ivy menuju perapian. 

Perapian berada di dalam ruangannya, dibuat dan didesain dalam sebuah ruangan khusus agar orang lain tidak mencurigai kalau tiba-tiba Ivy menghilang tanpa jejak. Mila tahu kalau Ivy seorang penyihir, awalnya gadis itu terkejut dan menyangka Ivy gila. Tentu saja, Ivy sangat khawatir dengan keadaan mental Mila saat itu tapi yah mau bagaimana lagi? Mila lambat laun terbiasa dengan identitas Ivy saat ini. Mila juga selalu menutupi identitasnya bila ada muggle lain yang menanyakan Ivy. 

“Aku akan pulang sekarang, Mila. Katakan saja pada yang lain seperti biasa. Oh ya, jangan katakan apapun tentang aku diantar oleh Tuan McKinley, aku ada sedikit urusan dengannya. Dia teman lamaku.” Mengulas senyumnya dan Mila mengangguk. Ivy memutuskan untuk lebih dulu menggunakan perapian kemudian diikuti Sean. Tidak butuh waktu lama untuk sampai di Calix Lumina. Suasana yang dingin, ia sudah terbiasa dan Sean mendadak merasa dingin dilihat dari gesture yang memeluk tubuhnya sendiri. Ivy melirik Sean yang nampak susah payah beradaptasi dengan lingkungan Calix, sesekali terkikik. Beberapa kali pemuda itu merutuki daratan Calix yang dingin. Padahal ini musim semi, tapi salju tak sepenuhnya mengering. Percayalah sekalipun musim panas, Calix selalu diselimuti salju. Ia juga bingung kenapa dulu memutuskan untuk tinggal di Calix, kalau ada tempat-tempat lain apalagi Calix sangat jauh dari tempatnya bekerja. 

“Kau bisa tahan tinggal di daerah sedingin ini?” Tangan itu gemetar, asap putih keluar ketika Sean membuka mulut untuk bicara. 

“Menurutmu? Aku sudah lama pindah kesini, Sean.” Mengulas senyumnya, mulai melangkah meninggalkan daratan tempatnya mendarat tadi. 

“Oh well, bayimu tidak rewel, huh? Kau tahu ini dingin sekali, ya tuhan bahkan ini sudah musim semi.” 

“Salju disini tidak pernah benar-benar mencair sekalipun disengat matahari pada musim panas, percayalah.” 

Kemudian disusul tawa dan tidak terasa kalau keduanya sudah sampai di depan pintu rumah minimalis. Tangan kecilnya meraih gagang pintu, menekannya ke bawah sampai terdengar bunyi dan pintu terbuka. Disambut hangat, suasana di dalam rumah tak seperti diluar. Kebanyakan rumah di Calix memiliki suasana rumah yang hangat berbanding terbalik dengan suasana diluar. Maka Ivy tidak merasa heran kalau Sean sangat bingung dengan perubahan suhu di luar dan di dalam rumah. Ivy mempersilahkan Sean masuk, sedangkan ia sendiri pergi ke dapur mencari Mom. Kemungkinan Mom tengah memasak makan malam tercium dari aroma yang berasal dari dapur. Ia menoleh ke dapur, didapatinya Bibi Weisz disana, Ivy segera menghampiri. 

“Mom kemana?” 

“Dia sedang pergi ke Sallowsville sama ayahmu.” 

“Mereka menginap?”

“Tidak, hanya pulang setelah makan malam.”

“Eh yah…” 

“Ada apa? Ada tamu?” Ivy mengangguk, “temani saja, nanti akan kubuatkan minum. Jangan banyak bergerak. Kau pasti lelah, Ivy.” 

Ivy kembali meninggalkan dapur, ia duduk di sofa tepat di depan Sean. Sembari menunggu minuman datang. Sean terlihat nyaman dengan suhu di dalam ruangan, Ivy sendiri menyandarkan dirinya sembari tangannya memegangi perut yang membuncit. 

“Kau tinggal sendirian?”

“Tidak, ada Mom, Dad, Bibi Weisz, terkadang adikku tinggal disini, tapi saat ini dia berada di Sallowsville.” 

“Oh, adikmu? Suasananya sepi sekali…” 

“Hanya ada Bibi Weisz saat ini, dia pengasuhku. Oh ya, Mom dan Dad sedang pergi ke Sallowsville, mereka mengunjungi adikku. Jangan Tanya kemana Dante setelah ini,” Memaksa bibirnya untu tersenyum sementara Bibi Weisz datang membawakan minum, “ah, ini dia. Sean kenalkan ini Bibi Weisz, dia yang mengasuhku dulu selama Mom tidak ada, dan Bibi Weisz ini Sean McKinley teman lamaku, dia alumni Salem juga.” 

Bibi Weisz nampak terpana—ia harus mengakui siapa yang tidak terpana bila melihat Sean. Kulitnya yang putih kemerahan dengan hidung mancung, mata besar bibir tipis serta tatanan rambut cokelat yang agar berantakan tetapi potongannya sangat rapi. Ah belum lagi penampilannya dengan kemeja sutra hitam dan dasi hitam, memperlihatkan otot-ototnya meski terbungkus rapi, belum lagi aroma musk yang menguar ketika berada di dekat Sean. Wanita berumur pun akan terpesona apalagi mendapati pria itu tersenyum dan memperlihatkan sederet gigi-gigi putihnya. Bibi Weisz menjabat tangan Sean dan kembali ke dapur setelah perkenalan singkat. 

“Kau tidak pernah merasa kesepian selama Dante di Rusia?” 

Ivy memutar bola matanya, kesepian atau tidak sebenarnya dia merasa sangat kesepian. Dante memang jarang bicara, tipikal pria pendiam dan lebih sering menutup diri. Dante lebih suka bertindak ketimbang bicara, sikapnya selalu membuat Ivy merasa aman dan hangat. Ia selalu bisa menjadi putrid yang bahagia ketika Dante berada disisinya, tapi ia juga bisa menjadi seorang putrid yang terluka ketika Dante meninggalkannya. 

“Hmm, terkadang…” 

“Siapa yang mengantarmu ke dokter selama Dante tidak ada?” Tatapan Sean seketika menghangatkannya, ia mendengar ada nada kekhawatiran dari balik lidahnya. Ah perasaan ini sudah lama tidak Ivy rasakan. 

“Narumi kadang Mom, tapi lebih sering asistenku di kantor, Mila. Bila aku libur bekerja, orang rumah yang akan mengantarku, tapi kalau jadwal pemeriksaan jatuh pada saat aku bekerja, maka aku meminta Mila mengantarkanku ke rumah sakit muggle.” Ia terkikik. Ada sarat kesedihan disana, sebenarnya bila ia jujur. Selama mengandung, Ivy ingin sekali Dante menemaninya walau hanya sekali. Ia ingin Dante mengetahui perkembangan anak mereka, mengetahui bagaimana bayi mereka mendapat tempat yang nyaman di dalam rahim Ivy. Setiap kali bertukar surat dengan Dante, Ivy ingin sekali menyuruh Dante pulang dan menguncinya agar tidak ada seorang pun yang memisahkan dia dengan Dante, sayangnya tidak bisa. Ia tidak bisa berlaku positif, Rusia lebih membutuhkan Dante ketimbang dirinya bahkan bayi mereka. Lagipula kalau ia boleh jujur, ia tidak bisa bersikap terlalu protektif kepada Dante, tidak seperti dulu saat dirinya terjebak dalam kenangan seorang McKinley. 

“Kau wanita yang tangguh, calon ibu yang kuat. Aku tidak mengerti, seharusnya Dante disisimu, ‘kan? Apalagi sebentar lagi kau akan melakukan persalinan, oh baiklah aku seperti sedang menggurui kalian.” Sean mulai terlihat frustasi. 

“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa mandiri, Sean. Aku tidak ingin merepotkan siapapun terutama suamiku.” 

“Oh yah, tapi bahaya sekali ‘kan? Kalau aku menjadi Dante, aku pasti akan selalu berada di sisi istriku sampai anak itu lahir ke dunia, aku pasti akan mengantarnya ke dokter dan aku ingin selalu tahu bagaimana perkembangan bayiku.” Seolah-olah mengatakannya dengan wajah tak berdosa. 

Itu menyakitkan—bagaimana ia mulai berkhayal kalau ia tengah mengandung buah hati dari McKinley dan bukan Dante. Ini membunuh ketika ia mendengar sederet kalimat yang diucapkan McKinley barusan. Urat-urat di wajahnya mengeras, tangannya mendadak dingin, biner cokelatnya menatap lurus dan kosong seolah hanya ada penyesalan di depannya. Ia bertanya-tanya sendiri benarkan Dante menginginkan makhluk kecil ini lahir ke dunia? Bukan hanya sebagai penghias bagi status keduanya? Matanya kini mengarah pada McKinley yang masih duduk dengan posisi santai. Sesekali menggeleng, mendongak untuk menahan beberapa tetes yang akan mengalir dari matanya. Ia tak pernah bisa menahan emosi yang terlalu kuat—tidak pernah bahkan saat memutuskan untuk melupakan Sean lebih dari itu bahkan saat ia tahu Sean pernah kembali ke Salem pada saat-saat terakhir ujian kelulusan. Itu menyakitkan—tentu saja. Ia tak pernah berharap kalau pertemuannya dengan Sean akan menguras emosi yang sedemikian besar hingga sesak tak dapat lagi ditahan. Seolah Tuhan mengujinya, sejauh mana ia melupakan McKinley, sejauh mana jalannya untuk menatap kembali masa depan bersama Dante. Bibirnya mengukir getir, sekali lagi dilihatnya McKinley dengan mata berkaca-kaca, menahan beban perasaan yang begitu mencekiknya. Namun buru-buru ia hapus sebelum mengundang kekacauan bahkan sebelum Sean sempat menoleh kepadanya. Ivy sudah memasang wajah penuh senyuman seraya mempersilahkan Sean meneguk minumannya. 

“Sudah waktunya aku pulang…” Waktu berjalan semakin cepat, Ivy memeriksa jam dinding rumahnya, sudah menunjukkan pukul lima sore. Perbincangan yang menyenangkan, dua jam tertawa dan mengenang masa-masa sekolah mampu membuat Ivy melupakan kesedihannya, melupakan ketidakhadiran Dante disisinya. Kembali merasakan masa-masa duduk di bangku sekolah, banyak yang dibicarakan meski hanya berupa topic-topik ringan, itu sangat membantu Ivy menjernihkan pikirannya. Sean mengatakan padanya kalau dulu ia sempat mengira Ivy adalah anak kecil yang salah masuk Salem. Ukuran tubuhnya memang kecil untuk anak-annak seusianya maka Ivy tak marah ketika Sean menilainya salah masuk Salem. Perbincangan yang terus berlanjut selama hampir dua jam di dalam rumah, nyaris terisi dengan tawa dan ingatan-ingatan yang sedikit konyol menurut keduanya. Kalau saja ya kalau saja menit bisa sedikit lebih lambat, ia ingin sekali menahan Sean dirumahnya, sayang ia bukan lagi seorang gadis tanpa seorang pendamping. Masih lebih ringan bila ia dan Dante hanya sebatas kekasih tetapi lebih dari itu, kedatangan Sean akan menimbulkan pertanyaan besar bagi pihak manapun terutama keluarganya. Sean mohon pamit pada dirinya, ia lantas berdiri dan bergerak menuju pintu. Ivy sebagai pemilik rumah bermaksud mengiringi pemuda itu sampai pintu. 

“Aku senang berkunjung kesini, tidak salah memang kementrian memberikanku tugas untuk berhadapan denganmu, Ivy.” 

“Ah jangan terlalu meninggikan, sebaiknya hati-hati saat pulang.” Ivy meraih pintu, menelengkan kepalanya. Menatap biner cokelat yang sama dengannya, senyumnya terlampau merekah. Mendadak menjadi panas ketika tangan Sean terulur untuk mengacak-acak surainya. Terkadang Dante melakukan itu ketika Ivy merajuk. Hmm… Dan kemudian suasana mendadak hening, keduanya terdiam. Ivy menyimpan kalimat-kalimat lain yang ingin dia katakan sedangkan Sean nampak diam dengan tingkahnya yang tak mengeluarkan sepatah kata apapun dari bibirnya. Pecah ketika Sean mengulurkan tangan, menggapai jemarinya. Perasaan hangat yang tak pernah ia dapatkan bahkan ketika berhadapan dengan Dante, sekalipun Dante memperlakukannya demikian bak ratu yang terhormat. Pipinya memerah, menahan degup jantung yang berdetak bagai pacuan kuda. 

“Aku bersedia menempati posisi Dante selama dia pergi, jangan sungkan untuk menghubungiku, Ivy.” 

Ivy mendongak, menaikkan sebelah alisnya. Tidak benar-benar maksud dari pembicaraan Sean. 

“Maksudmu?” 

“Kau sedang berbadan dua, butuh pengawasan dari semua pihak terutama suamimu, paling tidak kau butuh diperhatikan terutama saat memeriksakan kandunganmu, ‘kan? Mulai sekarang, aku akan menemanimu—tentu saja selama Dante di Rusia, anggap saja pengganti dari masa-masa ketiadaanku.” 

Kata-kata itu seolah mendekapnya terlalu erat, menimbulkan rasa panas pada kedua matanya, kabut mulai menyelimuti pada bagian cokelatnya. Satu kedip saja, airmata itu akan meluap dan meluncur bebas. Saat ini memang seharusnya ia butuh seseorang yang menjaga, Ivy tak memungkiri rasa iri setiap melihat para wanita muda yang tengah mengandung berjalan-jalan di taman kota dengan suami mereka atau ketika ia pergi memeriksakan kandungannya, ia selalu menangkap pemandangan yang diinginkannya bahkan sejak usia kandungannya baru menginjak beberapa minggu. Mereka—para calon ibu selalu ditemani oleh calon ayah, tidak sepertinya. Selalu Narumi bahkan Mila, ia seperti tak diberi kesempatan menikmati detik-detik menjadi calon ibu. Dante hanya tahu melalui surat, tidak pernah melihat keadaan bayi-nya. Sean mengatakan hal yang benar tadi, kalau seharusnya seorang suami berada disisi istrinya yang tengah mengandung, menikmati masa-masa tumbuh kembang janin keduanya. Ivy menunduk, menyadari betapa kebenaran itu menohok dirinya dalam sekali ucap. Menyadari rasa kesepian yang sudah terlampau lama terpendam, ia tak memungkiri bila ia menginginkan tempat bersandar. 

“Tidak perlu repot-repot, Sean. Dante akan marah bila tahu kau terlalu baik padaku.” Ujarnya dengan suara parau akibat menahan tangis. 

“Apa pintu itu sudah tertutup? Pintu yang selama ini sudah kau buka untukku?” 

Ivy mendongak, sesak yang mengikatnya tak bisa lagi ditahan—perasaan ini mencekiknya. Menyuruhnya membuka lembaran lama dan menatap sebuah coretan dengan penuh kepedihan. Senyum asimetris tersungging di bibirnya, mengenyahkan sedikit saja keteguhan hatinya untuk melenyapkan sosok McKinley di kepalanya. 

“Aku tidak tahu. Pulanglah sebelum semuanya terlambat..” Dan ketika kalimat itu berakhir, ia merasakannya—sebuah pelukan, sebuah pelukan yang sudah lama didambakan olehnya, sebuah pelukan yang menyeluruh. Jarak menjadi penebus rindu yang menghilang selama tujuh tahun. Digantikan dengan tangis penuh sesak serta keteguhan yang semakin lama memudar. Ivy membenamkan kepalanya di tubuh Sean diiringi isak yang dalam. Memohon agar tangisannya dapat berhenti barang sedetik saja, Dante akan sangat marah—tidak, Ivy lebih takut Dante kecewa karena selama ini usahanya untuk membuat Ivy bahagia adalah sia-sia. Meskipun tak sepenuhnya benar. Ivy bahagia, sangat bahagia. Tetapi ia tidak bahagia ketika harus berpura-pura melupakan perasaannya kepada Sean. Dia lelah terlalu lelah untuk bersembunyi dan berlari, selama ini ia telah menghindari sosok yang kini memeluknya. Berlari berharap persembunyiannya tak dapat ditemukan. Malang Tuhan tak mengizinkannya barang sedikitpun untuk melupakan. Anggap saja ini ujian. Cukup lama bagi Ivy merasakan segalanya seperti mimpi tak berkesudahan, Sean mengusap puncak kepalanya dan ia dapat merasakan dengan jelas ketika pemuda itu mencium puncak kepalanya. Hanya berharap bila Bibi Weisz tidak meninggalkan dapur dan tidak melihat adegan memalukan seperti ini. Bila ia tidak mengingat statusnya sebagai istri orang, Ivy tidak akan melepaskan pelukan tadi secara sukarela. Sayangnya ia harus melepaskannya sekarang, sebelum menjadi bahan omongan orang lain disini. 
Menghirup nafas dalam-dalam, menghapus airmatanya mengganti dengan senyumannya kembali. 

“Sean, pulanglah.” Suara itu lebih terdengar seperti bisikan ketimbang perintah. 

“Kau harus berjanji padaku untuk terus menghubungiku, setidaknya aku akan menebus waktu yang hilang sebelum terlambat, sebelum waktu mengharuskanku… yah kau tahu maksudku, Ivy.” 

“Tentu saja aku tahu, jauh lebih tahu daripada dirimu, Sean. Terima kasih, akan kupertimbangkan tawaranmu tadi.” Seulas senyum terukir di wajahnya. Meski kebimbangan masih merayap di pikirannya. Sean menatapnya, sorot itu jelas menuntut agar janjinya dipenuhi, butuh waktu satu menit menunggu Sean membalikkan badan dan kemudian melangkah meninggalkan pintu utama. 

“Sean…” Tubuh itu berbalik dengan kernyitan di dahinya, “jangan sia-siakan kesempatan kedua.” Lagi, ia tersenyum dalam kubangan luka. Menggoreskan lebih dari satu pecahan sakit pada kulit hatinya. Menyeruak bagai koreng yang tidak pernah sembuh bahkan mendekati amputasi. Sean mengangguk, wajah itu cerah menyambut jawabannya. Pelan-pelan Ivy menutup pintunya hingga pintu menyembunyikan dirinya yang sebenarnya, ia terdiam. Menatap lusinan kenangan yang kali ini terpaksa dibuka oleh tangannya sendiri. Apa yang sudah ia lakukan barusan? Apa yang sudah ia taruh sebagai harapan? Taruhan, banyak hati yang akan terluka sesudah ini. Ivy tidak sanggup membuat dirinya termaafkan kalau Dante tahu dirinya melakukan hal yang salah. Sayangnya hati lagi-lagi mengkhianatinya, ia tak menganggap bahwa memberikan kesempatan kedua untuk Sean adalah salah. Ivy menghirup nafas dalam-dalam berusaha mencari celah untuk bernafas. Tak ditemukannya kelegaan selain airmata yang mengucur semakin lama semakin deras. Tolong, ia tak ingin merasakan sakit seperti ini. Ivy melangkah dengan gontai menuju kamarnya, memulai perang batin antara dirinya dengan kenangan waktu lalu serta efek sakit yang ditimbulkan setelahnya.